Selasa, 12 November 2019

Kedangkalan Politik dan Lahirnya Angkatan 2019






Memuncaknya aksi massa serentak pada seluruh daerah pada tanggal 24 September 2019 oleh mahasiswa, masyarakat sipil, dan pelajar menjadi penanda bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sejak awal tahun 2019, kita dihadapkan berbagai polemik konstalasi sosial-politik nasional. Pembelahan pemilih akibat pemilu serentak 2019, huru hara pasca pemilu, kebakaran hutan di sumatera dan Kalimantan serta disusul dengan rasisme yang membuat papua kembali bergejolak. Akumulasi dari polemik konstalasi sosial-politik tersebut kemudian dihadapkan dengan upaya revisi UU KPK dan sejumlah RUU kontroversial yang dianggap tidak transparan dan buru-buru untuk disahkan. Mau tidak mau kita saksikan hari demi hari belakangan ini aliansi-aliansi besar turun kejalanan dan kemudian dikenal dengan gerakan angkatan 2019. Angkatan 2019 -pun kemudian dituding ditunggangi oleh kepentingan politik kelompok tertentu. 


Benarkah angkatan 2019 yang massif ini di tunggangi?


Perlu rasanya kita membaca kembali tentang politik kehidupan yang dangkal karya sosiolog Antony Giddens (1998), masalah pokok masyarakat saat ini bukan lagi menyangkut soal pertarungan politik kiri dan kanan, akan tetapi lebih terkait pada pertarungan politik kehidupan yaitu menyangkut soal politik pilihan, politik identitas dan politik emansipasi. Orientasi dari kehidupan sosial-politik bergeser dari tema yang menekan problema manusia dalam ketidakadilan menjadi persoalan makna hidup, identitas dan kultur. Penting kemudian memperbaiki segi-segi hubungan simbolik antar-masyarakat dari pada status masyarakat itu sendirinya. 


Kemudian, Zygmunt Bauman dalam liquid life (2005) mengartikan politik kehidupan sebagai politik yang encer dalam masyarakat yang encer. Masyarakat apalagi generasi milenials saat ini dihadapkan pada tuntutan perubahan maha-cepat akibat perkembangan teknologi dan media yang bebas akses dan menjangkau secara luas tanpa batas. Imbasnya adalah ruang publik lama bergeser ke ruang publik cyber yang dianggap menghasilkan kehidupan sosial serba individual, semata-mata berorientasi diri dan dangkal. Kedangkalan ini kemudian merembet pada persoalan politik kehidupan. 


Imbasnya, politik kehidupan kehilangan kepemimpinan karena pelakunya berubah menjadi “idola-idola” yang bekerja demi kepentingan personal mereka ketimbang kepentingan publik. Praktik dari kedangkalan politik kehidupan ini dapat kita saksikan sejak pemilu 2014, dimana pembelahan politik identitas dan politik pilihan menghasilkan fans kandidat politik. Kemudian menjadi makin jelas ketika pemilu 2019, lahirnya Fans Fanatic atau pengemar garis keras terhadap idola-idola barunya di konstalasi politik pemilu. Hubungan antara kandidat sebagai idola dengan pemilih sebagai fans sangat eksploitatif yang meluas kesegala arah. Hal ini bisa terjadi akibat politik keagenan yang dilakukan oleh tim sukses atau konsultan politiknya atau justru akibat spontanitas yang dangkal.


Inilah yang menurut Nancy Fraser (2002) disebut sebagai gejala dan persoalan dari adanya pembelahan menajam dalam dua kritik atas masyarakat kontemporer yakni antara politik redistribusi berhadapan dengan politik pengakuan diri (recognition). Fraser telah mengingatkan bahaya dari pergeseran asimetris dari politik redistribusi ke politik pengakuan diri (recognition) politik kehidupan tidak saja dangkal akan tetapi juga kehilangan kedalaman tujuannya.


Implikasi Kedangkalan tujuan yang menyebabkan kehilangan kedalaman tujuan politik dapat kita lihat dalam praktek politik di Indonesia belakangan ini. Aspek kebebasan sipil kita menurun sehingga menyebabkan flutktuasi indeks demokrasi terpengaruhi. Selain itu, kedangkalan dapat kita lihat pada narasi subjektif para politisi dan pejabat negara dalam menjawab persoalan bangsa yang tidak mencapai substansi. Belum lagi pada rendahnya kualitas legislasi perundang-undangan yang saat ini tengah dipertontonkan oleg DPR dan Pemerintah sebagai pembuat regulasi. Dan diperburuk dengan kuantitas legislasi yang juga tidak terpenuhi, dilihat dari RUU yang masuk ke prolegnas dari tahun ke tahunnya.


Fenomena kedangkalan politik ini-pun dapat kita lihat dalam pemilu ke pemilu belakangan ini. Angkatan 2019 adalah angkatan yang menonton dan mengamati persoalan fenomena tersebut. Terbelahnya pemilih dalam dua kubu berlangsung cukup lama, sejak pemilu 2014. Narasi pembelahan ini-pun mau tidak mau di rasakan oleh angkatan 2019 sebagai catatan dan sekaligus yang menyimak, kontestasi apa yang tengah berlangsung. Angkatan 2019, merupakan angkatan yang secara garis besar menjadi pemilih pemula dalam pemilu 2019. Bagi mereka, narasi-narasi pembelahan ini menjadi bahan diskusi dari bilik organisasi sampai bilik perkuliahan. Yang terjebak dalam narasi pembelahan ini adalah angkatan 98 sampai angkatan 2012, dimana jarak antara kekuasaan dengan keberadaannya tidak terlalu jauh.




Angkatan 2019 ini adalah angkatan milenials dengan kedekatan pada musik senja, secangkir kopi, seruang diskusi santuy dan menikmati media sosial untuk personal-eksistensi lewat life style-traveling dan skincare, serta lainnya. Mereka tengah menyimak kegaduhan politik yang terjadi, dan melihat bahwa kedangkalan politik lewat narasi menggelitik yang tengah dipertontonkan oleh para politisi. Angkatan 2019 adalah angkatan tanpa beban "penuhan perut", tapi pada angkatan ini adanya beban sebagai guardian of value terhadap keberlangsungan kehidupan politik. Ditengah-tengah ke-enceran angkatan 2019 dalam mengakses informasi, kedangkalan-kedangkalan politik ini terus berlangsung.

Haruskah angkatan 2019 diam?


Dengan kondisi yang sedemikian rupanya, mereka dengan mudah mengakumulasi kedangkalan-kedangkalan yang sedang terjadi menjadi sebuah gerakan moral bersama untuk mengkritisi kehidupan politik bernegara. Lewat media sosial mereka berhimpun untuk memanggil segala lapisan untuk turun kejalan dan menyuarakan narasi demokrasi dikorupsi dan tuntaskan reformasi. Mereka bertransformasi dari problematika status masyarakat menjadi upaya memperbaiki segi-segi hubungan simbolik antar masyarakat yang berkeadilan, lewat tujuh tuntutannya. Jelas ini semakin massif ketika dipicu oleh revisi UU KPK yang tidak transparandan tergesa-gesa. Mosi tidak percaya itu lantas dikumandangkan angkatan 2019 lewat aksi massa nya. 


