Rabu, 08 Januari 2014

KRONOLOGIS PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA





  1. BPUPKI dibentuk oleh Jepang tanggal 29 April 1945 dengan ketua Dr. Rajiman Widyodiningrat dan anggotanya 62 orang, yang kemudian dilantik tanggal 28 mei 1945.
  2. BPUPKI mengadakan sidang paripurna dua kali, sidang yang pertama tanggal 29 Mei s.d 1 Juni 1945. sedangkan sidang yang kedua tanggal 10 s.d 17 Juli 1945.
  3. Sidang BPUPKI yang pertama tgl. 29 Mei s.d 1 Juni 1945  dipergunakan untuk membahas rancangan dasar Negara, sedangkan sidang yang kedua tgl 10 s.d  17 juli 1945 dipergunakan untuk membahas konsep rancangan dasar Negara
  4. Pada tanggal 29 mei 1945 Mr. Muh. Yamin mendapat kesempatan yang pertama mengajukan konsep dasar Negara Indonesia merdeka (secara lesan), yaitu:
1)      Peri Kebangsaan
2)      Peri Kemanusiaan
3)      Peri Ketuhanan
4)      Peri Kerakyatan
5)      Kesejahteraan Rakyat
Kemudian beliau mengajukan lagi konsep dasar Negara yang disampaikan secara tertulis, yaitu:
1)      Ketuhanan Yang Maha Esa
2)      Kebangsaan, persatuan Indonesia
3)      Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab
4)      Kerakyatan yang dipimpin oleh hilmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5)      Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
5.      Tanggal 31 Mei 1945, Mr. Muh. Soepomo mendapat kesempatan, beliai menyampaikan pidato “ Negara hendaknya menyatu dengan bagian yang terbesar dari rakyat, juga tidak dengan kelompok ekonomi terkuat, melainkan harus mengatasi semua golongan dan kelompok dn semu individu. Untuk menyatu dengan seluruh lapisan rakyat secara mnyeluruh atau secara integral. Negara Indonesia harus menjadi sebuah Negara nasional, Negara kesatuan, yang mencakup semua agama dengan watak dan cirri-ciri hasnya. Kalau kita mendirikan sebuah Negara Islam di Indonesia, maka itu berarti bahwa kita tidak mendirikan Negara yang menyatu dengan seluruh rakyat, melainkan sebuah Negara yang menyatu dengan bagian yang terbesar dari rakyat Indonesia, ialah umat Islam di Indonesia.
6.      Tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan rumusan :
1)      Kebangsaan Indonesia
2)      Internasionalisme atau perikemanusiaan
3)      Mufakat atau demokrasi
4)      Kesejahteraan social
5)      Ketuhanan Yang maha esa
7.      Sebelum siding BPUPKI ditutup dibentuklah panitia perumus yang beranggotakan sembilan orang, sehingga dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan, yaitu:
1)      Ir. Sukarno, sebagai ketua
2)      Drs. Muhammad Hatta
3)      Mr. A.A Maramis
4)      K.H Wahid Hasyim
5)      Abdul kahar Muzakit
6)      Abi Kusno Tjokrosuyoso
7)      H. Agus Salim
8)      Mr. Ahmad Subardjo
9)      Mr. Muhammad Yamin
Panitia tersebut pada tanggal 22 Juni 1945 mengadakan siding, dan berhasil merumuskan dokumen Piagam Jakarta ( Jakarta Charter ) yakni Preambul yang berisi asas dan tujuan Indonesia merdeka, yang didalamnya termuat dasar negara, yaitu :
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelik-pemeluknya
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan
5.      Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
8.      Sidang II BPUPKI tanggal 10 s.d 17 Juli 1945, merumuskan rancangan tentang konsep batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Indonesia merdeka
9.      Tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan dan kemudian dibentuklah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dengan Ir. Sukarno sebagai ketua dan beranggotakan 21 orang.
10.  Tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, sementara sekutu belum masuk menduduki Indonesia, terjadilah kekososngan kekuasaan (Facum of Power), yang kemudian dimanfaatkanoleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
11.  tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia yaitu dengan dibacanya tek proklamasi oleh Sukarno-Hatta
12.  Sebelum PPKI menyelenggarakan sidang, terjadi protes dari sekelompok warga non muslim yang berasal dari orang Indonesia bagian timur menuntut agar sila pertama pancasila yang termuat dalam piagam Jakarta ( Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ), tuju kata pada sila tersebut harus diaubah dengan ancaman bila tuntutanya tidak dikabulkan mereka akan memisahkan diri dari Negara Indonesia dan akan membentuk Negara sendiri. Dengan berat hati dan penuh pertimbangan, namun demi persatuan dan kesatuan akhirnya tuntutan mereka dikabulkan, digantilah sila “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya “ diubah menjadi “ Ketuhanan Yang Maha Esa “
13.  Tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menyelenggarakan sidang yang diawali penambahan jumlah anggota yang semula 21 orang, menjadi 26 orang. Dalam siding tersebut PPKI menghasilkan keputusan yang sangat penting bagi bangsa dan Negara Indonesia yaitu:
1)      Menetapkan Udnag-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia
2)      Memilih dan menetapkan Ir. Sukarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden
3)      Untuk sementara waktu pekerjaan presiden sehari-hari dibantu oleh sebuah komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
14.  Dengan ditetapkanya UUD 1945  ( tanggal 18 Agustus 1945 ) oleh PPKI, berarti ditetapkan juga pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai idiologi bangsa Indonesia.




