Kamis, 30 Juni 2011

Street Level Birokrasi


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam konteks Indonesia, dengan budaya paternalistic yang sangat kuat, keberhasilan pembenahan birokrasi akan sangat di tentukan oleh peran pemimpin atau pejabat tinggi birokrasi. Jadi pembenahan tersebut harus dilakukan dari level atas, karna pemimpin birokrasi kerap kali berperan sebagai “ patron” sehingga akan lebih menjadi contoh bagi para bawahannya.
Pembenahan birokrasi mengarah pada aspek internal maupun eksternal birokrasi. Dalam tatanan internal pembenahan pada top level birokrasi harus di dahulukan, karena posisi strategis para birokrat pada tingkat puncak adalah sebagai pembuat keputusan strategis.
Pada tataran menengah keputusan strategis yang di buat oleh pemimpin harus dijabar dalam kepetusan-keputusan operasional dan selanjutnya kedalam keputusan-keputusan teknis bagi para pelaksanna di lapangan ( Street-Level Bureaucracy )

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, makalah yang berjudul “Street-Level Bureaucracy”, secara lebih terinci rumusan masalah tersebut difokuskan pada pokok masalah dan dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1.      Apa definisi “Street-Level Bureaucacy”?
2.      Apa saja prinsip-prinsip didalam Street-Level Bureaucacy?
3.      Apa contoh kasus tentang Street-Level Bureaucacy?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dan mengenal secara mendetail serta universal tentang Street-Level Bureaucacy.

D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini diuraikan antara lain :
1.      Pembaca dapat memahami tentang pengertian Street-Level Bureaucacy itu sendiri
2.      Dapat mendapatkan pengetahuan tentang fakta yang berhubungan dengan Street-Level Bureaucacy yang makalah ini juga dilengkapi dengan contoh kasusnya sendiri

PEMBAHASAN
A. Definisi Birokrasi Street-Level
Birokrasi Street – Level merupakan aparat birokrasi yang langsung bersentuhan dengan pelayanan publik atau dalam arti lain adalah aparat birokrasi yang melakukan akses langsung dengan publik atau melakukan publik service.
Menurut Michael Lipsky pada tahun 1980 berpendapat bahwa Street-Level Bureaucacy adalah mereka yang menjalankan tugas dan berhubungan langsung dengan masyarakat. Lipsky juga berpendapat bahwa praktek birokrasi street-level tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit, yaitu sebagai upaya untuk keluar dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan dan keterbatasan sumber daya yang dimilki. Apalagi dalam kenyataannya permintaan peningkatan pelayanan seperti tidak pernah berhenti (Nielsen, 2006).
Dalam kajian teoritis, fakta markus banyak dilakukan oleh aparat birokrasi street – level ini. Karya seminal Lipsky (1980) menjelaskan bahwa birokrasi street – level mempraktekan pemberian diskersi atas dispensasi manfaat atau alokasi sanksi. Terjadi konflik antara pembuat kebijakan dan birokrasi street – level sebagai pelaksana kebijakan.

B. Konsep Birokrasi Street-Level
Konsep Street-Level Bureaucacy ini telah diperkenalkan oleh Michael Lipsky pada tahun 1980 bahwa Street-Level Bureaucacy adalah sebagai orang yang “Publik Service secara langsung” dan “Pelaksana dari kebijakan Penguasa”. Publik Service secara langsung artinya bahwa para birokrat ini yang memberikan pelayanan langsung kepada para customer nya (publik). Contohnya adalah perawat, dokter-dokter praktek, polisi lalulintas, atau aparat birokrasi lainnya yang terjun langsung kepada public dan memberikan pelayanan sesuai dengan permintaan public dalam batasan aturan lembaga mereka masing-masing.
Pelaksana dari kebijakan penguasa bermakna bahwa para birokrat Street-Level Bureaucacy ini yang emnjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa mereka dan mereka pula yang menguatkan kebijakan yang dikeluarkan. Contoh polisi adalah orang yang bertugas untuk menguatkan Undang-undang atau peraturan pusat maupun peraturan di daerah setempat. Didalam kebijakan terhadap public itu sendiri para birokrat Street-Level dibolehkan untuk embuat keputusan ad hoc dan perubahan dasar. Hal ini terjadi apabila kebijakan dari atas mengalami kerancuan dalam penyampaiannya kepada bawahan, maka para birokrat Street-Level ini diperbolehkan untuk menerjemahkan kebijakan itu sendiri (tetapi yang terjadi adalah penyelewengan dengan penyelewengan sanksi bagi public).
Street-Level Bureaucacy haruslah adil. Adil merupakan kualiti yang dicari selepas mengambil Street-Level Bureaucacy. Street-Level Bureaucacy yang adil akan melaksanakan aturan-aturan dengan saksama, dan menggunakannya pada semua orang, tanpa ada mendiskriminasi oknum terhadap aturan. Contoh seorang Lurah yang sedang memperpanjang KTP, sekretaris di kelurahan tersebut harus memberikan pelayanan dan aturan yang sama dengan yang lain dalam prosedur yang berlaku.
Street-Level Bureaucacy ini mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi dalam masalah-masalah dan lebih memahami terhadap karakteristik para pelanggan-pelanggan mereka. Dengan ini, Street-Level Bureaucacy lebih memahami apa yang terjadi di masyarakat dalam menjalakan tugasnya (pelaksana kebijakan) dan image dari pemerintahan tersebut tergantung kepada cara penyampaian para birokrat Street-Level ini dan budi bicara mereka terhadap public.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa masalah-masalah mengenai Street-Level Bureaucacy sudah dibahas di Bab II ; Apa definisi Street-Level Bureaucacy, prinsip apa saja yang dipakai dalam Street-Level Bureaucacy ini, dan contoh kasus yang berhubungan dengan Street-Level Bureaucacy. Lipsky juga berpendapat bahwa praktek birokrasi street-level tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit, yaitu sebagai upaya untuk keluar dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan dan keterbatasan sumber daya yang dimilki. Apalagi dalam kenyataannya permintaan peningkatan pelayanan seperti tidak pernah berhenti (Nielsen, 2006). Tapi. teori tersebut relatif gagal menjelaskan fenomena markus.

B. Saran
Praktek dari teori-teori birokrasi yang sudah tidak ada lagi terpakai sepenuhnya dengan tepat yang disesuaikan dengan keadaan saat ini dalam konteks Indonesia.Perlu ada pembaharuan dari makna Street-Level Bureaucacy.

DAFTAR PUSTAKA
         Pendidikan Birokrasi : (Blog). Lora Yyk Aqina, Rabu, 10 Maret 2010.
         Wikipedia project webside bahasa Indonesia, ensyclopedia bebas. 2008. “Street-Level Bureaucacy”.
         Meningkatkan Pelayanan Publik: (Berita Opini). Media Cetak Radar Sulteng Online, Rabu, 5 November 2008.
         Reformasi Birokrasi: (Artikel). E-clipping, UNILA, Senin, 13 Juli 2009.
         Birokrasi Bawahan: (Artikel). Library bahasa Indonesia.pdf, USU, 2008.
         Implikasi Poltik Markus : (Berita KOLOM). TEMPO Interaktif Online, Rabu, 28 April 2010.

Draff Revisi Undang-Undang No 32 Tahun 2004 : Sebuah Perubahan atau Permainan Elit ?

A. Pendahuluan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hubungan kemitraan yang baik tentunya sangat diharapkan dalam mewujudkan demokrasi dan prinsip otonomi daerah yakni desentralisasi dan dekonsentrasi. Hubungan yang selama ini pelit karena serba dipilih oleh rakyat sehingga tidak dapat menentukan mana yang jalur koordinasi dan mana jalur komando itu sendiri. Berangakat dari permaslahan ini menteri Dalam Negeri merasa perlu merevisi UU NO 32 tahun 2004 ini.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemberian kewenangan seluas-luasnya ini kemudian berdampak terhadap kestabilan perekonomian Indonesia Sendiri. Hal ini dibuktikan dengan membengkaknya APBN yang dilator belakangi oleh daerah-daerah yang APBDnya devisit setelah menyelenggarakan pesta Otonomi Daerah yakni Pemilu Kepala Daerah. Revisi UU ini tentu tidak mudah diantara kepentingan partai politik yang kian tinggi, semua ingin memimpin, semua ingin mendapatkan kekuasaan tidak saja nasional namun daerah juga. Dana kampanye yang sampai miliyaran rupiah bisa dikembalikan dengan duduk sebagai kepala daerah, asumsi ini terus berkembang dan menjadi polemic diantara pesta Demokrasi yang di inginkan semua rakyat di Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan apakah Revisi UU ini mampu mengembalikan marwah Kepala Daerah sebagai abdi Negara atau hanya kemudian bagian dari permainan orang-orang berkepentingan yang mengatas namakan RAKYAT ? mungkin melihat perbandingan dari UU NO 32 tahun 2004 dengan Draf Revisi UU No 32 tahun 2004 yang diusulkan Mendagri bisa menjawab kerisauan hati kita.

