Senin, 28 Maret 2011

Interest Group

A. Latar Belakang.
Indonesia merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari jumlah masyarakat terbanyak ke 3 didunia dan merupakan daerah kepulauan yang terbentang di khatulistiwa. Faktor keberagaman ini lah mengakibatkan banyaknya kepentingan yang dimiliki oleh masyarakatnya. Setiap individu maupun masyarakat tentunya memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kepentingan itu harus diraih dan dicapai guna kelangsungan hidup baik dalam bermasyarakat, bernegara maupun dengan negara lainnya. Pencapain tersebut haruslah dicapai melalui usaha dan kerja keras untuk itu perlu adanya kekuatan dan dukungan dari semua pihak oleh sebab itu maka diperlukannya suatu organisasi.
Dengan demikian lahir dan berkembang organisasi-organisasi dengan kepentingan yang berbeda-beda, adapun organisasi kepentingan bisa berupa Lembaga Swadatya Masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), dan organisasi sosial lainnya. Inilah yang kemudian melatar belakangi lahirnya kelompok kepentingan dan hal lainnya yang turut mempengaruhi dan melatar belakangi kelompok kepentingan adalah adanya dominasi individu, masyarakat, negara dan negara lainnya yang memiliki kekuatan besar terhadap individu,masyarakat, negra dan negara lain lemah (terbelakang, baru, dan berkembang) yang dapat membahayakan kelangsungan kehidupan dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbagsa dan bernegara.

B. Tujuan Makalah

1. Menjelaskan Pengertian Interest Group (Kelompok Kepentingan).
2. Artikulasi Kelompok Kepentingan (interest Group).
3. Klasifikasi dari Interest Group (kelompok Kepentingan).
4. Fungsi Interest Group (Kelompok Kepentingan).
5. Sifat kelompok kepentingan (interest Group).
6. Kelompok Kepentingan di Indonesia.

C. Pembahasan
1. Pengertian Interest Group.
Interest Group (kelompok Kepentingan) adalah setiap organisasi yang berusaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa keinginan untuk mendapatkan jabatan publik. Bisa kita amati bahwasanya kelompok kepentingan dan partai politik sama-sam memiliki kepentingan namun secara sederhana, Gabriel A Almond, membedakan dua hal ini: kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah tanpa, pada waktu yang sama, berkehendak memperoleh jabatan publik. Sebaliknya, partai politik benar-benar bertujuan untuk menguasai jabatan-jabatan publik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan kelompok kepentingan bukan untuk meraih kekuasaan, sementara partai politik untuk meraih kekuasaan.

Dengan demikian Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk menguasai pemerintahan, hanya ingin mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam negara demokrasi kelompok kepentingan memegang peranan yang sangat besar bahkan nyatanya bahwa kelompok kepentingan mencoba berpengaruh dalam mengambil keputusan dari pada institusi pengambil keputusan formal (resmi). Ini terjadi karena pada kenyataanya pengaruh individu dalam proses pengambilan keputusan sangatlah kecil. Maka untuk memuaskan kebutuhan, individu-individu akan menggabungkan kekuatan kedalam sebuah kelompok kepentingan. Oleh karena itu, cara yang efektif untuk memperjuangkan kepentingan adalah bergabung membentuk kelompok kepentingan. Pada akhirnya kelompok kepentingan menjadi kelompok penekan dalam kekuatan politik nyatanya (presure group).
Faktor penting dalam menciptakan efektifitas kelompok kepentingan adalah kemampuan untuk mengerahkan dukungan, tenaga dan sumber daya anggotanya.

2. Artikulasi Kelompok Kepentingan.
Kelompok kepentingan memiliki artikulasi yang paling umum disemua sistem politik adalah pengajuan permohonan secra individual kepada anggota dewan kota, parlemen, pejabat pemerintahan atau dalam masyarakat tradisional kepada kepala desa atau ketua suku seklipun.
Saluran untuk artikulasi tersebut dalam menyatakan pendapat adalah
a. Demonstrasi dan tindakan kekerasan.
Saran terpenting dalam menyatakan pendapat dan tuntutan yang biassnya sering digunakan oleh kelompok kepentingan yang sedang terancam atau anomic.
b. Hubungan Pribadi.
Penyampain kepentingan melalui media keluarga, sekolah, hubungan kedaerahan sebagai perantara kepada elit politik.
c. Perwakilan Langsung.
Sarana artikulasi atau agregasi kepentingan yang bersifat resmi, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif serta lembaga resmi lainnya.
d. Saluran Formal dan Institusional.
Artikulasi kepentingan yang meliputi media cetak, elektronik, televisi (formal) dan partai politik (institusinal).