Dengan demikian kita tidak melihat mereka sebagai gerakan fans dari siapa-siapa. Turunnya kejalan angkatan 2019 pada akhirnya dapat dimaknai sebagai kejenuhan terhadap kedangkalan politik yang tengah berlangsung saat ini. Pada titik inilah negara harus mengevaluasi arah dan tujuannya, sampai kapan kedangkalan politik saat ini akan kehilangan kedalaman tujuannya? Apa dan bagaimana konsep politik bernegara yang ditawarkan negara sebagai solusi dari kedangkalan politik ini?


Saat ini, tengah berlangsung masa pergantian pemerintahan yang baru dan rekonsiliasi politik pasca pemilu, sehingga menjadi waktu yang tepat pula untuk terjadinya musyawarah dan mufakat untuk mempertegas aras demokratisasi bangsa. Tentunya dengan political will yang berkeadilan dan narasi yang substansial. Diantaranya dapat dilakukan dengan penguatan legitimasi demokrasi dan identitas politik bangsa melalui keterbukaan dialog yang demokratis, sehingga dapat mengiklusi aspirasi dan mendeliberasikan kepentingan dari masyarakat kita yang majemuk ke dalam narasi politik yang berkeadilan lewat kebijakan. Selain itu, upaya-upaya menghentikan kedangkalan politik yang tengah berlangsung ini dapat direalisasikan dengan duduk bersamanya para petinggi partai politik, tentunya dengan niat dan tujuan yang baik-lagi berkeadilan untuk kepentingan negara dan bangsa kedepannya. Seburuk-buruknya partai politik, kita meyakini bahwa tidak ada satupun partai politik saat ini, apalagi pemimpinnya mau meninggalkan catatan sejarah kelam disebut sebagai perusak demokrasi bangsa. Sesat di ujung, kembali kepangkal, yaitu dengan kembali merujuk pada visi-misi dan nilai dasar perjuangan ideologi yang terdapat di AD/ART partai politiknya. 


Kemudian, negara sepatutnya tidak perlu takut untuk kehilangan kewibaannya dalam menghadapi persoalan ini, ketimbang menghadapinya dengan pendekatan klasik kekuasaan dan kekuatan represif yang mengancam para pengkritiknya, angkatan 2019. Tentunya, jika pendekatan klasik ini terus dilakukan akan berpotensi untuk melahirkan negara leviathan atau membuat kita dalam arus balik demokrasi yang traumatis. 


Saat ini, angkatan 2019 membutuhkan ketegasan sikap dari negara, terutama Presiden Jokowi dalam komitmennya mempertahankan demokrasi. Hal ini tentu harus dibuktikan lewat pengambilan keputusan dan sikap yang demokratis dan berani melawan oligarki politik disekitarnya. Dengan demikian, kedangkalan politik yang tengah kehilangan tujuan ini tidak berlarut-larut dan dapat segera mengatasi persoalan yang tengah menumpuk. Dengan begitu, tentunya tidak memperpanjang arus perlawanan dari angkatan 2019 ini kedepannya, karena mereka sadar bahwa estafet negara akan terus beregenerasi. Dan masa tanpa oposisi yang tengah berlangsung saat ini, adalah masanya angkatan 2019 memilih mengambil peran tersebut. 






Rabu, 09 Oktober 2019

Ruang Publik yang Berubah, logika vs fanatik

Tulisan ini saya tulis pada 17 April 2019, dan secara lebih soft diterbitkan di dalam kolum Padang Ekspres, silahkan di cek! https://padek.co/koran/padangekspres.co.id/read/detail/126942/Ruang-Publik-yang-Berubah

 

Silahkan mengkritisi!!



Globalisasi dan perkembangan teknologi digital telah merubah ruang public tempat interaksi sosial ekonomi politik. Sejak satu dekate belakangan, ruang public atau public sphere yang diperkenalkan Jurgen Habermas berubah menjadi ruang digital atau virtual sphere. Interaksi sosial ekonomi politik tidak saja bersifat langsung diruang public sungguhan, tetapi dilakukan melalui dunia maya yang membuat siapa saja bebas berinteraksi, tanpa sekat, penuh kemudahan. Dunia maya sebagai ruang public baru sangat berbeda dengan ruang public sungguhan. Dunia maya tidak mudah dikontrol, anda dapat tampil secara anonim atau menjadi alter ego-pun tidak ada yang melarang. Ruang diskusi-pun bercampur antara fakta dan fiksi, antara argumentasi dan sentimen. Selain itu, berkembangnya dunia maya sebagai ruang public baru tidak disertai dengan tingkat pemahaman atau literatur pengguna yang baik. Kemudahan akses membuat semua berita ataupun informasi dapat diterima tanpa penyaringan sehingga kejahatan seperti informasi palsu dan kejahatan syber-pun jamak terjadi. Perubahan ruang public ini kemudian dihadapkan dengan sistem politik dan kepemiluan serta masih minimnya regulasi yang mengatur ruang digital.


Sebagaimana Indonesia, sejak pemilu 2009 yang menggunakan sistem pemilu terbuka, membuat suara terbanyak-lah yang akan memperolehan kursi diparlemen. Hal ini berlanjut pada pemilu berikutnya. Nomor urut kandidat yang tidak menentukan keterpilihannya membuat actor-aktor politik berlomba-lomba untuk menciptakan citra politik yang mudah dikenali dan disukai oleh masyarakat. Sosialisasi dan kampanye politik tidak saja berupa strategi darat dengan langsung bertemu dengan konstituen tetapi juga mengunakan strategi udara melalui media sosial dengan mengkreasikan image dan brand kandidat. Disinilah citra kandidat dibuat dengan sebaik-baiknya oleh jasa konsultan politik, jasa konsultan branding atau tim kampanye dan disebarkan melalui buzzer politik yang massif di media sosial. Tak khayal, citra kandidat yang ditampilkan juga terdapat kepalsuan demi naiknya popularitas. Umbaran janji dan citra-citra ini membuat sebahagian masyarakat percaya dengan mudahnya terhadap informasi kandidat tanpa melakukan uji kebenaran. Al hasil, media sosial sebagai ruang public baru ini juga menciptakan fear factory yang terasa betul menebarkan kepalsuan dan ketakutan kepada masyarakat sejak pemilu 2014, berlanjut pada pilkada DKI 2016 dan tentunya pemilu serentak 2019.



 

Alih-alih mencerdaskan, media sosial dikuasai pasukan cyber yang menebarkan ketakutan dan kepalsuan ke semua orang dan mengganggu kenyamanan kita. Peran malaikat atau hero serta setan atau hantu-pun disasarkan kepada kandidat-kandidat, baik kandidat legislative maupun kandidat presiden dan wakil presiden. Ketakutan dan kepalsuan yang dikonsumsi tanpa kesadaran literature dan regulasi yang ketat ini membuat kematian otak atau cara berpikir. Seolah-olah informasi yang diperoleh sudah benar dan tidak berubah. Dan petakanya, hal ini tidak mengenal status pendidikan dimasyarakat. Kondisi ini lah yang kemudian menciptakan ruang public yang fanatik dan tanpa logika. Media sosial sebagai ruang public baru lebih memainkan emosi para penggunanya. Dengan menyasar emosi pengguna, ruang public baru ini menghidupkan insting-insting purba manusia untuk mempertahankan posisi nyaman dan tidak mau kalah. Saya benar dan anda salah, kandidat saya menang dan kandidat anda kalah. Sebagaimana karakteristik supporter fanatic bola, apabila hasil tidak sesuai dengan insting akan menciptakan kegaduhan dari ruang public maya sampai ruang public sungguhan.

