Minggu, 17 Mei 2015

Meninjau Ulang aktivis 1966


Sebuah Jejak Pemikiran Burhan Magenda.

Dalam membahas gerakan mahasiswa dapat dilihat dari dua kondisi yakni kondisi objektif, dimana gerakan mahasiswa dalam kerangka persoalan yang lebih luas yakni meliputi struktur umur penduduk suatu negara dan sistem politik pada masa tersebut. Sedangkan kondisi subjektifnya, yakni menilai variable-variable yang melingkupi langsung yang berhubungan dengan kepentingan mahasiswa, termasuk latar belakang sosial para mahasiswa, keterbukaan pasaran tenaga kerja.

Didasari oleh dua pandangan inilah, Burhan Magenda mengulas gerakan mahasiswa yang terjadi pada periode Demokrasi Parlementer 1950-1959 dan Periode Demokrasi Terpimpinn 1959-1965 serta periode Orde Baru sejak 1966 sampai sekarang(1977, disaat tulisan diterbitkan).

Pemahasan mengenai gerakan mahasiswa-pun dimulai Burhan Magenda dengan perguruan tinggi sebagai fenomena baru di Indonesia. Menurut Burhan Magenda, perguruan tinggi di Indonesia yang pertama kali berdiri 1919 di Bandung, 1924 Kedokteran di Jakarta dan 1929 Fakultas Hukum di Jakarta bertujuan untuk menjadikannya sebagai bagian dari politik etis dan bertujuan untuk memperoleh tenaga kerja menengah lokal yang diperlukan untuk ekonomi kolonial. Sedangkan bagi kaum terjajah adanya perguruan tinggi adalah sebagai penghasil benih-benih kontradiksi dan menjadi sumber lahirnya tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan. Artinya, adanya perguruan tinggi bagi pribumi menghasilkan “noblesse oblige” untuk memperjuangkan nasib rakyat tertindas.

Dengan adanya etos noblesse oblige ini, inilah yang menjadi pembeda antara arti pentingnya perguruan tinggi bagi negara terjajah dengan negara penjajah. Selain itu, akumulasi ini ditambah dengan ketimpangan penerimaan mahasiswa dalam dunia kerja, dimana tenaga kerja eropa lebih mendapat tempat dibanding mahasiswa pribumi sehingga menghasilkan etos ketidakadilan yang digambarkan oleh Cristopher Jenks “equality of opportunity dan equality of results”. Sebagai catatan, yang dapat merasakan perguruan tinggi hanyalah kelompok priyayi dan aristocrat pribumi saja. Sehingga etos ketidakadilan ini menambah etos noblesse oblige pada kelompok terjajah.

Gambaran inilah yang terjadi pada kondisi sosial mahasiswa jelang kemerdekaan yang mengakumulasi gerakannya dalam bentuk perjuangan kemerdekaan. Menurut Burhan Magenda, kondisi jelang  kemerdekaan ini berlanjut pada masa demokrasi parlementer, dimana usaha untuk melahirkan generasi berpendidikan terhalang dengan kondisi struktural yakni minimnya sekolah ditingkat bawah. Apalagi jelang masa demokrasi parlementer terjadi disrupsi pendidikan tinggi akibat perang mempertahankan kemerdekaan. Sehingga menurut Burhan, latar belakang sosial mahasiswa tidak jauh berubah dibanding masa kolonial sekalipun.

Meskipun kesadaran sebagai the future elite sudah ada pada mahasiswa pada masa ini, namun pasca merdeka anggapan tugas belajar dianggap sebagai noblesse oblige, sehingga pada masa ini ditandai dengan ketiadaan gerakan mahasiswa yang berfungsi politik dan hampir 85 persen mahasiswa kemudian berafiliasi dalam lembaga pemerintahan. Kondisi ini bagi Fischer yang dikutip Burhan Magenda,  melahirkan ketiadaan partisipasi politik gerakan mahasiswa dari sudut padang pribadi yang dekat antara mahasiswa dengan lapisan elite politik nasional pada waktu itu.

Pada masa demokrasi parlementer ini, menurut Soejatmoko dikenalnya oligarki politik dimana, elite nasional saat itu adalah pemimpin politik pada masa penjajahan dan perjuangan kemerdekaan fisik. Sistem politik yang ada memberikan kesempatan pada elite tersebut untuk bergantian dalam menguasai negara. Kemudian partai-partai politik yang ada berkisaran disekitar pribadi-pribadi dan tidak merupakan organisasi sosial dengan formulasi program yang konsisten. Sehingga, menurut Harry Benda sebagaimana yang dikutip oleh Burham Magenda mengatakan bahwa partai politik beroperasi dalam sebuah kekosongan politik dan sosial tanpa kerangka permasalahan yang jelas yang menjalain kerjasama antara anggotanya di desa dengan pusatnya di Jakarta. Dengan demikian, partai politik dan pribadi pimpinnnya disebut Burhan ( acuan pemikiran Cliord Geertz) sebagai appcal yang primodial sifatnya basis untuk legitimasi semata yang diikat dengan bendera nationhood .

Kondisi oligarkis inilah yang sebenarnya menyebabkan ketiadaaan partisipasi politik baik dari kalangan mahasiswa dan kalangan angkatan bersenjata meskipun diposisikan sebagai penerang dalam ketiadaaan partisipasi politik. Pengembalian UUD 1945 sebagai dasar negarapun memperlihatkan bagaimana angkatan bersenjata bersama oligarki Soekarno memperlihatkan pertentangan yang tajam antara parta-partai dan konstituente mengenai dasar negara. Sehingga hal ini menjadi tonggak politik perubahan kedua aliran kebudayaan (Soekarno dan angkatan bersenjata, partai-partai dengan konstituennya).