3. Klasifikasi Kelompok Kepentingan
Jenis-jenis Kelompok kepentingan menurut Gabriel Almond dibagi atas :

a. Kelompok kepentingan Anomic
Berasal dari kata anomie yang artinya terasing. Kelompok anomik muncul secara kebetulan (incidental / temporer), bersikap informal, muncul karna adanya isu tertentu, anggotanya muncul dan menghilang tidak tertentu, bekerja tidak teratur.
Contoh : Persatuan pedagang yang akan digusur bersatu saat ingin digusur dengan berdemo dan menghilang saat aspirasi mereka terpenuhi.

b. Kelompok kepentingan Non- Asosiasional
Suatu kelompok kepentingan yang bersifat informal, memiliki suatu lembaga atau organisasi yang agak sedikit mapan, anggotanya berasal dari faktor keturunan dan tidak ada unsur memilih untuk menjadi anggota kelompok ini, muncul bila ada kepentingan khusus, bekerja tidak teratur pada waktu tertentu saja, memiliki kepemimpinan yang relative longgar, bersifat sukarela seperti paguyuban, dan kurang begitu efektif.
Contoh : Persatuan warga Batak di Jakarta.

c. Kelompok Kepentingan Institusional (Kelembagaan)
Kelompok yang memiliki suatu organisasi yang telah mapan, kegiatan yang teratur, jaringan organisasi yang luas, tujuan organisasi yang luas, kepemimpinan yang terseleksi. Anggotanya terkait dengan kepentingan ekonomi atau bisanya terkait dengan pekerjaan. Sangat efektif dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Contoh : KOPRI, PGRI, TNI, POLRI, dll.

d. Kelompok Kepentingan Asosiasional
Kelompok yang dibentuk mewakili kepentingan kelompok yang khusus atau spesifik, memiliki lembaga yang mapan, menggunakan tenaga professional, memiliki prosedur yang teratur untuk merumuskan kepentingan dan tuntutan, kepemimpinan yang terseleksi dan tujuan yang bersifat khusus . Efektif mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Contoh : Ikatan Dokter Indonesia, termasuk serikat perdagangan dan serikat pengusaha.

Klasifikasi kelompok kepentingan atau interest group berdasarkan realitas sosial yang terjadi di Indonesia.
a. Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi yang anggotanya meliputi anggota masyarakat yang memiliki ideologi, garis perjuangan (platform) serta komitmen yang sama dalam mencapai tujuan yang sama pula.
Contohnya : MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong), KOSGORO Pemuda Pancasila dll.
b. Organisasi kemasyarakatan keagamaan
Didirikan untuk mengartikulasi kepentingan masyarakat/komunitas agama terhadap masyarakat, bangsa, dan negara yang dapat berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraannya.
Contohnya : NU (Nahdatul Ulama), KWI, Parisade Hindu Dharma, Muhammadiyah dll.
c. Organisasi Kemasyarakatan kepemudaan.
Mengartikulasi kepentingan yang berkaitan denhgan kepemudaan.
Contohnya : KNPI ( Komite Pemusda Nasional Indonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia, HMI (Himpuanan Mahasiswa Islam Indonesia) dll.
d. Organisasi Sosial kedaerahan.
Mengartikulasi kepentingan komunitas/masyarakat sosial kedaerahan.
Contohnya : PKDP ( Persatuan Keluarga Padang Pariaman) Forsilamsu ( Forum silahturahmi mahasiswa Sumatera Utara) dll.
e. Organisasi Keprofesian.
Wadah untuk menampung kepentingan masyarakat/komunitas yang seprofesi.
Contohnya : AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), FRI (Forum Rektor Indonesia, Permahi (Persatuan Mahasiswa Hukum Indonesia) dll.

4. Tujuan adanya Interest Group
Tujuan interst Group didirikan merupakan:
a. Untuk melindungi kepentingannya dari adanya dominasi dan penyelewengan oleh pemerintah atau negara.
b. Untuk menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya.
c. Untuk menjadi wadah pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah dan negara.
d. Untuk menjadi wadah kajian dan analisis bagi aspek-aspek pembangunan nasional dalam semua kehidupan.

5. Sifat Interest Group.
Sifat lembaga-lembaga kelompok kepentinagn tersebut terdiri dari:
a. Independen.
Kelompok kepentingan yang mana dalam menjalankan visi, misi, tujuan, program, sasaran dan lainya dilakukan secara bebas tanpa adanya intervensi dari pihak lain.
b. Netral.
Dalam menjalankan eksistensinya, tidak bergantung pada pihak lainnya.
c. Kritis.
Menjalankan kegiatannya berdasarkan pada fakta dan analisis yang mendalam yang dilakukan dengan metode dan teknik yang benar.
d. Mandiri.
Menjalankan eksistensinya dengan menggunakan konsep dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat luas.


6. Kelompok Kepentingan diIndonesia .

Meskipun sering terjadi konflik antar kelompok kepentingan, namun masing-masing kelompok kepentingan yang ada di Indonesia tetap dapat mempertahankan eksistensinya . Contohnya kelompok kepentingan anomic, kelompok kepentingan tersebut akan selalu ada seiring dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Karena tidak semua warga masyarakat dapat menerima semua kebijakan pemerintah, maka mereka akan menuntut agar kebijakan tersebut dicabut atau diubah sesuai dengan kepentingan kelompok mereka dengan cara berdemonstrasi atau melakukan mediasi. Kemudian setelah keinginan mereka terpenuhi, kelompok anomic tersebut akan menghilang dengan sendirinya.
Di negeri ini, kelompok-kelompok kepentingan di atas tampaknya berjalan sendiri-sendiri. Seringnya malah bergesekan dan berbenturan. Padahal, bisa jadi visinya sama. Dalam kasus demonstrasi yang akhir-akhir ini marak di negeri ini, misalnya, yang menyuarakan pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya, yang bergerak hanya kelompok anomik dan asosiasional. Kelompok ini kurang begitu didukung oleh kelompok institusional seperti KPK, karena KPK sendiri sering kali membawa misi atau kepentingan lain di luarnya. Secara institusi, KPK menyebut dirinya independen. Tetapi, faktanya, institusi ini kerap kali mandul ketika berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.

