Kamis, 01 November 2018

Mengenal Ilmu Biopolitik




Sebuah Perkembangan Kajian Ilmu Politik


Helo penikmat kajian politik! Kalian pasti suka berkeluh kesah dengan istilah-istilah dalam belajar ilmu politik yang rumit dan bahsanya yang aneh-aneh. Tapi, percayalah itu yang kadang membuat kita bangga mempelajarinya. Kali ini saya akan membahas salah satu perkembangan dari kajian ilmu politik yang cukup aneh bagi kebanyakan mahasiswa ilmu politik, ataupun penikmat kajian ilmu politik di Indonesia. Kenapa? Memang masih banyak yang mau membahas dan mengkajinya. Kalian bahkan bisa temukan ratusan kajian strategi politik, tapi akan sedikit yang akan membahas kajian ini. Ya, kita akan bahas BIOPOLITIK. Apasih itu biopolitik?


Sejarah Bio-Politik


Istilah Bio-Politik dipopulerkan pertama sekali oleh Micheal Faucoult melalui karyanya Ssciety Must Be Defendant : Lecture at The College de France pada tahun 1978-1979. Lewat Society Must Be Defendant, Foucault menyingung dengan cukup membinggungkan tentang hubungan kekuasaan dengan biologis (bio-power) yang secara sederhana mengarah pada politik populasi, keadaan demografi. Secara deskriptif, Foucault mengatakan Bio-Politik adalah hasil dari sebuah teknologi kekuasaan baru yang muncul dari berbagai skala, situs dan lokus tertentu. Sehingga, dapat dijelaskan dengan memakai tubuh sebagai instumen kekuasaan itu sendirinya. Melalui tubuh, kekuasaan dapat dilihat secara teliti dan mendalam. Kekuasaan tidak lagi semata-mata sebagai  instrument kekuasaan tetapi melalui tubuh, kekuasaan dapat dilihat sebagai mekanisme disiplin dari sebuah negara.


Meskipun istilah dan definisi Bio-Politik dikumandangkan oleh Foulcault, konsepsi bio-politik sendiri sudah pernah dilontarkan oleh Jean Francois Bayart dengan analoginya “ politik perut” (La politique de ventre). Bayart menegasikan perut sebagai bentuk dari politik itu sendirinya. Melalui politik perut tersebut, Bayart menyampaikan bahwa politik dapat diukur dari apa yang masyarakat makan. Melalui apa yang dimakan oleh masyarakat, dapat dilihat seberapa rakusnya manusia dalam persoalan konsumsi. Bahkan seberapa jauh manusia mempertimbangan aspek kesehatan, higenitas, kuantitas dari pada kualitas yang dimakan. Lewat politik perut ini, Bayart hanya ingin memperlihatkan tentang sebuah  hasrat untuk berkuasa yang dimiliki oleh politisi-politisi dengan menggunakan atau memanfaatkan sumber-sumber pangan primer dari sebuah negara. Tentunya ini memperlihatkan bahwa konsepsi kekuasaan tidak jauh berbeda dengan apa yang dimakan dan dikonsumsi oleh warga negaranya. Bahkan lebih lanjut, lewat politik perut ini, Bayart mengajak kita untuk memahami hirarki kekuasaan yang terjadi adalah implikasi dari bagaimana penguasaan terhadap bahan-bahan pokok yang dimainkan oleh politisi-politisi ataupun penguasa (ekonomi dan budaya). Inilah yang kemudian menhasilkan kelas sosial itu menurut Bayart.


