Jumat, 26 November 2010

Karl Marx dan Pemikiran tentang Negara

Negara menurut Marx
Negara menurut Marx sebagai alat belaka dari kelas penguasa (berpunya) untuk menindas kelas yang dikuasai (yang tidak ber-punya). Negara dan pemerintahan identik dengan kelas penguasa, artinya deng-an kelas bepunya dalam sejarah berturut dikenal kelas pemilik budak, kelas bang-sawan (tuan tanah), kelas borjuis. Ini berkaitan dengan dialektika bahwa perkem-bangan masyarakat feodalisme kemasyarakatan borjuis atau kapitalisme dan se-lanjutnya menuju masyarakat sosialisme yang perubahan itu merupakan kelan-jutan yang tidak dapat dielakkan. Untuk menuju masyarakat komunis, tidak de-ngan berdiam diri, melainkan harus berjuang bukan menanti dialektika sejarah itu (Firdaus Syam, 2007: 179).
Mengapa Marx begitu skeptis terhadap negara? Ada beberapa alasan Marx menilai terjadinya eksploitasi kelas borjuis kapitalis terhadap kelas proletar antara lain karena eksistensi negara. Negara ternyata dijadikan alat penindasan itu. Bagi kelas borjuis, negara digunakan semata-mata untuk memperkuat status-quo dan hegemoni ekonomi dan politik mereka. Kelas proletar, karena tidak menguasai alat dan mode produksi, yang merupakan sumber kekuasaan itu, tidak memiliki akses sedikit pun terhadap negara. Mereka tidak merasa memiliki negara dan terealisasi dari lembaga politik itu. Negara, dengan demikian, bagi Marx ibarat ’monster’ menakutkan.
Nasionalisme bagi Marx hanyalah bagian dari suprastruktur ideologi kapi-talis. Namun ia juga berpendapat ada sisi lain dari kapitalisme, yakni turut mem-bantu melenyapkan nasionalisme. Dalam bukunya Communist Manifesto, Marx menulis perbedaan serta pertentangn nasional menurutnya semakin hari semakin menghilang. Hal ini dikarenakan adanya perdagangan bebas, kelompok borjuis, pasar dunia, keseragaman cara produktif serta berbagai kondisi kehidupan ya-ng memiliki keterkaitan erat dengan cara produksi itu. Menurutnya melalui perspektif ekonomi, nasionalisme itu akan lenyap sebagai kecurigaan usang dari zaman industri. Williamn Ebenstain dan Edwin Fogelman, hlm. 21 (Firdaus Syam, 2007: 183).
Marx mempertentangkan civil society dengan Negara. Negara disubordinasikan oleh civil society, karena sebagai hubungan ekonomi civil society menjadi unsur penentu.
Civil society terdapat pada struktur bawah, orang banyak,buruh yang berproduksi. Bagaimana status Negara menurut Marx? Negara bukan realitas gagasan etika. Masyarakat tidak ditentukan oleh etika. Masyarakat secara histories ditentukan oleh bentuk-bentuk lembaga produksi. Negara adalah kelas dominant, bukan ungkapan kebutuhan rasional dan universal menurut Hegel. Negara menurut Marx adalah aparat kekerasan, kekerasan masyarakat yang terorganisir dan terkonsentrasi. Negara adalah intrumen kelas dominant. Negara lebih merupakan lembaga transisi, karena Negara bergerak ke arah civil society.
Penjelasan teknis bisa diabaikan saja, apalagi kalau kurang jelas. Yang penting kita kembali ke istilah “masyarakat madani”. Sebetulnya ia bukanlah padanan yang tepat untuk istilah civil society. Dalam civil society, setiap warga neraga memiliki hak yang sama dalam segala, baik soal ibadah maupun dalam aspek politik. Pendek kata dalam civil society yang digambarkan oleh Hegel dan Marx dan sebagian besar orang modern dewasa, setiap warga Negara, tidak perduli agama atau keyakinannya mempunyai hak yang sama dalam politik, bisa menjadi penguasa melalui mekanisme demokrasi.
Marx memahamkan proses sejarah sebagai rentetan konflik (antagonism) dalam wujud revolusi di antara dua kelas yang berlawanan (these melawan anti-these). Buah dari revolusi itu menghasilkan kelas baru (synthese), yang ordenya lebih tinggi dari kedua kelas (these dan anti-these) yang selesai tabrakan itu. Demikianlah proses yang dialektis itu berjalan terus. Begitu tumbuh orde sosial-ekonomi yang baru (new emerging force), maka terjadilah pula konflik dengan kelas hasil synthese tadi (old established force). Maka terjadilah pula revolusi, kekuatan baru (anti-these) melabrak kekuatan lama (these) yang berupaya mempertahankan status-quo, oleh karena jika terjadi perubahan sistem-ekonomi tentu saja akan menghapuskan supremasi kelas yang bertahan itu. Marx sama sekali menepis mengenai kemungkinan terjadinya konsiliasi ataupun kompromi dari kedua kelas itu.
Teori pertentangan kelas itu ditimba Marx dari sejarah Abad Pertengahan di Eropah (rentang waktu antara zaman Klasik dengan Renaissance, dari abad ke-5 M., hingga sekitar tahun 1500 M.). Golongan tukang pada waktu itu bertumbuh menjadi kelas saudagar dan industriawan, yang kemudian disebut kelas borjuis lalu menjadi anti-these dari kelas feodal (these) sebagai kelas penguasa. Benturan kelas borjuis dengan kelas feodal tersebut membuahkan synthese berupa kelas kapitalis. Selanjutnya tanpa didukung oleh fakta sejarah Marx berspekulasi menduga bahwa proses dialektis berlanjut terus dengan timbulnya kelas baru, yaitu kelas proletar, sebagai anti-these dari kelas kapitalis. Revolusi kelas proletar itu akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, dan inilah akhir sejarah pertentangan kelas menurut spekulasi Marx. Kemudian Marx berangan-angan lebih lanjut, yaitu masyarakat tanpa kelas ini nanti dapat berjalan tanpa negara, semua orang bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu diperlukan waktu antara yang dikendalikan oleh Diktator Proletar. Menurut Marx negara harus bubar, oleh karena negara itu tidak lain dari alat kelas atas untuk menekan kelas bawah, yaitu alat kelas feodal menekan kelas borjuis dan alat kelas kapitalis menekan kelas proletar.

Ada tiga hal yang perlu dikuliti dari pemahaman Marx tersebut.

1. pendapatnya yang menepis akan kemungkinan terjadinya kompromi diantara kelas yang baru tumbuh yang ditekan dengan kelas lama yang menekan. Pada tahun 1689 di Inggris terjadi kompromi antara golongan feodal sebagai kelas penguasa dengan kelas borjuis. Tidak seperti rekannya di daratan Eropa golongan aristokrat di Inggris mempunyai sikap keterbukaan, sehingga dapat mengakomodasikan diri untuk menerima perubahan-perubahan dalam sistem sosial-ekonomi. Maka perubahan sistem sosial-ekonomi dapat berlangsung dengan mulus tanpa tumbangnya dengan sengit kelas penguasa. Di sinilah letak kesalahan Marx, yaitu mengadakan rampatan (generalisasi) dengan hanya melihat di daratan Eropa. (Kecerobohan Marx dengan generalisasi ini tampak pula dalam pandangannya terhadap agama, bahwa agama itu candu bagi rakyat, yang insya-Allah akan dibahas tersendiri dalam sebuah nomor seri).

2. pertentangan kelas antara kaum feodal sebagai kelas penekan dengan kaum borjuis sebagai kelas yang ditekan. Apa sesungguhnya yang terjadi pada Abad Pertengahan di Eropah, kalau disimak dengan teliti, kelas borjuis bukanlah kelas yang ditekan oleh kelas feodal. Pertikaian antara kelas feodal dengan kelas borjuis bukanlah pertikaian antara kelas penekan dengan kelas yang ditekan. Karena sesungguhnya kelas yang ditekan oleh kaum feodal adalah petani yang terikat pada tanah. Kelas petani inilah kelas yang tertekan, baik oleh kelas feodal maupun oleh kelas borjuis, ibarat seekor kelinci yang dijepit dua ekor gajah yang berkelahi. Kedua ekor gajah itu adalah kelas feodal dan kelas borjuis, sedangkan sang kelinci adalah petani.