D. Penutup
1. Kesimpulan.
Kelompok kepentingan berbeda dengan partai politik. Meski tidak cukup mudah untuk membedakannya, karena partai politik antara lain juga memiliki kepentingan atas kebijakan pemerintah. Kelompok kepentingan merupakan suara-suara di luar pagar kekuasaan dan partai yang mengkritisi kebijakan pemerintah karena kebijakan itu secara langsung berkaitan dengan kehidupan mereka. Maka, integrasi di antara kelompok kepentingan ini, meski ada cukup banyak perbedaan pada masing-masing jenis kelompok itu, perlu direvitalisasi agar benar-benar menjadi kekuatan konstruktif dan menjadi kekuatan oposisi rakyat yang sesungguhnya. Kelompok anomik perlu memperkuat basis dengan kelompok non-asosiasional, institusional, dan asosiasional sekaligus, untuk bersama-sama menggalang kekuatan rakyat (people power) yang berorientasi konstruktif bagi bangsa dan negara. Akan sangat sulit mencapai tujuan jika kelompok-kelompok kepentingan itu saja sudah berpecah.
2. Saran
Dengan mengetahui secara mendalam kelompok kepentingan baik pengertian, fungsi, tujuan, jenis-jenisnya dan sifatnya kita mampu membedakannya dengan kelompok lainnya.

E. Daftar Pustaka.
a. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
b. Sukarna.1992. Sistem Politik indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung.
c. Drs. A. Rachman MM, Pusat Pengembangan Bahan Ajar, UMB. Akses http://mercubuana.ic.id pada tanggal 12 Desember 2010.
d. http://politik.kompasiana.com/2010/03/31/revitalisasi-integrasi-kelompok-kepentingan/ diakses pada tanggal 20 Desember 2010.

Integrasi Politik Di Indonesia

1. Gerakan PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin waktu itu oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di kota Padang, provinsi Sumatera Barat, Indonesia.Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI. Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan.[2] Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda, hal ini juga mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.Dan sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan,oleh pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia.

a. Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
b. Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
c. Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
d. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
e. Moh. Syafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
f. J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
g. Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
h. Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
i. Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
j. Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
k. Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang
2. Gerakan Aceh Merdeka
Separatisme Aceh ini merupakan persoalan yang paling actual sepanjang sejarah masa transisi Indonesia, dimana lebih dari lima belas ribu korban jiwa berjatuhan sejak Teuku Hassan Di Tiro memproklamirkan kemerdekaan Aceh melalui organisasi ini. GAM sendiri merupakan bentuk kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintahan yang berdaulat, Pemerintah dianggap telah me-marginalisasikan masyarakat Aceh. Aceh menganggap pembangungan di daerahnya jauh terlambat dibandingkan pembangunan di pusat pemerintahan, selain itu Aceh kaya akan sumber daya minyak dan gas alam, dimana dilakukan eksplorasi besar-besaran oleh pemerintah tanpa ada timbal balik bagi masyarakat Aceh itu sendiri, Dengan itu GAM merupakan sebuah gerakan separatisme yang dianggap oleh pemerintahan orde baru sebagai gerakan yang mencoreng muka integrasi Republik Indonesia, sehingga pemerintahan orde baru mengambil langkah untuk meredam gerakan tersebut dengan cara keras, dan menyebabkan hilangnya ribuan korban. Cara pemerintah yang kurang bijaksana ini menjadikan simpatisan GAM semkain meningkat dan menjadikan pecahnya konflik antara GAM dan pemerintahan RI. Dalam konflik yang berlangsung hingga hampir tiga puluh tiga tahun itu, selain menelan ribuan korban juga terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah, sehingga dalam usaha melakukan peace building di Aceh maka pihak internasional pun masuk dan turut campur dalam penanganan konflik tersebut. Perjanjian Helsinky merupaan titik dimana perdamaian tersebut tercipta, dan Aceh tidak terlepas dari tangan pemerintahan Indonesia.
Keinginan Aceh untuk memisahkan diri dari kesatuan Republik Indonesia dimulai sejak pemerintahan orde lama, dimana pada saat itu lewat organisasi Darul Islam, Aceh ingin membentuk sebuah negara berbasiskan agama Islam. Kemudian pada tahun 1976 didirikan gerakan serupa bernama GAM oleh Hassan Tiro, dengan maksud yang sama yaitu memisahkan diri dari RI dan membuat negara baru bernama Nanggroe Aceh Darussalam dan gerakan ini seringkali disebut dengan ASNLF.GAM di deklarasikan oleh Hassan Tiro secara sembunyi-sembunyi di bukit Cokan, pedalaman di kecamatan Pidie. Setahun Kemudian dekalarasi kemeredekaan disebarluaskan dalam tiga bahasa; Inggris, Indonesia, dan Aceh. Sejak saat itulah pemerintahan ore baru kemudian mengetahui keberadaan pergerakan bawah tanah yang dilakukan oleh GAM. Gerakan ini terdiri dari sekelompok inteletktual yang merasa kecewa terhadap peran kebijakan pemerintah pusat terhadap Aceh, karena penyelenggaraan pemerintah yang didominasi oleh ethnis Jawa, kelompok intelektual ini kemudian berasumsi bahwa telah terjadi kolonialisasi terhadap Aceh yang dilakukan oleh Jawa dengan menduduki kursi-kursi pemerintahan dan mengeruk kekayaan alam. Selain itu faktor lainnya penyebab timbulnya konflik Aceh karena pemerintah me-marjinalkan Aceh secara pembangunan dan pendidikan. Kesejahteraan masyarakat Aceh jauh terbelakang dengan masyarakat di Jawa, serta pembangunan yang tidak berkembang, eksplorasi sumber daya alam Aceh secara besar-besaran yang dilakukan pemerintah tidak timbal balik terhadap masyarakat daerah dan tidak dikembalikan ke tangan pemerintahan daerah. Maka kemudian timbul kebencian dan rasa marah terhadap ethnis jawa yang berlangsung hingga saat ini.
Hassan Tiro menyebarkan konsep anti-kolonialisasi Jawa terhadap masyarakat demi memperbesar basis dukungan bagi GAM. Dukungan pun datang dari tokoh-tokoh Darul Islam Aceh, dan menganggap GAM ini merupakan penerus perjuangan DI yang belum tuntas di zaman orde lama. Keberadaan GAM sangat ditentang oleh pemerintah orde baru dan cenderung diperlakukan secara represif, karena anggapan bahwa GAM hadir sebagai pengacau dalam stabilitas politik dan keamanan nasional. Langkah-langkah yang diambil pemerintah sangat keras dan jauh dari kata perundingan. Pihak pemerintah tidak berusaha mengintegrasikan pihak-pihak yang memberontak, bahkan memperlakukan tindakan yang tidak adil terhadap para keluarga pemberontak. Dimana menurut isu yng beredar pada saat itu para TNI yang bertugas melakukan tindakan pelanggaran HAM dan seringkali melakukan pemerkosaan terhadap para wanita setempat.Pendekatan militer di Aceh ini seperti penghilangan orang, pembunuhan, pemerkosaan dan penculikan. Ditengah situasi yang kacau balau tersebut pada tahun 1979 Hassan Tiro melarikan diri ke Swedia dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingannya yang disebut sebagai GAM Swedia dan menempatkan dirinya sebagai kepala negara. Kemudian pada tahun 1980an GAM memulai kembali aksinya dan menimbulkan kembali respon militer hingga waktu yang sangat panjang yang penuh dengan kekerasan dan represi hingga awal 90an. Pada saat pengasingan yang dilakukan Hassan Tiro lahirlah generasi baru kelompok GAM yang melakukan eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari luar Aceh, yaitu melalui Malaysia, Libya dan Jenewa.
Kemudian di akhir tahun 90an, pada saat tampuk pemerintahan sudah tidak lagi diduduki oleh Soeharto situasi di Aceh masih sama, GAM masih bersikeras memisahkan Aceh dari Pemerintahan Indonesia. Pada zaman B.J Habibie telah mengupayakan berbagai macam cara dan kebijakan, namun kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat berjalan efekti. Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, pada era Abdurahman Wahid, jalur diplomasi sudah mulai diterapkan demi mendamaikan hubungan antara GAM dengan Pemerintah. Gusdur menggunakan upaya dialog damai yang disebut Jeda Kemanusiaan I dan II. Namun, jalur ini kembali tidak efektif disaat Gusdur terpaksa turun dari kursi pemerintaan sebelum usaha pendamaian selesai. Era Megawati berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya, dimana Megawati kembali menggunakan pendekatan militeristik hingga menyebabkan korban-korban sipil berjatuhan atas penetapan Aceh sebagai Daerah Darurat Militer. Kebijakan ini menjadikan jalur perdamaian semakin tak tentu arah dan jauh dari kata sepakat.
