Selasa, 09 September 2014

Birokrasi dan Politik di Indonesia, Netralisasi yang Sulit



A.    Latar Belakang
            Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua institusi yang memiliki karakter yang erbeda, namun saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara ini memerikan sisi positif terkait dengan sinergi, namun disisi lain tidak dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.[1] Syafuan Rozi menyatakan bahwa birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang beragai departemen pemerintahan dan cabang-cabangnya memperebutkan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri mereka sendiri, atau sesame warga negara.[2] Ciri khas birokrasi adalah bentuk institusi yang berjanjang, rekuitmen berdasarkan keahlian, danb ersifat impersonal.Sedangkan politik adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebahagian besar warga untuk membawa masyarakat kearh kehidupan bersama yang harmonis.[3]
            Berdasarkan studi Guelermo O'Donnel bahwa negara telah muncul sebagai  kekuatan politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya serta masyaraklu sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang marnpu mengatasi keduanya. Otoritarian Birokratik memang diciptakan untuk melakukan pengawasan yang kuat terhadap masyarakat sipil, terutama dalam upaya mencegah massa rakyat di bawah keterlibatan politik yang terlampau aktif agar proses akselerasi industrialisasi tidak tergangggu (Guelermo O'Donnel dalam Muhammad AS Hikam, Jurnal IImu Politik No.8, AIPI LIPI Jakarta 1991: 68).
            Studi Fred W Rigg tentang Bureaucratic Polity dan GuelermO'Donnel tentang  Bureaucratic Authoritarian nampaknya menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat tertentu posisi birokrasi sudah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legitimasi politik melalui sarana birokrasi. Jika dalam studi Rigg birokrasi. berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah, maka model O'Donnell birokrasi itu tidak hanya berkolaborasi dengan kekuasan tetapi juga melibatkan diri hampir di semua bidang kegiatan. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun menjalar sampai kepada kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk juga ideologi.

            B. Rumusan Masalah
Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi member pelayanan  publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Di Indonesia hubungan birokrasi dan politik telah melahirkan banyak studi, diantaranya,  Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism. Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesiaberkembang  model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan  jumlah personil dan pemekaran structural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.   Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.[4]
            Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.  Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia.
            Bergulirnya roda reformasi sejak 1998 menuntut agar terjadi perubahan di segala bidang, tidak terkecuali masalah birokrasi. Terjadinya perubahan sistem politik tentunya juga mempengaruhi sistem birokrasi apalagi Indonesia yang menggunakan sistem Demokrasi, mau tak mau Indonesia juga turut membuka arus globalisasi. Penulis berasumsi bahwa, dengan arus demokrasi dan globalisasi tentu mempengaruhi birokrasi di nasional.

C.    Pertanyaan Penelitian
            Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis uraikan sebelumnya maka penulisan makalah ini menitik beratkan Bagaimana hubungan birokrasi dan politik di Indonesia setelah adanya reformasi politik 1998? Terkait dengan adanya perubahan sistem politik dan arus globalisasi yang masuk ke Indonesia secara terbuka.