 

Sehingga, konflik, consensus dan kompromi sebagai bagian dari sikap politik bijak menjadi asing dan sulit diterima. Kisruh atau kegaduhan dalam dunia maya yang sudah berlangsung lama ini seharusnya tidak dibiarkan begitu saja. Terutama dalam kontestasi politik yang menjadi pilar utama dari keberlanjutan demokrasi. Sistem pemilu yang popularistik saat ini seharusnya disertai dengan regulasi yang dapat mengatur keliaran strategi politik yang dipergunakan oleh masing-masing kandidat atau actor-aktor politik. Sebagaiman kita ketahui, peran lembaga konsultan politik dan konsultan branding politik yang memfasilitasi lahirnya buzzer politik atau pasukan cyber tidak diatur dalam Undang-Undang Kepemiluan. Termasuk Peraturan KPU-pun juga tidak secara signifikan mengatur. Hanya UU ITE yang dapat digunakan untuk menyangsi pelaku yang menebarkan berita palsu terkait dengan kandidat. Alhasil, penyelenggara pemilu dan pengak hukum pemilu yang tersandra dari ketidak siapan negara dalam menghadapi ruang public baru ini. Secara fundamental, mengembalikan sistem pemilu yang tertutup adalah bagian dari solusi guna menghindari supporter politik yang fanatic akibat ruang public baru ini. Tidak ada salahnya mengembalikan sistem pemilu tertutup yang menjadikan partai politik sebagai tempat kaderisasi dan penyaringan bagi kualitas kandidat kembali dihidupkan.

 

Dengan demikian, kandidat yang terpilih berdasarkan nomor urut dan memiliki Party-Id yang jelas. Masyakat-pun dapat dengan mudah tau bahwa peringkat kualitas kandidat sesuai dengan nomor urutnya. Peran partai politik sebagai jembatan antara masyarakat dan kekuasaan-pun kembali pada tempatnya. Transaksi politik tidak lagi terjadi diruang public seperti saat ini, tapi diperkecil diruang-ruang private. Dengan begitu konsekuensinya berada pada partai politik. Disamping sistem pemilu dan regulasi yang mengatur dunia maya, peran media massa atau jurnalistik adalah hal yang perlu diperbaiki. Keberpihakan media massa akibat kepemilikan saham atau kepemilikan usaha terhadap actor/elite politik tertentu harus dikembalikan sebagaimana fungsinya. Menghadirkan informasi yang kredibilitas, netral dan mengedepankan kode etik jurnalistik adalah hal yang tidak bisa dikompromikan.

 

Oleh karenanya, masyarakat tidak lari mencari informasi ke dunia maya terutama media sosial yang tidak memiliki prinsip dan etika jurnalistik. Media massa sebagai pilar demokrasi seharusnya tidak menjadi “tongkat yang membawa rebah” dalam proses demokratisasi saat ini dan menjadi penetralisir dari fanatisme yang lahir akibat dunia maya. Terakhir adalah masyarakat yang mau tidak mau dihadapkan dengan ruang public baru ini. Mengedepankan logika atau rasionalitas dengan cara membaca berbagai sumber informasi dan mengedepankan sikap tidak mudah percaya adalah suatu keharusan. Jangan hanya cukup dengan satu sumber informasi dan menganggap informasi tersebut sudah paling benar. Kemudahan akses digital saat ini, sudah seharusnya disertai dengan mengkonsumsi informasi dari berbagai sudut pandang. Dan terpenting, jangan mudah untuk beragumentasi tanpa tau duduk persoalan dan kebenaran dari setiap kejadian. Dulu, mulutmu harimaumu, sekarang dengan ruang public baru ini, jempolmu adalah harimaumu. 



Salam Tabik!


 

Selasa, 16 April 2019

Menghujat Golongan Putih, Yakin?



Jelang pemilu serentak 17 April 2019, fenomena golput dan kontra terhadap golput menjadi ramai dibicarakan. Tentunya, fenomena golput akan selalu mewarnai setiap diselenggarakannya pemilu. Cukup disayangkannya adalah himbauan untuk tidak golput yang ada saat ini disertai dengan kecaman bahkan juga ancaman. 

Sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu tahun 2014, angka golput terus bertambah. Pemilu legislatif 2014 angka golput mencapai 24,89 persen. Dan pada pemilu presiden angka golput mencapai 29,01 persen. Tren tingkat partisipasi-pun dari pemilu ke pemilu di Indonesia mengalami penurunan. Hal ini bukan menjadi masalah bagi pemilu di Indonesia saja. Bank Dunia pada tahun 2017 telah menyatakan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu diberbagai negara demokrasi mengalami tren penurunan sebesar 10 persen dalam kurun waktu 25 tahun belakangan.

Menyadari akan persoalan fenomena golput dan turunnya tingkat partisipasi ini, berbagai upaya dilakukan terutama oleh KPU. Dari menyusun angka target partisipasi pemilu, peningkatan program sosialisasi pemilu, mengaktualisasikan Daftar Pemilih Tetap dilakukan oleh KPU. Bahkan skema pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada 17 April ini adalah bagian dari upaya menekan angka golput dan meningkatkan partisipasi pemilih. 

Seyogyanya, fenomena golput disetiap pemilu adalah hal lumrah. Mengingat hal ini merupakan perilaku memilih dan hak politik bagi setiap warga negara. Selain itu, secara de jure kehadiran golput tidak bermasalah. Jika pemilu hanya diikuti oleh 30 persen pemilih, secara prosedural hasil pemilu tetap sah. Namun secara de facto, hasil pemilu tersebut layak dipertanyakan karena menyangkut perihal substansi kepemiluan. Meskipun demikian, Golput dan fenomenanya bukan ibarat cendawan setelah musim hujan yang hadir begitu saja. 


Mengenal Kriteria Golput
Kehadiran golput dalam pemilu tidak serta merta menandakan tingkat apatis pemilih terhadap politik. Berbagai kalangan menyebutkan Golput sebagai perilaku memilih terdapat dua yaitu golput ideologis dan golput apatis. Benarkah demikian? 