B. Pembahasan
Perbedaan UU No 32 tahun 2004 dengan Draf Revisi UU No 32 tahun 2011
Revisi Undang-undang No 32 tahun 2004 terletak pada Peran Pemerintah Provinsi dalam Pembentukan Daerah dan Peranan Pemerintah Provinsi dalam Pelaksanaan Kewenangan Kabupaten/Kota. Undang-undang No 32/2004 memberikan kewenangan yang lebih besar kepada provinsi dalam menentukan pemilihan langsung pada pemilihan kepala daerah. Pembengkakan APBN untuk pemilu menurut saya menghapuskan pemilihan langsung kepala daerah atau Pemilukada tentu akan memberikan sedikit pemulihan stabilits keuangan Negara, hal ini kemudian muncul di Revisi UU NO 32 tahun 2004. Secara jelas bisa kita amati melalui table dibawah ini.
1. Status Provinsi
UU NO 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011
1. Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah:
a.       pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi;
b.      pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
2. Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah. Daerah provinsi selain berstatus sebagai daerah otonom juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah provinsi
Dengan perubahan ini Revisi UU ini telah menggunakan konsep Dekonsentrasi yang mana menurut revisi UU ini Dekonsentrasi sendiri adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur, sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Ini tentunya merupakan suatu proses penjalan konsep dekonsentarsi yang tertuang dalam UU ini yang selama ini hanya desentralisasi yang digunakan. Dengan revisi ini dapat kita pahami bahwasanya dengan prinsip Dekonsentrasi untuk provinsi, gubernur tidak lagi dipilih oleh rakyat hal ini setidaknya akan mengurangi cost untuk pemilu dan APBD bisa dihemat untuk pengadaan pemilu. Namun dengan penetapan gubernur merupakan perpanjangan tangan administrasi presiden didaerah akan menyebabkan partai politik pemenang pilkada untuk gubernur akan meributkannya dan permaslahan yang muncul kemudian adalah pengangkatan gubernur yang tidak serentak karena pilkada gubernur tidak serentak dilaksnakan diseluruh provinsi di Indonesia.

2. Fungsi DPRD

UU NO 32 Tahun 2004 Draf Revisi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang menjalankan fungsi penyusunan peraturan daerah, pengawasan, dan anggaran.
Penegasan fungsi dan kedudukan DPRD tentunya akan membawa dampak dengan bekerjanya perwakilan rakyat daerah yang selam ini dirasa kebinggungan dengan tugas yang akan mereka lakukan. Dari sekian banyak UU yang dikeluarkan DPR RI tentu tidak semua daerah mampu untuk ikut melaksankannya melihat potensi dan kondisi masing-masing daerha dengan penegasan peran dan fungsi ini tentu DPRD mampu mengeluarkan peraturan daerah yang tidak mengabaikan UU namun sesuai dengan situasi, potensi dan kondisi daerahnya masing-masing.

3. Urusan Pemerintah
Dalam UU NO 32 Tahun 2004 sebelumnya tidak ada penegasan kemudian digambarkan di revisi UU ini yakni UU NO 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011 Pasal 11
1.      Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan criteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
2.      Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antarpemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
3.      Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
4.      Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.

4. Pasal 1 ayat 25-29
1.      Urusan pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang dilaksanakan oleh kementerian negara, lembaga pemerintah non kementerian dan pemerintahan daerah yang mengandung hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
2.      Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan tidak diserahkan ke daerah.
3.      urusan pemerintahan bersama atau urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
4.      Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di luar urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan konkuren yang pelaksanaannya di daerah dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada gubernur dan bupati/walikota.

Dengan adanya penegasan ini jelas koordinasi dan hubungan yang akan dijalani pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sehingga terjalin komunikasi yang koheren dan bertanggung jawab dari daerah ke pusat nantinya.

5. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
UU NO 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011
Pasal 20
1.      Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:
a.       asas kepastian hukum;
b.      asas tertib penyelenggara negara;
c.       asas kepentingan umum;
d.      asas keterbukaan;
e.       asas proporsionalitas;
f.       asas profesionalitas;
g.      asas akuntabilitas;
h.      asas efisiensi; dan
i.        asas efektivitas.
2.      Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3.      Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pasal 2 Penyelenggaraan pemerintahan daerah berpedoman pada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri atas:
a.       kepastian hukum;
b.      tertib penyelenggara negara;
c.       kepentingan umum;
d.      keterbukaan;
e.       proporsionalitas;
f.       profesionalitas;
g.      akuntabilitas;
h.      efisiensi;
i.        efektivitas; dan keadilan.
Pasal 3 Dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, pemerintah pusat menerapkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Penyelenggaran pemerintah oleh daerah sudah mencakup ke tiga azaz Otonomi Daerah itu sendiri, Revisi hanya menegaskan dengan bahasa yang lugas dan tegas serta jelas.

6. Kewengan Kab/Kota
UU No 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011
Pasal 3
1.      Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah:
a.       pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi;
b.      pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah
2.      daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Pasal 7 ayat 2
Daerah kabupaten/kota selain berstatus sebagai daerah otonom juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati/walikotadalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah kabupaten/kota.
Untuk kewenangan Kab/Kota sebelumnya tidak dijelaskan di UU NO 32 tahun 2004 di draf revisi ini dijelaskan bahwa Kab/kota merupakan wilayah otonom serta administrative. Di rasa ini sangat baik mengingat adanya kejelasan status dari Kab.Kota itu sendiri sehingga jelas apa yan kemudian dilakukannya.

7. Pengangkatan Kepala Daerah dan Wakilnya
UU No 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011
Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk provinsi dipilih oleh DPRD dan untuk kabupaten/kota dipilih secara langsung oleh rakyat
(1)    Wakil gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.
(2)    Gubernur mengajukan calon wakil gubernur 2 (dua) kali dari jumlah wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri.

(3)    Wakil bupati/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diangkat oleh Menteri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.
(4)    Bupati/walikota mengajukan calon wakil bupati/wakil walikota 2 (dua) kali dari jumlah wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri melalui gubernur.
Penentuan cara pengangkatan gubernur dan wakilnya serta Bupati/Wali kota di dalam revisi sudah jelas. Dengan menjadikan Gubernur sebagai dekonsentarsi tentu menghemat Price untuk Pilkada dan menghindari dari maney politik serta konflik baik intern parpol maupun ekstern. Namun pencalonnan gubernur melalui DPRD tentu bisa berdampak bagi-bagi kekuasaan dan penyelewengan seperti pengangkatan Gubernur BI oleh DPR RI tahun 2009. Positifnya, sudah selayaknya juga DPRD diberi kepercayaan bahwa mereka adalah Badan representative rakyat untuk daerahnya. Pengangkatan wakil baik gubernur/Bupati/walikota yang merupaka dari kalangan pemerintah tentunya diharapkan merupakan orang yang paham dan mengetahui tata kelola rumah tangga daerah. Sehingga Kepala Daerah bisa lebih banyak berperan aktif. Hal ini dilator belakangi bahwa melalui PILKADA terkadang terpilih adalah pengusaha dan politisi Partai yang kemudian sibuk dengan “balik modal” tanpa memikirkan tata kelola Rumah Tangga Daerah.