D.    Landasan Teori
            Birokrasi berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi suatu masyarakat. Semakin modern suatu masyarakat, dalam arti semakin demokratis dan semakin makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak tuntutan baru. Berkembangnya jaringan birokrasi (bureaucratization) adalah upaya memenuhi tuntutan baru tersebut (Riswanda Imawan, 1998: 85). Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model birokrasi yang umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model tersebut meliputi model birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, dan Orwellian. Secara lebih rinci keempat model birokrasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
             Model birokrasi Weberian digagas oleh Max Weber, seprang tokoh penting yang menjelaskan konsep birokrasi modern. Weberian menunjuk pada model birokrasi yang memfungsikan birokrasi sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber. Setidaknya ada 7 (tujuh) kriteria-kriteria ideal birokrasi yang digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4) bersifat tidak pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi (Stephen P. Robbins, 1994: 338). 
            Birokrasi Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi. Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin bertumpuk (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 192).  Birokrasi Jacksonian merupakan model birokrasi yang menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan. Jacksonian, sebenarnya diambil dari nama seorang jenderal militer yang tangguh dan seorang negarawan yang terkenal sebagai mantan Presiden Amerika Serikat yang ke-7 (1824-1932) – menjabat dua kali – yaitu Andrew Jackson (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 194).
            Birokrasi model Orwellian ini merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat menjadi terbatas, sepertinya ”bernafas” saja dikontrol oleh birokrasi. Hal itu dikarenakan dalam berbagai hal terkait dengan kehidupan masyarakat harus meminta ijin kepada birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu di Amerika Serikat. Pada waktu Ronald Reagen menjabat presiden (1981), ia mengadakan pemangkasan terhadap birokrasi. Pada waktu itu di Amerika Serikat untuk mengurusi hamburger saja, ada ratusan peraturannya yang berimplikasi pada semakin banyaknya jumlah pegawai. Untuk itu diadakan pemangkasan dan pegawainya dikurangi (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 195).
E.     Pembahasan dan Analisis
1.        Politisasi Birokrasi di Indonesia.
            Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas  menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat pembangunan yang utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi.   Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan. 
            Ini terjadi pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan umum pertama yang demokratis berlangsung dalam periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi.  Sementara peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai termarjinalkan. Semua kehidupan politik yang sudah berkembang sebelumnya, diberangus dengan menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan. Saat itu, satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).  Namun Soekarno, PKI, dan sayap militer angkatan darat yang dimobilisir Soeharto terlibat dalam pergolakan politik yang mencapai puncaknya pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S). [5]
            Ini tentu menimbulkan fragmentasi dalam birokrasi. Peralihan ke Orde Baru (1966-1998) ini merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik yang cukup drastis. Terjadi polarisasi politik yang diperketat menuju ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini menyebabkan kekuatan militer pada masa Orde Baru berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif.   Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi masa Orde Baru tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan partai-partai, tetapi terjebak dalam hegemoni kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang didominasi militer. Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralitas politik birokrasi. 
            Tuntutan reformasi ini sebenarnya telah direspon sebagian oleh rezim pemerintahan pascaSoeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya. Sementara Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), sebagai satu-satunya wadah pegawai negeri, disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi.  Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974. Intinya membolehkan PNS berafiliasi dengan partai, namun bila menjadi anggota partai tertentu, maka ia dilarang aktif dalam jabatannya di partai politik. Ketentuan yang sama juga berlaku bagi unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri). 
            Meski demikian wajah birokrasi di Indonesia sepertinya tidak pernah berubah dalam hal  pelayanan terhadap publik. Dari dulu belum ada perubahan yang berarti. Birokrasi tetap diliputi berbagai praktik penyimpangan dan inefisiensi. Birokrasi dalam banyak hal masih menunjukkan ”watak buruknya” seperti enggan terhadap perubahan (status quo), eksklusif, kaku, dan terlalu dominan.   Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang dibebankan untuk layanan publik baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, seperti waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati, atau service style yang tidak berperspektif pelanggan. Penyebab lainnya adalah rendahnya kompetensi birokrat yang disinyalirdisebabkan oleh renggangnya kualitas rekrutmen dan rendahnya kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi. Buruknya kinerja birorkasi ini pada akhirnya mempengaruhi gerak pembangunan dan daya saing bisnis. Menurut Human Development Index (HDI) yang dipaparkan United Nations Development Programme  (UNDP) pada 2004, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 177 negara, setingkat di atas Vietnam dan jauh di bawah negara tetangga lainnya macam Singapura atau Malaysia. Sementara merujuk laporan Global Competitiveness Report 2003-2004 yang meliputi aspek pertumbuhan dan bisnis, indeks daya saing pertumbuhan Indonesia turun ke peringkat 72 dari 102 negara pada tahun 2003, dibandingkan dengan peringkat ke-69 pada 2002.