Setidaknya terdapat tiga kriteria kehadiran golput dalam pemilu saat ini. Kriteria pertama adalah golput yang sebabkan pada faktor idealisme/ideologis pemilih. Mereka yang termasuk kriteria ini adalah mereka yang tetap datang ke TPS menggunakan hak suaranya, tetapi cendrung merusak kertas suara. Mulai dari mencoblos bukan pada tempatnya sampai pada merusak kertas suara miliknya sendiri. Perilaku memilih yang demikian cendrung dilatar belakangi pada sikap tidak percaya terhadap sistem pemilu, kandidat dan partai politik. Ketidakpercayaan terhadap sistem pemilu menyangkut pada kinerja penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu dalam menghadirkan pemilu yang berintegritas yang dianggap tidak optimal. Terjadinya praktik-praktik kecurangan dan pelanggaran pemilu yang setiap pemilu tetap terjadi tanpa adanya perubahan, seperti money politik, netralitas aparatur negara dan penegakan sanksi pemilu. Belum lagi menyangkut konflik antar lembaga penyelenggara pemilu yang sering kali membuat pemilih kebinggungan. Selain kinerja penyelenggara pemilu, ketidakpercayaan terhadap sistem pemilu juga menyangkut pada perubahan undang-undang pemilu yang tidak menyelesaikan dan memperbaiki kualitas pemilu. Sejak pemilu 1999 sudah terdapat 4 kali perubahan undang-undang pemilu. Artinya, setiap pemilu dari tahun 2004 diselenggarakan dengan undang-undang yang berbeda tetapi dengan masalah yang sama dan terus ada. 

Ketidakpercayaan terhadap sistem pemilu ini juga menyangkut pada kandidat dan partai politik. Undang-undang pemilu No 11 tahun 2017 sebagai payung hukum pemilu 2019 ini, menghadirkan sistem pemilu popularitas. Dimana sistem pemilu popularitas ini mengedepankan kandidat yang memiliki popularitas, baik yang diperoleh akibat hubungan sosial maupun yang diperoleh dengan mengakumulasikan modal kapital si-kandidat melalui branding dan marketing. Tidak aneh kemudian, kandidat yang telah melakukan kaderisasi menahun di partai politik kalah saing dengan kandidat popular ini. Dengan sistem pemilu popularitas masing-masing kandidat bebas bersaing, baik sesama kandidat di partai politiknya maupun dengan kandidat dari partai politik lainnya yang satu daerah pemilihan. Nomor urut tidak menjadi acuan, akan tetapi perolehan suaralah yang menentukan. Sehingga, berbagai upaya-pun dihalalkan oleh kandidat-kandidat ini. Baik dari janji-janji politik sampai pada money politik. Kondisi yang demikian-pun tidak menjadi persoalan bagi partai politik, apalagi suara kandidat adalah suara partai politik. Dengan demikian, fungsi kaderisasi di partai politik tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Hiruk pikuk pencitraan dan jasa konsultan politik menjadi langkah strategis.

Keadaan ini bukanlah baru, sejak pemilu 2009 pemilih sudah dihadapkan dengan sistem pemilu yang menghadirkan persaingan sempurna bagi kandidat dan partai politik ini. Akibat dari sistem yang demikian, banyak kemudian kandidat terpilih tidak menepati janji politiknya, berkinerja lemah dan banyak dari mereka-pun tersandra praktik korupsi. Disamping itu, tawaran program kerja atau visi dan misi kandidat bagi pemilih golput ini menjadi acuan fundamental. Isu seperti penegakan hukum dan ham, perlindungan alam dan ekosistem serta perubahan energi fosil ke energi terbaharukan menjadi hal-hal yang sering kali diperhatikan. Seringkali kandidat yang muncul tidak menyuarakan program-program yang subtantif tetapi lebih pada program-program popular dan narasi politik yang bermunculan cendrung ujaran kebencian dan saling olok. Akumulasi dari berbagai persoalan ini-lah yang melahirkan kejenuhan politik bagi pemilih. Oleh karenanya, menjadi golput adalah sebuah pilihan sebagai bentuk protes dan pernyataan sikap tidak percaya terhadap pemilu.

Kriteria kedua adalah mereka yang golput karena apatis terhadap politik. Bagi pemilih golput dengan kriteria ini, menggunakan hak suara dalam pemilu tidak mempengaruhi apapun. Cendrung dari mereka memanfaatkan waktu libur nasional pemilu untuk liburan bersama keluarga dan tetap bekerja. Terutama bagi mereka kelas pekerja non kantor, seperti pedagang, buruh tani dan pabrik. Bagi mereka, politik tidak penting, yang penting adalah pemenuhan kebutuhan harian keluarga. Selain itu, keyakinan bahwa pemilu tidak akan mempengaruhi kehidupan mereka menjadi alasan untuk tidak menggunakan hak pilih. Mereka yang golput ini cendrung sangat economic oriented, dan al-hasil malas menggunakan hak pilihnya. Bagi kalangan ilmuan demokrasi, mereka yang golput karena apatis ini cendrung merusak demokrasi. 

Dalam konteks Indonesia saat ini, muncul golput kriteria ketiga adalah mereka yang memilih golput dikarenakan faktor administrasi. Hal ini jamak ditemui pada kasus pemilih yang tidak menempati domisili sesuai dengan KTP-nya. Terutama pada pekerja dan mahasiswa/siswa perantauan. Arus perpindahan penduduk tidak selalu disertai dengan kelengkapan berkas administrasinya. Terlebih bagi mereka yang berpindah dikarenakan pekerjaan dan menempuh jenjang pendidikan. Hal ini bersifat sementara dan kadang sering berpindah-pindah kembali. Al hasil, administrasi kepemiluannya-pun terkendala. KPU telah mengupayakan bagi pemilih yang mengalami pindah domisili ini dengan mengajukan formulir pindah pemilih DPTb atau dikenal dengan formulir A5. Mengurus A5 juga dihadapkan dengan rentetan administrasi yang harus disediakan oleh pemilih berupa bukti sudah terdaftar di DPT, copy e-KTP dan KK, surat pengantar RT/RW di tempat kerja/tinggal/surat keterangan kantor/sekolah dan lain-lain untuk membuktikan bahwa benar sedang berdomisili/kerja di lokasi tersebut dan akan mencoblos di lokasi tersebut. Kelengkapan administrasi ini-pun dihadapkan dengan jadwal pengajuan A5 yang sesuai dengan jadwal kerja. Tentu menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi kelas pekerja kantoran ditengah-tengah tugas kerjanya. 

Sedangkan bagi mahasiswa, upaya menghadirkan TPS dikampus tempat mereka menempuh pendidikan-pun dihadapkan dengan berbagai tantangan. Pengajuan dari kampus, pertimbangan KPU untuk menghadirkan TPS serta syarat berupa jumlah batas minimal pemilih membuat sampai saat ini belum ada keputusan resmi terkait menghadirkan TPS tambahan di kampus-kampus. Besarnya potensi golput administrasi dikalangan mahasiswa ini dapat dilihat dari potensi golput di Universitas Brawijaya yang diberitakan oleh Kompas 7 februari 2019 lalu. Menurut Andhika Muttaqin, dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dari 27.500 mahasiswa UB terdapat 40 persen mahasiswanya merupakan mahasiswa asal Jabodetabek, 10 persennya dari luar Jawa. Ini baru satu universitas, belum lagi universitas lainnya, perguruan tinggi, sekolah dan pesantren atau institusi pendidikan dengan pelajar yang sudah 17 tahun. 

