Selasa, 26 November 2013

" Anthony Giddens "


ANTHONY Giddens (62) memang menjadi sangat terkenal karena bukunya, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (Cambridge: Polity Press, 1998; edisi Indonesia berjudul: Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999). Berkat buku itu, selama tiga bulan, Giddens diwawancarai sebanyak 90 kali. Presiden AS Bill Clinton dan istrinya, Hillary, bahkan mengundang Giddens untuk menguraikan dan berdis-kusi mengenai The Third Way di New York, 23 September 1998. Dua perdana menteri, Tony Blair dari Inggris dan Romano Prodi dari Italia, diundang pula untuk berpartisipasi.

third Way-pun segera mendunia. Melalui lima kuliah publik tahun 1999 berjudul Runaway World-yang diberi-kan dari London (7/4 dan 5/5), Hongkong (14/4), New Dehli (21/4), dan Washington DC (28/4) lewat The 1999 Reith Lectures Radio BBC Four yang disiarkan ke seluruh dunia-Giddens mempropagandakan gagasannya. Kuliah tersebut memicu enam pemimpin pemerintahan, Bill Clinton (AS), Tony Blair (Inggris), Gerhard Schroeder (Jerman), Lionel Jospin (Perancis), Massimo D'Alema (Italia), dan Henrique Cardoso (Brasil), untuk mengkaji ulang kebijakan 'kiri-tengah' dalam konferensi bertajuk "Progressive Governance for the XXI Century" di Florence, Italia, 21 November 1999.
Dan, seakan begitu mendadak, Giddens segera saja menjadi sebuah fenomena tersendiri di pengujung abad ke XX. Di banyak negara, teori politik dan sosial The Third Way didiskusikan dan diseminarkan. Di Indonesia misalnya, 15 Februari 1999 lalu, harian Kompas sudah menyelenggarakan "Diskusi Aktualisasi The Third Way" (laporannya ada pada Kompas edisi 19 Maret 1999). Sementara majalah Basis asal Yogyakarta mengawali terbitan awal tahun 2000-nya dengan sebuah edisi khusus mengenai Anthony Giddens. Di negerinya, Inggris, Giddens memang kemudian terpilih sebagai tokoh ke-12 paling berpengaruh untuk tahun 1999 dalam dunia pendidikan, di bawah PM Tony Blair dan Menteri Pendidikan dan Pekerjaan David Blunkett (The Sunday Times, 26/9/1999).

HAMPIR semua ilmuwan sosial dan politik sepakat, Anthony Giddens-sejak 1997 menjadi Direktur London School of Economics and Political Science (LSE)-terkenal karena karya tulisnya. Lebih dari 200 artikelnya tersebar di berbagai jurnal, majalah, dan surat kabar. Sebagian kumpulan artikelnya bahkan sudah diterbitkan oleh penerbit Routledge dari London tahun 1997 menjadi empat jilid besar. Sementara jumlah buku yang ditulis oleh Giddens atau bersama orang lain-sampai 1999-sudah mencapai 32 buah. Buku-buku itu pun sudah diterjemahkan dalam 29 bahasa.
Karya-karya ilmiah Giddens juga menjadi bahan penelitian. Tercatat 12 buku ditulis mengenai pandangan pencinta klub sepak bola Tottenham Hotspurs ini (tesis S-2 Giddens di LSE adalah mengenai "olahraga dan masyarakat"!). Sementara itu, pengaruh keilmuan Giddens di pemerintahan Partai Buruh Inggris juga mencolok. Secara agak sinis, politisi dan media setempat menyebut Direktur LSE ini sebagai "Gurunya (PM) Blair". Bersama beberapa ilmuwan lainnya, Giddens memang menjadi tokoh paling penting dalam "University of Downing Street", sebutan sindiran dari majalah The Economist (edisi 4/9/1999) mengenai lingkaran para akademisi di sekeliling Tony Blair. Downing Street adalah kantor PM Inggris.