Selain itu, Bayart juga melihat bahwa politik perut juga tentang keadaan rahim sebagai bagian dari metafora dari perut. Rahim dianggap sebagai pangkal kekuasaan dari segala persoalan reproduksi sebauh bangsa. Dalam realisasi politik, pengusaan terhadap rahim merupakan kunci terhadap pengaiasaan terhadap kekuasaan itu senidrinya. Kapsitas kekuasan kemudian diidentikkan dengan keberadan perempuan. Sementara itu, dalam lanskap penguasaan terhadap kekuasaan adalah bagaimana control sebuah negara atas organ-oran reproduksi dan seksual perempuan. Ambisi-ambisi politik ini mengambil topeng dalam aturan-aturan moral yang dilayangkan hanya pada perempuan saja. Contohnya adalah pada kebijakan negara dalam mengontrol pertumbuhan penduduk dimana muculnya aturan pemakaian alat kontrasepsi, control atas tubuh yang dinegasikan atas janda dan perawan, control terhadap perilaku seksual, control terhadap cara berpakaian dll. Politik tidak dibiarkan berdaya terhadap rahim, dan jelas ini adalah milik perempuan. Politik tidak sangat berdaya terhadap keadaan laki-laki. Tidak ada control, majaemen, aturan dan ketundukan via aturan atas keadaan laki-laki. Sehingga, perempuan menjadi warga negara yang terkapitalisasi paling vital dan ditundukan oleh sebuah negara.


Dari Foulcault dan Bayart dapat dilihat bahwa bio-politik sebagai sebuah cara pandang lain terhadap politik dalam melihat kekuasaan. Disini Bio-Politik dinegasikan dalam  tubuh, seksualitas, dan generasi.






Perkembangan Kajian Bio-Politik

Dalam perkembangan bio-politik, dilihat tidak saja atas analogi tubuh, seksualitas dan generasi semata. Akan tetapi, bio-politik juga melihat tentang keberlangusngan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan masyrakat yang berpihak pada pelestarian dan keberlangsungan sumber daya alam. Sehingga, politik juga membahas tentang konservasi alam, pemanfaatan alam sebagai destinasi wisata, pengembangan energi terbaharukan, kesehatan masyrakat dsb. Kehidupan manusia harus selaras dengan alam, inilah cara pandang lain terhadap bio-politik itu sendirinya. Kekuasaan mesti dapat berlangsung sesuai dengan perkembangan dan untuk kebaikan alam. 

Dengan pemikiran ini, dihasilkan dua konsekuensi terhadap peran negara dalam bio-politik yaitu pertama, pemerintah merupakan susunan masyarakat terkuat dan berpengaruh. Sehingga berkewajiban menegakan keadailan bagi lingkungan. Artinya, bahwa penyelenggara negara merupkan gaen-agen konservasi lingkungan yang harus komit. Kedua adalah, melalui negara maka tercipta masyarakat biotis yang dijiwai dengan nilai-nilai konservasi alam. Suatu bentuk etika yang dapat dikristaliasi dan dimanivestasikan melalui ilmu sains biologi. Sehingga terealisasikan pada progam pembangunan negara. 

Selain adanya cara pandang Bio-Politik terhadap keberlangsungan alam. Bio-Politik juga diterjemahkan oleh Giogio Agamben. Dalam konteks ini, Agamben lebih melihat penerapan Bio-Politik dalam pengungsi. Hal ini merupakan tanggapan Agamben terhadap filsafat politi Hannah Arendt tentang kaitan HAM dan situasi politik para pengungsi.


Menurut Agamben, didalam negara-negara modern, manusia harus selalu dipandang dalam tegangan antara makhluk alamiah yang telanjang tanpa atribut apapun disatu sisi (bare life), dan makhluk legal politis (political creature) di sisi lain. Dengan kata lain, pengandaian antropologis dari negara-negara modern bukan manusia yang rasional dan bebas, seperti yang banyak dipikirkan oleh para filsuf modern, melainkan manusia yang telanjang, tanpa status dan atribut apapun, yang kemudian mendapatkan statusnya sebagai subyek hukum, dan memperoleh jaminan atas hak-hak asasinya sebagai manusia. “Hak-hak” dapat ditempelkan pada manusia, atau muncul dari dalam dirinya, hanya sejauh manusia itu hilang dan kemudian menjadi warga negara. Melalui pemikiran Agamben, bio-politik adalah hak-hak azasi manusia yang dinegasikan kedalam konsep kewarganegaraan didalam sebuah negara.Lebih lanjutnya, tentu Agamben akan bicara tentang citenship dan disborder citenship.