Pada Demokrasi Terpimpin, angkatan bersenjata menjadi poin utama, dimana mereka (angkatan darat) berhasil melakukan kontrol besar dalam sistem politik melalui ide Jendral Nasution “the middle way” yang kemudian menciptakan dwifungsi ABRI. Disinilah titik mula ABRI berpolitik. Selain itu ada kontradiksi ideologis yang didasarkan pada aliran tertentu yang dimulai jelang pemilu 1955. Adanya politik mobilisasi massa yang intensif yang dilakukan oleh partai-partai dan sekaligus angkatan darat melalui “civic missions”, dimana ideologi yang berkembang pada tataran elite berkembang luas dimasyarakat pedesaan. Sehingga terjadi perbedaan kelas misal santri-abangan, petani-pemilik tanah yang dengan mudah dapat diidentifikasi dalam ideologi tertentu. Hal ini menjadi basis konflik sosial akibat dari politik mobilisasi massa dari dua arus kebudayaan yang berbeda tersebut.

Politik mobilisasi massa ini berpengaruh pada mahasiswa dimana menurut Burhan Magenda,  adanya upaya mengarahkan gerakan mahasiswa sebagai aktor dalam politik nasional sebagai kekuatan yang bebas dari partai, dijembatani oleh angkatan darat, gerakan mahasiswa sebagai partisipasi politik secara pribadi. Sebenarnya merupakan pelemahan terhadap peran partai oleh angkatan darat yang kemudian menjadi embrio dari golongan karya.

Pada masa demokrasi terpimpin ini dimulai eksploitasi dibidang pendidikan tinggi, dimana berkembangnya IAIN dalam menampung mahasiswa dengan seleksi ringan dan bebas uang kuliah. Sehingga eksploitasi ini meningkatkan jumlah mahasiswa dan pada masa ini latar belakang sosial mahasiswa tidak lagi pada kelas tertentu tetapi meliputi semua aspek sosial dimasyarakat, lebih banyak variabelnya dan tidak menggambarkan “kota besar, golongan menegah dan orientasi kebudayaan barat”. Sebelumnya mahasiswa identik dengan pekerjaan yang baik dan sukses sosial, sejak demokrasi terpimpin mahasiswa lebih dikenal egalitarian yang sifatnya tidak eklusivisme fisik maupun sosial budaya.

Berbanding terbalik dengan kondidi demokrasi parlementer, kondisi mahasiswa tidak lagi tertampung pada lembaga pemerintahan sehingga menyebabkan pengggangguran sarjana baru yang kemudian oleh pemimpin demokrasi terpimpin dilarikan pada bidang politik yang kemudian melahirkan pembengkakan anggota pada lembaga-lembaga organisasi kemahasiswaan (mahasiswa tidak berpartai politik). Dan kemudian sosialisasi politik atas ideologi bangsa yakni UUD 1945 dan Pancasila menguat bagi angkatan darat namun bagi mahasiswa sosialisasi politik  justru melahirkan kecendrungan ideologis, dimana indoktrinasi di organisasi pada semua tingkatan sosial menciptakan suatu generasi yang politis cara berpikirnya baik kalangan agamais, nasionalis, maupun komunis.

Memasuki babak tragis bangsa dengan adanya G 30 S PKI, ternyata manipulasi simbol-simbol akibat dari sosialisasi politik demokrasi terpimpin telah menjadi boomerang antar ideologi. Mobilisasi politik akibat sosialisasi politik yang melembaga dalam arus kebudayaan membuktikan dalam dissensus, ambivalensi dan disorentasi dalam masyrakat Indonesia. Sebagaimana yang diungkap Clifford Geertz. Sehingga terjadi penggagalan bentuk consensus kebudayaan yang sesuai dengan civil society akibat dari usaha untuk pematapan dan interpensi UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologisasi politik. Dengan demikian depolitisasi ini menciptakan ideologi baru yakni “pembangunan” yang menghapus semua slogan ideologi lainnya. Depolitisasi ini melahirkan parameter sosial yang baru yang mana, stabilitas politik untuk pembangunan.

Kondisi ini kemudian membuat jurang bagi TNI dengan mahasiswa tidak seperti sebelum runtuh demokrasi terpimpin, dimana angkatan 1966 melali KAMI dan KAPPI menjadi disilusi dengan ABRI setelah 2 tahun pasca gerakan. Akibatnya slogan angkatan 1966 yang “keadilan, hak asasi dan kebebasan” tenggelam dalam sentralisasi yang berkebudayaan jawa. Melahirkan kekecewaan dikalangan angkatan 1966, namun kekecewaan ini tidak berjalan lama karena Orde Baru merekrut mahasiswa kedalam barisan elite khususnya kelompok islam yang melahirkan fusi partai-partai islam pada tahun 1972.