Berbeda dnegan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan SBY-JK memiliki pendekatan yang berbeda, yaitu melalui jalur perdamaian dengan mengutamakan pendekatan perundingan. Sejak Januari-Juli 2005, pemerintahan ini melakukan empat kali babak pembicaraan informal dengan petinggi GAM. Pembicaraan ini dalam maksud membuka perundingan sebagai cara damai menyelesaikan separatisme yang dilakukan oleh GAM agar dapat dibendung. Pembicaraan informal ini difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang merupakan sebuah lembaga yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Melalui Jusif Kalla sebagai Wakil Presiden Indonesia, mengawali proses perdamaian dengan “pendekatan baru”, dimana Kalla memiliki supervisi yang konsisten dan sustainable dalam menyelesaikan konflik Aceh dengan jalur perdamaian. Martti Ahtisaari memiliki kesepahaman dengan pihak RI, bahwa dalam menyelesaikan konflik Aceh dapat menggunakan konsep otonomi khusus. Reputasi Martti sebagai mantan presiden yang memiliki track record yang baik menyebabkan pihak GAM mau duduk satu meja dengan pemerintah Indonesia, serta keberadaan Hassan Tiro yang pada saat itu sedang berada di Swedia menjadikan Martti diharapkan dapat menjadi mediator yang bisa dipercaya.
Perundingan Helsinky terjadi sebanyak lima putaran, putaran pertama dan kedua tidak berhasil karena kedua belah pihak tetap pada pandangannya masing-masing, terutama pada putaran kedua yang tidak menghasilkan apa-apa karena dead lock atau tidak adanya titik temu yang bisa menjadi jalan tengah bagi kedua belah pihak. CMI kemudian mencari sebuah alternatif rumusan perundingan yang kemudian menjadi faktor penentu keberhasilan perundingan kedua belah pihak. Tidak hanya melalui second track diplomacy yang melibatkan badan organisasi Internasional seperti Henry Dunant Organization namun juga membawa Uni Eropa, PBB dan AS untuk masuk dan terlibat didalam konflik ini.
Selain Martti, nama Jusuf Kalla pun dianggap sangat penting mengingat Jusuf Kalla bukanlah orang Jawa, sehingga petinggi-petinggi GAM mau duduk satu meja dan melakukan perundingan. Kalla bersikap merendah dengan mensejajarkan keberadaan GAM sejajar dengan pemerintah Indonesia, yang sangat di tentang oleh pemerintahan sebelumnya. Selain itu wapres Kalla mengamini beberapa point tuntutan GAM, seperti dilakukannya pemilu di GAM, serta dikembalikannya hasil pengerukan sumber daya alam di Aceh sebagai dana demi membangun infrastruktur di Aceh. Sehingga pada Agustus 2005, kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Helsinky. Penandatanganan MoU ini merupakan momentum adanya tranformasi dari perubahan politik di Aceh serta proses rekonstruksi di Aceh.
Perjanjian Helsinky ini terjadi paska peristiwa Tsunami di Aceh hingga Aceh porak poranda dan membutuhkan rekonstruksi diwilahnya, sehingga salah satu faktor lainnya GAM mau mulai melemah ialah pentingnya bantuan masuk ke Aceh, apabila konflik terus berjalan maka akan sulit melakukan prose penyaluran bantuan terhadap Aceh. Persitiwa Tsunami memiliki dampak positif yang berarti bagi proses peacebuilding di tanah Aceh.Sehingga Aceh tidak terpisah dari pemerintah Republik Indonesia, dan tetap menjadi bagian dari entitas negeri ini.
3. Gerakan Papua Merdeka
Gerakan Papua Merdeka mulai berawal ketika di sahkannya otonomi khusus pada Papua serta dengan pemekaran wilayah Papua menjadi 2 provinsi yaitu Papua Barat dan Papua. Operasi Papua Merdeka berawal dari tahun 1949, dimana pada saat itu setelah pasukan jepang dan Amerika yang berperang di Papua ditarik dari pasukannya, kemudian Belanda mulai masuk dan mengembalikan lagi kekuasaan kolonialnya di Papua. Dalam perjanjian pengakuan kemerdekaan Indonesia pada tahun yang sama, Papua tidak termasuk dalam perjanjian tersebut, dan pada masa setelah itu Belanda mencoba membuat Negara Papua. Diawali dengan terbentuknya Dewan Papua pada April 1961 dan pembentukan institusi seperti layaknya Negara,juga pelatihan agar masyarakat Papua dapat mandiri. Tetapi karena takut bahwa nantinya Indonesia bisa bersekutu dengan Uni Soviet dan RRC maka pemerintah Amerika Serikat mencoba melobi dan memaksa agar Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia agar hubungan Amerika Serikat – Indonesia bisa membaik. Akhirnya pada tahun 1969 diadakan PEPERA(Penentuan Pendapat Rakyat) yang memutuskan Papua masuk ke wilayah Indonesia.
Penduduk asli Papua merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain (memang pada kenyataanya juga tidak) maupun Negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka,Indonesia.Perjanjian tersebut oleh sebagian masyarakat Papua tidak diakui dan dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.Akibat dari hal ini,Oom Nicolas Jouwe,Seth Jafeth Roemkorem,Jacob Hendrik Prai merencanakan proklamasi kemerdekaan Papua pada tanggal 1 juli 1971. Tetapi perselisihan antara Roenkorem dan Hendrik Prai menyebabkan OPM terpecah sebagai sebuah kekuatan militer dan menyebabkan kegagalan pendirian Negara Papua.Sementara pembasmian oleh militer Indonesia dibawah kepemimpinan Soeharto semkain melemahkan OPM.
Tahun 1982 Dewan Revolusioner OPM didirikan dimana tujuan dewan tersebut adalah untuk mengaalang dukungan masyarakat Internasional untuk mendukung kemerdekaan wilayah tersebut. Mereka mencari dukungan antara lain melalui PBB,GNB,Forum pasifik selatan dan ASEAN. Mereka juga berusaha melakuakn aksi-aksi terror terhadap para pendatang dari Indonesia serta para pekerja asing.Gerakan Papua Merdeka bukan lagi seperti gerakan kargo. Sudah teroganisir melalui berbagai faksi. Dalam kontels itu orang semestinya jangan salah duga kalau OPM itu sebaga tonggak nasionalisme Orang Papua. Nasinalisme yang menghendaki negara merdeka.