Bagaimana, apakah kajian bio-politik menjadi kajian yang menarik? Bio-politik tidak lagi semata-mata bicara tubuh, seksualitas, dan generasi tetapi juga bicara tentang kehadiran negara dalam menjaga dan merawat alam melalui kebijakan-kebijakannya. Pun- kemudian berlajut pada pembicaraan terhadap hak azazi manusia sebagai warga negara.


Silahkan membaca lebih lanjut karya-kaya Micheal Foulcalt, Bayart, Agemben







Senin, 15 Oktober 2018

Telepolitic dan Regulasi Jurnalistik



Mengenal Era Telepolitics

Era telepolitics pertama kali diperkenalkan oleh Micheal Bauman (2007) seorang peneliti cultural studies yang mengamati tentang penanyangan debat Kenedy-Nixon dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat pada tanggal 26 September 1960 di televisi pertama kalinya. Inilah yang kemudian berpengaruh terhadap cara kerja partai politik diseluruh bangsa di dunia. Indonesia sendirinya, telah memanfaatkan telepolitics ini sejak masa pemerintahan Soeharto. Akan tetapi makin berkembang pasca adanya kebebasan pers dan berkembangnya perusahaan media di Indonesia pasca reformasi 1998. inilah yang menandakan dimulainya era telepolitics di tanah air, Era dimana televisi telah mengantikan organisasi partai politik dalam melaksanakan fungsinya sebagai saluran sosialisasi politik.

Realitas saat ini,  Penayangan debat calon presiden, calon kepala daerah, pemberitaan, talk show, iklan/kampanye politik bahkan sampai pada pemutaran mars partai politik dilakukan oleh televisi. Ini merupakan perubahan media komunikasi yang digunakan dalam sosialiasasi dan kampanye politik, yakni perubahan dari komunikasi secara langsung, fisik dan interpersonal menjadi komunikasi artifisual yang direproduksi oleh media massa, terutama televisi. Publik yang seyogyanya merupakan pemilih dan pemilik suara politik sekaligus dijadikan penonton politik.

Bagi partai politik dan elite politik, televisi saat ini menjadi media primadona dalam menciptakan image positif dan menyampaikan pesan politiknya. Kesadaran partai politik dan elite politik ini kemudian menjadikan televisi sebagai medicalization of politik dalam strategi marketing politik. Dalam studi komunikasi politik, marketing politik adalah sala satu cara untuk membranding partai politik ataupun elite politik untuk meningkatkan popularitasnya agar dapat meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya. Membranding yang biasanya dikenal dalam strategi marketing perusahan barang ataupun jasa dalam menciptakan image yang menarik dan sedemikian rupa agar di beli oleh konsumen berafiliasi dalam kepentingan sosialisasi dan kampanye politik. Sasaran utama meraup suara pemilih sebanyak-banyak dan meningkatkan popularitas menjadi tujuannya. Inilah awal dimulainya  era telepolitic itu dapat terjadi.

Tidak cukup sampai disana, beberapa televisi di Indonesia tidak saja menjadi media kepentingan sosialisasi dan kampanye politik. Arena politik dan kontestasi ideologis partai politik ini, tanpa disadari menjadikan televisi sebagai actor politik itu sendiri. Inilah yang kita kenal dengan televisi berita, dimana televisi menyaring dengan selektif pemberitaannya oleh seorang gatekeepers. Melalui gatekeepers ini, pemberitaan yang ditentukan untuk disiarkan sehingga mampu membentuk dan memobilisasi opini publik tentang persepsi dan pemhaman politiknya. Secara umum, inilah yang kita pahami sebagai agenda setting media. Kepentingan politik tersembunyi dibelakangnya yang membuat secara sadar ataupun tidak membentuk agenda publik. Hal ini tidak terlepas dari keberpihakan televisi tersebut, terutama pemilik televisi menjadi corong utama menjadikan televisi sebagai actor politik itu. Afiliasi pemilik media massa, terutama televisi dengan partai politik, akan menjadikan agenda setting ini sebagai upaya untuk membentuk dan memobilisasi publik untuk keuntungan partai politik ataupun elite politiknya. Puncak kesuksesan dari televisi sebagai actor politik ini adalah terpilihnya pemilik televisi yang telah berafiliasi dengan partai politik tersebut, atau dengan keterpilihan elite politik tertentu.