Hal ini melahirkan ketidakseimbangan antara usaha membuat arus kebudayaan dalam sistem politik, sekaligus mengkerdilkan gerakan mahasiswa (kelompok islam) sejak demokrasi terpimpin. Persoalan ini kemudian diikuti oleh penuntutan perubahan struktur kependudukan atau adanya gejala displacement yang menciptakan beban bagi mahasiswa. Sehingga periode Orde Baru, sistem politik dan kebijakan ekonomi tidak mampu memberikan pemecahan yang memadai terhadap persoalan yang akut dimasyarakat dan di mahasiswa. Sehingga menurut Burhan Magenda, tahun 1970an disebut sebagai “revolusi runtuhnya harapan-harapan” sebagai kebalikan dari tahun 1960an yang merupakan “revolusi harapan-harapan yang meningkat”

Melalui penggambaran gerakan mahasiswa dan hubungannya dengan sistem politik sejak colonial sampai tahun 1977, Burhan Magenda beragumentasi bahwa gerakan mahasiswa dengan latar belakang sosial tersebut akan terus dirasakan di Indonesia. Apalagi dengan sentralisasi yang dilakukan Orde Baru, gerakan mahasiswa menjadi the only effective opposition dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi melahirkan perbedaan keuntungan bagi dua kelompok arus kebudayaan di masyarakat, keuntungan bagi kelompok dilingkaran elite dan ketidak-untungan dikelompok kebudayaan tertentu, sehingga menjamin suatu gerakan mahasiswa yang berkelangsungan, keterbatasan-keterbatasan yang inheren dengan gerakan mahasiswa dimanapun. Seperti gambaran ditahun 1970an dimana keterbatasan pokok antara gerakan mahasiswa dengan kekuatan politik luar kampus dan ormas ekstra kampus memperlihatkan adanya independensi gerakan mahasiswa yang diikuti oleh gerakan demokratisasi. Menurut Burhan Magenda inilah yang disebut sebagai kekuatan moral yang tidak terkontaminasi oleh politik praktis luar kampus sehingga menciptakan gerakan mahasiswa sebagai “pelopor tanpa pengikut” yang digalang dengan romantic dengan appeal populis.

Dilain hal, bagi Burhan Magenda, pemutusan hubungan dengan organisasi politik diluar kampus tidak memungkinkan gerakan mahasiswa untuk dapat mengorganisir diri disekitar keresahan khususnya secara politik. Sehingga Burhan Magenda mengatakan gerakan mahasiswa dalam upaya mengakhiri ambivalensi dimana jika kekuatan moral dipilih akan menghasilkan aktor politik biasa terutama jika terjadi perpecahan elite sehingga gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral akan membayar mahal. Namun Burhan Magenda mengingatkan bahwa pada kondisi objektif maupun subjektif memberikan peluang untuk melahirkan gerakan radikal. Meskipun pemilihan posisi gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral ataupun kekuatan politik akan dipertanyakan karena latarbelakang sosial historic dari gerakan mahasiswa itu sendiri.

Sumber Utama : Burhan D. Magenda, 1977, Gerakan Mahasiswa dan Hubungan Dengan Sistem Politik : Suatu Tinjauan, Dalam Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, 1991. Prisma, LP3ES Jakarta

Review : Transformasi CSO : Perpektif perubahan sistem



Buku hasil penelitian LIPI ini berfokus pada transformasi politik Civil Society Organisation (CSO) pasca reformasi 1998. Adapun latar belakang penelitian ini adalah pasca perjuangan melawan rezim terjadi transformasi politk CSO ke berbagai sektor politik terutama adalah partai politik. CSO sebelumnya memainkan peran penguatan argaining position masyrakat dalam melawan politik rezim Orba. Setelah rezim hancur, CSO dihadapkan dengan persolan perubahan politik yang demokratis, yang mengakibatkan CSO mulai terbelah. Sebagai aktor yang ikut memperjuangkan demokrasi sebahagian aktivis CSO tetap mengambil jarak dengan negara serta institusi politik dan disebahagiannya ada yang meruah sikap politik dengan bertransformasi menjadi bagian dari politik formal seperti mendirikan partai dan mencalonkan diri untuk mengisi posisi jabatan publik (sebagaimana 
epilog yang ditulis oleh Hermawan Sulistyo dalam judul gerakan mahasiswa dipersimpangan jalan dalam buku Muridan S. Widjojo sebelumnya).

Dari banyaknya aktivis CSO yang masuk ke partai politik dan ikut dalam pemilu untuk legislatif, hanya sedikit yang kemudian mampu bertarung dan duduk di parlemen. Menurut kalangan transformasi aktivis, hal ini disebabkan oleh lemahnya political society dalam hal ini adalah partai politik yang hadir sejak tahun 1999 dalam melakukan perubahan sistem ekonomi, politik, dan kesejahteraan masyrakat yang lebih baik. Politisi dari kalangan sipil dianggap lambat dalam merespon tuntutan perubahan atas demokratisasi, hal ini dikarenakan kapasitas dan persoalan integritas sipil yang dipertanyakan oleh masyarakat.

Buku hasil penelitian ini berpatokan pada data Lingkar Madani Indonesia (Lima) yang mempublis ada 200 orang caleg tahun 2009 yang merupakan aktivis pergerakan 1998 dan jika digabung tingkat nasional dan daerah maka ada sekitar 1000 orang aktivis pergerakan 1998 dan NGO yang ikut mencalonkan diri dalam pemilu. Menariknya, dengan sistem pemilu proposional tertutup kebanyakan aktivis CSO ini berada pada nomor urut atas.

Ikutnya aktivis CSO dalam politik formal negara tentu disertai dengan pro dan kontra, sebahagian mendukungn dan optimisme atas keikutsertaan mereka. Serta dipandang bahwa keterlibatan mereka tidak akan menghasilkan mobocracy karena aktivis CSO dipandang memiliki idealisme yang mampu membuat kebijakan publik yang berkualitas dibanding dengan artis maupun pengusaha yang berpolitik nantinya. Namun, sebahagian lagi malah kwatir terhadap keterlibatan aktivis ini di politik formal. Menurut tim peneliti didasarkan atas pertama, kondisi politik yang belum stabil pasca ORBA di kwatirkan akan membuat para aktivis tersebut tersandera oleh kondisi lembaga perwakilan yang saat ini masih korup. Kedua, pengalaman masuknya aktivis ke politik formal pada awal ORBA yang gagal memberikan konstribusi pada demokratisasi yang positif  dan berubahnya aktivis menjadi loyalitas rezim. Hal ini dikarenakan motif mereka yang dianggap merupakan motif pribadi bukan motif  melanjutkan perjuangan. sehingga dikwatirkan bukan untuk perubahan justru malah berujung pada delegitimasi aktivis dan eksistensi civil society.