NAMUN, keterkenalan Giddens di bidang ilmu sosial itu tidak seimbang dengan kelengkapan informasi me-ngenai data pribadinya. Ri-wayat hidup Anthony Giddens memang penuh dengan warna kontras. Ia lahir di Edmonton, London Utara, pada 18 Januari 1938 dari sebuah keluarga karyawan bus umum, yang di rumahnya sama sekali tidak memiliki buku. Anthony menjadi satu-satunya anak dari keluarga itu yang bersekolah tinggi.
"Hanya karena keberun-tungan saya bisa masuk ke University of Hull," kenangnya. Di universitas itu, ia belajar sosiologi dan psikologi untuk kemudian melanjutkan master-nya di LSE. Menurutnya, kala itu LSE sangat angker. Ini berbeda dengan LSE di bawah Giddens yang menjadi sangat pop.
Pada akhir dasawarsa 1960-an, Giddens sangat tertarik dengan "mentalitas California" yang begitu menekankan kemampuan "transformasi diri". Mental minder "anak London Utara" dibuangnya. Giddens kemudian mematok ambisi menjadi seorang teoretikus besar Inggris. Ia lalu masuk ke University of Cambridge pada tahun 1970 untuk mengambil PhD. Namun, di situ-sebagai mahasiswa pascasarjana maupun sebagai asisten dosen-ia sering bentrok dengan koleganya. Akibatnya, sembilan kali ia ditolak menjadi dosen tetap.
Baru setelah 14 tahun di Cambridge, Giddens, yang lulus PhD tahun 1976, diangkat menjadi dosen (1984) dan profesor (1986) sosiologi. Tampaknya, keilmuan Giddens baru diakui setelah ia menerbitkan The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (Cambridge: Polity Press, 1984), yang menurut majalah Cosmopolis dari Jerman edisi Juni/Juli 1999 merupakan karya paling utama Giddens.
Tahun 1992, Giddens kembali melakukan transformasi diri melalui bukunya, The Transformation of Intimacy (Cambridge: Polity Press, 1992), yang-aneh-terjual laku sebagai buku self-help. Buku itu adalah hasil tiga tahun masa terapi kejiwaan Giddens menyusul perceraiannya dengan istrinya yang kedua. Dalam buku itu, Giddens menganjurkan perlunya sebuah "hubungan murni" (antar lelaki dan perempuan) yang didasarkan pada hakekat kepuasan hubungan itu sendiri. Tentu saja, kaum feminis Inggris sangat marah. Sosiolog Jean Seaton misalnya, mengatakan, buku itu merupakan "maklumat seorang pencinta oportunis posmodernis", yang hanya "menuntut hak berhubungan tanpa tanggungjawab" [bandingkan dengan semboyan politik baru The Third Way (hlm 65): "Tak ada hak tanpa tanggung jawab"].
Giddens memang menjadi sangat kontroversial dan terkenal ketika dua tahun lalu ia menerbitkan The Third Way. Soal keterkenalan, bisa dimaklumi. Sejak tahun 1985, Giddens sudah memiliki dan menguasai Polity Press, yang menerbitkan seluruh karya tulisnya. Kemampuan penerbit ini juga luar biasa. Melalui Polity Press sudah sekitar 400.000 textbook sosiologi karangan Giddens, Sociology (Cambridge: Polity Press, 1998), berhasil dijual. The Third Way juga tersebar luas karena Polity Press dan koneksi Giddens dalam lingkaran "para kroni Tony (Blair)"-meminjam istilah The Economist-yang juga diisi oleh jutawan televisi Waheed Alli, penerbit besar (Random House) Gail Rebuck, dan Gubernur BBC Heather Rabbatts.
Tentang sifat kontroversial dari Giddens dengan The Third Way-nya sampai saat ini memang masih menjadi perdebatan. Pro dan kontranya begitu beragam. Di satu pihak, teori olahan Giddens dinilai sebagai terobosan baru. Akan tetapi, di pihak lain, Giddens bahkan dinilai tidak memiliki konsepsi dasar mengenai kekuasaan maupun ketimpangan struktural.
Tulisan di bawah ini mencoba untuk secara terbatas mengurai berbagai kontroversi seputar karya Giddens, yang tidak hanya terungkap melalui buku-bukunya tetapi juga tercetus dalam beberapa wawancaranya.
* UNTUK mewancarai Anthony Giddens, Anda akan menemui banyak masalah, begitu ungkap wartawan Laurie Taylor dari harian Inggris The Guardian.
Pertama, sejak tahun 1971 Giddens sudah menulis 32 buku. Tidak semua buku itu ada di perpustakaan. Kalaupun ada, paling-paling hanya dua atau tiga buku yang sudah dibaca secara serius. (Maklum, khususnya di negara-negara berkembang, Anthony Giddens baru "dikenal" sejak pekan pertama September 1998 saat bukunya The Third Way: The Renewal of Social Democracy muncul di pasaran).
Kedua, kalau ingin menanyakan sumbangan Giddens untuk teori ilmu-ilmu sosial, maka sebuah masalah baru muncul. Apa yang mau ditekankan: tentang karya awal Giddens mengenai teoretikus klasik macam Marx, Weber, dan Durkheim, atau tentang karya-karya terbarunya mengenai konsep "strukturasi" (structuration)?
Ketiga, saat ini Giddens bukan hanya seorang ilmuwan sosial, tetapi juga seorang pengusaha yang sukses dengan penerbitan yang dimilikinya, Polity Press. Dimensi lainnya, Giddens-sebagai Direktur London Schools of Economics and Political Science (LSE)-adalah orang yang selalu ingin menarik sebanyak mungkin kaum cendekiawan ke LSE, yang disebutnya sebagai "pusat pembangkit aneka ragam pandangan politik".
Apa kesimpulan dari nasihat Laurie Taylor, yang pada tahun 1965 di University of Leicester pernah ditolak secara halus oleh (asisten dosen) Giddens saat diminta menjadi pembimbing mata kuliah psikologi sosial itu? Jangan mencoba mewancarai Anthony Giddens tanpa persiapan istimewa, hubungan kesejarahan (Taylor satu almamater dengan Giddens!) dan kerelaan untuk "memasarkan" LSE maupun The Third Way.