8. Syarat Kepala Daerah
UU NO 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
a.       bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c.       berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d.      berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e.       sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
f.       tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;
g.      tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h.      mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya
i.        menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j.        tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara.
k.      tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
l.        tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m.    memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n.      menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o.      belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p.      tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah. (1) Kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:
a.       bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.      setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah pusat;
c.       berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;
d.      mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup di bidang pemerintahan;
e.       berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
f.       mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter yang ditunjuk oleh pemerintah daerah;
g.      tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih kecuali yang bersangkutan telah selesai menjalani pidana lebih dari 5 (lima) tahun dan mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa dirinya pernah menjadi terpidana serta tidak akan mengulang tindak pidananya ;
h.      tidak dipidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap akibat perbuatan pidana asusila;
i.        tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
j.        menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
k.      tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
l.        tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
m.    memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
n.      memiliki laporan pajak pribadi;
o.      belum pernah menjabat sebagai kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
p.      memiliki visi misi dan program strategis mengacu pada RPJPD;
q.      tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan kepala daerah untuk daerah yang sama kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan; dan
r.        tidak dalam status terdakwa karena didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Untuk syarat dirasa sudah baik, baik dari revisi ini namun pengaplikasian dari peraturan ini yang seharusnya menjadi telaah kembali oleh badan pengawas atau DPRD yang nantinya memilih Gubernur, KPU yang nantinya sebagai pengseleksi calon Bupati/ Wali Kota.

9. Tugas Kepala Daerah
UU NO 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011
Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a.       memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b.      mengajukan rancangan Perda;
c.       menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d.      menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e.       mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.       mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g.      melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan Gubernur menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 melalui Menteri, 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
a.       Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas:
a.       pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh kabupaten/kota;
b.      pembinaan dan pengawasan kelembagaan, personil, dan peraturan perundang-undangan kabupaten/kota;
c.       koordinasi perencanaan pembangunan antar kabupaten/kota dan antar provinsi dengan kabupaten/kota di wilayahnya;
d.      pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah kabupaten/kota;
e.       koordinasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di kabupaten/kota;
f.       mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan dan pembangunan antara provinsi dan kabupaten/kota serta antar kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
g.      melakukan monitoring, evaluasi, supervisi terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya;
h.      memberdayakan dan fasilitasi terhadap kabupaten/kota di wilayahnya;
i.        melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda kabupaten/kota terkait RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, tata ruang, pajak dan retribusi daerah, dan pengawasan terhadap perda kabupaten/kota; dan

Bupati/walikota menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
1.      membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
2.      membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
3.      memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
4.      memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
5.      memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
6.      melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
7.      melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
Wakil kepala daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah:
a.       menyelenggarakan pengawasan pemerintahan daerah;
b.      mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah;
c.       memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi; dan
d.      memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan
Tugas dari kepala daerah dan wakilnya ini merupakan kejelasan arah revisi UU ini, bahwasanya Mendagri menginginkan kinerja dari aparatunya sebagai abdi Negara. Hal ini tentunya berdampak positif untuk kelanjutan birokrasi Indonesia kedepannya serta tata kerja aparaturnya.

10. MUSPIDA
UU NO 32 Tahun 2004 Draf Revisi 2011
1.       Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a.    Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
b.    Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakanoleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundangundangan (1) Forum Koordinasi Pimpinan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh gubernur dan anggotanya sekurang-kurangnya terdiri dari ketua DPRD Provinsi, Polri, Kejaksaan, dan unsur TNI.
2.       Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas bupati/walikota dalam pelaksanaan sebagian urusan pemerintahan umum dibentuk Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota.
Ravisi UU ini berdampak dengan adanya badan resmi bernama MUSPIDA yang sebelumnya sudah ada namun diluar UU Otoda sendiri. Berjalannya MUSPIDA ini bertentangan dengan pemisahan kekuasaaan Trias Politica. Ketakutannya adalah melalui MUSPIDA nantinya ada-ada saja program atau plan yang merugikan daerah dan menguntungkan kepala daerah. Dirasa untuk fungsi pengawasn BPK sebagi pengelola keuangan tentu bisa digunakan apalagi UU NO 29 tahun 2009 dengan Ombudsmennya serta UU No 14 Tahun 2008 dengan Komisi Informasi Publik tentu sudah bisa diharapkan sebagai pengawas berjalannya Otonomi Daerah ini sendiri.

C. KESIMPULAN
Melihat dari perbandingan antara UU NO 32 tahun 2004 dengan Draf Revisi UU No 32 2004 terlihat adanya keingin untuk memperbaharui kondisi Otonomi daerah yang dianggap sebagai penyebab pembengkakan pesta demokrasi di Indonesia. Pemilihan langsung Kepela Daerah baik provinsi sampai Bupati/ Wali Kota tentunya tidak dengan biaya yang murah. Mulai dengan biaya administrsi ( pemalsuan ijazah dan sebaginya) sampai biaya kampanye. Selama pesta PILKADA diraskan, kampanye yang dilkukan tidak berkualitas dengan pemasangan liflet, pamphlet, baliho tentu merusak tata kota ataupun pemandangan. Ditambah dengan tidak bijaksannaya pasangan calon yang tidak menurunkan perangkat kampanye. Bisa kita amati sepanjang jalan dimana saja masih saja ada bekas spanduk, baliho, atau pamphlet mereka.
Dengan adanya revisi UU NO 32 Tahun 2004 ini tentu besar harapan otonomi daerah bisa berjalan dengan baik. Berjalannya otonomi daerah di Negara demokarsi tentu harus disertai dengan reformasi birokasi yang layak sehingga balance kekuasaan dengan kinerja bisa berbarengan. Dengan mempertegas prinsip Otonomi Daerah yakni Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menciptakan Otonomi yang bersih dan bebas KKN. Tentunya ini harapan semua rakyat Indonesia.

Sabtu, 18 Juni 2011

Menciptakan strong Bicameral dengan amandemen UUD 1945 pasal 22d

A. Latar Belakang.
Indonesia dengan sistem presidensial sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002 berupaya meningkatkan eksistensi dari lembaga perwakilan rakyat. Bagi negara yang menganut trias politica merupakan sebuah keharusan untuk menciptakan lembaga Perwakilan rakyat yang kuat sebagai upaya check and balances diantara lembaga lain, yaitu eksekutif dan yudikatif. Dalam amandemen tersebut Indonesia tidak lagi memakai sistem Unikameral melainkan Bikameral dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah . Fungsi kedua Dewan Perwakilan ini dijelaskan dalam UUD 1945 yakni Fungsi dari DPR sesuai dengan pasal 20 A adalah Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; serta selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dna pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya eknomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (pasal 22d ayat 1). DPD ikut membahas sejumlah RUU yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22 D ayat 2). DPD dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya dalam anggota DPR.
Mengamati fakta dari beberapa tahun belakangan, banyak terjadi perdebatan bahwa sistem bikameral indonesia masih lemah. Hal ini disebabkan dengan tidak berimbangnya kekuatan antara DPD dengan DPR. Kemudian muncul wacana dikalangan elit politik Indonesia untuk mengamandemen UUD 1945 untuk ke lima kalinya sebagai solusi agar bicameral di Indonesia menjadi kuat. Hal ini yang kemudian bagi penulis menarik untuk meninjau kembali sistem bicameral Indonesia dan apakah amandemen UUD 1945 merupakan solusi untuk menjadikan Indonesia Strong Bicameral.


B. Analisa dan Pembahasan

1.1 Tinjauan Perpustakaan

Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar negara (60%) disebut sebagai Senate (dengan berbagai variasinya seperti sénat, senato, senado, senatuil).

Diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan (lihat Patterson dan Mughan 1999) :
1. Representation, perlunya perwakilan yang lebih luas dari pada hanya atas dasar jumlah penduduk. Dalam hal ini yang paling utama adalah pertimbangan keterwakilan wilayah. Maka acapkali dikatakan bahwa majelis rendah mencerminkan dimensi popular (penduduk) sedangkan majelis tinggi mencerminkan dimensi teritorial (Tsebelis dan Money ibid). Namun ada pula negara yang menerapkan azas keterwakilan berdasarkan keturunan, dan kelompok sosial, seperti agama, budaya dan bahasa, kelompok ekonomi, serta kelompok minoritas, yang dalam sistem yang menganut satu majelis, kepentingan-kepentingan tersebut dapat tenggelam karena tidak cukup terwakili.
2. Redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara masak dan mendalam. Menurut pendapat para ahli, sistem bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson dan Mughan 1999).

Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M. Si. , tentang kelebihan/keuntungan dalam sistem legislatif bicameral adalah kemampuan anggota untuk: Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan);
• Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan;
• Mencegah disyahkan perundang-undangan yang cacat atau ceroboh;
• Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.

1.2 Bicameral Di Indonesia Pasca Amandemen IV UUD 1945 tahun 2002

Pasca amandemen UUD 1945 terdapat 3 lembaga Negara yakni MPR, DPR dan DPD. Hal ini kemudian membuat banyak ahli mempertanyakan sistem bicameral di Indonesia, bicameral atau tricameral. Menurut Jimly Asshidiqie (2003: 137) , dalam konteks ini maka prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam lembaga MPR yang akan membagikan kekuasaan itu secara vertikal kepada lembaga yang ada di bawahnya. Dengan adanya perubahan itu, maka pusat perhatian harus diarahkan kepada upaya memahai perwu-judan kedaulatan rakyat ke dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan utama, yaitu parlemen (terdiri atas MPR, DPR, dan DPD) dan lembaga kepresidenan atau pemerintahan. Aliran mandat kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat akan mengalir langsung dan secara periodik kepada kedua cabang kekuasaan tersebut melalui proses pemilihan umum yang diselenggarakan secara jujur dan berkeadilan. Namun pernyataan Jimly tentu belum menjawab permasalahan di Indonesia tentang bicameral.
Fungsi DPD yang tertuang dalam pasal 22d mengakibatkan DPD tidak memiliki peran penting dalam lembaga perwakilan. Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki, sistem bicameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bicameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok bicameral yang lemah.

Arend Lijphart kemudian memberikan penjelasan antara parlemen bikameral kuat dan lemah yang dibedakan menjadi tiga ciri-ciri: Pertama, kekuasaan yang diberikan secara formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut; kedua, bagaimana metode seleksi mereka, biasanya memepengaruhi legitimasi demokratis dari kamar-kamar tersebut; ketiga; perbedaan yang krusial antara dua kamar dalam legislative bicameral adalah kamar kedua mungkin dipilih dengan cara atau desain yang berbeda juga sebagai perwakilan (overrepresent) minoritas tertentu/khusus.

Di Indonesia, yang mempunyai kewenangan untuk legislasi atau pembuatan UU adalah DPR. Hal ini terlihat dari rumusan Pasal 20 ayat (1) "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang". Memang terdapat rumusan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:"Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat". Namun Pasal 5 ayat (1) tidaklah memberi kekuasaan kepada Presiden dalam hal legislasi, sebab Presiden hanya berhak saja mengajukan suatu Undang-Undang. Sedangkan hak bukanlah kewenangan. Kewenangan adalah terkait dengan kekuasaan dan mengharuskan untuk dilakukannya kekuasaan tersebut, yang jika tidak dilakukan justru akan menimbulkan akibat hukum. Sedangkan hak sesuatu yang relative, yaitu sesuatu yang bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Tidak ada implikasi dan akibat hukum jika tidak memfungsikan atau melakukan hak yang dimiliki. Sementara, kewenangan DPD, sebagaimana di sebutkan diatas, hanya berfungsi sebagai kamar atau dewan "penyokong" dari DPR semata. DPD tidaklah mempunyai hak legislasi. Dengan begitu, terlihat bahwa Amandemen ke IV UUD 1945 menjadikan sistem bicameral di Indonesia Lemah.





1.3 Amandemen UUD 1945: Menuju Strong Bicameral

Jika kemudian Narasi Besar tentang bicameral di bawa kedalam ranah Ketatanegaraan Republik Indoensia, maka harus ada beberapa agenda terkait dengan reformasi keparlemenan yang harus di laksanakan dengan melalui amandemen UUD 1945 . Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa setelah Amandemen I-IV UUD 1945 muncul sebuah lembaga "parlemen" yang dinamakan DPD. Namun ternyata peran fungsi DPD tidak signifikan dan memiliki posisi tawar sebagai the second chamber. Ini terlihat dari fungsi DPD berdasarkan Pasal 22D UUD 1945,:
1. Dapat mengajukan RUU tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah);
2. Ikut membahas RUU tertentu;
3. Memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, dan RAPBN;
4. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat (1);
5. melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR.

Terlihat jelas bahwa ternyata peran dan fungsi DPD hanyalah sebagai lembaga "penyokong" DPR. Dengan peumusan seperti itu, eksistensi DPD tidak lebih hanya sebagai sebuah kamar parlemen yang "lumpuh". Sebab DPD tidak mempuyai tugas dan wewenang untuk ikut serta dalam bidang legislasi, budgeting dan controling. Suatu tugas dan fungsi fundamental yang harusnya juga dimiliki oleh kamar the second chamber.
Dengan demikian, perlu dilakuakan amandemen UUD 1945 untuk mendorong parlemen Indonesia menuju sistem Parlemen Strong Bicameral, mau tidak mau peran, fungsi dan tugas DPD haruslah diperkuat. Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan.
Mengamandemen UUD 1945 untuk menciptakan bikameral yang kuat Di Indonesia tentu sujatu pekerjaan yang harus cermat dan teliti. Salah satu upaya untuk menciptakan bikameral yang kuat di Indonesia tentunya dengan menyeimbangakan perang fungssi DPR dan DPD. Untuk itu ada beberpa alasan kenapa DPD harus di perkuat. Pertama, sistem dua kamar lebih menjamin demokrasi dan kesejahteraan. Negara-negara besar dengan jumlah suku dan agama yang beragam umumnya mengadopsi sistem parlemen dua kamar. Bicameralisme tidak lagi identik dengan negara federal, tetapi semakin lazim di negara kesatuan yang menerapkan desentralisasi seperti Indonesia. Kedua, memperkuat sistem checks and balances. Hadirnya kamar kedua (second chamber) mengandaikan terciptanya checks and balances bukan hanya antarcabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), tetapi juga di dalam cabang kekuasaan legislatif itu sendiri. Kamar kedua memungkinkan bekerjanya sistem double checks, yaitu terbukanya peluang pembahasan yang berlapis terhadap setiap produk legislatif yang berdampak bagi rakyat. Kamar kedua berfungsi, mengutip CF Strong (1973), untuk mencegah lahirnya undang-undang yang dibuat secara tergesa-gesa oleh satu majelis.
Ketiga, memperjelas sistem parlemen Indonesia. Dengan memperkuat DPD, parlemen Indonesia semakin didorong ke arah bicameralisme murni, tidak pseudo-bicameralism seperti sekarang. Memperkuat DPD juga merupakan bentuk dari tindakan politik yang fair. Sebab, syarat untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat ketimbang menjadi anggota DPR. Untuk menjadi calon saja, anggota DPD harus memperoleh dukungan 1.000 sampai 5.000 tanda tangan pemilih. Mereka langsung berhadapan dengan rakyat, berbeda dengan DPR yang dipilih melalui partai politik.
Keempat, terkait dengan konsistensi pilihan yang sudah dilakukan Negara kita. Indonesia sudah menyepakati untuk mempertahankan Bentuk Negara Kesatuan, namun dengan kompromi berupa otonomi daerah. Otonomi daerah yang ada di Indonesia adalah suatu bentuk kompromistis terhadap tuntutan adanya fedralisme yang dahulu pernah diusung oleh beberapa kelompok yang menginginkan menjadi Negara Serikat.
Konsekuensi dengan adanya otonomi daerah, maka perkembangan dan urusan daerah diserahkan kepada daerah, dengan tanpa mengurangi kewenangan pusat. System otonomi daerah mengharuskan parlemen lebih peka dan responsive terhadap perkembangan yang ada dan terjadi di daerah. Maka dengan mengadopsi system strong bicameral yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia, maka diharapkan justru akan memperkuat ketahanan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, hal itu akan menunjukkan bahwa parlemen bukan hanya menampung aspirasi dan kemajuan daerah melalui DPD, namun lebih dari itu, mampu memperjuangkan dan menghasilkan suatu produk hukum yang lebih responsive dalam mengimbangi keinginan daerah untuk maju melalui lembaga DPD.
Melalui Amandemen UUD 1945 nantinya diharapkan terbentuknya sistem strong bikameral, dengan cara: (1) DPD mempunyai wewenang legislasi, pengawasan, dan anggaran; (2) DPD mempunyai wewenang untuk membahas dan ikut memutuskan seluruh RUU yang dibahas DPR; (3) DPD memiliki hak inisiatif untuk mengajukan RUU, tetapi terbatas pada bidang-bidang tertentu yang terkait dengan urusan daerah; (4) Susunan dan kedudukan MPR dirombak sehingga MPR hanya berfungsi sebagai rumah bersama bagi dua kamar DPR dan DPD. MPR tidak perlu memiliki Sekretariat Jenderal sendiri. MPR juga tidak memerlukan pimpinan permanen, karena bisa dijabat secara bergantian oleh pimpinan DPR dan DPD.