Ketiga yakni, masuknya aktivis dalam praktik formal politik justru membuat pencerahan dan pemberdayaan masyarakat akar rumput menjadi terbengkalai sehingga terkesan benar-benar meninggalkan kerja-kerja sosial yang telah diemban sebelumnya. Selain itu, ketakutannya adalah praktik politik pragmatis dianggap akan membawa buruk pada penguatan civil society.
Dengan latar belakang penelitian yang demikian, buku ini berupaya menyajikan motif, kemampuan dan konsistensi idealisme kalangan aktivis CSO yang mencoba berpolitik ormal. Adapun penelitian ini menggunakan pisau analisis yakni hasil penelitian dari Lech Walesa dan Vaclav Havel yang melihat adanya perbedaan antara transformasi CSO di negara otoriter dengan negara demokrasi. Di negara demokrasi transformasi dianggap lumrah dan biasa saja sedangkan di negara otoriter terlihat adanya kesempatan dan kepentingan yang dipengaruhi oleh rezim atau adanya inheren. Sedangkan merujuk pada Indonesia dari otoriter ke liberalisasi politik dianggap fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Artinya dengan adanya liberalisasi politik, transformasi terjadi karena adanya kebutuhan atas lingkungan baru yang memaksa sekelompok orang untuk melakukan penyesuaian atas perubahan tersebut.

Adanya transformasi dianggap sebagai artikulator atau sebagai penyampaian input ke dalam sistem politik, sebagai penyeimbang atas keberadaan pemerintah dengan masyarakat serta sebagai penggalang solidaritas dan menciptakan tanggung jawab terhadap seluruh elemen bangsa. Selain itu, penelitian Wawan dkk ini merujuk pada teori dari James Ryker dan Philip Eldrige dalam melihat pola hubungan antara negara dengan CSO.

Sebagai metode pengumpulan data penelitian, buku ini menggunakan studi pustaka dan wawancara mendalam dengan 20 orang aktivis CSO yang tersebar di Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Jakarta. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini diantaranya adalah Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari dan lainnya.

Menurut Firman Noor dalam melihat pasang surut hubungan antara civil society dan negara di era orde baru mengalami metamorfosis yang semakin menguat jelang tahun 1998. Menurut Firman Noor dalam melihat relasi antara kuasa negara dan civil society harus dilihat dari dua hal yakni korelari antara bangun rezim dalam dunia politik praktis, terutama dalam hubungan dengan negara. Kedua adalah penggambaran prakondisi atas munculnya kecendrungan berpolitik praktis di era reformasi yang semakin meningkat sekaligus mendapatkan gamabaran yang lebih utuh tentang perkembangan karakter berpolitik aktivis CSO dari masa ke masa. Dalam bab ini Firman Noor mencermati kecendrungan politik yang dihasilkan oleh aktivis CSO sebagai akibat relasi antara negara dengan civil society yakni sebagaiman disebeut dalam latar belakang adanya yang memilih masuk sistem dan ada yang bertahan diluar sistem.

Sehingga Firman Noor melihat bahwa adanya peran yang fluktuatif dalam civil society dalam menghadapi rezim yakni periode keras dan periode lunak. Dengan demikian dapat dilihat 3 hal yakni karakteristik perjuangan CSO memang tidak terlepas dari tabiat rezim yang ada, Sehingga berimbas pada fokus dan ideologi yang dikembangkan, apalagi dengan adanya keterjarakan waktu dan menguatnya rezim yang melahirkan radikalisasi.

Pasca melunaknya rezim dan masuknya liberalisasi politik jelas menjadi nuansa baru untuk melahirkan metamorfosis politik berbeda dengan angkatan 1966. Seperti halnya masuknya aktivis dalam jumlah besar, banyaknya partai politik jadi kendaraan dan masuknya mereka pada ranah politik yangsangat kompetitif. Namun, faktor ajakan sangat mempengaruhi aktivis CSO ternyata untuk bergaung ke partai politik. Menurut Wawan Ichwanudin, aktivis CSO seksi karena kebutuhan SDM bagi partai politik, adanya perluasan dukungan oleh partai politik, kehadiran CSO dapat mengangkat citra partai.

Penelitian yang menitik beratkan keikutsertaan para aktivis CSO pada pemilu 2009 ini merefleksikan bahwa motivasi aktivis CSOpun beragam dalam ikut bergabung kepartai seperti dasar ideologis cendrung melihat adanya kesamaan ideologinya dengan platfom partai, Sedangkan yang bergabung pada partai baru cendrung berargumen bahwa partai baru dapat dibentuk dibandingkan dengan partai yang telah mapan. Dilain hal, motivasi aktivis CSO adalah faktor kejenuhan terlalu lama beraktivitas di dalam dunia NGO dan sebahagian didorong oleh faktor ekonomi.

Berdasarkan hasil penelitian berikutnya dalam melihat pro dan kontra masuknya aktivis CSO dalam panggung politik formal sebenarnya bagi kalangan aktivis CSO sendiri ini merupakan masih menjadi perdebatan. Bagi golongan yang menerima adanya transformasi politik aktivis CSO memandang bahwa pilihan ergabung merupakan pilihan yang masuk akal karena menggap bahwa inilah konvergensi antara peluang pada pemilu 2009 yang diberikan oleh partai-partai dalam proses rekuitmen calaeg dan keinginan perubahan politik.  Sebagai salah satu implikasi dengan bergabungnya aktivis CSO dalam panggung politik adalah melemahnya konsistensi dan komitemen idealisme para aktivis tersebut. Hal ini mengakibatkan lahirnya kelompok yang menolak transformasi aktivis CSO karena memandang situasi tidak kondusif untuk terjadinya perubahan melalui dalam kekuasaan.