“Pemikiran Tradisionalisme Jawa : Konsepsi Kekuasaan Jawa dan Kekinian”

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
            Ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai perpolitikan di Indonesia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia.[1] Jika pemikiran politik lainnya merupakan sebuah pengaruh dari perkembangan pemikiran barat, Tradisionalisme Jawa merupakan sebuah kultur pemikiran politik yang berasal dari nusantara sendiri.[2]
            Tradisionalisme Jawa, sesuatu yang khas yang nampak dalam pemikiran politik, bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dunia, masyarakat dan alam adikodrati bagi dunia Jawa merupakan suatu kesatuan. Hal inilah yang di jelaskan Ben Anderson dalam sebuah artikelnya, yaitu The Idea of Power in Javanese Cultur, dimana Ben, mengidentifikasikan antara konsep kekuasaan barat dan Jawa, dimana banyak yang bersebarangan antara model kekuasaan Jawa dengan model kekuasaan di Barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik.[3]
            Tradisi pemikiran politik Jawa secara khas memberikan tekanan kepada pratanda-pratanda pemusatan kekuasaan dan bukan kepada perbuatan yang memperlihatkan pemakaian atau pengunaanya. Pertanda ini di cari orang baik pada diri pemegang kekuasaan maupun dalam masyarakat di mana ia memegang kekuasaan.
B.     Rumusan Masalah
Dalam tradisionalisme Jawa, Kekuasaan merupakan aspek penting untuk diulas dalam politik Indonesia. Tradisionalisme Jawa tidak saja aspek kekuasaan, ada juga aspek kepemimpinan, civil society, dan kehidupan sosial masyarakat lainnya. Tradisionalisme Jawa berangkat atas negara kerajaan Mataram.
            Paham Barat menyatakan adanya tendensi dalam memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang selalu instrumental, sehingga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang netral dalam arti moral, namun pemahaman itu berbeda dengan dunia Jawa yang menyatakan bahwa kekuasaan adalah lebih dari kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain saja. Kekuasaan dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang konkret, maka tidak lepas dari ciri-ciri khasnya. Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang netral, melainkan membawa akibat-akibat yang baik bagi masyarakat. Kekuasaan dalam pandangan Jawa terlihat dari hasil-hasil yang dicapainya. Apabila rakyat sejahtera, adil dan makmur, maka dapat dilihat kekuasaan sang Raja itu.
Dengan adanya perbedaan terhadap kekuasaan Jawa dan barat inilah menarik untuk diulas, menurut kesimpulan Benedict Anderson (1972 : 48) kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep pemikiran barat dan konsep pemikiran Jawa. Menurutnya kekuasaan dalam konsep pemikiran Barat adalah abstrak, bersifat homogen, tidak ada batasnya, dan dapat dipersoalkan keabsahannya. Sedangkan kekuasaan menurut konsep Jawa adalah konkrit, bersifat homogen, jumlahnya terbatas atau tetap dan tidak mempersoalkan keabsahan.
Sebagai bangsa yang memiliki etnis mayoritas Jawa tentu kekuasaan negara ikut dipengaruhi dan apalagi presiden Indonesia bila ditelesik dari sejarah bangsa juga dikuasai oleh etnis Jawa seperti Soekarno, Soeharto, dan terakhir ini Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga perlu pemahaman tentang apa sebenarnya kekuasaan Jawa itu sendiri, dan tentunya paham kekuasaan jawa ini dapat menjelaskan kekuasaan presiden Indonesia dalam konteks kekinian, terutama Susilo Bambang Yudhoyono. Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam pemilihan presiden memberikan beberapa pelajaran penting dalam konteks politik, khususnya para kandidat dan pengamat. Hal ini akan berhubungan dengan kultur politik yang masih mempunyai pengaruh sangat besar di masyarakat Jawa khususnya.
C.    Pertanyaan Makalah
Dengan mengingat pentingnya kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa maka penulis menulis makalah ini dengan pertanyaan bagaimana konsepsi kekuasaan Jawa itu sendiri sebagai sebuah pemikiran politik tradisional khas Indonesia serta melihat konteks kekinian kekuasaan Jawa tersebut, apakah masih ada dalam kekuasaan Indonesia kontemporer?


BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

A.    Konsepsi Kekuasaan Jawa
            Dalam memahami kekuasaan Jawa, terdapat dua konsep wilayah kehidupan manusia, yakni alam lahir dan alam batin.[4]Jadi kekuasaan poltik yang bertujuan untuk mengatur masyarakat dalam Tradisi Jawa harus sinergis dengan alam lahir dan alam batin yang berakar pada kekuatan gaib atau adiduniawi alam semesta sendiri.[5] Kekuasaan dalam paham Jawa diartikan sebagai kenyataan nonduniawi yang menentukan dirinya sendiri, dimana orang yang mendapat kekuasaan itu tidak menentukannya, namun hanya sebagai tempat yang menampung kekuasaan tersebut. Orang yang menampungnya tidak bertanggungJawab atas perebutan dan penggunaan, karena kekuasaan berdaulat hanya pada dirinya sendiri.
Seorang penguasa akan betul-betul berkuasa jika semua seakan-akan terjadi melalui dirinya sendiri. Namun sebaliknya jika terjadi kesibukan, kegelisahan dan kekhawatiran tentang apakah akan sukses bagi orang Jawa merupakan suatu kelemahan. Kekuasaan yang sebenarnya nampak dalam ketenangan. Sikap tenang menunjuk pada inti kemanusiaan yang beradab, sekaligus menunjukkan kekuatan batin, dimana seorang penguasa harus bersikap alus.[6] Yang berarti bahwa ia dapat mengontrol dirinya sendiri secara sempurna hingga memiliki kekuatan batin. Orang yang berwibawa tidak perlu menunjukkan kewibawaannya dengan usaha-usaha yang terlihat. Bila memberikan perintah tidak perlu dengan berkata keras dan memaksa, melainkan bisa secara tidak langsung, baik berupa sindiran, usul, ataupun berupa anjuran.
            Kekuasaan dalam pandangan Jawa bersifat metempiris, sehingga cara memperolehnya pun tidak dengan cara-cara empiris. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pemusatan tenaga kosmis, bukan dengan melihat hasil kekayaan, keturunan, relasi, dan lain sebagainya. Tenaga kosmis tersebut tidak dapat begitu saja diperoleh, namun harus diberi. Sering terjadi melalui semacam pengalaman panggilan. Bisa saja dipanggil saat sedang bersemedi lalu dijatuhi semacam wahyu Ilahi, sehingga orang tersebut mendapat kekuatan adikodrati yang membuat wajahnya bersinar, hingga rakyat tahu bahwa tanda itu menyimbolkan kemunculan seorang pemimpin baru.[7] Itulah tata cara pergantian kepemimpinan terjadi.
            Namun ada cara lain yang bisa dilakukan agar bisa mendapata kekuasaan. Cara yang ditempuh yaitu dengan memusatkan kasektѐn, kekuasaan kosmis, dalam dirinya sendiri. Berbagai usaha pun dilakukan, anatara lain melakukan tåpå atau puasa, mengurangi makan, tidur dan berpantang seksual, dan semedi. Kalau seseorang telah menjdi pemimpin atau Raja, pastilah ia cenderung ingin memperluas kekuasaannya. Ia berusaha pula dengan mewarisi kekuasaan yang tidak nampak dengan mengunjungi makam-makam leluhur, mengumpulkan semua potensi dalam benda-benda magis seperti keris, tombak dan gamelan. Apabila seorang Raja pada masa jabatannya malah berusaha mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya maka Raja tersebut dikatakan mulai menunjukkan sikap pamrihnya. Hal itu mengakibatkan ia mulai disetir oleh unsur-unsur dari luar, hal itu bisa berdampak pada hilangnya kekuatan kosmik pada dirinya yang berakibat pada larutnya kekuasaan pada dirinya.
Dengan demikian,  Menurut Dr. Isbodroini Suyanto dalam Disertasi Faham Kekuasaan Jawa : Pandangan Elit Keraton Surakarta dan Yogyakarta mengkontruksi kekuasaan Jawa pada 3 komponen yakni[8] :