Potensi golput admnistrasi tidak datang dari kelas pekerja dan mahasiswa atau pelajar perantauan ini. Mengacu pada indeks kerawan pemilu yang dikeluarkan bawaslu soal golput administrasi ini juga dihadapi oleh pemilih yang mengalami jarak tempuh menuju TPS yang memakan waktu dan biaya. Terkhusus bagi pemilih di daerah-daerah terpencil dan terpelosok. Belum lagi menyoal masyarakat adat yang tidak memiliki e-KTP dan tidak terdaftar di DPT. al hasil mereka-mereka yang mengalami persoalan administrasi ini secara tidak langsung terpaksa untuk tidak memilih. 

Selain tiga kriteria golput di atas, perlu menjadi perhatian adalah mereka yang telah menggunakan hak pilih akan tetapi suara mereka tidak berguna atau hangus. Hal ini dikarenakan sistem pemilu dengan adanya parliament threshold 4 persen dimana partai politik yang tidak mencapai parliament threshold 4 persen dinyatakan tidak lolos ke senayan. Sehingga suara mereka yang memilih partai tersebut hangus, walau demikian suara mereka masih digunakan untuk partai politik di DPRD Kota/Kabupaten. Dengan sistem Parliament threshold ini, pengguna hak suara tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menempatkan kandidat dan partai politiknya di DPR RI. Terutama bagi mereka pemilih minoritas ini. Dengan demikian, adanya PP 4 persen menandakan sistem pemilu masih sangat ekslusif dan tidak mempertimbangan suara-suara dari pemilih untuk partai-partai kecil. Secara de jure tentu tidak bermasalah, tetapi kembali secara de facto mereka ibarat pemilih yang tidak terwakilkan suaranya diparlemen. 

Dengan demikian, golput bukan menyoal apatis semata, tetapi mereka menyangkut pada persoalan ketidakpercayaan pada sistem, kandidat dan partai politik serta juga paksaan administrasi yang membuat mereka memilih untuk golput. Bagaimana-pun, mengacu pada UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 23 ayat 1 telah disebutkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Mereka yang memilih golput tidak perlu dihujat dan dikecam, karena yang mereka butuhkan adalah pembaharuan, substansi, keadilan dan rasa tolerir. Dengan kondisi ini, bukankah kehadiran negara dan pelembagaan partai politik menjadi hal yang krusial agar suara-suara pemilih ini berharga dan bermakna? Atau kita akan selalu berkutat dengan pemilu prosedural tanpa memikirkan substansial dari pemilu itu sendirinya?






















Restruktur TNI



Rencana restrukturisasi di tubuh TNI untuk perwira tinggi baru pada 60 ruang jabatan. Dengan begitu, sejumlah perwira menengah (pamen) dan perwira tinggi (pati) di TNI yang sebelumnya belum memiliki tugas khusus akan menempati sejumlah jabatan baru. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, para perwira ini akan ditempatkan di sejumlah satuan baru di TNI seperti Kogawilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan), Koopsusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan). Sisanya akan menempati beberapa kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh pendahulunya karena adanya peningkatan pangkat khusus untuk jabatan tertentu. Hal ini juga disertai dengan adanya rencana Panglima TNI untuk merevisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 Pasal 47 agar lembaga/kementerian dapat diduduki oleh TNI aktif setara dengan eselon 1 dan eselon 2. Sehingga, dengan adanya rencana restrukturisasi ini, TNI akan menduduki jabatan-jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.

Oleh karenanya, melalui rencana restrukturisasi TNI tersebut terdapat tiga agenda utama yakni (1) penempatan militer TNI kejabatan-jabatan sipil, (2) penambahan unit dan stuktur baru TNI, dan (3) peningkatan status jabatan dan pangkat dibeberapa unit dan perpanjangan masa usia pensiun Bintara dan Tamtama. Adanya rencana restukturisasi TNI dengan 3 agenda perubahan tersebut mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Terutama menyangkut adanya upaya restrukturisasi TNI untuk mengisi jabatan lembaga/kementerian. Pertanyaan besar kemudian muncul, apakah Presiden RI Jokowi sedang restukturisasi TNI atau sedang mengembalikan Dwi Fungsi ABRI?



Kontra Reformasi TNI
Upaya adanyanya resturkturisasi TNI yang disuarakan oleh Presiden RI Jokowi dan Panglima TNI merupakan imbas dari surplusnya perwira TNI saat ini. Jauh hari sebelumnya, Jendral TNI Doni Mardono dipilih dan dilantik oleh Presiden sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPP) yang seyogyanya tidak boleh diisi oleh Perwira TNI aktif sebagaimana amandat Undang-Undang TNI No 34 Tahun 2004. Kondisi surplusnya perwira TNI dianggap menjadi persoalan yang berbeda dengan yang dialami oleh Kepolisian Republik Indonesia. Surplusnya perwira di Kepolisian RI dapat disalurkan keberbagai lembaga/badan sipil seperti KPK, BPK, Bulog, BNP2TKI, BNN dan lainnya. Melihat kondisi demikian, Presiden dan Panglima TNI berinisiatif untuk melakukan restrukturisasi TNI agar tidak adanya perwira TNI yang “menganggur”.

Upaya tersebut dilakukan oleh Presiden RI Jokowi dengan mengubah Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2010 yang dikeluarkan Presiden SBY tentang Susunan Organisasi TNI menjadi Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016. Kemudian, disusul dengan inisiatif Panglima TNI untuk menyuarakan agar adanya revisi terhadap Undang-Undang TNI NO 34 Tahun 2004. Padahal sesuai dengan Pasal 47 ayat 2 UU TNI, militer aktif hanya menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopulhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.

Merujuk pada Undang-Undang TNI No 34 Tahun 2004, restrukturisasi TNI sebenarnya dapat dilakukan sesuai aturan perundang-undangan tersebut. Akan tetapi, keterbatasan badan/lembaga yang dapat diisi oleh perwira TNI aktif yang terbatas. Akibatnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sering melakukan mutasi jabatan perwira ditubuh TNI yang berujung pada kebijakan instan yaitu “promosi dan keluar barisan”. Aris Santoso pengamat militer mengatakan bahwa, promosi bagi kolonel ke pos bintang satu diusahakan bisa mencapai kuota maksimum. Setelah menduduki posisi bintang satu berkisaran 6 bulan, Ia digeser pada posisi lainnya yang kurang strategis. Posisi terakhir ini masuk rumpun (cluster) perwira tinggi Mabes TNI atau markas besar masing-masing matra. Kebijakan ini secara psikologis boleh dibilang aman, mengingat semua lulusan Akmil ingin jadi jenderal. Ketika pangkat bintang satu (Brigjen) sudah diraih, hidup akan terasa lebih indah—terlepas posisi apa yang sedang mereka pegang. Salah satu kasus yang bisa disebut ketika Mayjen Imam Edy Mulyono (Akmil 1984) hanya sebulan menjabat Kepala Staf Kostrad (Oktober-November 2017).

Dengan adanya kebijakan tersebut telah menyebabkan ketidaksehatan organisasi TNI dan akibatnya Panglima TNI mendorong restrukturisasi TNI melalui revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2004 dengan memberikan ruang baru bagi TNI aktif diberbagai badan/lembaga di pemerintahan sipil. Akan tetapi, upaya Presiden dan Panglima TNI untuk restrukturisasi TNI dengan memberikan jabatan pada berbagai badan/lembaga sipil adalah kekeliruan. Hal ini mengingat cita-cita besar TNI pasca reformasi 1998 yang disampaikan pada Rapim TNI pada bulan April tahun 2000 untuk melakukan reformasi TNI dengan menjadikan TNI sebagai lembaga pertahanan yang profesional dan penghapusan dwifungsi.