Masuknya aktivis ke dalam politik electoral dipadang dapat menghabiskan kekuatan independen yang mendudukan dirinya di posisi tengah-tengah rakyat dan negara. Apalagi tidak adanya jaminan caleg aktivif tidak terseret kedalam pertarungan politik partai dan kekuasaan. Sehingga skeptism terhadap transformasi politik aktivis CSO dalam pencalegan tidak dapat dihindari apalagi merujuk pada motif aktivis dalam terjun kepolitik formal.

Selanjutnya, refleksi dari aktivis dalam pencalegan 2009 menjadi titik balik apakah ini merupakan pergerakan individu semata atau secara ketetepan kelompok. Menurut hasil penelitian ini, terdapat pola bereda antara di Sumatera Utara, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan dalam melihat persoalan ini. Dimana, di Sumatera Utara transformasi politik aktivis CSO merupakan pikiran kolektif aktivis CSO Sumatera Utara. Hal ini terlihat dari adanya kelompok CSO, pertemuan yang membahas intensif pencalonan para aktivis CSO secara bersama. Di yogyakarta dan di Sulawesi Selatan hal ini tidak ditemukan, transformasi merupakan bentuk dari gerakan individu semata.

Dalam pencalegkan aktivis CSO ternyata tidak semua aktivis diterima oleh masyrakat, artinya yang mampu meraih suara terbanyak. Berdasarkan hasil penelitian, ini dikarenakan kesalahan pemilihan partai politik. Aktivis CSO yang bergabung dengan partai kecil yang gagal mendapatkan ambang batas suara 2,5 persen ( parliamentary threshold). Faktor penempatan dapil juga sangat mempengaruhi terjadinya caleg aktivis CSO gagal. Misalnya aktiovis CSO se dapil dengan caleg yang berlatar belakang artis ataupun pejabat publik. Popularitas aktivis CSO tentunya kalah dengan artis atau pejabat publik lama. Selain itu faktor ketidaksiapan aktivis CSO menjadi caleg dalam mengahadapi realitas politik pemilu 2009. Hal ini meliputi permainan politik uang, ongkos politik yang besar, serta lemahnya mekanisme pengawasan pemilu pada tahun 2009. Gagalnya memahami realitas politik pemilu 2009 membuat sebahagian caleg dari aktivis CSO harus gigit jari, berpikir kembali atau melanjutkan perjuangan dengan cara yang lain.

Adapun kesimpulan dari penelitian ini bahwa banyaknya jumlah aktivis CSO yang menjadi caleg  bukan indikator semakain mantapnya proses transformasi aktivis dari ranah civil society ke political society. Selanjutnya adalah terkait prospek konsilidasi demokrasi dengan adanya transformasi politik. Dan terakhir bahwa dengan adanya transformasi politik aktivis CSO ini dapat memberikan pelajaran kepada kalangan prodemokrasi dalam menyiapkan agenda perubahan dimasa mendatang.

Sumber Rujukan : Wawan Ichwanudin (edt).  2010. Transformasi Politik Aktivis CSO : Refleksi Pengalaman Caleg Aktivis dalam Pemilu 2009. LIPI: Yayasan Tifa


Siapa Aktivis 1998?



Sebuah Tinjauan Ulang



Dalam Buku Muridan S. Widjojo bersama kawan-kawan ini terdapat setidaknya 9 artikel ilmiah terkait dengan Sejarah sampai lahirnya Gerakan mahasiswa 1998 sebagai penakluk rejim Orde Baru. Adapun buku ini mencakup tulisan dari Abdul Mun’im DZ yang berjudul Gerakan mahasiswa 1966 Ditengah Pertarungan Politik Elite”, Tulisan Arbi Sanit “ Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik”, Tulisan Irine H. Gayatri “ Arah Baru Perlawanan : Gerakan Mahasiswa 1989-1993”, Tulisan Soewarsono “ Dari OTB ke OTB : Catatan-catatan Resmi Menegenai Gerakan Mahasiswa Indonesia 1993-1996”, Tulisan Muridan S. Widjojo “ Turunkan Harga, Atau Kami Turunkan Kamu…: Gerakan Mahasiswa Menggulingkan Soeharto”, Tulisan Irine H. Gayatri dan Moch. Nurhasim “ Reformasi atau Mati! : Gerakan Mahasiswa Pasca Soeharto”, tulisan Muridan S. Widjojo “ Wacana Politik Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998”, Tulisan Moch. Nurhasim “ Organisasi Gerakan Mahasiswa 98 : Upaya Rekonstruksi” dan Epilog Hemawan Sulistyo “ Gerakan Mahasiswa Di Persimpangan Jalan”.