C. Kesimpulan

Mengamati perkembangan bikameral di Indonesia pasca Amandemen IV UUD 1945 tahun 2002 terdapat tiga lembaga perwakilan MPR, DPR dan DPD. Jika indonesia mengatakan dengan berani menganut sistem perwakilan bicameral, MPR merupoakan suatu lembaga perwakilan yang hari ini semakin di pertanyakan. Bikameral di Indonesia seharusnya hanya ada DPR dan DPD namun meninjau pasal 22d amandemen IV UUD 1945 perlu di bicarakan kembali atau di amandemen lagi UUD 1945 karena penulis melihat terjadi ketimpangan peran dan fungsi antara DPR dan DPD. Walau penulis sendiri merasa dilema UUD 1945 sebagai aset founding father Indonesia untuk kelima kalinya di amandemen, namun hal ini perlu untuk menyempurnakan ketatanegaraan bangsa Indonesia.

D. Daftar Pustaka

1. Amandemen IV UUD 1945 tahun 2002
2. www.ginandjar.com/ BIKAMERALISME DI INDONESIA Jakarta, 2 Maret 2006 diakses pada 27 Maret 2011
3. http://www.google.com/MENENGOK WATAK PARLEMEN BIKAMERAL DI INDONESIA oleh Isharyanto diakses pada tanggal 28 Maret 2011
4. http:// www.google.com/ Bicameralisme Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia diakses pada tanggal 23 Maret 2011

Diskursus Wacana Mengenai Pergeseran Ideologi dari “Kiri” ke “Kanan”

Ideology menurut saya tetap satu, tidak ada pemisahan antara ideology kiri atau kanan. Karena ideology adalah hak dan kebebasan seseorang, bangsa untuk menentukan gerakannya. Ini sepadan dengan kenetralitas Hutington dalam menyikapi ideology. Berusaha netral terhadap pembentukan rezim di negara-negara baru merdeka, membangkitkan pemikir lain untuk kembali menilai keutamaan paham yang saling bersaing pada saat perang dingin berlangsung. Namun pernyataan ideology kiri dan kanan ini berlangsung pasca perang dingin, hal ini akibat kekalahan Uni Soviet sebagai Negara blok timur. Pasca ini lah blok barat menghegemoni Negara non blok untuk mengikuti ideologi kanan yang beraroma demokratis. Hal ini yang kemudian saya rasa menjadi acuan dan sebuah pernytaan bagi penulis(sumber) bahwa telah terjadi pergesaran ideology kiri ke ideology kanan.
Di Indonesia kelompok kiri sering dipahami sebagai sekelompok orang, golong, atau partai yang berazaskan atau berhaluan sosial-demokrat atau sosial-komunis. Sedangkan kelompok kanan adalah kelompok yang mengedepankan ideologi Islam, atau dalam perspektif lain, kanan ini juga dapat diartikan sebagai paham militeristik. Maka istilah kiri dan kanan tidak bisa diartikan sebagai penentang atau pembela kebijakan pemerintahan.
Berger menilai bahwa model pembangunan kiri atau kanan sama buruknya, khususnya pada saat sistem pemerintahannya mengimplementasikan model pembangunan. Keburukan ini disebabkan oleh korban yang begitu besar dalam berbagai projek pembangunan yang dijalankan oleh negara-negara berkembang yang mengikuti kedua ideologi tesebut.

Pergulatan konsep Trias politika pada Pemerintahan Nagari

Absrtak
Nagari mengalami distorsi akibat direduksi oleh negara. Hal ini dapat diamati dari Perda/Perna tentang nagari yang masih beraroma politik struktural semata, seperti halnya pembentukan BAMUS-KAN yang difungsikan dalam paradigma politik trias politica, yang jelas tak ada silsilahnya dengan demokrasi kerapatan Minangkabau. Konsep trias politika yang ditandai dengan adanya distribusi kekuasaan pada lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif merupakan instrument demokrasi di suatu Negara.
Nagari bagi orang-orang Minangkabau tidak hanya menjadi identitas kultural tetapi juga menjadi institusi politik. Tapi satu hal yang harus di garis bawahi bahwa demokrasi lokal di nagari Minangkabau dengan demokrasi yang sekarang kita pahami, cukup jauh berbeda. Demokrasi yang kita pahami saat ini basisnya jelas, itu impor dari Eropa. Landasan demokrasi kita itu adalah individualisme, karenanya sekarang muncul voting yang pada penekanannya pada individu-individu. Dengan semangat individualisme yang dijunjung tinggi Demokrasi Barat telah menghilangkan semangat musyawarah yang telah tertanam dalam nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan falsafah kok bulek lah buliah digolongkan, kok pipiah lah buliah dilayangkan, belek aie dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. pergeseran nilai ini juga diperkuat dengan memfusikan paradigma trias politica dalam menjalankan pemerintahan.
Hal ini berdampak aktif mengeser peran/kontrol ninik mamak, ulama, cadiak pandai dalam struktur sosial dan politik di nagari. Ditambah lagi oleh falsafah kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka nan bana. Leader terkemuka di Nagari dengan pihak penyelenggara pemerintahan adalah Wali Nagari dan Bamus dan dari pihak subkultur adat Minangkabau adalah KAN. Tiga pemimpin nagari ini sebenarnya berpotensi mengambil posisi trias politika seperti yang ditunjukan dalam sejarah kepemimpinan di nagari Minang dahulu ketika pemerintahan nagari itu setangkut dengan pemerintahan adat. Pembagian kekuasaannya: (1) Wali Nagari sebagai kepala pemerintahan berfungsi eksekutif. (2) Bamus sebagai legislatif lembaga musyawarah pihak pemerintah bersama lembaga musyawarah pihak masyarakat adat KAN. (3) KAN sendiri difungsikan kembali seperti KAN (Kerapatan Nagari) dulu berfungsi sebagai lembaga yudikatif (lembaga penegak hukum) di nagari.

Pendahuluan
Nagari secara historis adalah teritorial otonom tertua yang secara gigih tetap terus menerus dipertahankan oleh orang Minangkabau. Dalam adat Minangkabau terlihat sekali penekanan bahwa nagari merupakan cerminan identitas budaya, berfungsi sebagai unit sosial yang utama dan dominan dalam masyarakat Minangkabau. Sebagai sebuah lembaga, nagari memiliki teritorial quality dan geneology quality. Ia bukan hanya sebagai lembaga pemerintahan formal yang mempunyai unsur legislatif, eksekutif dan yudikatif, sekaligus juga merupakan lembaga adat sebagai kesatuan sosial utama masyarakat Minangkabau. Nagari merupakan ‘republik mini’, memiliki kemandirian, punya pemerintah sendiri, punya batas teritorial yang jelas dan punya adat sendiri yang mengatur tata kehidupan warganya.
Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, demokrasi diinstitusionalisasikan melaui intitusi rapek; sebuah dewan musyawarah-mufakat untuk mencari, merumuskan dan menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat (rapek nagari/rapek jorong/rapek suku/rapek kaum/rapek paruik). Sistem yang dikembangkan adalah pola sakato-samufakaik. Oleh karenanya orang Minangkabau sama sekali tidak mengenal demokrasi ”hak pilih universal” sebagaimana demokrasi liberal. Yang menentukan pimimpian nagari misalnya (Walinagari) bukan masyarakat umum, tetapi pimpinan suku dan kaum (penghulu). Inilah bentuk demorasi di Minangkabau; sebuah ”demokrasi karapatan”. Karena memang, demokrasi di Minangkabau dulu bertumpu pada kekuatan rapat-rapat yang dilakukan oleh pelbagai pimpinan suku/kaum yang ada dalam satu nagari. Pola demokrasi ini selama puluhan tahun dipraktekan masyarakat Minangkabau, sampai kemudian masuk kekuatan kolonialisme, kemudian Orde Lama, dan diperparah oleh himpitan Orde Baru.Setelah runtuhnya orde baru dan berganti dengan Reformasi, membangkitkan untuk desentralisasi sampai pada struktur terendah yaitu nagari dan desa yang diatur oleh UU No.32 Tahun 2004. Desentralisasi beriringan juga dengan datangnya demokratisasi sampai pada nagari.