2.             Menetralisasi Birokrasi dan Politik
            Wacana seputar netralitas birokrasi sebenarnya bukan pemikiran yang baru. Tema ini sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhadap filsafat Hegel tentang negara sedikitnya menggambarkan bahwa netralitas birokrasi itu penting, sekalipun dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi" dari teori Hegel tentang tiga kelompok dalam masyarakat; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan kelompok birokrasi.
            Marx menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen kelompok dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini, Marx menginginkan birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa. Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum (negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi). Birokrasi dalam hal ini, menurut Hegel, harus netral (Anshori, 2004). Sedangkan menurut Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, dalam kaitannya dengan netralitas birokrasi, berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan birokrasi/administrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).  
            Konsep dasar yang diletakkan Wilson kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya seperti D. White, Willoughby dan Frank Goodnow. Menurut Goodnow, ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul tanggung jawab serta bisa meneguhkan posisi birokrasi di hadapan .   Untuk menghindari munculnya birokrasi yang otoriter (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada melalui lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah tidak kebal kritik, dan merasa tidak pernah salah, serta arogan. Sedangkan sebagai lembaga pelayanan publik, agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral, dalam artian birokrasi tidak memihak kepada atau berasal dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan
atau pengambilan keputusan. 
            Di Indonesia, upaya melepas birokrasi dari pengaruh politik bukan lagi sekedar wacana. Seperti sudah disinggung di atas, pada masa kePresidenan Habibie, telah dikeluarkan PP No. 5 Tahun 1999 yang menekankan bahwa PNS harus netral dari partai politik. Meskipun usaha itu merupakan langkah maju, namun belum mampu mewujudkan birokrasi yang netral dan independen mengingat birokrasi di Indonesia belum lepas dari pengaruh pemerintah (eksekutif) yang merupakan kekuasaan politik.  
            Dalam konteks Indonesia, aspek kenegaraan dan pemerintah seringkali tidak jelas. Menurut Istkantrinah  (2003), dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara negara/adminsitrasi negara. Pada prakteknya, seringkali terjadi pencampuradukan antara Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Peran eksekutif yang dimainkan Presiden seringkali dialamatkan kepada kepala negara, begitu sebaliknya. Ketidakjelasan peran ini mengakibatkan birokrasi yang seharusnya menjadi institusi negara, lalu menjadi institusi pemerintah. 
            Administrasi negara sebagai organ birokrasi di Indonesia tampaknya akan sulit bersikap independen dan netral. Di Indonesia, adminisrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan karenanya disebut administrasi pemerintahan. Posisi ini membuat birokrasi senantiasa dalam bayang-bayang kuat pemerintahan, baik Presiden-Wakil Presiden, Menteri, serta Kepala Daerah provinsi dan Kepala Daerah kabupaten/kota. Merujuk pada Rancangan Undang Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan yang dikeluarkan oleh kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan);
Administrasi Pemerintahan adalah semua tindakan hukum dan tindakan materiil pemerintahan yang dilakukan oleh instansi Permerintah dan Pejabat Administrasi Pemerintahan serta badan hukum lain yang diberi wewenang untuk melaksanakan semua fungsi atau tugas pemerintahan, termasuk memberikan pelayanan publik terhadap masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan instansi Pemerintah adalah semua lembaga pemerintah adalah semua lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan di lingkungan ekskutif baik di pusat maupun daerah termasuk komisi-komisi, dewan, badan yang mendapat dana dari APBN/APBN. (RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B, januari 2006)