1.      Raja sebagai pusat kekuatan kosmis dan mistis
2.      Peranan ngelmu kasampurnaan
3.      Sumber-sumber simbolik yang mendukung kekuasaan raja
Adapun sifat-sifat yang melekat dalam kekuasaan dipandang dari dunia Jawa antara lain[9]:
a.       Kekuasaan bersifat konkret, Kekuasaan dalam dunia Jawa dimaknai sebagai suatu kekuasaan politik, dimana kekuasaan yang ada adalah suatu bentuk ungkapan kasekten (kekuatan yang sakti).
b.       Kekuasaan itu homogeny, Kekuasaan dalam paham Jawa hanyalah merupakan ungkapan realitas yang sama, karena kekuasaan itu berasal dari sumber yang sama, dan mempunyai kualitas yang sama. Semua bentuk kekuasaan berdasarkan partisipasi pada kekuatan yang satu yang meresapi seluruh dunia ini.
c.        Kekuasaan bersifat konstan/tetap. Dalam pandangan dunia Jawa, dalam kekuasaan yang dapat berubah hanyalah pembagian kekuasaan dalam dunianya saja. Pemusatan kekuasaan di suatu tempat sama artinya dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain.
d.        Kesaktian pemimpin diukur dari besarnya monopoli kekuasaan. Kekuasaan yang besar diperlihatkan dari besarnya wilayah kekuasaan, dan semakin eksklusif segala kekuatan dalam kerajaannya berasal dari padanya.
e.        Kekuasaan nampak dalam ketenangan. Sikap tenang menunjuk pada inti kemanusiaan yang beradab, sekaligus menunjukkan kekuatan batin seorang pemimpin, dimana seorang penguasa harus bersikap alus, yang berarti bahwa sebagai seorang pemimpin dapat mengontrol dirinya sendiri secara sempurna hingga memiliki kekuatan batin.
f.       Kekuasaan dalam pandangan Jawa bersifat metempiris, Cara memperoleh kekuasaan tidak dengan cara-cara empiris. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pemusatan tenaga kosmis, bukan dengan melihat hasil kekayaan, keturunan, relasi, dan lain sebagainya. Tenaga kosmis tersebut tidak dapat begitu saja diperoleh, namun harus diberi. Sering terjadi melalui semacam pengalaman panggilan.
g.        Kekuasaan hilang apabila pemimpin mulai menunjukkan pamrihnya, Apabila seorang pemimpin berusaha mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya maka ia mulai menunjukkan sikap pamrihnya. Hal itu mengakibatkan ia mulai disetir oleh unsur-unsur dari luar, hal itu bisa berdampak pada hilangnya kekuatan kosmik pada dirinya yang berakibat pada larutnya kekuasaan pada dirinya.
h.      Dalam kekuasaan tidak diperlukan suatu legitimasi. Raja sebagai sumber kedaulatan. Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi Raja. Hal demikianlah yang menyebabkan tidak perlunya hukum sebagai syarat legitimasi kekuasaan dan pembatasan pemakaiannya.
i.        Kekuasaan dinilai dari hasil yang dicapai. Kekuasaan dalam pandangan Jawa terlihat dari hasil-hasil yang dicapainya. Apabila rakyat sejahtera, adil dan makmur, maka dapat dilihat kekuasaan sang Raja itu.
            Dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep kekuasaan Jawa sangat bertolak belakang dengan pemahaman kekuasaan dari dunia Barat. Paham Barat menyatakan adanya tendensi dalam memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang selalu instrumental, sehingga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang netral dalam arti moral, namun pemahaman itu berbeda dengan dunia Jawa yang menyatakan bahwa kekuasaan lebih dari kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain saja.