3. apakah mungkin terjadi masyarakat tanpa kelas, tanpa negara, yang berjalan seperti arloji otomatis. Masyarakat angan-angan (utopia), tanpa negara, tanpa kelas, orang bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya yang berjalan seperti arloji otomatis tidak berhasil diwujudkan oleh Diktator Proletar, dengan hancurnya Uni Sovyet. (Arloji otomatis adalah ungkapan pengasuh kolom ini saja, bukan dari Marx). Alhasil konsep Marx yang materialistik dalam menafsirkan sejarah yang menjadi paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx ditolak oleh kenyataan sejarah.Walaupun teori pertentangan kelas yang berwujud pemberontakan adalah hasil generalisasi yang ceroboh dari Marx, namun kaum komunis sudah menganggapnya doktrin yang dogmatis. Para marxist telah dua kali memberontak di Indonesia, yaitu pemberontakan komunis di Madiun yang dikendalikan dari Uni Sovyet dan pemberontakan Gestapu PKI yang dikendalikan dari RRC. Sungguh kebablasan jika ada pendapat yang ingin memberi kebebasan para kamerad itu atas nama demokrasi dan HAM untuk menyebarkan komunisme. Sebab walaupun kekuatan komunis sukar untuk memberontak kembali, namun sekurang-kurangnya merekadapat mengecoh masyarakat miskin, lagi pula mereka akan bergerak bebas menanamkan antagonisme dalam masyarakat. Kita sudah cukup dipusingi oleh peristiwa Banyuwangi, Ketapang, Kupang, Sambas, Ambon dan Maluku Utara, yang boleh jadi dicetuskan oleh orang-orang yang terpikat pada teori pertentangan kelas dari Marx. Maka pimpinan MPR tidak perlu mengagendakan peninjauan tentang Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966.