            Rumusan di atas mempertegas posisi administrasi pemerintahan yang berada di bawah  kekuasaan eksekutif (pemerintah). Pandangan itu dikukuhkan dengan sistem Presidensiil yang dianut di Indonesia di mana Presiden dan Wakil Presiden merupakan institusi penyelenggara kekuasaan ekskutif negara yang tertinggi di bawah konstitusi. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan dan tanggung jawab politik berada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).[6]
            Pemahaman seperti itu memunculkan kekeliruan kerangka pemikiran yang sudah jamak  dibangun, yakni;
a.       Kepala pemerintah/daerah adalah penguasa dan penanggung jawab pemerintahan.
b.      Birokrasi (administrasi pemerintahan) berada di wilayah eksekutif dan merupakan aparat  pemerintah.
c.       Pemerintah (Presiden-Wakil, Menteri, Kepala Daerah) memiliki kewenangan dan  tanggung jawab sepenuhnya untuk menjalankan roda administrasi pemerintahan.
            Pola hubungan atasan-bawahan antara administrasi negara dengan pemerintah juga terlihat jelas dalam aturan Kewajiban, Kesetiaan dan Ketaatan Pegawai Negeri. UU No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menyebutkan bahwa setiap Pegawai Negeri setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah serta wajib menjaga kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Kata Pemerintah dalam pasal tersebut menunjukkan adanya pola hubungan yang jelas antara pegawai negeri selaku pejabat administrasi pemerintahan dengan pemerintah. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah merupakan atasan pegawai negeri sehingga pegawai negeri harus setia terhadap pemerintah. Pola hubungan yang sama juga terlihat pada susunan kata sumpah pegawai negeri [7]yang berbunyi:
                        Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.
            Kata Pemerintah di atas menunjukkan aspek keharusan taat dan patuh pegawai negeri terhadap pemerintah. Berbeda dengan hubungan antara pemerintah (eksekutif) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bukan atasan bawahan.[8] Susunan sumpah kesetiaan TNI hampir sama dengan sumpah pegawai negeri tapi tanpa kata Pemerintah, yaitu:
            Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
            Melihat besarnya pengaruh pemerintah terhadap birokrasi yang terus berlangsung hingga  sekarang, maka penting untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi, bahwa birokrasi harus lepas dari pengaruh pemerintah, birokrasi harus independen dan bekerja dalam kaidah-kaidah profesional. Birokrasi harus lepas dari pengaruh kekuasaan dan memposisikan dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dan bukan abdi pemerintah. Sebagai abdi negara, birokrasi harus fokus pada tugas-tugas kenegaraan yang dibebankan kepadanya sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan.
            Sebagai alat negara, organ birokrasi negara menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan hanya tunduk kepada negara. Meski dalam praktek, administrasi negara menjalankan tugas pemerintah sebagai atasan formal, namun tidak berarti pemerintah bisa semaunya menjalankan ’mesin’ birokrasi yang bernama administrasi negara. Administrasi negara menjalankan tugas pemerintah sejauh tugas itu telah dimandatkan UU. Administrasi negara berhak menolak perintah pemerintah jika aturan itu tidak tertera dalam UU, apalagi melanggar ketentuan UUD. Pada posisi ini, idealnya aministrasi negara memiliki rujukan pada konstitusi. Dengan adanya payung hukum tertinggi, maka atasan administrasi negara yang sesungguhnya adalah UUD sehingga posisinya sebagai alat negara sangat kuat.