B.     Kekuasaan Jawa dalam Kekinian
            Konsepsi kekuasaan Jawa dalam perkembangan kekuasaan Indonesia kontemporer ternyata belum bisa dipisahkan. munculnya streotip bahwa kekuasaan Indonesia adalah kekuasaan Jawa, melihat dimana pemimpin Indonesia lebih didominasi oleh keturunan Jawa. Tentunya, Pemimpin yang berdarah Jawa memiliki kultur kepemimpinan Jawa, sadar tidak sadar dan mau tidak mau hal ini harus diakui oleh bangsa Indonesia sendirinya. Dalam melihat konsepsi kekuasaan Jawa dalam konteks kekinian kita dapat mengamati dan menganalisis Kemenangan SBY-Boediono yang memiliki falsafah politik berkultur Jawa yang sangat diminati oleh sebagian pemilih masyarakat Indonesia, yakni etnis Jawa, yang menekankan dimensi ngalah, linuwih, lan tut wuri hanyani. Kultur politik Jawa bukanlah kultur politik tergesa-gesa, berani menyatakan diri, dan cepat.
            Sebenarnya, Pemikiran dan tingkah laku politik masyarakat Indonesia bersifat multi etnis namun dipengaruhi oleh campuran nilai beberapa suku bangsa tertentu dan dominasi Jawa, dari segi jumlah masayarakat dan pemegang kekuasaan di Indonesia sendiri. Oleh karena itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu mengadaptasi diri dengan nilai-nilai ke-Jawaan atau menjadikan nilai Jawa sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).
Dalam kepemimpinan SBY, sebagai orang Jawa, lebih memperhatikan dan menggunakan tuntutan politik Jawa dalam pengambilan keputusan.  Kekuasaan Jawa juga selalu ditandai oleh upaya konsentrasi kekuasaan. SBY  telah sangat jitu mengikuti pola ini dengan mengambil seluruh kuasa yang menyebar di berbagai kekuatan politik. Pilihan SBY untuk mengambil Boediono menjadi Wapres dapat dipahami sebagai usaha untuk menggenggam seluruh kekuatan politik. Berbagi tugas, seperti periode SBY-JK dipastikan sulit muncul karena tak pernah ada dalam konsep budaya kekuasaan Jawa.
 Dalam penyusunan Kabinet  SBY I dan II, nampak jelas upaya akomodasi terhadap seluruh kekuasaan politik, yang tadinya saling bertentangan. Jika oposisi mau sedikit mengalah, seluruh kekuatan politik akan terkonsentrasi dalam diri SBY seorang. Belum lagi dengan konfrontasi SBY dengan Ketua Umum Partai Demokrat, menunjukkan bahwa kekuasaan itu harus berpusat pada satu orang yakni SBY sendiri. Begitu juga dengan konsep “Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap” dimengerti SBY sebagai langkah bagaimana memperbesar kekuasaan sembari memperkecil kekuasaan pihak lain. Hal ini dilakukan baik itu dengan cara mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik diseberang dirinya masuk dalam lingkaran kekuasaanya dengan imbalan-imbalan yang bervariasi.
SBY merupakan sosok pemimpin yang kharismatik bagi kalangan Jawa, artinya mempunyai kekuasaan dalam arti yang banyak persamaannya dengan yang dipunyai oleh para penguasa tradisional Jawa, yang diangap sebagai pusat pancaran kekuasaan, dan orang yang percaya akan menempelkan kekuasaanya, dari pada tunduk sebagaimana halnya yang dilakukan kepada penguasa rasional legal, kekuasaan lebih nampak dari pada apa yang telah dipertunjukkan, kelemahan seorang pemimpin yang kharismatik  mengenai pusat yang telah dilemahkan seperti yang dipikirkan oleh orang Jawa.
Oleh karena itu, menjadi menarik dalam kontestasi pemilu 2014, setiap calon penguasa yang akan bertarung dalam kontestasi politik juga tidak lupa akan konsep-konsep kekuasaan Jawa. Bagaimana konsep menghimpun kekuasaan daripada menggunakan bisa diterapkan sebagai tindakan politik untuk memenangkan pertarungan. 















