Selasa, 18 Januari 2011

paper william n dunn " kasus Bantuan Tunai Langsung"

BAB I
Latar Belakang Masalah

A. Deskripsi Situasi Masalah.
Keputusan menaikkan harga BBM dalam negeri diambil karena biaya subsidi BBM dalam negeri meningkat sangat pesat yang diakibatkan oleh naiknya harga minyak mentah dunia. Dampak kenaikan harga BBM dalam negeri dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Krisis ekonomi ini membuat daya beli masyarakat, terutama mereka yang berada di dekat garis kemiskinan, menjadi amat rentan.
Kemiskinan,ternyata bukan sekedar sebuah kata benda atau kata sifat. Kemiskinan telah hadir dalam realitas kehidupan manusia dengan bentuk dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan telah menjadi sebuah persoalan kehidupan manusia. Sebagai sebuah persoalan kehidupan manusia, maka kemiskinan telah hadir juga dalam berbagai analisis dan kajian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai wujud nyata dari upaya memberi jawab kepada persoalan kemiskinan. Bahkan tidak hanya sebatas itu, kemiskinan juga telah hadir dalam sejumlah kebijakan baik oleh elemen elemen sosial masyarakat maupun pemerintah dalam menunjukkan kepedulian bersama untuk menangani persoalan kemiskinan ini.
Namun demikian, pemerintah bertekad untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat yang berpenghasilan rendah terutama masyarakat miskin melalui program kompensasi, salah satunya adalah program kompensasi jangka pendek yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT). Besarnya BLT yang diberikan adalah Rp 100.000 per bulan per Rumah Tangga Sasaran (RTS). Bentuk uang tunai diberikan untuk mencegah turunnya daya beli masyarakat miskin yang disebabkan oleh naiknya harga BBM. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, program BLT masih dianggap belum efektif. Masih banyak terdapat permasalahan dalam perencanaan maupun distribusinya. Sehingga program BLT yang semula diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat miskin, malah menjadi suatu program yang tidak pro terhadap masyarakat miskin.

B. Hasil Sebelum Usaha Pemecahan Masalah
Secara operasional perundang-undangan sebagai dasar pijak pelaksanaan program BLT adalah sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya memuat target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dimana target tersebut dianggap tercapai jika daya beli penduduk terus ditingkatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. Wujud nyata dari orientasi RPJM ini dan didorong oleh membengkaknya subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) akibat dari meningkatnya harga minyak mentah di pasar Internasional, yang tentu pula mempengaruhi harga BMM dalam negeri sejak awal Maret 2005, kemudian mempengaruhi juga kenaikkan harga barang-barang pokok sehari-hari (Sembako), yang pada gilirannya memperlemah daya beli masyarakat, maka lahirlah Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 12 Tahun 2005, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin”, yang dikeluarkan pada tanggal 10 September 2005. Dimana pembahasan lebih lanjut pada taraf pelaksanaannya melalui Rapat koordinasi (Rakor) tingkat Menteri pada tanggal 16 September 2005, yang memandang bahwa pelaksanaan BLT sudah siap dilaksanakan, maka berlangsunglah program ini pada bulan Oktober 2005.
Program BLT yang dilaksanakan dianggap oleh beberapa pihak tidak banyak membantu masyarakat miskin. Tidak banyak yang bisa dibeli dengan uang Rp 100.000, karena biaya transport naik, harga kebutuhan pokok dan lainnya juga pasti naik. BLT diberikan untuk masyarakat yang benar-benar tidak mampu, masyarakat yang untuk makan sehari-hari pun sulit, dan kalau ke mana-mana bahkan tidak berani naik kendaraan umum karena memang tidak punya uang. Program ini dijalankan untuk masyarakat yang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan.
Pada kenyataannya, distribusi BLT tidak tepat sasaran. Dalam proses penyaluran dana BLT terdapat ketidaklancaran dan terjadi banyak kericuhan. Masyarakat yang benar-benar pantas untuk mendapatkannya menjadi tidak kebagian karena tidak terdata pada saat dilakukan sensus pada rumah tangga sasaran. Sebaliknya, masyarakat yang tergolong ke dalam ekonomi menengah masuk kepada rumah tangga sasaran dan dapat menikmati dana BLT. Selain itu, juga terdapat pemotongan dana BLT yang dilakukan atas dasar alasan yang tidak jelas. Hal tersebut akan berdampak pada kehidupan masyarakat miskin yang semakin miskin.

