Sebenarnya awalanya disebut TPN (Tentara Nasional Papua Barat), namun menurut sejarah menyebutkan bahwa OPM itu sebutan yang dikenalkan dan dibesar-besarkan pemerintah Indonesia, terutama militer yang melihat OPM sebagai musuh babuyutan. OPM didekalrasiakan bukan tanpsa alasan dan bukan lahir dengan sendirinya, punya sejarah panjang yang tidak juga terkait soal kesejateraan, melainkan bisajadi seperti dikemukakan Peneliti, seperi Dewi Fortuna, Nazaruddin Zamasuddin melihat OPM ibarat bom waktu yang ditinggalkan Belanda. Seperti itukah? Terkait hal ini, apabila dikomparasikan dengan sejarah lahirnya NKRI, ada hikmah yang bisa kita petik. Ada kesamaan pola dari proses lahirnya OPM. Kita tidak bisa pungkiri kalau Indonesia merdeka dan bebas dari penjajahan karena ada campur tangan negara lain. Mulai dari pengaruh Belanda hingga Jepang yang turut langsung dalam mempersiapkan berdirinya negara Indonesia. Sama seperti itu, Belanda memberikan pendidikan dan mempersiapkan negara Papua Merdeka yang dijanjikan akan dimerdekakan
Janji itu diawali dengan pembentukan delapan partai politik, kemudian membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieu Guinea) yang terdiri dari kaum intelektual Papua Barat, dan membentuk Komite Nasional yang terdiri dari 21 anggota untuk membantu Dewan Nieu Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini kemudan melahirkan manifesto politik yang isinya: menentukan nama negara: Papua Barat; menentukan lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua; Menentukan bendera negara: Bintang Kejora; motto negara One People One Soul. Pada tanggal 1 Desember 1961 bendera Bitang kejora dan bendera Belanda berkibar diiringi lagu Hai Tanahku Papua. Hari itu juga sebenarnya telah dideklarasikan berdirinya negara Papua Barat. Tetapi nasibnya seusia jagung, karena invasi militer dilakukan Soekarno lewat propaganda Trikora: Gagalkan Pembentukan "Negara Boneka Papua" Buatan Belanda kolonial; Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah air Indonesia; bersiaplah untuk melakukan mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air Indonesia telah mebajak Negara itu.
Disamping itu Belanda juga mendirikan lembaga-lembaga baru untuk mempersiapkan orang-orang Irian menghadapi Kemerdekaan. Selain mulai memberikan pendidikan bagi para calon pramong praja, Belanda kemudian mendirikan Polisi pamong praja, Belanda mendirikan Polisi Papua dan battalion Papua. Melangkah lebih jauh, Belanda kemudian membentuk Komite Nasional Papua, yang menggantikan Dewan Nue Guinea. Komite ini bertugas untuk merencanakan pembentukan sebuah Negara Papua yang merdeka. Perkembangan inilah yang kemudian,pada tanggal 19 Desember 1961, mendorong Presiden Soekarno untuk mengkomandokan Trikora(Tiga Komando Rakyat) yang antara lain memerintahkan penggagalan pembentukan Negara Papua
Ketika kelompok sipil nasionalis Papua Barat dibungkam, pergerakan sepenuhnya dikendalikan oleh kelompok militer dengan mendeklarasikan berdirinya Tentara Nasional TPN/OPM di Manokwari pada tahun 1965 oleh Ferri Awom dan Femmenas Awom serta kelopok nasionalis Papua masif memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Papua, dan tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua. Semenjak lahirnya OPM setiap orang Papua yang berbeda pandangan denga pusat dianggap OPM. Sikap kritis dibungkam. Saat ini era reformasi masyarakat Papua terus memperjuangkan hak-hak hidup dan bahakan tahun 1999 kelompok intelektual Papua yang tergabung dalam "tim seratus" datang ke Jarkata bertemu Peresiden BJ. Habibie, meminta pengakuan kemerdekaan Papua dan sampai saat ini masih terjadi. Itu berarti biskah kalau dikata hegemoni Indonesia di Papua tidak begitu berhasil?. Dalam situasi seperti itu militer sebagai patriot sebaiknya tidak terpancing untuk mebungkam atmosfir demokrasi. Karena ada sejarah pahit kekerasan yang dilakukan militer di Indonesia khusunya di Papua dengan dalil menumpas dan melakukan pengejaran terhadap OPM. Namun masyarakat biasa dan mahasiswa menjadi korbannya. Ini sudah terbukti, dan telah tercatat dalam sejarah kehidupan orang Papua.
Berdasarkan berbagai sumber yang kami dapat, kami menyimpulkan bahwa Gerakan
Papua Merdeka melakukan tindakan-tindakan ini untuk menuntut kemerdekaan Papua, karena
mereka merasa terdiskriminasi dalam hal pembangunan dibanding dengan daerah daerah lain,
khususnya di pulau jawa. Terlebih lagi kekayaan alam yang ada di papua lebih banyak
digunakan untuk membangun pulau jawa daripada untuk mengembangkan papua sendiri.Tindakan yang dilakukan Gerakan Papua Merdeka ini meresahkan Indonesia, dikarenakan hal ini bisa mengganggu stabilitas dan kemanan nasional Indonesia. Tentu saja pemerintah Indonesia tidak tinggal diam begitu saja.Berbagai cara telah dilakukan pemerintah Indonesia, tetapi masalah ini belum bisa dianggap selesai, oleh karena itu kita harus turut serta mencari pemecahan,sehingga masalah ini dapat teratasi.Pada mulanya kegiatan politik OPM hanya terdapat di Negeri Belanda,dan dari sinilah jaringan gerakan mereka di Eropa dipusatkan.Kemudian dukungan yang diberikan oleh sekelompok akademisi senior beraliran Marxis di Universitas Stockholm,Swedia terhadap gerakan-gerakan pembebasan diseluruh dunia,mendorong OPM untuk membuka sebuah perwakilannya di Stockholm pada tahun 1972. Akan tetapi beberapa tahun kemudian ternyata nahwa perwakilan ini tidak dipertahankan OPM memaksa menutup kantor di ibu kota swedia ini pada tahun 1979,karena kekurangan dana. Kemudian dukungan yang diberikan secara terbuka dalam forum Internasional termasuk PBB,Oleh beberapaNegara di Afrika hitam menyebabkan OPM mendirikan sebuah perwakilan di Dakar,Senegal pada tahun 1976