KESIBUKAN Anthony Giddens memang luar biasa. Namun, hampir setiap hari Rabu siang pukul 13.00, ia selalu memberi kuliah umum (lunch talk) untuk seluruh mahasiswa dan staf LSE serta berbagai kalangan dari pemerintahan, bisnis, media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hari Rabu (26/1) lalu kuliah publiknya yang diberi judul Dunia yang Tunggang-langgang (Runaway World) sudah memasuki seri keenam.
Bagi Giddens, kuliah umum semacam itu menjadi ajang "uji coba" bagi gagasan dan teori-teori barunya mengenai berbagai masalah. Lalu, apa yang menjadi perhatian Giddens saat ini? Bukan strukturasi, tetapi "politik Jalan Ketiga", "globalisasi", dan "ketimpangan struktural". Sekurang-kurangnya dua hal yang pertama tercantum dalam keahlian Giddens seperti ditulis dalam website lse.ac.uk.com. Dan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah itu, telah disediakan panduan pertanyaan dan jawabannya. Berikut beberapa kutipannya:
Apa yang membedakan antara "Jalan Ketiga" dengan alur politik (atau kebijakan publik) lainnya?
Politik "Jalan Ketiga" mencoba mencari sebuah hubungan yang baru antara individu dengan masyarakat. Ia merupakan definisi ulang dari hak dan kewajiban. Perhatian utama "Jalan Ketiga" adalah keadilan sosial. Ia mendorong adanya keterlibatan sosial yang inklusif dan membangun sebuah masyarakat madani yang aktif di mana kelompok-kelompok masyarakat dan negara saling bekerja sama sebagai mitra. "Jalan Ketiga" itu berupaya untuk menghidupkan kembali budaya madani, mengusahakan sinergi antara sektor publik dengan sektor swasta, memanfaatkan dinamika pasar sambil tetap selalu memikirkan kepentingan umum. (Singkat kata) politik "Jalan Ketiga" adalah representasi dari pembaharuan demokrasi sosial.
Mengapa diperlukan sebuah "Jalan Ketiga"? Apakah itu tidak hanya sebuah nama lain dari politik kiri-tengah?
Politik "Jalan Ketiga" diperlukan karena masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan antara garis kiri dan garis kanan dalam politik sudah begitu besar. Saat ini pandangan (mengenai dunia) dari aliran kiri yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Sementara pandangan kanan yang baru juga tidak memadai. Ia mengandung banyak kontradiksi. Pandangan politik aliran tengah sendiri juga telah menjadi begitu radikal hingga tidak lagi mampu menampung politik kiri maupun kanan. Diperlukan sebuah wahana baru untuk menampung kiri moderat (hasil pembaruan kanan) dan kiri tengah (hasil pem-baruan kiri) agar politik emansipatoris dan keadilan sosial tetap menjadi pusat perhatian.
Lalu, apa tujuan yang sesungguhnya dari "Jalan Ketiga"?
Untuk membantu masyarakat berunding dengan revolusi-revolusi zaman: globalisasi, perubahan mendasar dalam kehidupan pribadi dan lembaga, serta dalam hubungan manusia dengan alam. Ciri dasar dari kontrak sosial baru yang dipelopori oleh politik "Jalan Ketiga" adalah "tak ada hak tanpa tanggung jawab".
Tampaknya globalisasi telah menjadi sesuatu yang sangat mewarnai munculnya "Jalan Ketiga" ini. Sesungguhnya, apa yang dimaksudkan dengan globalisasi?
Globalisasi merupakan intensifikasi hubungan sosial tingkat dunia, yang menghubungkan berbagai tempat yang terpisah begitu rupa sehingga sebuah kejadian lokal dibentuk oleh kejadian-kejadian yang jauh, dan juga sebaliknya. ...Karena globalisasi, persepsi mengenai dunia berubah. Masyarakat harus menyesuaikan lagi pikiran sosialnya dan tindakan sehari-se-harinya... Ini berarti harus mengubah kembali corak hubungan antarnegara, mengubah dinamika identitas, dan meninjau kembali berbagai hubungan-hubungan internasional.