Senin, 15 November 2010

Kontribusi Friedrich Engels dalam Peletakan Dasar-Dasar Marxisme

Sponsor, Editor, Pemikir serta Aktivis Sosialis yang Orisinil:
Kontribusi Friedrich Engels dalam Peletakan Dasar-Dasar Marxisme
Oleh George J. Aditjondro
SIAPA Friedrich Engels sebenarnya? Mengapa dia mau membantu menunjang kehidupan Marx di London, selama riset untuk penulisan buku Das Kapital? Apa motivasi dia untuk membantu riset seorang pemikir dan aktivis anti-kapitalis terbesar di masa hidupnya? Lahir tanggal 28 November 1820 di Barmen, sebuah kota kecil di Lembah Wupper (Wuppertal), Engels adalah anak tertua dari seorang industrialis, pemilik kilang (tekstil? Kertas?) Ermen & Engels, yang punya pabrik di Barmen (Jerman) dan Manchester (Inggris). Wuppertal terkenal sebagai basis kaum Pietis, yang melahirkan organisasi penginjil Jerman yang bekerja menyebarkan Injil sampai di lembah-lembah Pegunungan Tengah di Tanah Papua. Pada saat yang sama, kemiskinan kaum buruh di Wuppertal menyentuh nurani Engels sejak muda. Tahun 1839, waktu baru berusia 19 tahun, Engels menerbitkan tulisan-tulisannya tentang kemiskinan di Wuppertal dalam Surat-surat dari Wuppertal,  secara bersambung dalam koran Telegraph fuer Deutschland di bawah nama samaran “X” atau “F. Oswald”. Namun keluarganya lama-lama tahu, siapa sesungguhnya penulis laporan-laporan kemiskinan itu.
“Kemiskinan yang luarbiasa terdapat di lapisan kelas bawah di Wuppertal”, tulis Engels, “di mana dari 2500 anak-anak usia sekolah di Elbertfeld saja, 1200 anak tidak bisa menikmati bangku sekolah, dan tumbuh menjadi dewasa sebagai buruh pabrik, supaya para industrialis tidak perlu membayar buruh dewasa, dan dapat membayar buruh anak-anak dengan upah separuh dari buruh dewasa”. Itu membuat dia menjadi sangat sinis terhadap para Pietis pemilik pabrik-pabrik di Wuppertal, yang berdalih bahwa buruh anak-anak itu dibayar serendah mungkin, supaya tidak menghabiskan uang mereka untuk minum-minum (Dennehy 1996: 101-2). Ini mungkin mendorong Engels menjadi atheis keras (Carver 1996: 13).
Untuk melawan ke”kiri”an putra sulungnya, yang diharapkan dapat mengambil alih kendali perusahaannya, tahun 1842 ayah Engels mengirimnya ke Manchester, Inggris, untuk magang di cabang perusahaan Ermen & Engels di sana. Namun alih-alih berhasil ‘menjinakkan’ sang pemuda, selama dua tahun di Inggris Engels justru berusaha meneliti penderitaan kaum pekerja, yang terutama di pabrik-pabrik tekstil di Manchester dan kota-kota sekelilingnya. Selain memang sudah berjiwa ‘kiri’, introduksi Engels ke kehidupan kelas pekerja di sana terfasilitasi oleh hubungannya dengan Mary (“Lizzie”) Burns, buruh perempuan keturunan Irlandia yang bekerja di perusahaan ayahnya, setibanya di Manchester. Bertahun-tahun lamanya Engels hidup bersama Mary Burns, tanpa menikah. Ia baru menikahi Mary Burns, menjelang kematian perempuan itu di ranjangnya pada tahun 1878 (Tucker 1978: xvii; Dennehy 1996: 106; Newman 2006: 33).
Sepulang ke Barmen tahun 1844, Engels mulai menulis hasil pengamatannya di Inggris, yang kemudian menjadi karya non-fiksi pertama yang menggambarkan proses terbentuknya kelas proletar di Inggris. Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman tahun 1845, baru tahun 1892,  lama sesudah Marx meninggal, buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris, dan berulangkali dicetak ulang di Britania Raya, Australia, dan AS (1969). Buku tentang sejarah terbentuknya kelas proletar di Inggris itu merupakan satu dari dua karya klasik Engels, yang ditulisnya sendiri. Karya klasiknya yang lain, yang ditulis setahun setelah Marx meninggal, adalah The Origin of the Family, Private Property and the State, in Light of the Researches of Lewis Henry Morgan, yang ditulis tahun 1884 (juga diterbitkan dalam Tucker 1978: 734-59).
Karya Engels yang menyoroti lahirnya patriarki seiring dengan munculnya kapitalisme, banyak menimba informasi dari karya antropolog  AS, Lewis H. Morgan (1818-81), Ancient Society or Researches in the Lines of Human Progress from Savagery, through Barbarism to Civilization (London, 1877), yang menggambarkan perkembangan masyarakat dari masyarakat tribal, khususnya persekutuan (konfederasi) Iroquois, ke masyarakat kapitalis masa kini, yang ditandai dengan pergeseran masyarakat dari sistem matrilinier ke patrilinier. Dalam konfederasi ini, yang aslinya bernama “Hau-De-No-Sau-Nee” (= Orang-orang dari Rumah Panjang) dan meliputi bangsa-bangsa Mohawk, Seneca, Cayuga, Oneida, Onondoga dan Tuskarora, berlaku kesetaraan gender dalam pimpinan marga, bangsa, maupun konfederasi. Wilayah konfederasi ini meliputi perbatasan AS dan Kanada sekarang. Dibantu oleh penyusunan kembali data Morgan oleh Marx, berjudul Ethnological Notebooks, Engels menulis The Origin  sebagai ‘jawaban teoretis’ terhadap kebangkitan feminisme dalam gerakan sosialis di Jerman, yang terpicu oleh buku August Bebel, seorang sosialis Jerman, berjudul Die Frau in der Vergangenheit, Gegenwart, und Zukunft (1879). Buku Engels kemudian mengilhami menantu Karl Marx, Paul Lafarge (1842-1911) untuk menulis buku The Evolution of Property from Savagery to Civilization (1890), yang juga sangat menghargai komunisme purba. Makanya, buku Engels ini, yang mencita-citakan masyarakat komunis yang bebas dari patriarki, menjadi pegangan bagi para feminis Marxis (Marx 1981: 278; Akwesasne Notes 1978; Johansen 1982; Geoghegan 1987: 58-62; Vogel 1996; Putnam-Tong 1998: 150).
Kolaborasi Engels dengan Marx
Perjalanan pergi dan pulang ke/dari Inggris mengabadikan pertemuan, persahabatan, dan kolaborasi antara Engels dan Marx selama puluhan tahun. Engels pertama kali berkenalan dengan Marx di kantor redaksi Rheinische Zeitung  di Koln, di mana Marx menjadi pemimpin redaksi. Engels waktu itu sedang dalam perjalanan menuju ke Inggris. Sewaktu berada di Inggris, Engels mengirimkan tulisan-tulisannya ke Marx, yang dimuat di Rheinische Zeitung. Sesudah Marx meletakkan jabatan di Rheinische Zeitung  dan bersama Arnold Ruge menerbitkan Deutsch-Franzosische Jahrbuecher di Paris, Engels mengirimkan tulisannya, “Outlines of a Critique of Political Economy”, kepada Marx, yang dimuat di Jahrbeucher  (Tucker 1978: xv-xvi).
Sepulang dari Manchester, sekitar tanggal 28 Agustus 1844, Engels menemui Marx di Paris, dan sejak saat itulah mereka berdua mulai bekerjasama dengan sangat akrab. Tahun 1845, keduanya menulis buku The Holy Family,  tahun 1845-46 mereka bersama-sama menulis buku The German Ideology,  bulan Februari 1848 mereka menerbitkan Communist Manifesto  di London, suatu pamflet bagi gerakan buruh yang mereka mulai bangun, dan antara 1848-49 keduanya bersama-sama mengedit koran Neue Rheinische Zeitung yang tetap diterbitkan di Koln (Tucker 1978: xv-xvi).
Engels jugalah yang mulai mengajak Marx bekerjasama membangun gerakan buruh baru, dimulai dari Communist Correspondence Committees  yang dibentuk di Brussels awal 1846, kemudian melebar ke London, Paris, Koln, dan kota-kota lain. Ini memang mudah bagi Engels, sebab selama masa magangnya di Inggris, ia sudah mulai bekerjasama dengan beberapa gerakan kiri (sosialis), yakni kelompok Chartist dan kelompok Owenite. Baru pada tahun  1864, keduanya ikut mendirikan International Working Men’s Association (IWMA), International pertama (Tucker, op. cit.; Carver 1996).
Komplementaritas keduanya terletak pada fakta, bahwa ide-ide filosofis Marx yang sangat abstrak dapat ‘dibumikan’ dengan observasi Engels yang diangkat dari kondisi konkrit kehidupan kaum proletar dan kaum borjuis yang diamati Engels secara nyata. Engels jugalah yang mengajak Marx melihat kehidupan nyata di Manchester di musim panas 1845 (Tucker 1978: xvii; Carver 1996). Seperti dikemukakan E. Wilson: “Barangkali jasa terbesar Engels bagi Marx di masa itu adalah, menempatkan wajah para proletar Marx yang abstrak dalam suatu rumah dan pabrik yang nyata” [Perhaps the most important service that Engels performed for Marx at this period was to fill the blank face and figure of Marx’s abstract proletarian and to place him in a real house and a real factory] (Dennehy 1996: 99).
Kemampuan Engels menjembatani dunia borjuis dan proletar terbantu oleh kehidupannya bersama Mary Burns. Sementara itu, kemampuan Engels menjembatani dunia filsafat dan kondisi lapangan terbantu oleh kuliah-kuliah filsafat yang diikutinya di Universitas Berlin antara tahun 1841-42, semasa dia mengikuti dinas militer di Angkatan Darat Prusia. Waktu itulah ia mengikuti diskusi-diskusi kaum Hegelian Muda, sumber inspirasi Marx muda setamat kuliah filsafatnya di Universitas Jena. Selama di Berlin, Engels membaca kritik Ludwig Feuerbach terhadap agama Kristen, The Essence of Christianity (1841). Tulisan itu, yang terbit dua bulan sebelum Marx menyerahkan disertasi doctor filsafatnya, juga mempengaruhi Marx sehingga ia menolak idealisme Hegel dan mengadopsi materialisme Feuerbach (McLellan 1972: 283;Tucker 1978: xv; Dennehy 1996: 102).
Kesimpulan
Dengan membaca biografi Engels begini tampaklah bahwa putra kapitalis Jerman itu bukan seorang dermawan yang mendukung riset Marx dengan agenda tersembunyi (agenda pro-kapitalis). Memang, ia menyunting naskah-naskah Marx untuk karya besarnya, Das Kapital, yang tidak terbengkalai setelah Marx meninggal (14 Maret 1883), 12 tahun sebelum Engels (meninggal 5 Agustus 1895). Tapi kemampuan Engels menyunting naskah-naskah itu menjadi jilid 2 dan 3 Das Kapital, disebabkan oleh konvergensi pikiran mereka berdua, yang sudah mereka sadari puluhan tahun sebelumnya.
Kendati demikian, perlu dicatat bahwa Engels punya identitas sendiri, yang ikut mempengaruhi karya mereka. Sebagai seorang industriawan, Engels lebih mahir dalam soal hitung menghitung, sementara Marx lebih melihat dinamika di antara kategori-kategori besar. Sebagai industriawan Engels juga lebih tergila-gila pada iptek, khususnya “science“, sehingga menempelkan predikat “ilmiah” kepada sosialisme Marx, untuk membedakannya dengan aliran-aliran sosialisme sebelumnya. Lalu, berbeda dengan Marx, yang lebih banyak menyoroti penderitaan buruh perempuan dari sudut hiperkes, Engels menyoroti sejarah munculnya patriarki, walaupun belum mengenal konsep tersebut secara eksplisit. 
Kendati demikian, dengan rendah hati Engels selalu mengakui bahwa kemampuan berfikir dia jauh di bawah Marx, dan menyatakan sangat bangga dapat bekerjasama dengan Marx. Namanya pun tidak tercantum dalam pikiran yang mereka kembangkan, berdua. Namun sudah saatnya orang mempelajari buah pikiran Engels sebagai Engels, dan bukan sebagai “kembaran” Marx.
Yogyakarta, 28 September 2006
Referensi
Akwesasne Notes (1978). Basic Call to Consciousness. Mohawk Nation, NY: Akwesasne Notes.
Arthur, Christopher J. (peny.) (1996). Engels Today: A Centenary Appreciation. New York: St. Martin’s Press.
Carver, Terrell (1996). “Engels and Democracy”. Dalam  Arthur, op. cit., hal. 1-28.
Dennehy, Anne (1996). “The Condition of the Working Class in England: 150 Years On.” Dalam Arthur, op. cit., hal. 95-128.
Engels, Frederick (1969). The Condition of the Working Class in England. London: Granada Publishing. Dengan Kata Pengantar dari sejarawan Eric Hobsbawn.
Geoghegan, Vincent (1987). Utopianism and Marxism. London & NY: Methuen.
Johansen, Bruce E. (1982). Forgotten Founders: Benjamin Franklin, the Iroquois and the Rationale for the American RevolutionIpswitch, Mass.: Gambit Inc.
Marx, Karl (1981). Capital. Vol. 3. London: Penguin Books & New Left Review.
McLellan, David (1972). Marx before Marxism. Middlesex, UK: Penguin Books.
Newman, Michael (2006). Sosialisme Abad 21: Jalan Alternatif atas Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book.
Putnam-Tong, Rosemarie (1998). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.  Yogyakarta: Jalasutra.
Tucker, Robert C. (peny.) (1978). The Marx-Engels Reader. Second Edition. New York: W.W. Norton & Company.
Vogel, Lise (1996). “Engels’s Origin: Legacy, Burden and Vision”. dalam  Arthur, op. cit., hal. 129-52. 

Budaya Politik: Makna dan Perwujudannya

Judul Buku      : Politik Indonesia “Transisi Menuju Demokrasi”
Pengarang       : Afan Gaffar
Penerbit           : Pustaka Pelajar
Tahun Terbit    : 1999
Bagian             : BAB 3 “Budaya Politik Indonesia”
Isi Buku          :
Budaya Politik: Makna dan Perwujudannya
a.       Budaya Politik
Awal mulanya terbentuknya konsep budaya politik berasal dari satu revolusi di Amerika Serikat setelah PD II, Behavioural Revolution. Dalam ilmu politik, Behavioural Revolution merupakan efek dari berkembangnya Madzhab Positivisme. Paham ini menjelaskan tentang gejala-gejala sosial yang berkembang di masyarakat. Selain perkembangan mazhab tersebut, adanya penelitian survei juga mempengaruhi lahirnya revolusi tersebut. Penelitian survei merupakan penelitian yang menggunakan questioner sebagai data utama. Penelitian survei menjangkau responden dalam jumlah yang besar, untuk kemudian dianalisa sehingga dapat memberikan penjelasan-penjelasan dalam memahami masalah sosial, ekonomi dan politik. Misalkan pada pemilihan Gubernur Sumatera barat baru-baru ini, banyak lembaga survei mengadakan suatu perhitungan cepat dengan menggunakan lembaran survei yang sudah dibagi ke beberapa surveyor. Kegiatan ini berguna untuk mengetahui dengan perhitungan Quick Count, siapa yang menjadi Gubernur periode saat ini.
Tokoh penting dalam teori Budaya Politik yaitu Gabriel Almond dan Sidney Veba. Menurut mereka, Budaya Politik merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik[1]. Dapat dikatakan pada sistem politik, ada suatu proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat kognitif, afektif dan evaluatif. Orientasi yang bersifat kognitif mengenai pemahaman individu mengenai sistem politik dan atribut negaranya. Orientasi yang bersifat afektif menyangkut tingkah laku/ ikatan emosional tiap individu terhadap sistem politik. Yang terakhir orientasi yang bersifat evaluatif, merupakan suatu pemberian evaluasi terhadap kinerja sistem politik tersebut dan peranan individu di dalamnya. Budaya politik yang berkembang saat ini terdiri dari tiga macam, yaitu Budaya Politik Parochial, lebih dominant orientasi yang bersifat kognitif, Budaya Politik Subjektif, lebih dominant orientasi yang bersifat afektif, dan Budaya Politik Partisipatif, dimana orientasi yang bersifat evaluatif dapat memberikan evaluasi bagi masyarakat dalam sistem politik. Menurut Almond dan Veba, budaya politik partisipatif menyangkut suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya yang menopang terwujudnya partisipasi[2].
b.      Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah proses dimana pembentukan budaya politik berasal dari satu generasi ke generasi berikut melalui berbagai media, misalkan dalam keluarga, secara langsung atau tidak, orang tua telah menanamkan nilai-nilai atau keyakinan politik kepada anak-anak nya. Dalam sebuah system dimana Negara memiliki peranan yang sangat dominant, bahkan monopolistis dalam pembentukan nilai dan norma politik, maka keyakinan dan nilai yang diyakini oleh penguasa Negarara maupun sebaliknya. Jika Negara memberikan pilhan kepada masyarakat untuk mandiri, akan terbentuk masyarakat yang memiliki tingkat kompetensi yang tinggi.
Budaya Politik Indonesia
1.        Hierarki yang Tegas
Dalam melakukan identifikasi budaya politik, dapat dilihat dari kelompok etnis yang dominan, misalkan etnik Jawa. Dari penelitian yang dilakukan oleh Claire Holt, Benedict Anderson, dan James Siegel, bahwa etnis ini mempengaruhi segala sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia. Menurut analisa dari Anderson, konsep tentang kekuasaan masyarakat Jawa pada dasarnya bersifat konkret, konstan, homogen, tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Di kebanyakan masyarakat di Indonesia adanya hierarkis/ stratifikasi social dalam akses kekuasan. Misalkan adanya pemilihan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan dengan rakyat kebanyakan. Seperti kebijakan public ……… yang diterapkan di masyarakat, segudang masalah yang terjadi akibat kebijakan tersebut hanya diformulasikan oleh pemerintah tetapi rakyat tidak diikut sertakan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
2.        Kecenderungan Patronage
Patronage merupakan interaksi yang timbal-balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimilikki oleh masing-masing pihak. Bisa diartikan adanya hubungan mutualisme antara kedua pihak dimana satu phak memiliki sumber daya melengkapi sumber daya yang dimiliki oleh pihak lain. Menurut James Scott, pola hubungan ini juga disebut pola hubungan Patron-Client[3]. Akan tetapi hubungan seperti ini dalam faktanya di lapangan, budaya politik yang cenderung patronage ini menjadi masalah di kemudiaan hari di Indonesia. Dampaknya berupa kolusi yang sudah mewabah di Indonesia dan mengakibatkan kesengsaraan masyarakat/ rakyat jelata.
3.        Kecenderungan Neo-Patrimonialistik
Menurut Afan Gaffar, kecenderungan perpolitikan Indonesia berupa lembaga politik yang bersifat Neo-Patrimonialistik, dimana Negara memiliki atribut yang bersifat moderndan rasionalistik serta memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik[4]. Negara Patrimonialistik, penyelenggaraan pemerintahan dan kekeuatan militer berada dibawah kontrol langsung pimpinan Negara. Selain itu, menurut Weber Negara Patrimonialistik memiliki karakteristik tertentu, antara lain:
  • Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki  seorang penguasa kepada teman-temannya.
  • Kebijaksanaan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik.
  • Rule of Law, merupakan sesuatu yang bersifat sekunder dibandingkan dengan kekuasaandari seorang peuasa.
  • Kalangan penguasa politik sering mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan public.
Negara yang menggunakan budaya politik Neo-Patrimonialistik dapat dilihat di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.
Sosialisasi politik : Tidak Memunculkan Civil Society
Budaya politik merupakan hasil dari satu proses pendidkan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Namun dalam fakta yang ada, proses tersebut tidak berjalan semestinya sehingga pendidikan politik tidak memberikan ruang untuk memunculkan civil society. Ada  dua alasan utama Menurut Afan Gaffar yang menjadikan pendidikan politik Indonesia seperti demikian, yaitu
1.      Di dalam masyarakat Indonesia, anak-anak tidak dididik untuk menjadi insane yang mandiri.
2.      Tingkat politisasi sebagian  sebagian terbesar masyarakat masih sangat rendah
  1. Setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan Negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak Negara, termasuk dalam hal pendidikan politik.