BAB III
PENUTUP

            Konsep kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan, integritas teritorial dan hubungan-hubungan luar negeri, adanya ketentuan yang tidak berubah dari lakon wayang dan dalam tradisi histories, bahwa nama-nama kekaisaran atau kerajaan sama dengan nama ibu kotanya. Penguasa atau sultan  di Jawa harus mampu mengkaloborasikan tiga hal, yaitu keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan, ini adalah nilai-nilai yang luar biasa yang harus dimiliki oleh orang yang sedang berkuasa di Jawa 
            Dengan demikian, jelas bahwa konsep kekuasaan Jawa tidak hanya berbeda, tetapi banyak yang berseberangan dengan model kekuasaan di barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik. Orang Jawa percaya bahwa kekuasaan itu bersifat konkrit, homogen, berada pada jumlah yang sama di bumi dan tidak perlu dipertanyakan legitimasinya.
                Konsepsi Kekuasaan Jawa ternyata sampai hari ini masih dapat digunakan dalam analisis kekuasaan pemimpin Indonesia, mengingat presiden dan wakil presiden adalah orang Indonesia dari etnis Jawa. Selain dapat menjelaskan kekuasan SBY sebagai presiden, konsep kekuasaan Jawa ini dapat menjelaskan kekuasaan Keraton Yogyakarta sebagai sebuah kekuasaan asli peninggalan Mataram yang samapi hari ini masih bertahan dan Hamengkubuwono XI tetap menjadi pemegang kekuasaan Jawa yang sangat ditaati oleh Masyarakat Jawa.
            Mengulasi Pemikiran Tradisionalisme Jawa melihat dari segi kekuasaan perlu ruang yang lebih luas, mengingat adanya batasan lembaran makalah sehingga membuat penulis dibatasi dalam mengungkap kekuasaan jawa ini sendiri. Terlepas dari pada itu semua, kekuasaan jawa adalah sebuah kearifan bangsa dalam memiliki konsep yang cendrung diabaikan oleh ilmuan politik modern di Indonesia. Penulis masih sangat meyakini bahwa budaya sangat mempengaruhi kekuasaan seorang pemimpin baik didaerah maupun di Nasional. Meski hal ini telah ditentang tegas oleh Tan Malaka bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka 100% harus terlepas dari logika mistika.




DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B.R.O’G, 1977, The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Holt, Culture and Politics In Indonesia. Ithaca, London : Cornell University Press.
Budiarjo, M. 1984. Aneka Pemikiran Tentang Wibawa dan Kuasa, Jakarta : Sinar Harapan
Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta : Gramdia
Magnis, Suseno, F. 1984.  Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: IKAPI
Moedjanto, M. A. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Palmier, Leslie H, 1969, Social Status and Power In Java, New York : Humanities Press Inc
Raharjo, Supratikno, 2002, Peradaban Jawa : Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno, Jakarta : Komunitas Bambu
Setiadi, Bram, Dkk, 2001, Raja Di Alam Republik : Keraton Kasunan Surakarta dan Paku Buwono XII, Jakarta : Bina Rena Pariwara.


[1] Menurut Herbert Feith dan Lance Castles, 1970, dalam buku ”Indonesian Political Thinking, 1945-1965, Cornel University Press, Ithaca And London
[2] Ann Gregory : Etnis mayoritas mempengaruhi nuansa politik suatu bangsa
[3] Benedict R.O.G. Anderson. 1972.  The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Holt, hlm 8
[4] Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern,, Hal 32
[5] ibid, hal 34
[6] Franz Magnis-Suseno, Op. Cit,. hlm 103
[7] Bdk. Anderson. Op. cit., hlm 16
[8] Dr. Isbodroini Suyanto, Faham Kekuasaan Jawa : Pandangan Elite Keraton Surakarta dan Yogyakarta, Disertasi, Universitas Indonesia
[9] disimpulkan dari Miriam Budiarjo 1984. Aneka Pemikiran Tentang Wibawa dan Kuasa, Jakarta : Sinar Harapan dan Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta : Gramdia