Demokratisasi Nagari
Demokrasi lokal kita maknai dari teori demokrasi pasif normatif. berbicara tentang demokrasi lokal di Minangkabau, kita lihat konstitusinya dulu karena setiap demokrasi itu ada kelembagaannya. Di Minangkabau atau Sumatra Barat institusi sosial politik yang paling tinggi, yang dianut oleh masyarakat adalah nagari.
Nagari bagi orang-orang Minangkabau tidak hanya menjadi identitas kultural tetapi juga menjadi institusi politik. Kepada kepala nagari masyarakat menumpaskan aspirasi-aspirasi politiknya. Tapi satu hal yang harus di garis bawahi bahwa demokrasi lokal di nagari Minangkabau dengan demokrasi yang sekarang kita pahami, cukup jauh berbeda. Demokrasi yang kita pahami saat ini basisnya jelas, itu impor dari Eropa. Landasan demokrasi kita itu adalah individualisme, karenanya sekarang muncul partai tapi orang penekanannya pada individu-individu. Mangkanya muncul rumusan kekuasaan itu di tangan rakyat, untuk rakyat. Rakyat dimaknai dengan individu-individu, maka ketika angka golput semakin tinggi maka sistem demokrasi menjadi terancam. Bagi orang Minangkabau basis mereka itu bukan individualisme tetapi komunalitas-kebersamaan. Karena itu demokrasi di Minangkabau bukan kekuasaan di tangan rakyat tetapi di tangan kaum. Hal itu yang harus dipahami benar. Ada orang Minangkabau ini yang tidak demokratis kalo memang diukur dengan demokrasi yang dikembangkan sekarang. Tapi kalau kita rujuk 200 abad yang lalu ke Yunani, demokrasi berkembang di dua tempat, pertama di Yunani Athena, yang kedua di Roma. Di Roma demokrasinya beda dengan demokrasi di Yunani. Yunani adalah polis jadi merasa sekat perkotaan individu-individu yang menentukan pilihan mereka. Tapi di Roma tidak, sistimnya delegasi.

Konsep kepimpinan di Minangkabau itu mamak dan kemenakan. Mamak adalah pimpinan, kemenakan adalah rakyat. Jadi hubungan yang sebenarnya di Minangkabau itu hubungan Mamak dengan kemenakan, bukan hubungan rakyat dengan penguasa. Kaum saya misalnya Datuk Penghulu Basa, saya kemenakannya mengupas secara politik yang akan menyalurkan aspirasi saya. Bukan secara pribadi, tetapi menguat penghulu itu di tingkat nagari. Saya baru bias berpartisipasi ketika mamak saya yang kaum kami amanatkan untuk memimpin kaum itu di sana kami berhulung temu. Dalam satu nagari ada 70 mamak kepala kaumnya, maka yang 70 itulah dewannya. Bukan dipilih secara langsung tetapi mereka dipilih oleh kaum mereka.

Jadi demokrasi di Minangkabau itu demokrasi kerapatan. rapek itu pake tingkatan, di nagari, rapek nagari, di suku rapek suku, di kaum rapek kaum. Jadi di institusi pengambilan keputusan di Minangkabau melalui konstittusi rapek. Karena sering rapeknya orang Minangkabau dalam menentukan kebijakan-kebijakan, maka di istilahkan demokrasi lokal di Minangkabau itulah demokrasi kerapatan. Oleh karena itu masing-masing kaum yang dipimpin oleh mamak adalah menyuarakan kepentingan-kepentingan kemenakannya tadi di dewan kerapatan. karenanya kalau menganut sistem partai maka partai sesungguhnya partai di Minangkabau adalah kaumnya. Syarat dari sebuah nagari itu paling tidak ada 4 (empat) suku, karena dengan adanya 4 suku itu menunjukan bahwa kontrol terhadap masing-masing kaum lain ada. Yang memimpin wanita, dari dulu adalah pucuk-pucuk kepala suku itu yang bermusyawarah bersama mereka. Di Minangkabau itu tidak mengenal one man one vote, sistem voting mereka tidak mengenal itu. oleh karena itu tidak ada di Minangkabau memilih pimpinan melalui coblos atau contreng seperti yang kita ketahui sekarang. Pemilihan wali nagari dilakukan oleh kepala-kepala suku dari hasil musyawarah mufakat. Jadi sistem pengambilan keputusan itu adalah sakatu hasil mufakat.












Paradigma Trias Politica Dalam Wacana Demokrasi Lokal
Beberapa asumsi mengatakan bahwasanya paradigm trisa politica merupakan pilar dari demokrasi, mungkin hal tersebut hanya bisa diterapkan pada Negara. Lainya halnya dengan nagari yang mempunyai cultural-historis yang diikat oleh nilai adat yang telah mengatur bagaimana kekuasaan dalam nagari tersebut diatur. Nagari yang ada pada masyarakat Minangkabau telah membagi kekuasaan dan kepemimpinan tersebut pada ninik mamak, cadiak pandai dan panghulu.
Akan tetapi dengan masuknya demokratisasi pada masyarakat Minangkabau telah membuat nilai adat yang mengatur stuktur social telah bergeser dan digantikan dengan BAMUS-KAN. Gerakan kembali ke nagari yang dibarengi dengan desentralisasi-demokratisasi menimbulkan polemik untuk mencari metode dalam menanamkan konsep demokrasi dalam msyarakat minangkabau. Hal ini dirasakan gerakan kembali ke nagari merupakan eksperimen demokrasi lokal. Dibuktikan dengan munculnya konflik horizontal antara masyarakat dalam perebutan pilar lembaga kekusaan seperti wali nagari, KAN-BAMUS yang mana dilakukan dengan pemilihan (voting).

Peran Pemuda dalam Mewujudkan Demokrasi Lokal di Nagari

Abstrak
Paradigma bahwasanya pemuda adalah generasi perubahan yang memiliki fitrah sebagai pemberani dan revolusioner yang memiliki karakter khas yang berbeda dengan golongan lainnya. Sehingga pemuda memiliki peran dan kedudukan yang penting baik dalam tatanan bernegara, berbangsa, dan beragama. Penguatan peran pemuda tentu merupakan hal yang lumayan sulit ditengah-tengah gencarnya hegemoni budaya luar yang mengerecoki baik pemikiran maupun perilaku pemuda saat ini.
Indonesia sebagai Negara demokrasi mewujudkan peran pemuda dengan di sahkannya UU No 40 tahun 2009 tentang kepemudaan. Sehingga tampak bahwa pemuda merupakan aspek penyokong Negara yang selalu dipertimbangkan. Sejarah memberikan ruan pengakuan bahwasanya peran pemuda tidak lepas dari kehidupan bernegara. Hal ini kemudian menjadi acuan bahwa pemuda seharusnya turut berperan dalam tataran mewujudkan demokrasi lokal. Otonomi daerah salah satu peluang guna mengembalikan serta mewujudkan pemuda yang sadar akan posisi dan fitrahnya sebagai agent of balance dalam tataran pemerintahan terkecil sperti halnya nagari.
Peran pemuda di nagari merupakan hal yang masih dipertanyakan, ini dikarenakan kedudukan pemuda dalam nagari atau wilayah Sumatera Barat yang tertuang dalam pantun adat yang berbunyi “Karatau madang di ulu, ba buwah ba bungo balun, marantau-lah buyuang dahulu, di rumah paguno balun”.