Oleh karenanya, berbagai lembaga masyarakat sipil, berbagai kalangan senior TNI serta pengamat militer menganggap langkah Presiden Jokowi dan Panglima TNI tidak sedang dalam mengupayakan restukturisasi TNI guna reorganisasi TNI yang reformis dan profesional. Beberapa diantaranya juga melihat bahwa langkah Presiden RI Jokowi dan Panglima TNI yang bertepatan dengan masa kampanye pemilihan presiden ini merupakan upaya Presiden RI Jokowi untuk menguatkan posisinya dikalangan perwira TNI aktif.

Setara Institute menyarankan restrukturisasi TNI tidak perlu dilakukan dengan melakukan revisi UU TNI. Menurutnya, peningkatan status jabatan dan pangkat bintang satu di beberapa daerah teritorial yakni beberapa Korem selama ini kurang tepat. Hal itu tidak sejalan dengan semangat reformasi TNI yang tertuang dalam UU No. 34/2004 tentang TNI yang mengisyaratkan perlunya melakukan restrukturisasi komando territorial. Justru, dalam konteks restrukturisasi dan reorganisasi TNI tersebut sepatutnya pemerintah mendorong agenda Restrukturisasi Koter yang menjadi mandat reformasi dan UU TNI sendiri. Gelar kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepenting.

Ketidaksetujuan terhadap langkah Presiden RI Jokowi dan Panglima TNI juga disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia berpendapat bahwa para perwira menengah dan tinggi harus menanggalkan jabatannya di TNI apabila ingin menduduki posisi di kementerian dan institusi sipil. Hal ini didukung oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais yang mengatakan bahwa perwira aktif yang menjabat pada jabatan sipil akan mengalami dualisme kepemimpinan dan bekerja tidak sesuai dengan keahlian. Terutama menyangkut perbedaan paradigma militer dengan paradigma birokrasi sehingga berdampak pada kebijakan publik yang tidak kondusif.

Menurut Prof Salim Said, Guru Besar Ilmu Politik Indonesia bahwa restrukturisasi TNI perlu dan dapat dilakukan selama masih menjaga profesionalitas TNI dan reformasi TNI. Adapun upayanya, Indonesia dapat meniru kebijakan militeristik Amerika Serikat ataupun negara lainnya tentang kesejahteraan TNI lewat dana pensiun yang memadai. Mengingat dana pensiun TNI yang sekarang kecil dan tidak semua pensiunan TNI dapat mengakses jabatan komisaris perusahaan ataupun mau ikut terlibat di partai politik pasca pensiun. Serta perlunya pengurangan penerimaan angkatan prajurit baru dan penambhaan pos-pos didaerah yang memang masih banyak belum diisi. Dengan demikian, tidak perlu adanya revisi UU TNI dalam rangka restrukturisasi tersebut.




Restrukturisasi Profesionalisme TNI
Penataan organisasi militer, terutama TNI harus didasari pada pertimbangan dinamika lingkungan strategis guna meningkatkan efektivitas organisasi dalam menghadapi ancaman dengan tetap berpijakan pada fungsinya sebagai alat pertahanan dan mempertimbangkan aspek ekonomi(anggaran). Restrukturisasi TNI dalam upaya mengreorganisasi tubuh TNI harus memperhatikan aspek reformasi TNI dan profesionalitas TNI sebagai pertahanan dan keamanan bangsa. Dengan menepatkan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwi fungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapuskan sejak reformasi. Hal ini tentu tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan dapat mengganggu tata sistem pemerintahan yang demokratis. Padahal, upaya reformasi TNI ini, telah lahir dari komitmen internal TNI sendirinya sejak tahun 1998 sampai 2000. Meskipun sebagai negara demokrasi, upaya reformasi TNI seharusnya datang dari keputusan politik pemerintahan sipil yang ditelah dimandatkan oleh rakyat melalui pemilihan umum, baik Presiden maupun DPR RI. Panglima TNI tidak memiliki kewenangan untuk memindahkan perwira TNI aktif keberbagai badan/lembaga sipil.


Dipilihnya jalan demokrasi di Indonesia kemudian membuat pemerintahan sipil sebagai mandatory rakyat melalui kebijakan dapat membuat langkah-langkah politik untuk menentukan arah pembaharuan TNI ini. Sayangnya, langkah dan upaya Presiden RI Jokowi bersama dengan Panglima TNI ini tidak mempertimbangkan pengalaman masa lalu TNI. Sehingga kebijakan politik tersebut tidak mendukung reformasi TNI dan Profesionalitas lembaga TNI. Sebagaimana diketahui, sejarah mencatat bahwa sejak 1958, lewat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia embrio dwi fungsi ABRI lahir dan dibesarkan 32 Tahun oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah reformasi 1998, dan melalui UU No 34 Tahun 2004 TNI telah berkomitmen untuk menghapuskan dwi fungsi ABRI. Tentunya, pengalaman masa lalu dan harapan besar kedepannya, restrukturisasi TNI harusnya meningkatkan profesionalisme TNI, bukan kembali pada jalan dwi fungsi. Sebagaimana kata Samuel P. Hutington, semakin tinggi tingkat keahlian seorang militer, semakin tinggi tingkat profesionalismenya, dan semakin kecil keterlibatan mereka dalam politik. Begitulah kebijakan yang mestinya ditempuh oleh negara demokrasi.










Politik Gentong Babi



Berkaca pada kondisi menjelang pilkada serentak tahun 2015, Mentri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melihat adanya gejala peningkatan anggaran untuk bantuan sosial (bansos) di sejumlah daerah yang akan menggelar Pilkada (Kompas 23/4/2015). Meskipun adanya gejala tersebut, secara tegas pasal 71 ayat 2, UU 8/2015 tentang Pilkada menjelaskan bahwa “Petahana dilarang menggunakan program dan kegiatan pemerintahan daerah untuk kegiatan pemilihan 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir”. Dengan adanya aturan yang demikian, gejala ataupun ketakutan terhadap potensi petahana dalam memanfaatkan program pemerintah daerah dan dana publik dapat diatasi. Sehingga, politik gentong babi yang dilakukan oleh petahana kepala daerah dalam pilkada serentak dapat dihindari. Lantas bagaimana dengan petahana capres yang ikut berlaga dalam pemilu serentak 2019?