SAMPAI di sini, Giddens memang bicara dalam tataran politik besar. Dari sisi ini, majalah The Economist edisi 12 Mei 1998 menyebut, tidak ada yang baru pada teori politik Giddens. "Ini mirip back to basics-nya kalangan konservatif," tulis majalah tersebut.
Kritik mengenai politik "Jalan Ketiga" maupun konsep globalisasinya Giddens memang banyak. Salah satu yang pantas dicatat adalah tulisan Profesor Chibli Mallat di harian The Daily Star, Beirut, 21 September 1998.
Pakar politik Lebanon itu menulis, dengan mengatakan konsepsi "Jalan Ketiga" sebagai konsepsi politik yang baru, Giddens cs telah mengabaikan negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara Muslim. Sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, slogan "Jalan Ketiga" sudah berkumandang di negara-negara itu. Revolusi Iran-lah yang mencanangkannya. "Jalan Ketiga" adalah Islam, yang sistem kemasyarakatan bukan model Barat (kanan) atau model Soviet (kiri).
Selain itu, tulis Profesor Mallat, dalam sejarah abad ke-XX, "jalan ketiga" (dengan huruf kecil) adalah nama lain dari Nazisme Jerman dan Fascisme Italia, yang mencoba memberi alternatif baru terhadap ideologi sosialisme (Uni Soviet) dan kapitalisme (AS). Mallat kemudian mengusulkan agar para penganut "Jalan Ketiga" lebih menekankan nilai-nilai peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan struktural daripada nilai-nilai umum lainnya.
Hal semacam ini memang pernah ditanyakan oleh Armin Medosch dan Niko Waesche pada edisi 22 Desember 1997 mingguan Telepolis, Hannover (Jerman), kepada Anthony Giddens. Waktu itu, teori strukturasi Giddens memang sedang banyak disorot. Secara sederhana, teori tersebut antara lain menyebutkan bahwa hidup sehari-hari manusia itu diikat oleh reproduksi lembaga-lembaga sosial, yang dalam perjalanannya-bila tidak pernah digugat-bisa cepat berubah menjadi sebuah tingkah laku rutin. Tingkah laku itu bisa positif tetapi juga bisa negatif. Terhadap tingkah laku itulah, individu harus selalu memperbaharui kontrak sosialnya.
Anda pernah berkata bahwa tidak cukup memberi kesempatan yang sama, jika masih ada ketimpangan struktural (hasil reproduksi tingkah laku rutin yang negatif dari lembaga-lembaga sosial). Bagaimana keterangan yang sesungguhnya?
Di mana saja, setiap kesamaan dalam kesempatan selalu bisa menyesuaikan diri dengan situasi ketimpangan sosial. Kalau ini dibiarkan, maka akan terjadi reproduksi situasi negatif yang pada gilirannya akan menjadi sebuah rutinitas hidup. Ambil contoh saja, jika Anda berada di kalangan bawah dan sadar bahwa banyak juga yang senasib dengan Anda, maka dengan sendirinya Anda akan merasa sebagai pariah. Situasi semacam itu-kalau dibiarkan terus-menerus-akan menggerogoti keutuhan masyarakat. Ketimpangan harus dipecahkan melalui pemahaman yang lebih komprehensif.
Sementara itu, kesamaan dalam kesempatan memang hanya bisa terwujud melalui pasar lapangan kerja. Ini masalah sulit, karena justru globalisasi ternyata memiliki kaitan dengan masalah lapangan kerja. Di beberapa wilayah dunia, globalisasi justru meningkatkan angka pengangguran. Ini repot. Banyak negara belum mampu memecahkan masalah ini. Saya punya gagasan, mungkin kini saatnya untuk memikirkan semacam sistem pemerintahan global (global governance). Masalah yang masih mengganjal adalah bahwa untuk sampai ke situ, dibutuhkan sebuah krisis. Sejarah memang mencatat, banyak perubahan besar muncul karena perang.

PERANG dan krisis akhirnya menjadi juga topik dalam gagasan Anthony Giddnes. Ia memang tidak percaya bahwa saat ini akan ada perang besar. "Kini, demokrasi sudah makin menyebar. Gagasan bahwa demokrasi itu tidak akan berperang satu sama lain, memang benar," tulis Giddens dalam The Third Way. Akan tetapi, bagaimana bisa muncul sebuah perubahan besar tanpa perang atau krisis?
Giddens mengatakan, "perang-perang" atau "krisis-krisis" akan dimunculkan dari bawah dalam skala kecil, melalui berbagai organisasi masyarakat atau LSM. Perang-perang semacam itu tidak harus selalu dicegah, karena mungkin merupakan peringatan sebuah hati nurani yang independen dan murni. Sisi ini bisa menjadi sangat berpengaruh karena globalisasi. Sedikit demi sedikit ia bisa menjadi kekuatan untuk perubahan. Yang penting, perang atau krisis semacam itu harus tetap diberi sebuah kerangka "hak dan kewajiban". Ubi societas, ibi ius, di mana ada masyarakat di situ ada pula hukum, begitu tulis Giddens.

" Penerapan Welfare state di Indonesia "




            Indonesia telah memiliki pijakan welfare state sejak disusunnya UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa. UUD 1945 yang disusun atas dasar semangat dan kesadaran membangun suatu model negara sosial-demokrasi, yakni menggabungkan prinsip-prinsip di dalam sosialisme dan demokrasi sekaligus, bertujuan untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat berkeadilan sosial, berkemakmuran dan sejahtera secara bersama-sama. Prinsip-prinsip sosialisme yang bertujuan untuk semangat kesejahteraan nasional  sangat bertentangan jika disandingkan dengan kebijakan yang diterapkan di era pasca-Soekarno, khususnya di era Pra Soehartno, khususnya di era reformasi. Keputusan untuk menandatangani Lol dengan IMF secara principil bertentangan dengan UUD 1945, karena artinya negara menyerahkan mandate dan tanggung jawabnya sebagaimana termaktub dalam pasal 33 dan  pasal 34 kepada pasar, apalgi pasca amandemen UUD 1945. Paham Negara Kesejahteraan (welfare sfafe) ternyata dipertegas dalam tambahan pasal-pasal sosial-ekonomi[1], yaitu dalam  pasal 34 ayat 2 dan ayat 3. Sedangkan Pasal 34 ayat 1 merupakan pasal asli (sebelum diamandemen).  Dalam Pasal 34ayat (2) ditambahkan gagasan  tentang sistem jaminan sosial (social security system) yang pada umumnya sudah melembaga dinegara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara, bahkan di banyak negara dunia ketiga. Dinegara-negara tersebut iuran jaminan sosial ( social security contriution) merupakan bagian yang cukup besar dalam penerimaan negara. Dana jaminan sosial yang merupkan sumber dana bagi upaya-upaya memberdayakan masayarakat yang lemah dan tidak mampu. Sistem ini juga merupakan faktor kunci terhadap terlaksananya ketentuan pasal 34 ayat 1 yaitu fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.[2]
            Ditinjau dari prinsip demokrasi ketika diproklamirkannya negara ini, dinyatakan bahwa “Kemerdekaan atas Nama Bangsa Indonesia”, karenanya Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara Demokratis Konstitusional , sehingga setiap kebijakan tentang pemerintahan ini harus berdasarkan suara rakyat yang dibingkai dalam sebuah peraturan. Hal ini bisa kita lihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