Menurut pemaparan buku ini, pembicaraan sejarah gerakan termasuk gerakan mahasiswa 1998 tanpa memasukan angkatan 1966 seolah-olah menjadi tidak sah dan valid. Sehingga penulisan buku ini kembali mengulas angkatan 1966 melalui tulisan Abdul Mun’im DZ yang berjudul Gerakan mahasiswa 1966 Ditengah Pertarungan Politik Elite. Dalam pembahasannya, Abdul Mun’in DZ berpatokan pada Bonar Tigor Naipospos bahwa tahun 1966 adalah momentum kemunculan mahasiswa sebagai kekuatan politik, tampil sebagai dirinya sendiri tanpa embel-embel dan dan bendera kekuatan politik tertentu. Sehingga dalam tulisannya Abdul Mun’in mengulas secara objektif kedudukan angkatan 1966 yang sulit disangkal keberadaanya oleh masyrakat dan sejauh mana keterlibatan angkatan 1966 dalam peristiwa politik yang berlangsung sejak 1964-1967 serta secara spesifik mengulas peran angkatan 1966 dalam pembubaran PKI dan proses penurunan Soekarno.
Secara terus terang, menurut Abdul Mun’in, gerakan angaktan 1966 adalah gerakan moral yang di politisir. Kaca mata Abdul Mun’in dalam melihat gerakan 1966 tidak dari dalam negeri semata, bagaimana pengaruh dari gerakan-gerakan yang ada diluar sejak tahun 1950an-1960an serta perkembangan ideologi dunia yang mau-tidak mau memempengaruhi politik Indonesia. Secara gambalang Abdul Mun’in membuka perspektif baru dari gerakan mahasiswa 1966 yang lahir sebagai rezim pendukung Orde Baru. Klaim sebagai penyelamat bangsa dari komunisme dimentahkan dalam tulisan ini dengan merujuk adanya intimidasi atas sejarah oleh rejim selama 32 tahun. Menurut Abdul Mun’in, angkatan 1966 adalah angkatan yang harus bertangung jawab atas merosotnya kesadaran politik bangsa yang ditandai dengan meningkatnya korupsi dan penyelewengan terhadap konstitusi. Sehingga titik berat ditetapkan pada militer sebagai pencipta sebab, yang menguasai akibat, memperoleh kekuasaan, dan mahasiswa untuk pembaharuan sistem kehidupan yang mengikuti kehendak militer.

Sehingga bagi Arbi Sanit dalam “ Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik”, pembentukan KAMI pada tahun 1966 adalah bentuk dari bulan madu antara mahasiswa dan penguasa karena merupakan kesepakatan organisasi mahasiswa dengan kementerian sebagai upaya mengawal pancasila, menggalang Nasakom, dan penjajahan serta membantu ABRI memberantas G 30 S PKI. Namun menjadi boomerang bagi Soekarno, kerjasama militer dan mahasiswa kemudian menjadi salah satu dalang dari proses penurunan Soekarno (ORLA).
Kejatuhan Soekarno dan pembubaran PKI yang melahirkan ORBA menurut Arbi Sanit adalah hasil bulan madu antara militer dengan mahasiswa. Akan tetapi gerakan mahasiswa dihadapkan polemic balik kekmapus atau berpolitik. Sehingga menghasilkan structural kontroversi sikap pragmatism vs idealism  dalam kekuasaan ORBA. Kekuasan Orba yang dipegang oleh militer bersikap menjaga stabilitas nasional dengan mengkontrol politik mahasiswa yag terikat kepentingan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan demikian melahirkan pecahnya bulan madu tersebut yang memuncak pada januari 1974.

Arbi Sanit berkesimpulan, peristiwa MALARI merupakan perwujudan perpecahan diantara mahasiswa dengan penguasa ORBA yang menjadi titik balik melemahnya dan lumpuhnya KAMI sebagai wadah aksi bersama mahasiswa Indonesia. Peristiwa ini melahirkan gerakan anti Soeharto yang disambut dengan empat tindakan ORBA yakni menghukum mahasiswa yang mendalangi peristiwa tersebut, melumpuhkan kebebeasan mahasiswa yang dituding sebagai sumber kekuatan untuk menggalang aksi mahasiswa, perubahan kekuasaan, penyesuain kebijakan pembangunan dengan jalan menggeser urutan prioritas.

Keempat tindakan penguasa melahirkan sikap mahaiswa yang semakin yakin bahwa rezim arogan. Sehingga mahasiswa dibungkam melalui seperangkat kebijakan yakni SKM 028 tahun 1978 tentang kewenangan rector, dekan dalam membina kegiatan non kurikuler, dan yang paling arogan adalah kebijakan SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan SK No. 037/U/1979 yang mengatur bentuk susunan lembaga/organisasi kemahasiswaan dibawah kementerian P dan K sehingga dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan.

Hasil bulan madu yang kemudian melahirkan mati surinya gerakan mahasiswa. Menurut Irine H. Gayatri, Arah Baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa mulai lagi 1989-1993. Hal ini ditandai dengan perubahan perspketif terhadap paradigm (mitos) gerakan moral, yang mana mulai tampak kalangan aktivis yang berkiprah diluar kampus dengan pilihan mengangkat tema populis (kerakyatan) sekaligus merupakan kritikan dan penolakan terhadap kecendrngan elitis dan ekslusif yang dipandang inheren dengan angkatan 1966. Diawal tahun 1990an gerakan mahasiswa diawali dengan kesadaran baru bahwa mahasiswa ukan merupakan independent factor, bahwa dalam pencaturan politik tidak bisa satu aktor mencapai mandiri sendiri sehingga lahir kerjasama antar kelompok gerakan mahasiswa dan mulai mensosialisasikan bahwa perlawanan merupakan milik semua elemen rakyat yang tertindas dan perlu kesabaran bersama. dengan demikian gerakan mahasiswa adalah gerakan bersama rakyat menjadi platform baru dari gerakan perubahan.

Pada tahun 1993-1996 menurut Soewarsono, gerakan mahasiswa dari organisasi tanpa bentuk mengalami fluktuasi menjadi organisasi tambah binggung, organisasi tidakoleh bicara, sampai oposisi telah berdiri. Hal ini dikena dari OTB ke OTB. Hal ini ditunjukan dengan kelahiran PRD dan kasus kudatuli 27 Juli 1996 serta didukung oleh perubahan politik Soeharto jelang moneter 1997.