3.        Birokrasi dan Politik Di Indonesia Tidak Terpisahkan
            Reformasi 1998, secara nyata membawa iklim politik baru bagi Indonesia yaitu lahirnya sistem demokrsi liberal. Sistem politik baru ini memawa dampak terhadap kehidupan berpolitik dan sekaligus birokrasi di Indonesia. Jika diawal dikatakan bahwa, Birokrasi dan politik adalah dua stuktur yang berbeda namun tidak terpisahkan. Birokrasi memainkan  peranan aktif di dalam proses politik di kebanyakan  negara dan birokrasi menggunakan banyak aktifitas-aktifitas, diantaranya usahausaha paling penting berupa implementasi Undang-Undang, persiapan proposal legislatif, peraturan ekonomi, lisensi dalam perekonomian dan masalah-masalah profesional, dan membagi pelayanan kesejahteraan (Herbert M.Levine, 1.982: 241). Masyarakat didominasi oleh para birokrat, ditulis oleh James Burnham tahun  1941 yang menekankan pentingnya kelompok manajerial di dalam perekonomian, dan tidak ada pemisahan yang tajam antara kelompok manajerial clan pejabat politik (Martin Albrow, 1989 : 100) Berdasarkan tulisan tersebut James member persamaan antara kekuasaan kelas para manajer dengan kelas para birokrasi negara.
            Masyarakat yang dibentuk dan diperintah oleh para birokrat akan menjadi masyarakat -masyarakat birokratis yang nantinya masyarakat tersebut akan menjadi\ birokrasi-birokrasi masyarakat yang patuh dan tunduk pada pengaruh sikap-sikap dan  nilai-nilai para birokrat, karena adanya perubahan sikap dari masyarakat akan bergantung kepada pengaruh para birokrat. Hal ini akan cepat menjerat masyarakat akan runtuhya  nilai-nilai demokrasi sehingga ada suatu pertentangan dengan nilainilai tersebut yang dianggap sebagai suatu problema yang memerlukan pemecahan.
            Kebanyakan orang menganggap bahwa konsep birokrasi sebagai administrasi yang tidak efisien dan rasional, mencakup aplikasi kriteria evaluatif dan spesifikasi sifat nilai-nilai tersebut (Martin Albrow,1989 : 1 07). Konsep birokrasi cendrung dianggap sebagai suatu aspek ancaman terhadap demokrasi, apalagi konsep birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, konsep ini diamati secara serius karena mendiskusikan tentang pejabat-pejabat negara yang menjalankan tujuan-tujuan demokrasi. Perlu dipertanyakan apakah tindakan tergantung pada bagaimana nilai-nilai demokrasl Itu ditafsirkan dan mana diantara penafsiran itu yang dipandang salah. Friedrich dan Finer prihatin terhadap masalah kesesuaian  praktek-praktek  administrasi negara modem dengan nilai-nilai demokrasi, karena mereka percaya bahwa bukan kekuasaan yang dijalankan pejabat yang menimbulkan masalah tetap  cara menggunakan kekuasaan itulah yang menjadi masalahnya, untuk itu perlu dilihat bagaimana masing-masing karakteristik antara birokrasi dan demokrasi digunakan dalam usaha mendiagnosis dan menyembuhkan masalah yang terjadi.
            Martin Albrow  membedakan tiga posisi dasar tentang fungsi-fungsi pejabat  di negara demokrasi, yaitu
1.      pejabat menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu dikembalikan pada  fungsinya semula.
2.      pejabat benar-benar merniliki kekuasaan dan tugas yang semakin besar sehingga  jabatan tersebut harus dijalankan secara bijaksana .
3.      kekuaasaan perlu bagi para pejabat sehingga harus dicari metode-metode pelayanan yang dapat disalurkan bersama-sama.
            Problema yang harus dipecahkan untuk dapat menumbuh kembangkan demokrasi dengan menempatkan birokrasi secara konsisten di dalam sistem politik. Dalam sistem politik demokrasi liberal yang berawal dari Maklumat Wakil  Presiden No.X tertanggal 3 November 1945. terwujud konfirmasi, dimana politik yang ikut  menentukan sosok administrasi pemerintah pada waktu itu. Posisi infrastruktur politlk vis-a-vis suprastruktur politik secara relatif lebih kuat, menciptakan suatu sosok sistem politik bureau-nomia (Moeljarto Tjokrowinoto,1996: 159).
            Menurut teori, agar dapat memahami birokratisasi dalam pembangunan  nasional, di Indonesia terlebih dahulu didekatkan melalui 2 konsep yaitu :
1.      konsep masyarakat politik birokratik yang dikembangkan pertama  sekali oleh Fred Riggs (1966) dan digunakan oleh Karl D.Jackson (1978) dalam konteks Indonesia.
2.      konsep kapitalisme birokratik yang dirumuskan oleh Wittfogel (1957).
            Berdasarkan  konsep Jackson tersebut maka ciri-ciri pokok masyarakat politik birokratik adalah :
1.      lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi
2.      lembaga–lembaga politik lainnya, seperti parlamenter, partai politik, dan kelompok kepentingan semuanya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi.
3.       masa diluar birokrasi secara politis dan ekonomis pasif, sehingga menyebabkan lemahnya peranan partai politik dan dampaknya semakin memperkuat peranan birokrasi.
             Bertitik tolak dari ciri-ciri tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa birokrasi di Indonesia cendrung mendekati ke tiga ciri tersebut, sehingga perlu dipertanyakan kemampuan masyarakat politik birokratik ini untuk melaksanakan pembangunan ,terutama pembangunan yang mampu mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolak eksternal sehingga bisa mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai, yang dapat mendistribusikan secara merata hasil dari perjuangan masyarakat tersebut. Ada tiga kecendrungan yang dialami oleh setiap birokrasi di Indonesia, yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber.Kedua, proses parkinsonisasi yaitu proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat oleh C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin menguasai masyarakat, untuk birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi
            Sehingga, dengan kondisi birokrasi dan politik di Indonesia yang sulit dipisahkan atau di Netralisasi maka benar menurut bahwa birokrasi di Indonesia sedang “sakit” dengan titik tekanannya berdasarkan hukum Parkinson, sedangkan parameter birokrasi “ sehat “ yang dijadikan  sandaran adalah konsep birokrasi weber  tetapi pada kenyataanya selalu menimbulkan masalah, karena ciri- ciri organisasi yang diharapkan terlalu ideal sehingga kadang kala belum tentu cocok dengan kondisi atau situasi di suatu negara. Padahal Demokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu negara , akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam negara maka akan semakin rendah demokrasi dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin tinggi demokrasi.