            Berdasarkan ketentuan ini, Negara Republik Indonesia dituntut untuk menerapkan sistem Demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dimana setiap kebijakan tentang pemerintahan berdasarkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Negara Republik Indonesia menganut asas demokrasi, karena persyaratan-persyaratan mengenai negara demokrasi ini telah dipenuhi dan dinyatakan dengan tegas di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) . Negara-negara demokrasi modern dilihat dari sudut analisis makro, nilai-nilai dasar politik masyarakat adalah kemerdekaan (liberty), persamaan (equality), dan kesejahteraan (welfare). sehingga seharusnya melalui prinsip demokrasi nagara sejahtera dapat terwujud.
Namun ternyata, amandemen UUD 1945 dalam mewujudkan welfare state sangat dipengaruhi oleh doktrin neoliberal yang bersemayam dalam Letter of Intent mengharamkan campur tangan negara yang signifikan dalam ekonomi. Hal inilah yang dikatakan oleh Habermas dan Gidden bahwa peran  negara dalam wilayah tertentu dan dalam kapasitas tertentu diperlukan untuk menjamin kedaulatan sekaligus kebebasan individu dan warga (kolektif). Demikian juga dengan Pierre Bourdieu yang menekankan perlunya menumbuhkan modal sosial untuk menghadapi gempuran neoliberalisme, terutama dampaknya yang merusak tenaga kerja.
Melihat perkembangan Welfare state di Indonesia atas konstitusi bangsa dan kebijakan pemerintah dapat dilihat dari tiga model
1.      Reinert, Bourdieu, dan Walzer : Peran negara sangat penting terutama dalam hal menyangkut keadilan sosial dan distribusi public goods yang dikatakan oleh Bourdiue. Hal ini yang dilakukan oleh bapak pendiri bangsa terdahulu, yaitu suatu pengalaman dimana negara merupakan faktor penting dalam perekonomian nasional, dan memiliki sifat particular yang berbeda dengan model ekonomi kolonial. sehingga dengan adanya persoalan masa lalu menjadi pijakan pemerintah dalam mengambil kebijakan
2.      Hayek, Friedman dan Stiglitz, peran negara dilucuti, dimana negara tidak perlu mencampuri kebebasan individu, terutama disektor ekonomi. Hal inilah yang dilakukan rezim Soeharto, kebijakan ekonomi negara mengadopsi sepenuhnya kebijkan ekonomi internasional yang dipimpin Amerika Serikat dengan watak kepemimpinan otoriteriannisme, diman negara seakan-akan negara ikut campur tangan mengelola ekonomi padahal sepenuhnya untuk kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan keutuhan rezim.
3.      Habermas, Gidden, dan Rawls : dalam menyikapi globalisasidan keadilan sosial dengan mengambil posisi menerima keduanya dalam batas-batas tidak mengabaikan kebebsan individu sebagai pokok. hal ini lah yang dilakukan oleh SBY, sebagai kebijakn alternative namun hal ini kerap terjebak dalam ambiguitas demokrasi dan pasar bebas, dimana yang terakhir bisa melahap yang pertama.
            Kepemimpinan SBY saat ini terjebak dalam ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial dalam mewujudkan welfare state serta tuntutan letter of intent dengan Washington Consensus. Tidak berjalannya welfare state sebagai amanat UUD 1945 juga dikarenakan bercokolnya oligarki dalam kehidupan politik dan hukum di Indonesia sehingga menghalangi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai sila ke lima Pancasila. Hal inilah yang dikatakan Gidens dengan berubahnya welfare state menjadi walfare society, dimana Indonesia kemudian bentuk negara kesejahteraannya lebih mengarah ke kesejahteraan sosial dengan intervensi negara dalam mensejahterakan masyarakat masih tetap dibutuhkan dengan menekan pemberdayaan masayarakat untuk dapat menghindari munculnya moral hazard agi para penerima bantuan.