Menurut Muridan S. Widjojo, aktivis 1998 tidak bisa semata dilihat pada tahun itu saja. Karena bagi Muridan, aktivis 1998 merupakan akumulasi kekuatan politik aktivis mahasiswa dan aktivis CSO ( Civil Society Organisation) yang mulai bergejolak sejak tragedi kudatuli ( kerusuhan 27 Juli 1996) bahkan jauh sebelum tragedy tersebut terjadi, dimana menurut Soewarsono hal ini terjadi karena  perubahan dari Organisasi Tanpa Bentuk sejak tahun 1990-an awal menjadi Oposisi Telah Berdiri seperti misalnya PRD ( Partai Rakyat Demokratik) yang melakukan deklarasi secara terbuka di YLBHI Jakarta pada 22 Juli 1996.

Pendeklarasian dalam kongres I PRD inilah yang kemudian menuduhkan PRD sebagai dalang dibalik tragedi kudatuli tersebut. Akibatnya bagi aktivis PRD yang terdiri dari SMID, PPBI, STN, dan Jakker, diburu, dipenjarakan dan disangkakan pada pasal subversive sedangkan bagi Organisasi Tanpa Bentuk yang baru-baru mencuat seperti Oposisi Indonesia tidak bertahan dan bubar. Sedangkan MARI, asosiasi yang terdiri dari 30 organisasi hanya mampu bertahan sebagai pemberian simbolisasi prodemokrasi award kepada PRD.

Tragedi kudatuli ini sempat mematikan gerakan mahasiswa pro-demokrasi yang mana terlihat dari dukungan KNPI, MKGR, AMPI, FKPPI, PP, HMI, Pemuda Muhammadiyah, Gerakan Pemuda Ansor, Pemuda Tarbiyah, AMMI, KISDI untuk membubarkan dan pernyataan bahwa PRD dan Afiliasinya adalah komunis dalam mobilisasi berbagai organisasi oleh Tantyo Sudharmono. Sehingga PRD dicap sebagai organisasi terlarang dan meskipun begitu PRD tetap melakukan gerilya dibawah tanah.

Pada tahun 1997, berbarengan dengan bencana ekonomi Indonesia,  demontrasi diberbagai kota mencuat dan meningkat tercatat ada 154 demontrasi mahasiswa saat itu. Hal ini meliputi isu-isu sensiti yang strategis yang berskala nasional, karena masih ada trauma akibat tragedy kudatuli sebelumnya. Namun mulai menguat ketika aksi penolakan hasil pemilu DPR/MPR 9 Oktober 1997 yang massif dibeberapa kota secara serentak. Kemudian tepat pada hari HAM, 10 Desember para aktivis menyuarakan tema anti kekerasan militer terhadap rakyat, Penghapusan dwifungsi ABRI dan penghapusan paket 5 UU politik.

Memasuki tahun 1998 demonstrasi makin meningkat ditandai dengan 31 aksi dalan bulan Januari yang mana 16 aksi merupakan aksi penolakan terhadap pencalonan Soeharto kembali sebagai presiden. Salah satunya adalah aksi yang dilakukan oleh kelompok Cipayung ( minus HMI DIPO), HMI MPO, dan aliansi LSM, kalangan PNS dan 19 Peneliti LIPI  yang tegas membuat pernyataan politik menolak Soeharto. Termasuk Civitas Akademika UI, yang terdiri dari mahasiswa dan ILUNI turut menolak kepemimpinan Soeharto.

Hasil dari akumulasi tersebut terwujud dengan aksi secara besar-besaran dalam pendudukan gedung MPR/DPR RI setelah terjadinya penembakan mahasiswa oleh pihak keamanan. Hal ini memaksa Soeharto mundur melalui pidato singkatnya 21 Mei 1998 pukul 09.02.45 WIB. Namun gerakan aktivis 1998 tidak berhenti disana karena adanya indikasi abuse of power akan dilanjutkan oleh Habibie.

Dari polemic Indonesia di akhir kepemimpinan Soeharto, menghasilkan kelompok idealis dan bernurani yang dinamakan kelompok aktivis 1998.  Merujuk pada Muridan dan Nurhasim maka kelompok aktivis 1998 yang merupakan kelompok pro-demokrasi ini terdiri dari tiga tipologi yakni Gerakan Anti Indonesia (GAI) Gerakan Anti Orde Baru (GAOB) dan Gerakan Koreksi Orde Baru (GKOB).

Kelompok GAI merupakan kelompok yang telah bertahun-tahun lahir akiat disparitas yang dilahirkan pusat seperti di Papua dan Aceh serta Timor-timor. Sehingga, dalam penelitian ini, yang dimaksudakan aktivis 1998 adalah kelompok GAOB dan GKOB. GAOB diurai dalam dua kelompok yakni FPPI dan LMND, ini merupakan aktivis mahasiswa yang terlepas dari praktik birokrasi kampus yang berjalan secara mandiri dan melakukan gerilya serta gerakan yang lebih radikal. Sedangkan GKOB adalah kelompok-kelompok gerakan yang pada umumnya merupakan lembaga intern mahasiswa resmi ataupun setengah resmi didalam kampus.

Perdebatan apakah PRD merupakan organisasi mahasiswa atau tidak, menurut Soewarsono PRD adalah bentuk afiliasi politik organisasi mahasiswa SMID( Solidaritas Mahasiswa Indonesia untu Demokrasi) dan bagi Muridan dan Nurhasim PRD adalah tipologi GAOB.