Perubahan dan Pembangunan Politik Indonesia Pasca Reformasi Pembangunan Politik

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pola perubahan politik di Indonesia sering terjadi, ini disebabkan bergantinya kabinet presiden di Indonesia. Perubahan Umumnya membahas mengenai demokratisasi lebih banyak menekankan pada faktor-faktor domestik yang diduga akan menjadi faktor pendukung ataupun penghambat proses demokratisasi. Keumuman ini terjadi karena beberapa alasan. Diantaranya adalah bahwa aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk usaha-usaha mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Karena itu, proses-proses politik di masa transisi cenderung bersifat inward-looking. Selain itu, kuatnya kecenderungan untuk menganalisis proses demokratisasi melalui lensa dinamika politik domestik juga terjadi karena adanya anggapan bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestiklah yang akan menentukan tindakan politik apa yang akan diambi.
Akan tetapi, situasi ketidakpastian yang melingkupi setiap proses transisi politik sebetulnya membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk pencitraan diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di negara-negara Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa pencitraan diri sebagai negara demokratis melalui politik luar negeri dapat memberi dorongan substansial bagi proses konsolidasi di dalam negeri.
B. Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana perubahan politik yang terjadi di Indonesia pasca Reformasi 1998
2. Bagaiman pembangunan politik yang terjadi Di Indonesia pasca Reformasi 1998

C. Tujuan Makalah.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adlah gunanya untuk :
1. Mengetahui perubahan politik yang terjadi di Indonesia dalam 4 periode kepemimpinan semenjak reformasi 1998.
2. Mencari dan memahami arah pembangunan politik di Indonesia semenjak reformasi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pola Perubahan Politik di Indonesia
1. Pemerintahan Habibie.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius. Untuk mengatasinya terjadilah perubahan politik oleh Habibie, di antaranya :
1. Membuat UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965.
2. Mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan, dan membangun legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestic dengan demikian dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai. Sehingga, Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
3. Membentuk Kabinet ReformasiPembangunan. Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan dari Golkar, PPP, dan PDI.
4. Mengadakan reformasi dalam bidang politik Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, adil, membebaskantahananpolitik,dan mencabutl arangan berdirinya SerikatBuruh Independen.Kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
5. Refomasi Dalam bidang hokum Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat kecil saja dan penguasa kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan keadilan bila berhubungan dengan penguasa.
6. Mengatasi masalah dwifungsi ABRI Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap akan mundur dari area politik dan akan memusatkan perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi diperintahkan untuk memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di sipil.
Stagnasi indonesia dan stabilitas keamanan sangat cendrung berubah semenjak referendum tentang Timor-Timor. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal, diantaranya :
1. Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu.
2. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.

2. Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya. Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi khusus yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah referendum 1999 direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi tersebut menyatakan dengan jelas bahwa TNI dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus bertangung jawab. Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan penting dari ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tanjunng Patut diingat bahwa presiden Wahid secara terus menerus menggunakan kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh pro-demokrasi untuk mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang melibatkan TNI.
Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Indonesia masa pemerintahan Abdurrahman Wahid: Kebijakan-kebijakan pada masa GusDur dan perubahan politik:
• Meneruskan kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama, memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).
• Merestrukturisasi lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya tidak efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi pengeluaran anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).
• Ingin memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot Kapolri yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.
Masalah yang ada:
• Gus Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.
• Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh anggota DPR.
• Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta pembubaran Golkar. Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, POLRI dan partai politik serta masyarakat, sehingga dekrit tersebut malah mempercepat jatuhnya Gusdur dari kepresidenan dan melalui siding istimewa 3 JUli 2001 beliau resmi berhenti sebagai persiden RI.
3. Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Megawati juga secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, perubahan politik yang dilakukan Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow.
Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Kebijakan-kebijakan pada masa Megawati:
• Memilih dan Menetapkan Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan kepercayaan dunia internasional berkurang.
• Membangun tatanan politik yang baru Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan pemilihan presiden dan wapres.
• Menjaga keutuhan NKRI Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon, Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya Timor Timur dari RI.
• MelanjutkanamandemenUUD1945
Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
• Meluruskan otonomi daerah Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan terhadap daerah-daerah.
Masalah yang terjadi pada masa pemerintahan megawati yaitu antara indonesia dengan malaysia peristiwa Bom Bali dan perebutan pulan Ligitan dan Sipadan. Dan ini yang terjadi terhadap struktur kepemilikan wilayah indonesia.
4. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kebijakan-kebijakan pada masa SBY:
• Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
• Konversi minyak tanah kegas.
• Memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
• Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
• Buy back saham BUMN Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil. Subsidi BBM.
• Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
• Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan "Visit Indonesia 2008".
• Pemberian bibit unggul pada petani.
• Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Masalahyangada:
• Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
• Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa.
• Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang ‘sok’ kalem dan berwibawa dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidakkompakan anggota kabinet menjadi nilai negatif yang besar.
• Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tetapi malah mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan kelompok.
• Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.
• Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri ‘Pahlawan Kesiangan’. Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi negara yang bebas dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat.