F.     Penutup
1.        Kesimpulan
Kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik kepada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila publik dapat terlayani dengan baik oleh aparatur birokrasi, maka dengan sendirinya aparatur birokrasi mampu menempatkan posisi dan kedudukannya yaitu sebagai civil servant atau public service. Kondisi ini akan berdampak pada kinerja dari aparatur birokrasi yang sesuai dengan harapan dari masyarakat, pada akhirnya akan timbul trust kepada aparatur birokrasi tersebut. Hal inilah yang akan menjadikan negara yang maju dalam hal pelayanan kepada warganya dan melahirkan pada terwujudnya birokrasi yang bersih, akuntabel dan transparan. 
            Birokrasi sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dituntut untuk profesional dan tidak terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga ia dapat menunjukkan postur ideal yang di harapkan publik. Liberalisasi politik sebagai akibat reformasi politik, di sisi lain memberikan godaan bagi birokrasi untuk bermain dalam ranah politik atau menciptakan ruang bagi munculnya politisasi terhadap birokrasi. Beberapa kasus di atas membuktikan bahwa birokrasi sulit sekali melepaskan dirinya dari ranah politik. Untuk itu diperlukan implementasi aturan yang lebih tegas, sanksi yang berat bagi pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Perubahan memang tidak berlangsung cepat, namun bila dilakukan sungguh-sungguh kelak kita akan menemukan potret birokrasi yang ideal di negara kita.  Dalam artikelnya, Bowornwathana dan Wescott (2008, p. 1) menyimpulkan bahwa pelaksanaan birokrasi di negara-negara berkembang tidak berjalan mulus (uneven), dengan “stroke-of-the pen reforms” yang berjalan sangat cepat, namun perubahan struktural yang seharusnya mengikuti, berjalan sangat lambat bahkan tidak sama sekali. 
            Perubahan fundamental memerlukan “sustained effort, commitment and leadership over many generations. Mistakes and setbacks are a normal and inevitable part of the process. The big challenge is to seize upon mistakes as learning opportunities, rather than use them as excuses for squashing reform.”(Schacter 2002: 10). Begitu juga dengan Indonesia.  Sehingga dengan demikian, reformasi birokrasi  perlu dilancarkan sebagai bagian dari pembangunan  politik. Bila aparatur administrasi mampu mendukung pembangunan nasional, maka dapat tercipta sistem tersebut sehingga mampu mendukung demokratisasi politik, liberalisasi dan industrialisasi ekonomi Indonesia.