BAB II
Lingkup dan Ragam Masalah

A. Penilaian Kinerja Kebijakan Masa Lalu
Pola kebijakan pemerintahan mengenai BLT seperti yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kurun waktu 2004-2009, yang mengedepankan upaya peningkatan daya beli masyarakat sebagai tujuan menjawab problem kemiskinan di Indonesia, yang kemudian melahirkan program BLT adalah sebuah pendekatan pemecahan problem kemiskinan yang sangat parsial, dan karena itu hanya mempersempit sebuah problem kemiskinan yang sebenarnya sangat luas jangkauannya.
Masyarakat menilai pemerintah tidak serius untuk mengatasi masalah kemiskinan di Negara ini. Banyak yang menilai bahwa BLT bukanlah solusi terbaik untuk meringankan beban masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Pemerintah diminta untuk tidak meluncurkan bantuan tersebut tetapi menunda penetapan kenaikan harga BBM. Pihak lain memandang bahwa sebaiknya pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk program-program padat karya karena BLT dapat membuat masyarakat menjadi malas. Pemerintah dinilai kurang matang mengambil suatu keputusan, yang pada akhirnya program tersebut tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan dari program tersebut tidak tercapai tepat pada waktunya.
Masyarakat tidak hanya kontra terhadap program BLT, terdapat juga masyarakat yang mendukung terlaksananya program BLT ini. Pihak yang pro dengan kebijakan pemerintah ini memandang bahwa pemerintah memang harus membantu masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setelah kenaikan harga BBM. Dan ada juga pihak yang melihat bahwa program BLT ini merupakan bantuan pada masa transisi yang bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat disaat kondisi perekonomian negara mengalami keterpurukan.
Fakta dari BLT yakni Pertama, karena dianggap tidak melakukan kegiatan pendataan secara baik dan akurat, yang pada gilirannya menyebabkan penyaluran BLT tidak mencapai sasaran, maka di desa Kaligangsa Wetan, kecamatan Kaligangsa, kabupaten Brebes, massa yang tergabung dalam kelompok warga miskin yang tidak terdaftar dalam pendataan PCL (Pencacah lapangan), akhirnya melakukan perusakan kantor kepala desa setempat berikut alat dan prasarana kantor. Di beberapa daerah lain, juga terjadi aksi yang sama; seperti di Ambon, warga pengungsi pasca rusuh yang tidak didaftarkan sebagai penerima BLT kemudian mengancam para PCL, dan bahkan sampai ke Walikota. Di Makasar, para PCL didamprat dan diamuk oleh warga. Salah satu pengalaman pahit yang dialami oleh Asriani (28) seorang PCL di RT XIV kelurahan Gunungsari, diancam oleh warga yang namanya tidak disetujui oleh pemerintah pusat.
Kedua, sebagai akibat dari sering menerima ancaman dan amarah masyarakat miskin yang tidak terdaftar, akhirnya ada banyak tenaga PCL lalu mengundurkan diri. Hal mana dialami oleh pemerintah provinsi Jawa Barat dalam menangani kegiatan verifikasi data susulan keluarga miskin (gakin), yang dirasa sangat sulit akibat dari banyaknya petugas lapangan yang mengundurkan diri. Akibatnya kegiatan verifikasi belum dapat dilaksanakan.
Ketiga, selain aksi-aksi kekerasan, tampil juga aksi-aksi damai seperti yang dilakukan oleh Jaringan Rakyat Miskin pada tanggal 18 Nopember 2005 di sekitar istana Negara, dalam bentuk doa massal untuk korban BLT dengan membaca Yasin dan Tahlil. Di Tasikmalaya, puluhan mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar aksi damai menolak program BLT di depan Masjid Agung Tasikmalaya pada Senin 21 Nopmber 2005. Di Purwokerto, belasan kepal desa di kabupaten Banyumas Jawa Tengah, menolak bantuan BLT dan disampaikan secara lisan maupun tertulis kepada Bupati dan DPRD Banyumas.
Keempat, reaksi dari aparat pemerintah sendiri yang kritis melihat kebijakan BLT ini. Misalnya Ketua DPR RI Agung Laksono, dalam pidato pembukaan rapat Paripurna DPR masa persidangan kedua 2005-2006 di gedung DPR, Senin 24 Oktober 2005 menegaskan bahwa:
“Subsidi Langsung Tunai sebagai kompensasi kenaikan harga BBM yang diberikan kepada keluarga miskin (gakin) dan saat ini banyak menimbulkan masalah, hendaknya jangan dijadikan program jangka panjang. Jika diberikan dalam jangka panjang akan menciptakan ketergantungan dan ketidakberdayaan masyarakat. Model subsidi Langsung Tunai, bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan di negeri ini.”
B. Pentingnya Situasi Masalah
Situasi masalah dari program BLT sangat penting untuk ditanggulangi, karena hal ini menyangkut kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin. Pemerintah dituntut untuk berpikir keras agar permasalahan ini dapat teratasi sesegera mungkin, dan tetap harus mengutamakan kesejahteraan masyarakatnya.