B. Pembangunan Politik Indonesia.
Pembangunan politik sebagai bagian dari modernisasi senantiasa melibatkan ketegangan dan konflik secara terus menerus antara proses pembangunan dengan syarat-syarat agar system politik tetap pada keadaannya. Ketegangan maupun konflik tersebut merupakan sesuatu inheren dalam pembangunan, yang meliputi tuntutan akan persamaan, proses-proses diferensiasi serta kebutuhan akan kapasitas yang lebih besar. Merupakan suatu ha yang biasa bahwa setiap perubahan-perubahan pada dimensi persamaan, diferensiasi dan kapasitas/kemampuan dalam pembangunan akan mempengaruhi budaya politik elite dan massa, perubahan (smooth) dimana elite maupun massa terakomodasi dalam budaya-budayanya. Hal ini menunjukkan dinamika modernisasi masyarakat. Krisis mulai terjadi apabila budaya elite atau massa atau keduanya, menyebabkan ketegangan-ketegangan yang inheren, misalnya antara dimensi kapasitas dengan dimensi persamaan yang semakin membesar dan sangat terlihat sebagai suatu ancaman utama pemerintah atau rakyat maupun kedua-duanya.
Pakar politik Lucien W. Pye (Aspects of Political Development, pada Memajukan Demokrasi mencegah disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik oleh Nicolaus Budi Harjanto) memberikan dimensi/unsur dari pembangunan politik sebagai berikut : “Pembangunan politik sebagai : pertambahan persamaan (equality) antara individu dalam hubungannya dengan system politik, pertambahan kemampuan (capacity) system politik dalam hubungannya dengan lingkungan, dan pertambahan pembedaan (differentiation and specialization) lembaga dan struktur di dalam system politik itu. Ketiga dimensi tersebut senantiasa ada pada “Dasar dan jantung proses pembangunan”.
Menurut Pye, dimensi persamaan (equality) dalam pembangunan politik berkaitan dengan Masalah partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam Kegiatan-kegiatan politik, baik yang dimobilisir secara demokratis maupun totaliter. Dalam unsur/dimensi ini dituntut adanya pelaksanaan hukum secara universal, dimana semua orang harus taat kepada hokum yang sama, dan dituntut adanya kecakapan dan prestasi serta bukan pertimbangan-pertimbangan status berdasarkan suatu system sosial yang tradisional. Dalam proses pembangunan, dimensi ini berkaitan erat dengan budaya politik, legitimasi dan keterikatan pada system.
Sedangkan dimensi kapasitas (capacity) dimaksudkan sebagai kemampuan system politik yang dapat dilihat dari output yang dihasilkan dan besarnya pengaruh yang dapat diberikan kepada sistem-sistem lainnya seperti system sosial dan ekonomi. Dimensi ini berhubungan erat prestasi pemerintah yang memiliki wewenang resmi, yang mencerminkan besarnya ruang lingkup dan tingkat prestasi politik dan pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan umum dan rasionalitas dalam administrasi serta orientasi kebijakan. Sedangkan dimensi diferensiasi dan spesialisasi (differentiation and specialization), menunjukkan adanya lembaga-lembaga pemerintahan dan struktur-strukturnya beserta fungsinya masing-masing, yang terdapat pada sistem politik. Dengan diferensiasi berarti bertambah pula pengkhususan atau spesialisasi fungsi dari beberapa peranan politik di dalam sistem. Di samping itu diferensiasi melibatkan pula Masalah integrasi proses-proses dan struktur-struktur yang rumit (Spesialisasi yang didasarkan pada perasaan integrasi keseluruhan).


BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan.

1. Perubahan Politik
Dari setiap pertukaran periode kepemimpinan terjadi perubahan politik yang sesuai dengan kepemimpinan presiden saat itu. Namun perubahan yang terjadi merupakan pendewasaan politik di Indonesia dalam perjalanannya menuju demokrasi.

2. Pembangunan Politik.
Terjadinya upaya-upaya agar meningkatnya kedewasaan politik yang kemudian mampu menyokong kekuatan Negara.

B. Saran.
Mengamati perubahan politik serta pembangunan politik di Indonesia pasca Reformasi 1998 adalah salah satu upaya untuk menambah wawasan serta menjadikan kita kritis terhadap perubahan dari periode ke periode. Namun sebaiknya, setiap perubahan yang terjadi harus di cermati secara positif karena perubahan politik yang terjadi pasti sesuai denagan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa itu dan menjadikannya nilai tambah dari keberanekaragamna kasanah pemikiran pemimpin kita yang berbeda-beda.
















DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Dewi Fortuna. 1999. “The Habibie presidency”, dalam Forrester, G (ed), Post-Suharto Indonesia: renewal or chaos:Crawford House Publishing: Bathurst.
http://wikipedia.com/pasca reformasi di Indonesia. senin, 28 juni 2010.
O’ Donnel, Guillermo.Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead,. 1986.Transition from authoritarian rule: prospect for democracy .Baltimore: Johns Hopkins University.

http://wordpress.com/pemimpin Indonesia Pasca REformasi/senin,28 Juni 2010

http://Kompas.com/ kebijakan pasca Reformasi 1998/senin,28 juni 2010

Tamrin, Drs Msi. 2010. Satuan Acara Pengajaran(SAP) dan Bahan Bacaan Pembangunan Politik. Jurusan Ilmu Politik. Universitas Andalas Padang.