2.        Implikasi Teori
            Birokrasi dan politik yang terjadi dimasa reformasi ini mengarah tiga kecendrungan yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber. Kedua, proses parkinsonisasi yaitu proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat oleh C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin menguasai masyarakat, untuk birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi. Untuk kondisi Indonesia sendiri kondisi patologis ini terlihat dengan susahnya menetralisasikan birokrasi dan politik sehingga kita mengenal politik rente dan politik transaksional serta politik oligarkis pada birokrasi-biroksi.
            Dengan demikian, kecendrungan ini mengharuskan Indonesia dapat mengantisipasi perubahan dan keterbukaan adalah model birokrasi yang mentrasformasikan nilai-nilai, prinsip, dan semangat kewirausahaan ke dalam institusi birokrasi. 

Sumber Referensi
Hikam, Muhammad AS. (1991), Negara Otoriter Birokratik dan Redemokratisasi: Sebuah Tinjauan Kritis dan Beberapa Studi Kasus, dalam Jurnal IImu Politik No 8, Jakarta: AIPI-LIPI, hlm.68.
Jackson, Karl D and Pye, Lucian W (1987), Political Power and Comunications in Indonesia, California: University of California Press, hlm.4.
Effendy, Muhadjir (1995), Birokrasi Pemerintahan Menyongsong Era Pasar Bebas: Dari Bossy Attitude ke Servicer Minded (sebuah Review), dalam Jumal Bestari, lanuari-April, Yogyakarta, hlm.27,28
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta : Setjen dan Kepaniteraan MKRI.
Martin Albrow, 1996, “Birokrasi”, Tiara Wacana,Yogyakarta,
Marx, Karl. 1999. Manifesto Komunis 1848. Jakarta: Yayasan Bintang Merah.
Robison, Richard and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics  of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge.
Sutherland, Heathert. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Rahmatunnisa, Mudiyanti. Menyoal Kembali Reformasi Birokrasi Di Indonesia. Jurnal Governance, Vol. 1 No. 1, November 2010
Gjafar, Wahyudi.Artikel Ilmiah. Memotang Warisan Birokrasi Masa Lalu, Menciptaan DemarkasiBeas Korupsi.Jakarta :  Elsam
Marzuki, Dkk. Artikel Ilmiah. Model Birokrasi Pemerintah Era Otonomi Daerah. Yogyakarta. UNY
Eep Saefulloh Fatah. (1998). Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miftah Thoha. (1991). Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara Jilid II. Jakarta: Rajawali Press.
Miftah Thoha. 2008. Birokrasi di Era Reformasi. PT. Gramdedia Pustaka. Jakarta
Ryaas Rasyid. (1998). Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta: Yarsif Watampone.
M. Akhyar HSB. 2010. skripsi. Relasi dan Politik (Analisa Pola Rekruitmen Kepala Biro dan Kepala DinasPadaPemerintahan ProvinsiSumut Pasca Pil –Gub 2008). Ilmu Politik  USU : Medan
Kamuli, Sukarman. Birokrasi di Negara Sedang Berkembang(Telaah atas Kajian Fereel Heady).Jurnal Inovasi Vol. 9, No. 2, Juni 2012
Syafuan Rozi. 2006. Zaman Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta : PustakaPelajar . Hal 9-10.
Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasarIlmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia.
Lili Romli. 2004.  Masalah ReformasiBirokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS. Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawain BKN.
Adi Suryadi Culla, Dosen Fisip Unhas, Tantangan Reformasi Birokrasi, 15 Sep 2005.
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum  Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2003, hal. 8. 
UU No 43 tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pasal 26.1
Pasal 35 dan 36 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.



[1] M. Akhyar HSB. 2010. skripsi. Relasi dan Politik (Analisa Pola Rekruitmen Kepala Biro dan Kepala DinasPadaPemerintahan ProvinsiSumut Pasca Pil –Gub 2008). Ilmu Politik  USU : Medan
[2] Syafuan Rozi. 2006. Zaman Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta : PustakaPelajar . Hal 9-10.
[3] Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasarIlmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia.. Hal. 15.
[4] Lili Romli. 2004.  Masalah ReformasiBirokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS. Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawain BKN.
[5] Adi Suryadi Culla, Dosen Fisip Unhas, Tantangan Reformasi Birokrasi, 15 Sep 2005.

[6] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum  Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2003, hal. 8. 
[7] UU No 43 tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pasal 26.1
[8] Pasal 35 dan 36 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

1 komentar: