Sabtu, 08 Agustus 2020

Kesetaraan Gender, Saya Perempuan Anti Korupsi ??

 

Masih saja isu kesetaraan gender dipersepsikan sebagai upaya perempuan “sama” dengan laki-laki. Minimnya literature dan tidak adaya open minded jalan pikiran membuat konsepsi kesetaran gender stuck pada perdebatan bahwa perempuan ingin sama dengan laki-laki baik disektor domestik dan sektor publik. Apa iya demikian?

Saat ini, di abad ke 21 harus mulai belajar memahami bahwa kesetaran gender adalah upaya memperjuangkan “kesederajatan atau persamaan hak dan kesempatan (equality of opportunity)” antara perempuan dan laki-laki di ruang publik. Maksudnya adalah bagaimana melalui kesetaraan gender perempuan dan laki-laki mendapatkan posisi dan kesempatan yang sama dan sejajar. Penting untuk memahami kesetaraan gender saat ini adalah sebagai upaya mendobrak konstruksi sosial yang ada dimasyarakat bahwa lelaki dapat bekerja dan layak menjadi pemimpin, sementara perempuan tidak dan bekerja diranah domestik rumah tangga saja. Ini memberikan stigma pada laki-laki sekaligus menjadi beban bagi mereka bahwa laki-laki harus tangguh, tidak boleh cenggeng dan harus melindungi perempuan.

Sementara itu, dalam memaknai kesetaraan gender dalam arus politik nasional dan lokal penting dipahami adalah antara laki-laki dan perempuan di ruang publik dapat menjadi kawan berbagi, bertukar pikiran, bermitra dan bekerjasama dalam upaya memajukan kebijakan publik yang ramah akan gender itu sendirinya, karena melalui kesetaraan gender dikotomi kebijakan yang tidak ramah gender dapat dihilangkan dari masyarakat yang heterogen dan majemuk. Pelibatan kesetaran gender dalam proses pembuatan kebijakan publik, dianggap akan dapat melahirkan kebijakan yang lebig demokratis, inklusif dan multiculturalism serta berkemanusian.

 

Seringkali perdebatan isu kesetaraan gender bias pada masalah pengakuan pada kaum LGBTQ selain perempuan umumnya, serta dianggap sangat feminism dan liberalism. Seyogyanya, kesetaraa gender dalam konsepsi ruang publik tidak pada pemahaman adanya pengakuan pada orientasi seksual, akan tetapi pada perlindungan pada kebebasan bereksperisi manusia siapapun dan dalam rupa apapun. Isu kesetaraan gender harus dipahami pada konsepsi dasar bahwa adanya “kesederajatan atau persamaan hak dan kesempatan (equality of opportunity)”. Kalau kita merujuk pada dasar pondasi negara kita adalah pada konsepsi “peri kemanusian”.

Kesetaraan gender belakangan menjadi “maianan baru” dalam isu upaya pemberatasan korupsi. Akan tetapi bila ditelaah, justru isu tersebut lebih pada menempatkan perempuan pada pondasi dasar pemberatasan korupsi. Perempuan dianggap paling tepat dalam memberikan upaya mendorong pemberatasan korupsi. Bukankah ini menolak kesetaran gender? Kenapa perempuan? Kenapa bukan perempuan dan laki-laki.

Berbagai kalangan terutama aktifis feminism dan aktifis anti korupsi menganggap peran perempuan dalam pemberatasan korupsi menjadi penting. Mengingat perempuan pada hakikatnya adalah guru pertama bagi generasi selanjutnya, di rumah. Dengan upaya perempuan di ranah domestic memberikan pelajaran terhadap pemberatsan korupsi dianggap mampu untuk disalurkan ke ranah publik. “terciptanya generasi yang anti korupsi” begitu argumentasinya. Lantas bagaimana faktor lingkungan dalam membentuk perilaku korup? Pertimbangannya bagaimana?

Belakangan, berbagai kasus korupsi yang mencuap kepublik memperlihatkan bahwa perempuan-pun terlibat kasus korupsi dan seringkali perempuan adalah menjadi bagian dari circle korupsi itu sendirinya. Lantas, apakah masih yakin dengan argumentasi bahwa perempuan punya peran dalam pemberatasan korupsi?

Sebagai contoh, seorang istri dan ibu yang mendidik anaknya dengan landasan agama, kebaikan, disiplin dan jujur. Memiliki suami yang tidak jujur, tidak disiplin, agamanya kurang, bahkan suka berprilaku zalim. Apakah anaknya akan terkonstruksi sepenuhnya seperti ibunya? Belum lagi lingkungan rumahnya yang berisikan tetangga julid, irian, pamer dan riya. Apakah mental seorang anak akan tetap sehat? Kita belum bicara soal lingkungan sekolah. Masih kita temui guru sertifikasi yang capek ngajar karena jam kerja yang harus sesuai, kemudian membayar murah tenaga honorer atau guru magang. Dan bila ditarik pada lingkungan praktek politik praktis kita yang penuh dengan money politik, politik gentong babi, pemburu rente, politik dinasti dan sebagainya. Apakah kemudian perempuan baik akan terus mampu mendidik anaknya untuk tidak berprilaku korup? Ini hanyalah sebuah realitas sosial yang ada di masyarakat yang seringkali kita abaikan.

         Dalam upaya pemberatasan korupsi, harus dengan konsepsi kesetaran gender yaitu “kesederajatan atau persamaan hak dan kesempatan (equality of opportunity)”, dimana siapapun warga negara memiliki kesamaan hak dan kesempatan dalam melakukan upaya pemberatasan korupsi. Sekaligus kesamaan hak dan kesempatan di mata hukum apabila melakukan tindak pidana korupsi bagi siapapun warga negaranya. Tidak ada klaster khusus, tidak ada diskriminasi, dan tidak ada perlindungan hukum sepihak yang dapat diberikan pada siapapun bila melakukan tindak pidana korupsi. Baik perempuan dan laki-laki maupun rakyat biasa ataupun pejabat dan konglomerat sekalipun.

         Menjadikan perempuan sebagai aktor yang berperan dalam upaya pemberatsan korupsi tidak akan menghasilkan langkah yang kongkret. Justru ekosistem dari hukum yang mestinya memiliki kesetaraan gender. Ekosistem yang dimaksud adalah pembuat hukum, produk hukum dan para penegak hukum serta lembaga dan instasi yang menjadi bagian dari hukum itu sendiri yang mesti setara dalam menindak dan melakukan upaya pemberatasan korupsi.

         Harus dipahami bahwa, dalam konteks kuasa selalu berlaku dari “Power Tends to Corrupt, Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely”. Siapapun yang memiliki kekuasaan maka akan cendrung berlaku korup. Sehingga, jangan menjadikan isu keseatraan gender menjadi upaya untuk menuntut peran perempuand alam pemberatsan korupsi. Tapi jadikan konsepsi kesetaraan gender untuk memperbaiki ekosistem hukum tindak pidana korupsi itu sendirinya. Jangan sampai kampanye "saya perempuan saya anti korupsi" justru menumpulkan konsepsi tentang kesetaraan gender dan pembentukan ekosistem hukum anti korupsi. Boleh kita berpraduga, jangan-jangan ini hanyalah kampanye yang menjadi bagian dari proyek, agar ada cuan yang berjalan. Mari cerna ulang!

 


catatan : opini ini adalah pengembangan terhadap interview soal peran perempuan dalam pemberatasan korupsi oleh sebuah lembaga penelitian.