Kekuatan televisi yang cepat dan mampu menghipnotis para penontonnya ini, akan dapat mempengaruhi opini sekaligus kerja publik. Peran tak terlihat televisi ini kemudian dapat menentukan bagaimana logika publik bekerja, kapan menahan isu, melakukan konfrontasi, membuka ruang polemic dan personifikasi isu. Tentunya ini adalah cara kerja dan efek yang ditimbulkan oleh televisi terhadap penontonnya. Sebagai alat politik, televisi yang merupakan moving audio visual ini adalah alat doktrin politik yang menimbulkan pengaruh psikologis terhadap penontonnya untuk ikut terhanyut dalam keterlibatan pada kondisi atau peristiwa yang ditayangkan di televisi. Cara kerja yang demikianlah, menjadikan televisi sebagai satu diantara banyak media massa yang menjadi prioritas dalam strategi maketing politik oleh partai politik ataupun elite politik. Kondisi dimana era telepolitic dapat berjalan dan bertahan.

Sebagai negara yang demokratis, era telepolitic di Indonesia ini semakin berkembang dan akan bertahan sebagai salah satu trend dalam berpolitik. Terlihat dari sejak pemilu 2004 sampai Pilkada Serentak 2017 ini. Puncak dari era telepolitics ini adalah terjadinya divergensi politik di tatanan publik terhadap realitas sosial politik. diverensi berupa konflik sosial politik ini mewakili suksesnya telepolitics mempengaruhi, bahkan memecah suara publik. Tidak saja iklan politik, agenda setting yang dilakukan oleh televisi yang dimiliki oleh elite politik menjadi senjata paling canggih saat ini. Di era telepolitik ini, televisi sebagai alat dan actor politik memberikan dampak pada keberlanjutan demokrasi. Dengan realitas seperti ini, bagaimana era telepolitics ini dapat menjaga harmonisasi demokratisasi di Indonesia?


Regulasi Penyiaran dan Pemberitaan

Primadonanya televisi sebagai media marketing politik oleh partai politik dan elite politik tentunya harus tetap menjaga keharmonisasian demokrasi di Indonesia. Afiliasi pemilik perusahaan meda massa, khsusunya televisi ke partai politik dan komersialisasi media massa saat ini tentunya harus di awasi dan di atur. Dalam menjaga harmonisasi era telepolitics ini, penting bagi stakeholder yang berkaitan dengan pemberitaan, penyiaran dan penyelenggara pemilihan umum untuk dapat bekerjasama untuk mengeluarkan regulasi yang mengatur, mengikat dan menindak pemanfaatan media massa, terutama televisi untuk kepentingan politik. Terlebih pada pemanfaatan televisi sebagai media, alat dan actor politik.

Berkaitan dengan itu, salah satu upaya dalam mengharmonisasi penyiaran televisi dalam iklan politik adalah melalui Revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Revisi UU Penyiaran yang sudah menjadi Program Legislatif 2017 tinggal menunggu waktu pengesahan saja. Revisi UU Penyiaran yang mengutamakan tentang peralihan media penyiaran analog ke media penyiaran digital ini, turut membahas tentang iklan politik sebagai bagian dari iklan layanan masyarakat. Sebagai Lembaga yang bertanggungjawab untuk penyiaran, KPI diberikan wewenang melalui UU Penyiaran 32 Tahun 2004 untuk mengatur pemberitaan dan penyiaran ini.