Politik Gentong Babi.
Dalam masa kampanye politik saat ini, program-program pemerintah yang bersifat populis memiliki peluang untuk dimanfaatkan oleh petahana sebagai salah satu strategi untuk menaikkan tingkat keterpilihan atau mempertahankan suara dalam pemilihan-pemilihan umum. Tidak saja program-program pemerintah, akan tetapi juga fasilitas public yang mudah diakses oleh petahana. Hal ini di Indonesia dikenal dengan istilah Politik Gentong Babi. Hal ini berkonotasi negatif karena berkaitan dengan perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Politik gentong babi ini, pertama kali diperkenalkan dalam apa yang disebut Bill Bonus. Pada 1817 Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Secara spesifik, Scaffer (2007) dalam studinya mendefinisikan pork barrel sebagai bentuk penyaluran bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, bansos, atau proyek pekerjaan umum ke Kabupataen/Kota bahkan desa dari kepala daerah. Karakter utama dari politik gentong babi ialah, adanya pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam konteks pemilu di Indonesia, politik gentong babi seringkali menyoroti pencalonan petahana kepala daerah dalam pilkada yang sering menafaatkan fasilitas dan APBD untuk mendukung kegiatan kampanye politiknya. Baik dengan memanfaatkan ASN, Kendaraan ataupun dana bantuan sosial( yang sering disorot). Beberapa diantaranya juga menyoroti tentang politik gentong babi yang dilakukan oleh DPR melalui dana aspirasi umum (DAU).

Bagaimana politik gentong babi dalam pemilu presiden, mengingat adanya petahana yang kembali maju tanpa berhenti dan cuti? Hal ini dapat merujuk pada pengalaman politik pencalonan kembali SBY sebagai presiden pada tahun 2009. Pada saat 2008, popularitas SBY turun menurut beberapa lembaga survei karena kebijakannya menaikkan harga BBM. Namun, pada 2009, SBY mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM. Anehnya kebijakan ini dilakukan jelang Pemilu 2009 di saat harga minyak dunia turun. Kebijakan BLT inilah disinyalir beberapa studi sebagai bentuk nyata politik gentong babi di Indonesia.

Lantas bagaimana dengan capres petahana Joko Widodo? Disini ada 2 hal kebijakan lewat APBN pemerintahan Joko Widodo yang perlu disoroti. Jelang tutup tahun 2018, Pemerintah bersama dengan DPR menyepakati kenaikan 5% terhadap gaji pokok PNS yang akan di cairkan pada april 2019. Terakhir kali kenaikan gaji pokok PNS adalah pada tahun 2015, artinya dalam masa pemerintahan Joko Widodo terjadi 2 kali kenaikan gaji pokok PNS. Sebelumnya, Joko Widodo pada tahun 2018 telah mengadakan kebijakan pro PNS dengan adanya THR. Kemudian, adanya dana kelurahan yang dikucurkan januari 2019 sebesar Rp 3 triliun untuk 8.212 kelurahan di 410 kabupaten/kota sesuai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Pagu dana kelurahan ini dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) tambahan. Dua kebijakan ini, tampak mencolok mengingat baru diluncurkan menjelang pemilu serentak aprli 2019. Meskipun demikian, menurut hasil survey Alvara, dari berbagai kebijakan Joko Widodo, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat merupakan program yang dirasakan dampaknya secara langsung oleh masyarakat. Ini memperlihatkan bahwa program-program pemerinthan yang bersifat populis dapat menjadi peluang dan strategi bagi petahana untuk mendapatkan suara pemilih.

Salahkan Politik Gentong babi?
Secara aturan hukum, politik gentong babi tentu tidak mengandung pelanggaran hukum apalagi sudah terprogramkan dalam kebijakan pemerintah. Namun, secara etika politik jelas ini menyalahi karena dalam proses pendistribusiannya, petahana dapat melakukan klaim politik dengan maksud kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya.

Selain itu, apabila terjadi politik gentong babi ini, tentu mengakibatkan persaingan antara kandidat menjadi tidak setara. Dengan adanya pemanfaatan sumber daya negara, seorang kandidat petahana akan lebih mendominasi persaingan dibandingkan dengan kandidat lainnya. Padahal adanya aturan kampanye difasilitasi oleh negara adalah sebagai upaya untuk menghadirkan kesetaraan persaingan antar calon kandidat. Di samping itu, adanya biaya kampanye yang diafisilitasi oleh negara memiliki tujuan untuk menekan tingginya biaya kampanye kandidat dan meminimalisir praktek politik uang.

Besarnya potensi praktik politik gentong babi oleh petahana ini, akibat tidak adanya aturan tegas terkait kewajiban cuti seorang capres petahana. Ini merujuk pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017 bahwa memang tidak ada ketentuan presiden dan wapres petanaha untuk berhenti ataupun wajib cuti apabila Ia mencalonkan dirinya kembali pada pemilu berikutnya. Sehingga, Joko Widodo sebagai kandidat petahana tidak ada kewajiban untuk berhenti ataupun cuti. Meskipun demikian, dalam UU No 7 Tahun 2017 pada pasal 281 ayat (1) ditegaskan larangan menggunakan fasilitas jabatannya untuk berkampanye, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan peraturan undang-undang, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Selain itu juga melarang tentang penggunaan anggran pemerintah untuk kampanye. Lantas, bagaimana menghindari potensi politik gentong babi ini?

Pemilu yang Berintegritas
Menyoal adanya gejala politik gentong babi ini, tentunya publik akan menyoroti kinerja dari penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu dalam menghasilkan pemilu yang beritegritas. Sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelenggarakan dan mengawasi pemilu, tuntutan akan kinerja yang berintegritas tentunya disertai dengan tuntutan netralitas dari kedua lembaga tersebut. Dikarenakan lembaga ini akan menentukan hasil pemilu yang sah dan terpilihnya pemimpin bangsa kedepannya. Sehingga, menentukan kepercayaan public terhadap hasil dan berjalannya berbagai lembaga politik kedepannya.

Untuk mencapai pemilu yang berintegritas, KPU dan Bawaslu dituntut untuk dapat bekerja dengan netralitas yang tinggi. Tentunya akan berkaitan dengan aspek politik massa dalam berpatisipasi dalam pemilu (voter turnout) dan partisiapsi dalam penyelenggaran pemerintahan kedepannya. Tuntutan pada KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas juga menyangkut pada proses demokratisasi, stabilitas politik nasional, dan penguatan kualitas representasi politik. Konsekuensi lainnya dari integritas pemilu adalah untuk mengatasi konflik dan keamanan. Terpenting adalah untuk menjaga transisi kepemimpinan negara dari kecurangan pemilu (flawed elctions) baik melalui berbagai pelanggaran pemilu (electoral fraud) ataupun manipulasi suara dalam berbagai bentuknya (ballot-rigging) yang dapat melemahkan kepercayaan terhadap politik bangsa. Sebagaimana ungkapan Frank Noris, ketidakpuasan masyarakat yang berlarut pada integritas pemilu dapat menjadi salah satu katalis menuju transisi rezim yang lebih revolusioner.








Basyir dan Politik Kepentingan




Mencuatnya keputusan Presiden Indonesia untuk segera membebaskan terpidana kasus teorisme Abu Bakar Ba’asyir disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra pada 18 Januari 2019. Jokowi beralasan, keputusan tersebut dikarenakan alasan kemanusiaan, mengingat usia dan kesehatan Ba’asyir. Akan tetapi, keputusan tersebut mendapatkan kritikan dari berbagai kelangan. Sidney Jones sebagai pakar konflik dan terorisme menilai keputusan Joko Widodo untuk membebaskan Abu Bakar Ba'asyir tidak tepat, patut dipertanyakan, dan tidak layak secara politis.