Sebagai penutup, dalam epilog yang ditulis oleh Hermawan Sulistyo dalam judul gerakan mahasiswa dipersimpangan jalan memperlihatkan kebingungan gerakan mahasiswa setelah sukses menjatuhkan rezim ORBA yang ditandai dengan adanya pola kesinambungan (continuity) dan pola keterputusan (discontinuity) yang akhirnya menciptakan disorientasi gerakan mahasiswa. Sampai pada jelang pemilu 1999 dengan semakin terbukanya politik Indonesia (demokratisasi) secara umum menurut Hermawan terdapat 3 kategori mahasiswa pasca ORBA yakni secara aktif mendukung pemilu tanpa adanya reservasi dengan bergabung melalui partai politik lama seperi PDI-P GOLKAR, PPP, sekelas PRD mendirikan secara resmi partai sendiri. Kelompok yang menerima pemilu dengan syarat dimana mereka terlibat seagai pemantau pemiu, mendirikan lembaga pemantau sendiri dan kelompok ketiga adalah kelompok mahasiswa yang memilih untuk terus di gerakan mahasiswa dengan meneruskan isu-isu sentral seperti adili Soeharto beserta kroni-kroninya, berantas KKN, hapus dwifungsi ABRI, dan bentuk pemerintahan transisi serta menolak pemilu yang tidak demokratis.


Sumber Rujukan : Muridan S. Widjojo (et.al). 1999. Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa 1998, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Strategi Politik



Strategi politik merupakan  strategi yang digunakan untuk merealisasikan cita-cita  politik.[1] Menurut Clausewit dalam Schroder dalam Nursal (2004:55)  berpendapat bahwa pengertian strategi adalah pengetahuan tentang  penggunaan pertempuran untuk memenangkan peperangan. Dalam  abad modern ini, penggunaan istilah strategi tidak lagi terbatas pada  konsep atau seni seorang panglima dalam peperangan, tetapi sudah  digunakan secara luas hampir dalam semua bidang ilmu. Dalam  pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapat kemenangan  atau pencapaian tujuan.

Strategi politik menjadi hal yang penting tidak hanya bagi partai politik dan pemerintahan, namun juga bagi organisasi non-partai politik. dalam kajian lain strategi politik diartikan sebagai seperangkat metode agar dapat memenangkan pertarungan antara berbagai kekuatan politik yang menghendaki kekuasaan, baik dalam kontestasi Pemilu maupun dalam Pemilukada.

Strategi tersebut digunakan untuk merebut hati dan meraih simpati pemilih. Kerangka konsep sebelum melakukan strategi untuk suatu tujuan tertentu sangat  diperlukan. Hal tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, baik dari diri sendiri maupun dari pihak lawan. Tujuan dari penyusunan kerangka strategi ini adalah untuk menentukan langkah dalam melakukan tindakan. Langkah yang dilakukan dalam strategi merupakan implementasi dari misi yang dibawah. 

Dalam melihat strategi politik partai dalam pemilu, Peter Schröder, dalam buku Strategi Politik menjelaskan bahwa dalam strategi politik adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan-tujuan politik.[2]Untuk menjelaskannya dapat mengacu pada model strategi Sun Tzu yang meliputi :
1. Analisa Situasi
2. Evaluasi Strategi
3. Perumusan Strategi
4. Implementasi Strategi
5.  Pengendalian Startegi

Agar suatu kontestan dapat memenangkan pemilihan umum, ia harus  dapat membuat pemilih berpihak dan memberikan suaranya. Hal ini hanya akan dapat dicapai apabila kontestan memperoleh dukungan yang luas dari pemilih, dan metode dan cara yang dapat digunakan oleh kontestan yaitu apakah dan bagaimana marketing dapat membantu politikus dalam mengembangkan hubungan dengan pemilih. Untuk itu, Peter Schroder menekankan, untuk melihat strategi politik pada 3 fase yakni Analisa Situasi, Keputusan Strategis, Implementasi Strategis.[3]Sedangkan menurut Newman and Sheth dalam Nursal (2004: 159-160) ada beberapa strategi yang harus dilakukan yaitu:


  1. Strategi penguatan (Reinforcement strategy), strategi ini dapat dilakukan oleh kandidat yang telah dipilih dengan cara membuktikan janji-janji politiknya pada saat kampanye. Formulasi dan implementasi kebijakan pro-publik, anggaran  berorientasi gender, dan sebagainya bisa digunakan untuk  menguatkan  image kandidat untuk pilkada selanjutnya
  2. Strategi rasionalisasi (Rationalization strategy), strategi ini diambil ketika kinerja kandidat/partai tidak sesuai dengan citra yang telah dibangunnya. Rasionalisasi strategi perlu diambil agar tidak mematikan citra di mata para pemilih (voters) pada saat pilkada. 
  3. Strategi bujukan (Inducement strategy), diterapkan manakala  citra kandidat tidak sesuai dengan persepsi warga walau  kinerjanya baik di mata pemilih.
  4. Strategi konfrontasi (Confrontation strategy), strategi ini harus diterapkan oleh para kandidat yang salah membangun citra. Citra yang dibangun ternyata tidak sesuai dengan kinerjanya, oleh karena itu ia harus merombak habis citra dan kinerjanya dalam pilkada berikutnya agar dapat dipilih oleh pemilih yang semakin cerdas dan kritis.


[1] Peter Schröder, Strategi Politik, Jakarta: Frederich-Naumann-Stiftung fuer die Freiheit, 2003, hlm 5
[2] Peter Schroder. 2009, Strategi Politik edisi Revisi untuk pemilu 2009, Friedrich Naumann Siftung Fur die Freiheit, Indonesia hal 5
[3] ibid. hal 26