[1] Afan Gaffar. Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. Bab 3, Hal  99, dikutip dari G. Almond dan S. Veba pada buku The Civic Culture: Political Attitude In Fine Nations, hal 13
[2] Afan Gaffar. Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. Bab 3, Hal  101, dikutip dari G. Almond dan S. Veba pada buku The Civic Culture: Political Attitude In Fine Nations, hal 178
[3]  Afan Gaffar. Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. Bab 3, Hal  109, dikutip dari James Scott 1976
[4] Afan Gaffar. Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. Bab 3, Hal  114-115

Teori Ketergantungan

Judul Buku      : Teori Pembangunan dan Tiga Dunia
Pengarang       : Bjorn Hettne
Penerbit           : Gramedia, Pustaka Utama
Tahun Terbit    : 2001
Isi Buku          :
a.       Pendekatan ketergantungan
Pendekatan ini berawal dari perdebatan panjang di Amerika Latin mengenai masalah keterbelakangan. Pendekatan ini berisi kecaman pedas terhadap paradigm modernisasinEropa sentries, perspektif intelektual sebagai alternative yang berakar di Dunia ketiga serta berfungsi sebagai katalis dalam perkembangan teori pembangnan selanjtnya. Dalam buk ini dikatakan bahwa aliran ketergantungan berawal dari  pertemuan 2 kecenderungan intelektual utama, yaitu
·         Berlatarbelakang tradisi Marxis, dengan beberapa orientasi teorities , yaitu Marxisme klasik, marxisme Leninisme, neo Marxisme.
·         Disksi mengenai keterbelakangn di kalangan orang-orang Amerika Latin sendiri. (krisis ekonomi pada tahun 1930-an)
Menurut Dos Santos, ketergantngan merupakan situasi yang mengkondisikan, yang didalamnya ekonomi sekelompok Negara ditentkan oleh pembangunan dan perkembangan kelompol lain. Hubungan saling keterganutngan antara dua ata lebih system perekonomian menjadi hbngan ketergantngan bila beberapa Negara dapat berkembang hanya sebagai bayangan perkembangan Negara dominan, yang mngkin memiliki pengaru pada pembangunan beriktnya. Teori ketergantungan yang dijelaskan pada buku ini mengatakan bahwa teori ini melampaui ilmu ekonomi dalam payannya member penjelasan umum mengenai keterbelakangan. Posisi ketergantungan yang tipikal menekankan holism, factor eksternal, analisi sosiopolitis, kontradiksi regional, polarisasi antara yang membangun dan yang terbelakang serta peran factor subjektif dalam sejarah. Dalam aliran ketergantngan selalu memuat alur pemikiran yang berbedadan bersamaan dengan itu mengekspresikan sejumlah gagasan yang sama.

Teori Modernisasi

Judul Buku      : Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi
Pengarang       : Mansour Fakih
Penerbit           : Insist Press
Tahun Terbit    : 2009
 
Isi Buku          :
a.       Teori Modernisasi
Dalam buku karangan Mansour Faqih ini, teori modernisasi dan pembangunan dilandasi dari tiga teori sosial dan ekonomi terpenting yaitu Teori Ekonomi Klasik, Teori Evolusionisme dan Teori Fungsionalisme. Disini penulis menggunakan pemikiran W.W Rostow yang sering dianggap sebagai bapak teori pertumbuhan ekonomi untuk mendalami kajian tersebut. Sebelum membahas lebih jauh mengenai teori modernisasi, penulis tersebut  mendeskripsikan terlebih dahulu mengenai tiga teori yang menjadi landasan/ pondasi dari teori pembangunan.
1.      Teori Ekonomi Kapitalisme
Dalam kajian teori ini, penulis mengatakan sumber dan akar dari pandangan kapitalisme yakni pandangan filsafat ekonomi klasik. Beberapa tokoh yang menganut paham ini antara lain Adam Smith, Thomas Robert Malthus, Jeremy Bentham, dan lain-lain.  Dalam buku ini dikatakan ada beberapa pandangan dari pemikir ekonomi klasik yang mempengaruhi teori perubahan sosial di kemudian hari, yaitu Para pemikir ekonomi klasik percaya kepada; laissez-faire yakni kepercayaan akan kebebasan dalam bidang ekonomi yang memberi isyarat perlunya membatasi atau memberi peranan sangat minimum kepada pemerintah dalam bidang ekonomi, Ekonomi pasar yang diletakkan di atas system persaingan atau kompetisi bebas dan kompetisi sempurna, Kondisi full-employment yakni suatu kepercayaan bahwa ekonomi akan lancar dan selalu mengalami penyesuaian diri jika tanpa intervensi pemerintah, Memenuhi kepentingan individu akan berarti memenuhi kepentingan masyarakat, Menitikberatkan pada kegiatan ekonomi, khususnya industry, Hukum ekonomi berlaku secara universal, terakhir, dituliskan ekonomi klasik percaya pada hukum pasar.
2.      Teori Evolusi
Teori evaluasi merupakan warisan pengaruh zaman pencerahan khususnya yang menonjol pada zaman itu dan berdampak terhadap pemikran manusia tentang perubahan sosial. Teori ini lahir setelah revolusi industry dan revolusi prancis pada awal abad ke-19. Penulis menerangkan bahwa ada 6 asumsi dalam teori ini anatara lain, perubahan dilihat sebagai natural, dereksional, immanent, kontinyu, suatu keharusan, dan berjalan melalui sebab yang sama. Menurut Auguste Comte, teori evaluasi digambarkan dalam tiga fase penting yaitu fase theological, dimana suatu masyarakat dikuasai oleh pendeta dan diperintahkan oleh militer, fase methaphysical, didasarkan kepada pemikran filosofis manusia, fase scientific atau positive, memahami hukum alam dan eksperimentasi ilmiah.
3.      Teori Fungsionalisme
Teori ini muncul pertama kali pada tahun 1930an sebagai kritik terhadap teori evolusi. Teori fungsionalisme dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parson. Dalam buku ini dikatakan bahwa masyarakat di pandang sebagai suatu system yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan. Bagi penganut teori ini, masyarakat berubah, tetapi perubahan dalam satu bagian akan diikuti dengan perubahan bagian lainnya.

Teori Modernisasi
Teori modernisasi lahir pada tahun 1950-an di Amerika Serikat dan merupakan respons kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Teori modernisasi dan pembangunan pada dasarnya merupakan sebuah gagasan tentang perubahan sosial namun perjalanan waktu telah berubah menjadi sebuah ideology. Menurut buku ini, perkembangan ini akibat dari dukungan dana dan politik yang besar dari pemerintah, organisasi, mapun perusahaan swasta. Modernisasi sebagai gerakan sosial mempunyai beberapa sifat, antara lain revolusioner, kompleks, sistematik, homogenisasi, dan progresif. Di bagian awal dikatakan bahwa tokoh bapak teori ini, yaitu WW Rostow. Teori Rostow tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan sebuah versi dari teori modernisasi dan pembangunan, suatu teori yang meyakini bahwa factor manusia menjadi factor utama perhatiaan mereka. Teori pertumbuhan merupakan metafora pertumbuhan, tumbuh sebagai organism. Pandangan Rostow tentang teori perubahan sosial yang diuraikan dalam bukunya yang berjudul “The Stage of Economic Growth” dikatakan ada 5 tahapan pembangunan ekonomi, yaitu,
a.       Tahap masyarakat tradisional
b.      Tahap masyarakat Prakondisi tinggal landas
c.       Tahap masyarakat tinggal landas
d.      Tahap masyarakat pematangan pertumbuhan
e.       Tahap masyarakat konsumsi masa tinggi
Untuk menjadikan masyarakat pada tahap kelima ini, Rostow mengajukan persyaratan utamanya yakni ketersediaan modal bisa melalui lembaga-lembaga keuangan atau obligasi pemerintah atau penarikan investasi modal asing.


Antonio Gramsci - seorang Revolusioner Italia.

Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891, di kota Ales, pulau Sardinia.
Enam tahun kemudian, ayahnya dicopot dari posisinya sebagai pegawai dan dijebloskan di penjara karena dituduh korupsi, sehingga Antonio bersama ibunya harus perpindah ke kota lain dan hidup mereka menjadi agak sulit. Selama masih anak, dia jatuh dan menjadi cacat, dan seumur hidup dia kurang sehat.
Sewaktu mahasiswa di Cagliari dia menemui golongan buruh dan kelompok sosialis untuk pertama kalinya. Tahun 1911 dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Turino. Kebetulan sekali Palmiro Togliatti, yang kelak menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Italia (PCI), mendapatkan beasiswa yang sama. Di Universitas tersebut Gramsci juga berkenalan dengan Angelo Tasca dan sejumlah mahasiswa lainnya yang kemudian berperan besar dalam gerakan sosialis dan komunis di Italia.
Pada tahun 1915 Gramsci mulai bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan. Komentar-komentarnya di koran "Avanti" dibaca oleh masyarakat luas dan sangat berpengaruh. Dia sering tampil berbicara di lingkar-lingkar studi para buruh dengan topik yang beraneka-ragam seperti sastra Perancis, sejarah revolusioner dan karya Karl Marx. Dalam Perang Dunia I, Gramsci tidak seteguh Lenin atau Trotsky dalam melawan perang tersebut, namun pada hakekatnya orientasinya adalah untuk mebelokkan sentimen rakyat ke arah revolusioner.
Aktivis dan intelektual muda ini sangat terkesan oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Seuasai Perang Dunia Gramsci ikut mendirikan koran mingguan "Ordine Nuovo" yang memainkan peranan luar biasa dalam perjuangan kelas buruh di kota Torino. Saat itu kaum buruh sedang berjuang secara sangat militan serta membangun dewan-dewan demokratis di pabrik-pabrik. Gramsci beranggapan bahwa dewan-dewan itu memiliki potensi untuk menjada lembaga revolusioner semacam "soviet-soviet" di Rusia.
Sehubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh, Gramsci memihak minoritas komunis dalam PSI. Partai Komunis yang muncul waktu itu merupakan pecahan dari PSI, dan Gramsci menjadi anggota Komite Pusat partai tersebut. Selama 18 bulan (tahun 1922-23) dia merantau di Moskow. Tahun 1924 dia terpilih menjadi anggota parlemen.
Pada tanggal 8 Nopember 1926 Gramsci tertangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah fasis Mussolini. Jaksa menegaskan bahwa: "Kita harus menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun." Sejak saat itu selama 10 tahun dia meringkuk di penjara, dengan sangat menderita karena keadaan fisiknya yang kurang sehat. Namun bertentangan dengan harapan si jaksa fasis itu, masa sulit ini akan menjadi kesempatan untuk Gramsci menulis karya Marxis tentang masalah-masalah politik, sejarah dan filsafat yang luar biasa berbobot, dan yang terbit setelah Perang Dunia II dengan judul "Buku-buku Catatan dari Penjara" (Prison Notebooks).
Sayangnya, rumusan-rumusan dalam buku ini terkadang sulit ditafsirkan, karena Gramsci harus memakai bahasa yang tidak langsung, bahkan memakai kata-kata sandi yang dapat diartikan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, buku tersebut pernah diinterpretasikan sebagai karya non-Leninis bahkan anti-Leninis. Pemikiran Gramsci didistorsikan oleh kepemimpinan stalinis dari Partai Komunis untuk membenarkan strategi parlementer mereka, dengan argumentasi bahwa Gramsci mempunyai sebuah strategi yang beranjak dari sudut pandangan kelas buruh dan diktatur proletariat menuju suatu orientasi lebih "kaya" dan lebih "luas". Kemudian argumentasi yang sama digunakan bermacam-macam partai dan kelompok reformis di seluruh dunia, yang suka mempertentangkan Gramsci dengan Lenin. Argumentasi ini adalah salah.
*****
Sudah pada tahun 1918 Gramsci menggambarkan para politisi reformis sebagai "sekawan lalat yang mencari semangkok poding" dan setahun kemudian menegaskan: "kami tetap yakin, negara sosialis tidak bisa terwujud dalam lembaga-lembaga aparatur negara kapitalis … negara sosialis harus merupakan suatu penciptaan baru."
Ini sebabnya dia berpisah dengan Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Komunis. Meskipun dia masuk parlemen sebagai taktik, pendapat Gramsci ini sama sekali tidak berubah seumur hidupnya.
Tulisannya terakhir sebelum masuk penjara adalah Tesis-Tesis untuk Konferensi Partai Komunis di Lyons pada tahun 1926. Di sini cukup jelas bahwa Gramsci tetap menganut jalan revolusioner, melalui pemberontakan bersenjata kaum buruh. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dalam perjuangan historis tahun 1919-20, dengan menyatakan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena "kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala insureksi mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar… malah sebaliknya kelas buruh terpengaruhi oleh kelas-kelas sosial lainnya, sehingga kegiatannya terlumpuhkan." Tugas Partai Komunis adalah mengajak kaum buruh untuk "insureksi melawan negara borjuis serta perjuangan untuk diktatur proletariat".
Sudah sejak awal, Gramsci melihat proletariat sebagai faktor kunci dalam revolusi sosialis. Itu sebabnya dia terlibat dalam dewan-dewan pabrik di Torino pada tahun 1919-20. Fokus ini marak pula dalam Tesis-Tesis Lyons. Organisasi partai "harus dibangun berdasarkan proses produksi, maka harus berdasarkan tempat kerja", karena partai harus mampu memimpin gerakan massa kelas buruh, "yang disatukan secara alamiah oleh perkembangan sistem kapitalisme sesuai dengan proses produksi." Partai itu harus juga menyambut unsur-unsur dari golongan sosial lainnya, tetapi "kita harus menolak, sebagai kontra-revolusioner, setiap konsep yang membuat partai itu menjadi sebuah 'sintesis' dari pelbagai unsur yang beraneka-ragam".
Tetapi bukankah Gramsci telah mengembangkan sebuah analisis sosial tentang masyarakat kapitalis di barat yang lebih canggih dan halus dibandingkan teori-teori Lenin? Memang begitu. Seperti Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci lebih mengerti seluk-beluk dunia politik dan perjuangan sosial di Eropa Barat, sedangkan Lenin selalu berfokus pada perkembangan-perkembangan di Rusia, sehingga kita dapat banyak belajar dari tulisan-tulisan Gramsci.
*****
Namun kaum Stalinisis dan reformis menjungkirbalikkan hal ini pula. Mereka memusatkan perhatian pada sebuah kiasan yang dilakukan Gramsci antara strategi revolusioner dan militer.
Dalam "Buku-buku Catatan dari Penjara" dia membedakan antara dua macam perang: "perang manuver" yang melibatkan pergerakan maju atau mundur yang cepat; dan "perang posisi", sebuah perjuangan panjang di mana kedua belah pihak bergerak secara pelan-pelan, seperti di dalam parit-parit perlindungan selama Perang Dunia I. Rumusan-rumusan ini diartikan para Stalinis dan reformis sebagai berikut: pemberontakan Oktober 1917 di Rusia adalah perang manuver, yang memang diperlukan dalam kondisi-kondisi primitif di sana; tetapi kondisi-kondisi di Eropa Barat sudah lebih matang dan kompleks, sehingga diperlukan sebuah strategi "perang posisi" -- baca strategi parlementer dan perubahan gradual.
Semua ini omong kosong. Kedua strategi itu bukan bertentangan melainkan komplementer. Di Rusia antara tahun 1905 dan 1917, kaum Bolshevik juga melakukan "perang posisi", dan pendekatan yang sama dianjurkan mereka bagi partai-partai Komunis muda pada tahun 1921, dalam bentuk "front persatuan". Atau jika kita mau mengambil contoh Indonesia, para aktivis demokrasi telah menjalankan sebuah perang posisi selama bertahun-tahun, tetapi begitu krismon meletus dan rezim Suharto mulai bergoyang, mereka harus melakukan intervensi-intervensi radikal, sampai akhirnya kaum mahasiswa menduduki gedung DPR. Dan di barat sebuah "perang posisi" juga dibutuhkan sampai terjadinya krisis revolusioner; tapi begitu krisis itu meledak, kita harus beralih ke "perang manuver".
Rumusan-rumusan Gramsci tentang "perang posisi" bersangkutan dengan teorinya tentang mekanisme-mekanisme kekuasaan ideologis dalam masyarakat kapitalis. Kaum penguasa tidak hanya berkuasa melalui alat-alat represif (polisi, tentara, pengadilan). Sebenarnya alat-alat itu hanya bergerak dalam keadaan luar biasa, seperti kriminalitas, kerusuhan, demonstrasi atau pemberontakan. Sedangkan seorang buruh biasanya masuk tempat kerja saban hari, menurut undang-undang yang ada, bahkan sering menghormati kaum penguasa … kurang-lebih tanpa paksaan langsung. Dia dipaksa oleh kebutuhan ekonomis, tetapi juga menerima ide-ide mendasar dari tatanan sosial yang ada, sehingga mematuhi undang-undangnya secara "sukarela".
Gramsci mengembangkan sebuah analisis yang canggih tentang mekanisme-mekanisme "hegemonis" ini, yang memang lebih halus dan efektif di negeri-negeri maju. Sehingga "perang posisi" bisa saja berjalan selama bertahun-tahun. Tapi ada juga mekanisme-mekanisme hegemonis di Indonesia dan negeri dunia ketiga lainnya; bukankah para aktivis kiri sering mengeluh tentang "kesadaran palsu" massa rakyat Indonesia? Sehingga di sini pula, perbedaan antara negeri-negeri maju dan dunia ketiga bukan sesuatu yang mutlak melainkan relatif saja.
Jaksa fasis yang ingin "menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun" telah gagal. Pemikiran Gramsci masih hidup dan berkembang. Namun pemikiran itu tidak boleh disalahartikan: Antonio Gramsci bukanlah seorang reformis melainkan seorang revolusioner.