Latar Belakang
Sejarah lahir dan tumbuh kembang NKRI tidak pernah lepas dari satu nama; “pemuda”. Sejak dari Boedi Oetomo (1908) sebagai Kebangkitan Nasional; Sumpah Pemuda (1928) sebagai kelahiran bangsa Indonesia; Proklamasi Kemerdekaan (1945) sebagai kelahiran negara Indonesia, gerakan pemuda melengserkan orde lama tahun 1966, sampai Gerakan Reformasi (1998) sebagai perjuangan mengembalikan kehormatan bangsa dari otoritarianisme adalah bentuk partisipasi pemuda yang umum dikenal dalam mengawal bangsa ini. Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan Indonesia sampai detik ini tidak terlepas dari peran pemuda. Pemuda berperan sebagai check dan balances delam tatanan kehidupan bernegara.
Tidak saja dalam tatanan kehidupan Negara, dalam agama islam sendiri pemuda memiliki peran yang penting. Hal ini dijelaskan dalam Alquran Surat Al-Anbiya ayat 59-60 “berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap tatanan sistem yang rusak. Seperti kisah pemuda (Nabi) Ibrahim. “Mereka berkata: ‘Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? sungguh dia termasuk orang yang zalim, Mereka (yang lain) berkata: ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala) ini , namanya Ibrahim”. Jauh sebelum Budi Utomo, spirit perubahan dan semangat kepemudaan telah ditunjukan mulai dari zaman Nabi Ibrahim. Berani merombak dan bertindak revolusioner, setidaknya spirit ini berada dan bersemedi dalam tubuh pemuda termasuk pemuda di Indonesia. Secara fitrah inilah pemuda, manusia berkarakter khas yang berbeda dengan golongan lainnya.
Apa yang kemudian terjadi belakangan dengan fitrah pemuda ini ? Merupakan sebuah pertanyaan besar dimana ketika pemuda seharusnya berperan aktif dalam kehidupan baik berbangsa, bernegara maupun beragama. Problematika pemuda yang terbentang di hadapan kita sekarang sungguh kompleks, mulai dari masalah pengangguran, krisis mental, krisis eksistensi, hingga masalah dekadensi moral. Budaya permisif dan pragmatisme yang kian merebak membuat sebagian pemuda terjebak dalam kehidupan hedonis, serba instant, dan tercabut dari idealisme sehingga cenderung menjadi manusia yang anti sosial.
Dengan hal ini, apakah kemudian terjadi degradasi nilai-nilai kepemudaan dan menyebabkan pemuda disingkirkan dalam ranah Negara, bangsa atau agama? Sejumlah aktivis pemuda menilai prinsip nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia umumnya telah mengalami degradasi lantaran terus menerus tergerus oleh nilai-nilai dari luar. Jika kondisi dilematis itu tetap dibiarkan, bukan tidak mustahil degradasi nasionalisme akan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika degradasi nilai kepemudaan disebabkan dengan hegemoni dari pengaruh nilai-nilai luar, membangun kearifan local kepemudaan merupakan solusi yang setidaknya menangkis degradasi kepemudaan saat ini. Pasca reformasi semangat kepemudaan kembali mengaung sehingga perlu adanya letimasi kepemudaan sebagai penyokong maka lahirlah Undang-undang No 40 tahun 2009 tentang kepemudaan yang menitik beratkan kepada pelayanan kepemudaan yang di sahkan pada tanggal 15 september 2009.
Pemuda sebagai agen perubahan tidak akan mampu melakukan perubahan yang signifikan bila tidak didukung dengan sebuah sistem atau perangkat-perangkat pendukung. Organisasi adalah sarana paling efektif untuk menginisiasi dan melakukan perubahan tersebut. Kita tidak dapat melakukan perubahan secara individual karena kemampuan kita yang terbatas. Kita memerlukan komunitas yang konsisten dengan perubahan tersebut. Disinilah kemudian lahir peran organisasi.
Semua ini kemudian didasari oleh nilai-nilai Demokrasi yang dijunjung pasca reformasi 1998. Dalam moment yang amat penting dalam perjalanan demokrasi bangsa indonesia ada sebuah nilai yang menjadi harapan semua pihak adanya sebuah kemajuan dari tahun-tahun mulai berjalanya ruh demokrasi di bumi pertiwi indonesia, yaitu kesadaran pemuda akan arti demokrasi dan memaknai kesadaran politik. Menurut M. Syamsul Rizal Ketua Bidang Kajian Strategis DPP BMK 57, Barisan Pemuda Kasgoro 1957 bahwa salah satu peran pemuda dalam manifestasi demokrasi. Seharusnya pemuda menyadari peranan penting pemilu serta selalu berperan aktif dalam pelaksanaannya. Karena pemuda merupakan agent of change sehingga diharapkan mulai dari sekarang dapat selalu berkontribusi demi kelangsungan bangsanya. Salah satunya dengan turut serta dalam pemilu. Apalagi jumlah pemuda di Indonesia yang tidak sedikit sangat mempengaruhi hasil dari pemilu. Tidak hanya menyuarakan pendapatnya di balik bilik suara, tetapi juga harus mau mensosialisasikan pemilu pada masyarakat luas.
Dan Tingkat partisipasi pemuda dalam demokrasi menentukan kepedulian pemuda terhadap Negara dan bangsa. Hal ini tentu harus dimulai dengan hal terendah, karena peran ini tentu tidak dengan mudah bisa dimainkan oleh pemuda sendiri. Seperti halnya mewujudkan demokrasi local, kepemudaan ikut berperan dalam penyelenggaraan otonomi daerah untuk mewujudkan desentralisasi.
Dengan demokrasi dan otonomi daerah, masing-masing daerah memiliki cara kepemudaan yang berbeda-beda. Hal ini kemudian dinikmati dan menjadi tolak ukur sejauh mana pemuda memainkan perannya dalam buday lokal dan system otonomi serta demokarsi lokalnya. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki keunikan system otonomi yang dipakai dengan pemberlakuan kembali sistem banagari. Apakah kedudukan pemuda menjadi salah satu penyokong seperti layaknya pemuda ikut menyokong kekuatan Negara?
Jika kepemudaan di ranah minang merupakan salah satu hal yang sangat penting tentu perlu adanya penguatan peran yang dimainkan oleh kepemudaan di Nagari tersebut.

Konsep Kepemudaan
Diungkapkan oleh Bung Karno, “Jika di tangan kiri kugenggam 100 orang tua maka berguncanglah Jaya Wijaya, jika di tangan kanan kugenggam 10 pemuda maka berguncanglah dunia.” Melihat dari kata “kepemudaan” secara tidak langsung terlihat atau tergambar kedudukan manusia yang dalam rentan waktu 20-30 tahun. Namun dalam kerangka usia, WHO menggolongkan usia 10 – 24 tahun sebagai young people, sedangkan remaja atau adolescence dalam golongan usia 10 -19 tahun. Contoh lain di Canada dimana negara tersebut menerapkan bahwa “after age 24, youth are no longer eligible for adolescent social services”.
Dalam al-Quran juga dijelaskan tentang pemuda atau yang “asy-syabab” namun lebih kepada sikap dan kepribadian serta karakter dari pemuda itu sendiri yakni :
1. berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap tatanan sistem yang rusak. Seperti kisah pemuda (Nabi) Ibrahim. “Mereka berkata: ‘Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? sungguh dia termasuk orang yang zalim, Mereka (yang lain) berkata: ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala) ini , namanya Ibrahim.” (QS.Al¬-Anbiya, 21:59-60).
2. memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, bersatu, optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dengan perkataan. Seperti tergambar pada kisah Ash-habul Kahfi (para pemuda penghuni gua).“Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pe¬muda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambah¬kan petunjuk kepada mereka; dan Kami teguhkan hati mereka ketika mereka berdiri, lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami tidak menyeru Tuhan selain Dia, ¬sungguh kalau berbuat demikian, tentu kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran” (QS.18: 13-14).
3. seorang yang tidak berputus-asa, pantang mundur sebelum cita-citanya tercapai. Seperti digambarkan pada pribadi pemuda (Nabi) Musa. “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun” (QS. Al-Kahfi,18 : 60).
Sehingga pemuda identik dengan sebagai sosok individu yang berusia produktif dan mempunyai karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, berpikiran maju, memiliki moralitas, dsb. Kelemahan mecolok dari seorang pemuda adalah kontrol diri dalam artian mudah emosional, sedangkan kelebihan pemuda yang paling menonjol adalah mau menghadapi perubahan, baik berupa perubahan sosial maupun kultural dengan menjadi pelopor perubahan itu sendiri.
Peran penting dari seorang pemuda adalah pada kemampuannya melakukan perubahan. Perubahan menjadi indikator suatu keberhasilan terhadap sebuah gerakan pemuda. Perubahan menjadi sebuah kata yang memiliki daya magis yang sangat kuat sehingga membuat gentar orang yang mendengarnya, terutama mereka yang telah merasakan kenikmatan dalam iklim status quo. Kekuatannya begitu besar hingga dapat menggerakkan kinerja seseorang menjadi lebih produktif. Keinginan akan suatu perubahan melahir sosok pribadi yang berjiwa optimis. Optimis bahwa hari depan pasti lebih baik.



