Masih
saja isu kesetaraan gender dipersepsikan sebagai upaya perempuan “sama” dengan
laki-laki. Minimnya literature dan tidak adaya open minded jalan pikiran
membuat konsepsi kesetaran gender stuck pada perdebatan bahwa perempuan ingin
sama dengan laki-laki baik disektor domestik dan sektor publik. Apa iya
demikian?
Saat
ini, di abad ke 21 harus mulai belajar memahami bahwa kesetaran gender adalah upaya
memperjuangkan “kesederajatan atau persamaan hak dan kesempatan (equality of
opportunity)” antara perempuan dan laki-laki di ruang publik. Maksudnya adalah
bagaimana melalui kesetaraan gender perempuan dan laki-laki mendapatkan posisi
dan kesempatan yang sama dan sejajar. Penting untuk memahami kesetaraan gender
saat ini adalah sebagai upaya mendobrak konstruksi sosial yang ada dimasyarakat
bahwa lelaki dapat bekerja dan layak menjadi pemimpin, sementara perempuan
tidak dan bekerja diranah domestik rumah tangga saja. Ini memberikan stigma
pada laki-laki sekaligus menjadi beban bagi mereka bahwa laki-laki harus
tangguh, tidak boleh cenggeng dan harus melindungi perempuan.
Sementara
itu, dalam memaknai kesetaraan gender dalam arus politik nasional dan lokal
penting dipahami adalah antara laki-laki dan perempuan di ruang publik dapat menjadi
kawan berbagi, bertukar pikiran, bermitra dan bekerjasama dalam upaya memajukan
kebijakan publik yang ramah akan gender itu sendirinya, karena melalui
kesetaraan gender dikotomi kebijakan yang tidak ramah gender dapat dihilangkan
dari masyarakat yang heterogen dan majemuk. Pelibatan kesetaran gender dalam
proses pembuatan kebijakan publik, dianggap akan dapat melahirkan kebijakan
yang lebig demokratis, inklusif dan multiculturalism serta berkemanusian.
Seringkali
perdebatan isu kesetaraan gender bias pada masalah pengakuan pada kaum LGBTQ
selain perempuan umumnya, serta dianggap sangat feminism dan liberalism. Seyogyanya,
kesetaraa gender dalam konsepsi ruang publik tidak pada pemahaman adanya
pengakuan pada orientasi seksual, akan tetapi pada perlindungan pada kebebasan
bereksperisi manusia siapapun dan dalam rupa apapun. Isu kesetaraan gender
harus dipahami pada konsepsi dasar bahwa adanya “kesederajatan atau persamaan
hak dan kesempatan (equality of opportunity)”. Kalau kita merujuk pada dasar
pondasi negara kita adalah pada konsepsi “peri kemanusian”.
Kesetaraan
gender belakangan menjadi “maianan baru” dalam isu upaya pemberatasan korupsi.
Akan tetapi bila ditelaah, justru isu tersebut lebih pada menempatkan perempuan
pada pondasi dasar pemberatasan korupsi. Perempuan dianggap paling tepat dalam
memberikan upaya mendorong pemberatasan korupsi. Bukankah ini menolak kesetaran
gender? Kenapa perempuan? Kenapa bukan perempuan dan laki-laki.
Berbagai
kalangan terutama aktifis feminism dan aktifis anti korupsi menganggap peran
perempuan dalam pemberatasan korupsi menjadi penting. Mengingat perempuan pada
hakikatnya adalah guru pertama bagi generasi selanjutnya, di rumah. Dengan
upaya perempuan di ranah domestic memberikan pelajaran terhadap pemberatsan
korupsi dianggap mampu untuk disalurkan ke ranah publik. “terciptanya generasi
yang anti korupsi” begitu argumentasinya. Lantas bagaimana faktor lingkungan
dalam membentuk perilaku korup? Pertimbangannya bagaimana?
Belakangan,
berbagai kasus korupsi yang mencuap kepublik memperlihatkan bahwa perempuan-pun
terlibat kasus korupsi dan seringkali perempuan adalah menjadi bagian dari
circle korupsi itu sendirinya. Lantas, apakah masih yakin dengan argumentasi
bahwa perempuan punya peran dalam pemberatasan korupsi?
Sebagai
contoh, seorang istri dan ibu yang mendidik anaknya dengan landasan agama,
kebaikan, disiplin dan jujur. Memiliki suami yang tidak jujur, tidak disiplin,
agamanya kurang, bahkan suka berprilaku zalim. Apakah anaknya akan
terkonstruksi sepenuhnya seperti ibunya? Belum lagi lingkungan rumahnya yang
berisikan tetangga julid, irian, pamer dan riya. Apakah mental seorang anak
akan tetap sehat? Kita belum bicara soal lingkungan sekolah. Masih kita temui
guru sertifikasi yang capek ngajar karena jam kerja yang harus sesuai, kemudian
membayar murah tenaga honorer atau guru magang. Dan bila ditarik pada
lingkungan praktek politik praktis kita yang penuh dengan money politik,
politik gentong babi, pemburu rente, politik dinasti dan sebagainya. Apakah
kemudian perempuan baik akan terus mampu mendidik anaknya untuk tidak
berprilaku korup? Ini hanyalah sebuah realitas sosial yang ada di masyarakat yang
seringkali kita abaikan.
Dalam upaya pemberatasan korupsi, harus
dengan konsepsi kesetaran gender yaitu “kesederajatan atau persamaan hak dan
kesempatan (equality of opportunity)”, dimana siapapun warga negara memiliki
kesamaan hak dan kesempatan dalam melakukan upaya pemberatasan korupsi. Sekaligus
kesamaan hak dan kesempatan di mata hukum apabila melakukan tindak pidana
korupsi bagi siapapun warga negaranya. Tidak ada klaster khusus, tidak ada
diskriminasi, dan tidak ada perlindungan hukum sepihak yang dapat diberikan
pada siapapun bila melakukan tindak pidana korupsi. Baik perempuan dan
laki-laki maupun rakyat biasa ataupun pejabat dan konglomerat sekalipun.
Menjadikan perempuan sebagai aktor yang
berperan dalam upaya pemberatsan korupsi tidak akan menghasilkan langkah yang
kongkret. Justru ekosistem dari hukum yang mestinya memiliki kesetaraan gender.
Ekosistem yang dimaksud adalah pembuat hukum, produk hukum dan para penegak
hukum serta lembaga dan instasi yang menjadi bagian dari hukum itu sendiri yang
mesti setara dalam menindak dan melakukan upaya pemberatasan korupsi.
Harus dipahami bahwa, dalam konteks
kuasa selalu berlaku dari “Power Tends to
Corrupt, Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely”. Siapapun yang
memiliki kekuasaan maka akan cendrung berlaku korup. Sehingga, jangan
menjadikan isu keseatraan gender menjadi upaya untuk menuntut peran perempuand
alam pemberatsan korupsi. Tapi jadikan konsepsi kesetaraan gender untuk
memperbaiki ekosistem hukum tindak pidana korupsi itu sendirinya. Jangan sampai kampanye "saya perempuan saya anti korupsi" justru menumpulkan konsepsi tentang kesetaraan gender dan pembentukan ekosistem hukum anti korupsi. Boleh kita berpraduga, jangan-jangan ini hanyalah kampanye yang menjadi bagian dari proyek, agar ada cuan yang berjalan. Mari cerna ulang!
catatan : opini ini adalah pengembangan terhadap interview soal peran perempuan dalam pemberatasan korupsi oleh sebuah lembaga penelitian.