Matahari Marhaenisme!

Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 2—3.

Oleh Soekarno
Apakah Marhaenisme itu?

Sebagian orang mengira bahwa kaum Marhaen ialah kaum proletar. Itu tidak benar. Sebab, apakah yang dinamakan “proletar” itu? Di dalam kamus Politik F.R. (Fikiran Ra'jat-ed) nomor percontohan istilah ini telah kita jelaskan dengan singkat. Proletar ialah orang yang dengan menjual tenaganya “membuat” sesuatu “barang” untuk orang lain (majikannya), sedang ia tidak ikut memiliki alat-alat pembuatan “barang” itu. Ia tidak ikut memiliki produktie-middlen. Seorang letterzetter adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang letter-letter yang ia zet itu bukan miliknya. Seorang masinis adalah seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang lokomotif yang ia jalankan bukan miliknya. Seorang insinyur yang masuk kerja pada orang lain adalah juga seorang proletar, karena ia menjual tenaganya, sedang kantor atau besi-besi atau semen yang ia usahakan itu bukan miliknya. Insinyur ini biasanya disebutkan “proletar intelektual”.

Dus terang sekali, bahwa istilah proletar itu—buat gampangnya uraian kita—berarti “kaum buruh”. Di Eropa sudah selayaknya ada proletarisme, itu faham yang memihak kaum proletar. Sebab di semua kota-kota ada banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik, yang beribu-ribu kaum buruhnya. Kota-kota itu penuh dengan puluhan, ratusan kaum proletar. Juga di luar kota-kota di Eropa banyak kaum proletar. Di bidang pertanian di Eopa sudah sejak lama timbul landbouw-kapitalisme, yakni kapitalisme pertanian. Banyak sekali “kaum buruh tani” yang bekerja pada kapitalisme pertanian itu.

Bagaimanakah keadaan di sini. Di kota-kota sudah banyak kaum proletar. Di lapangan pertanian sudah ada kaum proletar, misalnya yang bekerja pada pabrik gula, pabrik teh, atau pada beberapa bangsa sendiri yang menjadi tani-besar. Tetapi jutaan kaum tani, walaupun kemelaratannya melewati batas, bukan kaum proletar, yakni bercocoktanam sendiri. Memang faham proletar, sebagaimana dijelaskan dalam kamus Politik nomor percontohan, tidak tergantung pada kemelaratannya atau kemampuan. Jutaan kaum tani masih “merdeka”. Mereka bukan kaum buruh, karena memang tidak berburuh pada siapa pun.

Sehingga, jika kita memakai faham proletarisme, faham itu tidak mengenai semua kaum yang tertindas. Karena itu kita membuat istilah baru: istilah Marhaen. Marhaen adalah istilah politik. Ia meliputi semua kaum yang melarat di Indonesia: baik yang proletar maupun yang bukan proletar, yakni yang buruh maupun yang bukan buruh. Kaum tani melarat yang masih “merdeka” itu, juga termasuk dalam istilah ini.

Sekarang, apakah arti istilah Marhaenisme? Marhaenisme berarti: faham nasionalisme Indonesia yang memihak kepada Marhaen. Siapa saja nasionalis Indonesia yang berpihak pada Marhaen, adalah seorang Marhaenis. Baik orang Marhaen sendiri maupun intelektual, yang memihak pada Marhaen adalah Marhaenis. Misalnya kaum Marhaen yang masuk Sarekat Hedjo, yang oleh karenanya memihak pada kaum sana (penjajah Belanda-ed), adalah bukan Marhaenis. Kewajiban kita membuat mereka menjadi kaum Marhaenis.

Yang menjadi cap Marhaenis ialah fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya. Bukan harus sengaja memakai pakaian yang koyak-koyak jika bisa memakai pakaian yang pantas, atau sengaja memakai sepatu yang jebol jika memiliki sepatu yang baru, atau sengaja memakan daun pisang jika memiliki pisang—tetapi fahamnya, sikap pendiriannya, asasnya yang menjadi ukuran. Sebab, sekali lagi: pakaian yang koyak-koyak belum tentu menutupi jiwa yang Marhaenis. Lid Sarekat Hedjo pun banyak yang pakaiannya koyak-koyak.

Sekarang faham dan asas Marhaenisme itu makin menjalar: matahari Marhaenisme makin menyingsing. Hiduplah Marhaenisme!

Lain kali kita kupas lebih jauh faham Marhaenisme ini; dan kita akan bandingkan juga Marhaenisme dengan Radikalisme.
  

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Implementasi Kebijakan
            Dalam pengertian yang luas implementasi kebijakan merupakan tahap dari proses kebijakan segara setelah penetapan undang-undang. Implementasi mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Disisi lain, implementasi merupakan fenomena yang kompleks yang mingkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome). Pelaksanaan kebijakan merupakan suatu kegiatan untuk menimbulkan hasil (output), dampak (outcomes), dan manfaat (benefit), serta dampak (impacts) yang dapat dinikmati oleh kelompok sasaran (target groups).
            Kamus Webster dalam Wahab merumuskan implementasi berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu; menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu.[1] Implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan suatu proses (biasanya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dll).
            Menurut Ripley dan Franklin, implementasi adalah apa yang terjadi sesudah undang-undang di tetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menuju pada sejumlah kebijakan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil yang diinginkan oleh pejabat pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh berbagai aktor yang dimaksudkan untuk membuat program berjalan.[2]
            Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier menjelaskan implemetansi yaitu memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program di nyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan focus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman, kebijakan negara, yang menyangkut baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Berdasarkan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan sesunggunhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dn sosial secara langsung ataupun tidak, mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak.    
            Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:
  1. tahapan pengesahan peraturan perundangan;
  2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana;
  3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan;
  4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak;
  5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana;
  6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.
Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
  1. penyiapan sumber daya, unit dan metode;
  2. penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan;
  3. penyediaan layanan, pembayaran, manfaat dan hal lain secara rutin.

            Aktivitas penorganisasian (Organivation) merupakan suatu upaya untuk menetapkan dan menanta kembali sumber daya (units), dan metode-metode (methods) yang mengarah pada upaya mewujudkan atau merealisasikan kebijakan menjadi hasil (outcomes) sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Aktivitas interprestasi (penjelasan) merupakan subtansi dari suatu kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah dipahami. Aktivitas aplikasi merupakan aktivitas penyediaan layanan secara rutin sesuai dengan tujuan dan sarana kebijakan yang ada.
            Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah kebijakan:
  1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau tindakan yang lebih bersifat manajerial dan operasional. Kebijakan abstrak biasanya tertuang dalam bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan manajerial biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari kebijakan abstrak ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi dan sosialisasi kebijakan tersebut – baik yang berbentuk abstrak maupun operasional – kepada para pemangku kepentingan.
  2. Tahapan pengorganisasian. Kegiatan pertama tahap ini adalah penentuan pelaksana kebijakan (policy implementor) – yang setidaknya dapat diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM). Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah (APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya – penetapan manajemen pelaksana kebijakan – diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.
  3. Tahapan implikasi. Tindakan dalam tahap ini adalah perwujudan masing-masing tahapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