Kepemudaan di Minang Kabau
Minangkabau sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, merupakan satu-satunya suku yang menganut sistem matrilineal. Setiap anak yang lahir secara langsung akan menjadi anggota keluarga suku ibu, karena di Minangkabau garis keturunan ditarik berdasarkan keluarga ibu. Selain dikenal dengan sistem matrilinialnya, ada beberapa ciri khas lain yang melekat bagi suku Minangkabau. Diantaranya adalah kebiasaan merantau yang telah membudaya di kalangan orang Minang, dan juga mereka dikenal sebagai muslim yang taat.
Berangkat dari pantun Minang Kabau “Karatau madang di ulu, ba buwah ba bungo balun, marantau-lah buyuang dahulu, di rumah paguno balun”. Hal ini menggambarkan bahwa pemuda tidak memiliki peran dan fungsi dalam nagarinnya. Hal ini kemudian menjadi landasan bahwasanya kaum muda Minang Kabau menyukai merantau guna mencari ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Budaya minangkabau Di suraulah dulunya anak laki-laki yang mulai menginjak masa remajanya lebih banyak menghabiskan waktunya setiap hari. Di surau mereka belajar mengaji al Quran dan juga tafsirnya, ilmu hadis, Aqidah, Ibadah, Muamalah, dan materi keislaman lainnya. Di surau juga mereka belajar tentang petatah-petitih adat Minangkabau, beladiri, randai, dan berbagai kesenian serta adat budaya Minangkabau lainnya. Di surau jugalah mereka ditempa dan dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang siap menanggung beban dan amanah di kemudian harinya.
Berbicara tentang kepemudaan ranah minang, maka dapat diketahui bahwa pada waktu dulu anak perempuan hanya bermain di Rumah Gadang saja bersama dengan anak-anak yang masih kecil. Anak laki-laki yang sudah beranjak baligh hanya akan berinteraksi dengan keluarganya pada siang hari, sedangkan apabila sudah beranjak malam maka mereka akan kembali ke surau. Sehingga jelas kebersatuan pemuda tambah menampakan bahwa tridak ada peran yang substantial pemuda dalam pemerintahan di nagari.
Namun apakah tidak ada peran yang positif ketika pemuda berada dan tumbuh di nagarinya ?berangkat dari kontradiksi antara peran pemuda dalam Negara dan peran pemuda dalam nagari menjadikan sebuah tanda tanya. Bila peran dan kedudukan pemuda dalam nagari tidak ada, bagaimna bisa mewujudkan demokrasi lokal dalam tataran nagari?


Demokrasi Lokal
Konsep demokrasi secara umum mengandaikan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Ide dasar demokrasi mensyaratkan keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut.
Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘ lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi itu berlangsung, yaitu pada entitas politik yang terkecil, desa maupun nagari.
Namun hal yang perlu menjadi cermatan kita adalah demokrasi yang dipakai dalam nagari di Minang Kabau bukan lagi merupakan demokrasi yang bersumber dari kearifan lokalnya. Transisi demokrasi dari modern ke local merupakan permasalahan yang kemudian mengikis nilai-nilai budaya Minang Kabau sendiri. Demokrasi local disini dimaksudkan adalah nilai-nilai demokrasi yang diadobsi oleh barat dan secara langsung menghegemoni system pemerintahan terendah seperti Nagari untuk Provinsi Sumatera Barat.

Pemuda dan Demokrasi Lokal.
Melihat bahwa demokrasi yang digunakan bukan lagi bersumber dari kearifan lokal Minang Kabau sendiri, pemuda berubah peran yang dulunya tidak dimanfaatkan oleh nagari sebagi aset menjadi sesuatu hal yang memiliki peran dan kedudukan dalam menjalankan roda pemerintahan terendah seperti nagari.
Untuk mempercepat pembenahan daerah khususnya mengatasi beban dan masalah yang dihadapi daerah, maka momentum demokrasi dan reformasi di area lokal perlu dimanfaatkan dengan baik. Disana diperlukan peran dari generasi muda sebagai golongan menengah pencipta gagasan bagi perbaikan keadaan."Partisipasi aktif kaum muda terwujud berupa inisiatif menciptakan inovasi dan daya kreasi. Termasuk didalamnya menyangkut proses pembangunan. Dalam konteks itulah kaum muda dituntut untuk senantiasa memahami realitas yang dinamis secara kritis. Paling tidak kemampuan kaum muda dalam memahami peta permasalahan yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar bagi dirinya untuk bersikap," kata pengamat politik UGM, Arie Sudjito, dalam Seminar Pemuda Menggagas Masa Depan Sleman, di gedung UC UGM, Selasa (27/10).

Peran Pemuda dalam Nagari
Generasi muda untuk dapat bersikap dalam menghadapi permasalahan di area lokal. Diantaranya adalah keberpihakan kepada nurani untuk membela kebenaran dan keadilan, membangun kecerdasan diri dan kematangan sebagai karakter pemimpin, serta mengasah kepekaan dan daya imajinasi dengan jiwa berani mengambil inisiatif. "Dengan demikian sebenarnya karakter kaum muda tidak melulu bergaya reaksioner, complainatau pesimis. Tetapi sebaliknya dituntut untuk responsif, inisiatif, kritis serta optimis. agenda penting yang perlu disikapi kaum muda atas perubahan dan perkembangan yang terjadi di area lokal adalah memastikan agar otonomi daerah, desentralisasi dan demokratisasi dapat berjalan secara efektif.
Senada dengan yang diatas, kedudukan pemuda dalam nagari di Sumatera Barat seyogyanya mampu memainkan perannya dalam pengawasan serta menyikapi berlangsungnya pemerintahan mini di nagari sehingga otonimi daerah mampu dilaksanakan dengan demokrasi. Hal ini harus sesuai juga dengan kedudukan pemuda seperti layaknya mahasiswa dalam tataran pemerintahan nasional.

Kesimpulan
Pemuda selalu memainkan perannya baik dalam tataran pemerintah nasional maupun lokal seperti nagari. Namun peran tersebut harus diperkuat sehingga terwujudnya check and balance dalam tatanan kehidupan berbagsa, bernegara serta beragama. Kreasi dan inovasi pemuda serta proaktifnya pemuda dalam permasalahan dalam tatanan nagari akan meningkatkan kualitas demokrasi lokal yang digunakan dalam otonomi daerah saat ini. Peran pemuda ini bukn lagi dilihat dari demokrasi kearifan lokalnya melainkan ditinjau dari kedudukannya dalam demokrasi modern/ barat yang di adobsi oleh pemerintah Indonesia.
Dengan adanya penguatan peran dari pemuda ini diharapkan senantiasa menjaga stabilitas nagari dalam menjalankan peran dan fungsinya juga.

Saran
Semoga dengan penulisan ini mampu membangkitkan fitrah pemuda sebagai revolusioner sebagimana disebutkan dalam Al-Quran. Generasi muda memainkan fungsi perannya kembali dalam mewujudkan demokrasi lokal.

Daftar Referensi
Al Qur’an
Internet
http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/6677/Peran.Strategis.Pemuda.Dalam.Demokrasi.Lokal.html
http://novairmaningsih.wordpress.com/2011/01/02/definisi-pemuda/
Reno Fernandes, Peran pemuda dalam KNPI, facebook.com.2011 ( ketua HImpunan Mahasiswa Islam cabang Padang)
http://www.bmk1957.or.id/peran-pemuda-dalam-manifestasi-demokrasi
http://novairmaningsih.wordpress.com/2011/01/02/definisi-pemuda/

Undang-Undang
UU NO 14 Tahun 2009 tentang Kepemudaan
UU NO 32 Tahun 2004 tentang Desentralisasi

Buku