[1] Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta 2002 hlm. 58
[2] Djauhari,  Geseran Pemikiran Negara Kesejahteraan Pasca Amandemen UUD 19945, Jurnal Hukum, Vol. XVI No 4 Desember 2006

“Kekuasaan, Kewenangan dan Legitimasi” [1]


            Secara gamblang, politik diartikan sebagai kekuasaan. Namun secara keilmuan dapat diartikan sebagai usaha atau energi dalam kemampuan untuk melakukan sesuatu( konseptual alam). Andew Heywood, mengutip pandangan radikal tentang kekuasaan diberikan oleh Lukes yang membedakan kekuasaan dalam tiga dimensi. Artinya bahwa definisi kekuasaan dapat menunjuk seluruh variasi manifestasi. Dengan kata lain kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat seseorang melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan. Thomas Hobbes memberikan definisi tentang kekuasaan sebagai kemampuan dari seorang agen untuk mempengaruhi perilaku bawahannya. Dari pendapat ini kekuasaan dapat disekati dengen pembuatan keputusan dan bukan pembuatan keputusan.

Meskipun politik tradisional konsern dengan praktek kekuasaan, secara terbatas hal ini dapat disebut dengan authority politik. Max Weber konsern tentang Negara Weber dan mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi negara, yaitu otoritas atas masa lalu abadi (dominasi tradisional), otoritas kharismatik berupa ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Selain itu adalah dominasi karena legalitas yang didasari oleh hukum, yang kemudian menjadi dasar negara yang demokratis.

Negara memang sebuah organisasi besar yang memiliki perjanjian antara anggota (rakyat) dengan para penguasa negara yang dipilih secara demokratis. Gelora demokratis selalu menjadi kumandang dinegara modern. Namun demikian apakah gelora tersebut harus melindas dan membuang semua kearifan lokal yang ada di negeri lain dan menggantinya dengan kearifan yang sesuai di tempat asalnya namun belum tentu dapat langsung diadopsi di negeri tujuan?




[1] Andrew Heywood, Political Theory An Introduction 2nd Edition, (New York: Palgrave, 1999), Chapter 5