2.2 Model-Model Implementasi Kebijakan
            Dalam analisis kebijakan negara telah banyak dikembangkan model-model yang membahas tentang implementasi kebijakan namun disini kelompok kami mengambil beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi pelbagai pemikiran maupun tulisan para ahli. Diambil sumber dari buku Solichin Abdul Wahab.
a.      Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn
Model mereka ini sering disebut oleh para ahli sebagai model Top Down Approach. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna diperlukan beberapa persyaratan antara lain:

1.    Kondisi Eksternal yang Dihadapi oleh Badan/Instansi Pelaksana Tidak Akan Menimbulkan Gangguan atau Kendala yang Serius
        Beberapa kendala atau hambatan pada saat implementasi kebijakan sering kali berada diluar kendali para implementor, sebab hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambata-hambatan tersebut diantaranya bersifat fisik, misalkan program oertanian di suatu masalah terbengkalai atau bersifat politis diartikan kebijakan maupun tundakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima atau disepakati oleh pelbagai pihak yang kepentingannya terkait yang memiliki kekuasaan untuk membatalkannya. Yang mungkin dilakukan oleh implementor ialah mengingatkan kemungkinan-kemungkinan perlu dipikirkan matang-matang dalam merumuskan kebijakan.
2.    Untuk Pelaksanaan Program tersedia Waktu dan Sumber-Sumber yang cukup Memadai
               Kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Ada alasan tertentu antara lain terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya, para politisi kadang kala hanya peduli dengan pencapaian tujuan namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan atau pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber tidak memadai.
3.    Perpaduan Sumber-sumber yang Diperlukan Benar-Benar Tersedia
               Persyaratan ketiga ini diartikan bahwa disatu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperlukan dan dilain pihak, setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus dengan benar dapat disediakan. DAlam praktejnya sering kali terdapat hambatan serius misalkan, perpaduan antara dana, tenaga kerja, tanah, peralatan dan bahan-bahan bangunan yang diperlukan untuk membangun proyek dapat dipersiapkan secara serentak, namun ternyata salah satu dari berbagai sumber tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaan sehingga proyek tersebut tertunda pelaksanaannya dan penyelesaiaannya dalam beberapa bulan.


4.    Kebijakan yang akan Di Implementasikan Didasari oleh Suatu Hubungan Kausalitas yang Andal
               Kebijaksanaan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijaksanaan itu sendiri memang tidak baik.
5.    Hubungan Kausalitas Bersifat Langsung dan Hanya Sedikit Mata Rantai Penghubungnya
               Semakin banyak penghubung dalam mata rantai semakin besar pula resiko bahwa beberapa di antaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
6.    Hubungan Saling Ketergantungan Harus Kecil
               Implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen tehadap setiap tahapan diantara sejumlah besar aktor pelaku yang terlibat.
7.    Pemahaman yang Mendalam dan Kesepakatan Terhadap Tujuan
               Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai kesepakatan tehadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang penting keadaan ini harus dipertahankan selama proses implementasi
8.    Tugas-tugas Diperinci dan Ditempatkan dalam Urutan yang Tepat
               Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati masih dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat yang dilaksanakan oleh pihak yang terlibat. Juga diperlukan adanya ruang yang cukup bagi kebebasan bertindak dan melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat.
9.    Komunikasi dan Koordinasi yang Sempurna
               Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi sempurna diantara pelbagai unsure atau badan yang telibat dalam program.
10.    Pihak-Pihak yang Memiliki Wewenang Kekuasaan dapat Menuntut dan Mendapatkan Kepatuhan yang Sempurna
               Menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi ketundukan penuh dan tidak ada penolakan terhadap perintah/komando dari siapapun dalam sistem administrasi itu.

b.      Model yang Dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai A Model of the Policy Implementation Process (Model Proses Implementasi Kebijakan)
Teori beranjak dari suatu argument bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan akan dilaksanakan. Selanjutnya meraka menawarkansuatu pendekatan yang mencoba utuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan pestasi kerja. atas dasar pandangan kedua ahli kemudian berusaha membuat tipologi kebijakan menurut:
·         jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan,
·         jangakauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Hal lain yang dikemukakan ahli diatas ialah bahwa jalan yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variable bebas(independent variable) yang saling berkaitan.
Variabel-variabel bebas itu ialah:
§  ukuran dan tujuan kebijakan
§  sumber-sumber kebijakan
§  ciri-ciri atau sifat badan/instasi pelaksana
§  komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan
§  sikap para pelaksana,dan
§  lingkungan ekonomi,sosialdan politik

c.       Model yang dikembangkan Daniel Mazmania dan Paul A.Sabatiar, yang Disebut Dengan KerangkaAnalisis Implementasi.
Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifkasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori besar yaitu :
1.      mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.
2.      kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya,dan
3.      pengaruh langsung pelbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
             George C. Edward III mengajukan empat faktor atau variable yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Faktor atau variable ini adalah:
1.      Faktor Komunikasi (communication)
Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Komunikasi kebijakan merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors).
Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi yaitu, dimensi transformasi (transmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi (consistency). Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan, tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak yang lain yang berkepentingan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup dan pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta subtansi dari kebijakan punlik tersebut.
2.      Sumber Daya (resources)
Faktor sumber daya juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Sumber daya sebagaimana telah disebutkan meliputi sumber daya manusia, sumber daya keuangan, dan sumber daya peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan.
a.       sumber daya manusia
Salah satu variable yang memengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan.
b.      sumber daya anggaran
Dana atau anggaran diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan.
c.       sumber daya peralatan
Merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.
d.      sumber daya infomasi dan kewenangan
Merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Terutama informasi yang relevan dan cukup tentang cara bagaimana mengimplemantasikan suatu kebijakan.
3.      Disposisi (disposition)
Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana para pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat terhadap keijakan yang sedang di implementasikan.
Disposisi ini merupkan kemauan, keinginan, dan keenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga kebijakan tadi terjadi dapat tercapai. Terdapat tiga macam elemen respons yang dapat mempengaruhi keinginan dan kemauan untuk melaksanakan kebijakan, antara lain pengetahuan, pemahaman, dan pendalaman, arah respon apakah menerima, netral, atau menolak, instensitas tehadap kebijakan.
4.      Struktur Birokrasi (bureaucratic structure)
 Implementasi kebijakan masih belum efektif karena adanya ketidak efisien struktur birokrasi. Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasi yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang kebijakanny. Dimensi ini menegaskan bahwa struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi. Dengan kata lain, organisasi yang terfragmentasi akan menjadi distorsi dalam pelaksanaan kebijakan.
Keberhasilan implementasi kebijakan yang kompleks, perlu adanya kerjasama yang baik dari banyak orang. Oleh karena itu, fragmentasi organisasi dapat merintangi koordinasi yang diperlukan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan yang kompleks dan dapat memboroskan sumber-sumber langka.
Faktor tujuan dan sasaran, komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi sebagaimana telah disebutkan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu implementasi kebijakan publik. Struktur birokrasi merupakan variable kedua yang menentukan berhasil tidaknya pelaksanaan kebijakan.
Sedangkan menurut teori Marilee S. Grindle implementasi dipengaruhi oleh dua variable besar, yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasarn atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh, masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program air bersih atau perlistrikan daripada menerima program kredit seperti motor; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. 
Sedangkan variable lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang teribat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
Menurut Meter dan Horn, ada lima variable yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni; (1) standard an sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, ada empat kelompok variable yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yaitu: (1) kondisi lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumberdaya organisasi untuk implementasi program; (4) karekteristik dan kemampuan agen pelaksana.
Menurut David L. Weimer dan Vining membagi ada tiga kelompok variable besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program,yaitu: (1) logika kebijakan; (2) lingkungan tempat kebijakan dioperasikan; (3) kemampuan implementor kebijakan. Logika dari suatu kebijakan dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat dukungan teoritis. Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam, dan fisik atau geografis.


[1] Solichin Abdul Wahab, 2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Malang: UMM Press
[2] Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin, Illiois: The Dorsey Press,hal 4.