Mengacu pada UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 tentang penyiaran diatur melalui pasal 1 (8) dan Pasal 6 ayat (1), dimana Spektrum frekuensi radio yang dipergunakan untuk penyiaran adalah sumber daya alamterbatas yang merupakan ranah public, sehingga harus dimanfaatkan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 4 ayat 1 mengatakan bahwa sebagai kegiatan komunikasi massa berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat serta control dan perekat social. Kemudian, berlandaskan UU Penyiaran, KPI mengeluarkan Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) pasal 22 dan Peraturan  Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) Pasal 40, telah diatur bahwa dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, lembaga penyiaran wajib tunduk pada prinsip – prinsip jurnalistik dan peraturan perundang – undangan berlaku. Serta mengeluarkan PKPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standart Program Siaran (SPS) pasal 71 mengenai siaran pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah.

Sementara itu, terkait dengan Pilkada Serentak 2017, KPI mengeluarkan surat ederan himbauan kepada lembaga penyiaran Nomor 61/K/KPI/31.2/02/2017 bahwa meminta lembaga penyiaran untuk Menyiarkan pemberitaan/informasi terkait pilkada secara berimbang, proporsional dan mengedepankan netralitas;Mengutamakan kemaslahatan masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak dari setiap pemberitaan, informasi, ataupun program siaran lain yang ditayangkan; Menghindari pemberitaan, informasi, atau program siaran yang menghasut, mengadu domba perseorangan maupun masyarakat, bersifat fitnah, menyesatkan, bohong dan mendiskreditkan pasangan calon atau tokoh politik tertentu; Mengenai hal – hal lain terkait penyelenggaraan pilkada, agar tetap tunduk pada peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dengan regulasi demikian, nyatanya tidak cukup mengharmonisasikan era telepolitic ini. Menghadapi Pilkada serentak 2018 dan Pileg dan Pilpres 2019 maka penting bagi Komisi I DPR RI untuk mengamati persoalan telepolitik, khusunya iklan politik ini dapat di harmonisasikan melalui Revisi UU Penyiaran yang baru. Televisi sebagai lembaga penyiaran harus dapat menjadga independensi, netralitas dan keseimbangan siaran televisisnya. Sekaligus penting bagi televisi diera telepolitic ini untuk tidak mengutamakan kepentingan perorangan, golongan dan terutama partai politik agar dapat menciptakan keadilan siaran dan tidak menimbulkan dominasi siarannya. Dengan demikian, melalui revisi UU Penyiaran, KPI bersdma dengan televisi dapat mengatur Iklan politik sekaligus pemberitaan politik yang tidak disiarkan secvara berimbang.

Disamping pentingnya Komisi I DPR RI bersama dengan KPI untuk merevisi RUU Penyiaran, adalah penting bagi Dewan Pers untuk menegakan UU Pers terutama bersangkutan dengan penegakan etika jurnalistik dalam pemberitaan. Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 pasal 7 (2) dikatakan,“Wartawann memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik”. Sebagaimana yang terdapat pada UU Penyiaran sebelumnya, pasal 42 berbunyi, “Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ini menunjukan pentingnya bagi jurnalistik sebagai profesi yang diatur dengan kode etiknya. Dewan pers bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia sudah seharusnya mengawasi era telepolitik dengan penegakan UU dan Regulasi lainnya. Tentunya, penegakan ini harus disertai dengan sanksi yang tegas bagi televisi dan jurnaslis yang melanggar ketentuan ini. Sehingga, harmonisasi era telepolitics ini dapat terwujud dalam rangka “meliarkan yang liar”.

Demokrasi memberikan ruang kebebasan untuk kita semua, akan tetapi menjadi penting adalah menjaga ruang kebebasan dengan keharmonisan dan tetap menjaga kesatuan dan persatuan bangsa ini. Terlepas dari para stakeholder, kita semua, masyarakat dari semua kalangan harus ikut terlibat mengawsi dan menjaga agar harmonisasi di era telepolitik ini tidak disalah artikan. Menjadi penting dalam era telepolitik ini untuk menjaga realitas sosial dengan pendidikan politik yang benar, bukan memanipulasinya untuk keuntungan perorangan ataupun sekelopompok orang saja.