C. Kebutuhan untuk Analisis
Program BLT perlu dianalisis lebih lanjut, baik dari segi perencanaannya, distribusi, serta pelaksanaannya. Program BLT harus sesuai dengan tujuannya, yaitu membantu masyarakat miskin agar terpenuhi kebutuhan dasarnya, mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi, dan meningkatnya tanggungjawab sosial bersama. Selain itu, juga perlu dilakukan pendataan rumah tangga sasaran dan kesesuaian jumlah dana BLT yang diterima rumah tangga sasaran dengan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
















Bab III
Pernyataan Masalah
A. Definisi Masalah
Program BLT yang dijalankan tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga pada pelaksanaannya bukan langkah yang efektif untuk menanggulangi peningkatan jumlah masyarakat yang miskin akibat kenaikan subsidi BBM, melainkan suatu program yang tidak pro terhadap masyarakat miskin.

B. Pelaku Utama
Adapun pelaku utama dalam permasalahan Bantuan Langsung Tunai ini adalah sepenuhnya tanggung jawab pemerintah sebagai pengambil keputusan.

C. Tujuan dan Sasaran
Tujuan : membantu masyarakat miskin agar terpenuhi kebutuhan dasarnya, mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi, dan meningkatnya tanggungjawab sosial bersama.
Sasaran : Rumah Tangga Sangat Miskin, Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Hampir Miskin diseluruh Indonesia.

D. Ukuran Efektivitas
Efektivitas merupakan unsur yang sangat penting dalam pencapaian tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan kata lain, suatu aktivitas dikatakan efektif apabila tercapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa efektivitas kerja berarti penyelesaian suatu pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan, atau bisa juga dikatakan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Suatu program dikatakan efektif apabila program tersebut menimbulkan manfaat sebagaimana yang dikehendaki atau direncanakan. Jelasnya, bila tujuan telah sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya, maka hal itu disebut efektif. Begitu juga sebaliknya, jika tujuan itu tidak sesuai dengan yang direncanakan, maka pekerjaan itu tidak efektif.

E. Solusi yang Tersedia
Pemerintah dalam membuat suatu kebijakan hendaknya harus dipikirkan secara matang dan tidak tergesa-gesa. Perencanaan dan tujuan serta dampak dari kebijakan yang dikeluarkan juga tak luput untuk dipikirkan secara matang. Sehingga terdapat kesesuaian antara perencanaan dengan implementasinya di lapangan. Untuk Program BLT sendiri, hendaknya terlaksana secara efektif dan terdistribusi secara merata. Agar masyarakat yang menerima dana BLT benar-benar masyarakat yang terdaftar sebagai rumah tangga sasaran (RTS).




























Bab IV
Alternatif Kebijakan

A. Deskripsi Alternatif
Untuk menanggulangi kegagalan dari program BLT tersebut, pemerintah perlu memikirkan alternatif lain yang lebih efektif dan tepat sasaran. Sehingga kegagalan yang terjadi sebelumnya dapat diatasi dan tidak berdampak semakin buruk terhadap masyarakat.

B. Hambatan dan Fisibilitas Politik
Faktor penghambat keberhasilan program BLT ini adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya koordinasi dan komunikasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat seperti pemerintah, Departemen Sosial, Kantor Pos, Ketua RT/RW, dan masyarakat. Sehingga sulit untuk terciptanya sinergi pelayanan yang maksimal.
2. Sikap pelaksana program BLT dinilai kurang baik, karena banyak terdapat pemotongan dana BLT.
3. Di dalam mekanisme dan tahapan penyaluran BLT, terdapat kesalahan dalam pendataan serta kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.
4. Kurangnya pengawasan dari pemerintah di dalam proses pendistribusian dana BLT.
5. Para pihak yang terkait tidak memiliki disposisi yang baik, seperti tidak adanya komitmen, kejujuran, maupun sifat demokratis.

Situasi politik di masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, ada yang menolak dan ada yang mendukung pelaksanaan program BLT.









Bab V
Rekomendasi Kebijakan

A. Kriteria Alternatif Rekomendasi
Rekomendasi kebijakan adalah memberikan alternatif kebijakan yang paling unggul dibandingkan dengan alternatif kebijakan yang lain berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan. Kriteria tersebut seperti:
 Technical Feasibility, yang menekankan pada aspek efektivitas langkah intervensi dalam mencapai tujuan dan sasaran.
 Economic and Financial Feasibility, yang menekankan pada aspek efisiensi yakni biaya dan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknik cost and benefit.
 Acceptability, menekankan pada kecocokan dengan nilai masyarakat, responsivitas, kesesuaian dengan perundangan serta pemerataan.
 Administrative Operability, melihat dari dimensi otoritas instansi pelaksana, komitmen kelembagaan, kapabilitas staf dan dana, serta dukungan organisasi.

B. Deskripsi Alternatif yang Dipilih
Sesuai dengan kriteria alternatif rekomendasi tersebut, pemerintah harus berusaha lebih giat lagi untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi selama program BLT tersebut dijalankan dan harus lebih pro terhadap masyarakat miskin. Sehingga program tersebut dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka menimbulkan manfaat bagi RTS karena terdistribusi secara merata. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pengawasan selama program tersebut dijalankan agar selesai tepat pada waktunya, efektif dan tidak terjadi kecurangan.

C. Penyediaan Pemantauan dan Evaluasi
Setelah program diimplementasikan sesuai dengan alternatif kebijakan yang baru, pemantauan dan evaluasi perlu dilakukan oleh pemerintah. Monitoring dilakukan ketika sebuah program sedang diimplementasikan, jika terjadi kesalahan-kesalahan di awal dapat langsung diperbaiki. Evaluasi dilakukan untuk melihat tingkat kinerja suatu program, sejauh mana suatu program mencapai sasaran dan tujuannya, mengukur tingkat efisiensi suatu program, dan mengukur dampak dari program tersebut.

D. Keterbatasan dan Konsekuensi yang Tidak Terantisipasi
Keterbatasan dalam pelaksanaan program BLT ini dapat dilihat pada pendataan di lapangan terhadap RTS. Akibatnya pendataan yang dilakukan tidak sesuai dengan yang semestinya. Pemerintah bersama BPS harus membuat perencanaan yang matang agar tidak terjadi lagi kesalahan dalam pendataan. Selain itu, konsekuensi yang timbul akibat adanya dan BLT adalah tingkat malas masyarakat semakin tinggi. Masyarakat menjadi manja, dan malas bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
























Daftar Pustaka
Buku :
Dunn, William N.2003.Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Homepages:
http://www.kompas.com /arsip/BLT-Bukan-Solusi-Terbaik.html diakses pada Desember 2010
http://www.rickyeka.com/topic/kebijakan-pemerintah-terhadap-blt.html diakses pada Desember 2010
http://www.scribd.com/doc/23956423/BLT-Dalam-Konteks-Pelayanan-Sosial diakses pada desember 2010
http://www.kompas.com/21-11-2005/BLT-masyarakat marah.html diakses pada desember 2010
http://www.kompas.com/21-11-2005/Daerah-aksi-penolakan-BLT.html diakses pada desember 2010
http://www.suaramerdeka.com/2005/Agung:BLT-masalah-baru.html diakses pada desember 2010
http://www.mensos.go.id/2006/html. diakses pada januari 2011

Jumat, 07 Januari 2011

Haji Misbach: Muslim Komunis

Haji Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis. Menurut Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876, dibesarkan sebagai putra seorang pedagang batik yang kaya raya. Bernama kecil Ahmad, setelah menikah ia berganti nama menjadi Darmodiprono. Dan usai menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach.
Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Di situlah tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri seorang pejabat keagamaan. Karena lingkungan yang religius itulah, pada usia sekolah ia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro".
Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI). Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa, Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.
Marco Kartodikromo, salah satu tokoh pergerakan pada saat itu berkisah tentang Misbach:
".. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala daripada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut "Haji".

Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman itu.

Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme.Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.

Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.

Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.

"... di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama."

Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di Surakarta.

Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara.
Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.
Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".

Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918.

Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI. Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga bangkitlah kaum muda Islam Surakarta.

Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir perkumpulan tablig reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta. Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti "korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam".

Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama Misbach di media ini, Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig."

Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.

SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri." Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, "membuat agama Islam bergerak". Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.

"Jangan takut, jangan kawatir"

Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan.

Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai "suara dari luar dunia petani". Bunyinya, "Jangan takut, jangan kawatir". Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat ia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan kring (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.

Misbach menegaskan kepada rakyat "jangan takut dihukum, dibuang, digantung", seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx, dia sempat menulis artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme.

Misbach kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Berjuang melawan kapitalisme tak membuat Misbach tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan. Misbach pun ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI), bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta.

Terkait dengan "teror-teror" yang terjadi di Jawa, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Misbach ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang "ditangkap" bersama Misbach. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran.

Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Selama penahanan di Semarang, tak seorang pun diizinkan menjenguknya. Misbach hanya dibolehkan membaca Al-Qur’an. Di pengasingan, selain mengirim laporan perjalanannya, Misbach juga menyusun artikel berseri "Islamisme dan Komunisme".

Medan Moeslimin kemudian memuat artikel Misbach tersebut,
“…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.”

Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya Misbach terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.

sumber :Tabloid Pembebasan Edisi V/Thn II/Februari 2003