Sidney mengatakan bahwa rencana Jokowi itu memang mungkin tidak langsung meningkatkan risiko serangan teror, tapi bisa memberikan kesempatan bagi Ba'asyir untuk menyebarkan keyakinan jihad dan mempromosikan tindak kekerasan. Secara hukum, menurut Sidney pembebasan ini tidak punya landasan hukum yang jelas. Hal ini bukan grasi, karena Ba'asyir tidak pernah mengajukan grasi. Juga bukan amnesti, karena menyalahi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa pemberian remisi bagi narapidana kejahatan tertentu, termasuk narapidana teroris, harus menyatakan ikrar kesetiaan secara tertulis kepada pemerintah Indonesia. 

Selain itu, Sidney Jones menduga bahwa Jokowi dan para penasihatnya ingin membangkitkan spekulasi bahwa semua ini dilakukan hanya untuk agenda-agenda politik dan untuk menarik kaum konservatif Islam sebelum Pilpres yang akan diadakan April 2019. Hal ini dikarenakan waktu pengambilan keputusan yang bertepatan dengan masa kampanye politik. Sementara itu, diketahui bahwa kondisi kesehatan Ba'asyir menurun pada tahun lalu, dan Jokowi bersikap untuk mengabaikan permohonan pengacara Ba’asyir untuk dibebaskan. Oleh karenanya, menurut Sidney Jones, jokowi terlihat lemah, kalah, dan tidak bijak. Bukan citra yang baik selagi kampanye pemilihan presiden memanas.

Kritikan-pun kemudian datang dari Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Ia menyampaikan kritikannya terhadap rencana Jokowi tersebut. Morrison meminta Indonesia untuk menunjukan penghormatan kepada Australia. Mengingat tragedi Bom Bali tahun 2002 yang telah menewaskan 88 warga negara Australia tersebut. Australia menghormati aturan hukum yang berlaku di Indonesia, terkait pembebasan bersyarat yang dapat dilakukan narapida setelah 2/3 masa tahanannya. Meskipun demikian, Australia akan menempuh langkah secara persuasif terkait dengan rencana pembebasan tersebut.





Belum Finalnya Keputusan
Setelah mendapatkan kritikan dari PM Australia, pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukam Wiranto menyebutkan bahwa keputusan pembebasan Ba'asyir tengah ditinjau ulang. Selain desakan atas nama kemanusiaan, menurut Wiranto, pembebasan Abu Bakar Ba'asyir harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti kesetiaan terhadap Pancasila, hukum, dan lain sebagainya. Mengingat adanya upaya Ba’asyir untuk menolak tunduk terhadap pancasila dan NKRI. Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Hukum dan Ham, Yasonna H Laoly bahwa sejauh ini Ba’asyir belum memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebsan sepenuhnya. Terutama menyangkut pernyataan sikap Ba’asyir yang belum menyatakan setia pada Pancasila dan NKRI. Meskipun demikian, Menkokemaritiman Luhut Binsar Panjaitan juga turut menyampaikan bahwa Australia tidak dapat mencampuri urusan dalam negeri Indonesia terutama menyoal pembebesan Ba’asyir tersebut. 

Kemudian, Kepala Staff Kepresidenan, Moeldoko memastikan bahwa keputusan untuk membebaskan Ba’asyir belum dapat dipenuhi seutuhnya. Pernyataan Moeldoko ini merujuk pada aturan dalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Permasayarakatan dan lebih lanjut didetailkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Secara formil narapidana teorisme harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pertama, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Kedua, telah menjalani paling sedikit dua per tiga masa pidana, dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan. Ketiga, telah menjalani asimilasi paling sedikit setengah dari sisa masa pidana yang wajib dijalani. Dan terakhir adalah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan pemohon dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar kesetian pada NKRI secara tertulis. 

Ramainya bantahan dari menteri cabinet Jokowi ini memperlihatkan tidak adanya koordinasi menjelang pernyataan keputusan Jokowi terkait dengan pembebasan bersyarat Ba’asyir. Perlu diingat bahwa, dalam masa kampanye politik jelang pemilu 17 april 2019 ini, situasi politik dalam negeri Indonesia cukup memanas. Kembalinya persaiangan antara Jokowi dan Prabowo dalam pemilu membutuhkan strategi dari petahana maupun pesaing untuk dapat merebut suara pemilih. Oleh karenanya, segala keputusan dan kebijakan yang bersifat populis dan kontroversi yang dikeluarkan dalam masa kampanye politik jelang pemilihan umum dapat dicurigai sebagai strategi oleh petahana untuk meraih dukungan dan simpati pemilih sekaligus peluang bagi pesaing untuk mendapatkan keuntungan. Meskipun sampai saat ini, keputusan akan pembebasan bersyarat Ba’asyir belum terealisasi, siapakah sebenarnya yang paling diuntungkan?



Yusril dan Kepentingan Politiknya?
Keputusan Jokowi untuk membebaskan secara bersyarat Ba’asyir disampaikan kehadapan public untuk pertama kalinya oleh Yusril Ihza Mahendra. Yusril sebagai kuasa hukum Jokowi juga merupakan Ketua Umum Partai Bulan Bintang serta mantan pengacara HTI dalam Peninjauan Kembali Perpu Ormas di Mahkamah Konstitusi. Vokalnya Yusril dalam upaya pembebasan Ba’asyir ini merupakan upayanya sebagai Ketua Umum PBB dalam mempertegas posisinya dalam Tim Kemenangan Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf dan merangkul kembali kelompok Islam Konservatif dalam mendukung partainya. 

Pertama, berdasarkan keputusan KPU melalui SK Pemilu Nomor 58/PL.01.1.-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang penetapan parpol peserta Pemilu 2019, PBB ditetapkan tidak lolos verifikasi partai politik peserta pemilu 2019. Kemudian, PBB mengajukan siding ajudikasi ke Bawaslu untuk membatalkan SK KPU tersebut. Minggu 4 Maret 2018, Bawaslu melalui sidang ajudikasi membatalkan SK KPU tersebut dan menetapkan PBB sebagai Partai Politik peserta Pemilu 2019 yang terakhir, yakni ke 19. Sebagai langkah politik, Yusril dan PBB kemudian bergabung kedalam partai koalisi pendukung Capres Jokowi-Ma’ruf .Sebagai partai kecil yang belakangan bergabung ke TKN Jokowi-Ma’ruf, PBB memiliki sedikit kemungkinan untuk mendapatkan dampak electoral dari ketokohan dan kinerja Jokowi-Ma’ruf. Hal ini berbeda dengan partai-partai yang terlebih dahulu memberikan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf. Terlebih PBB tidak memiliki suara di parlemen sebagaimana partai politik koalisi lainnya, sehingga diperlukan langkah politik taktis agar PBB bisa dianggap dan mendapatkan peran dalam TKN Jokowi-Ma’ruf. 

Kedua, Yusril sebelumnya merupakan tokoh oposisi yang selalu mengkritisi kebijakan pemerintahan Jokowi-JK terutama dalam bidang hukum seperti perppu ormas. Dalam polemic Perpu Ormas, Yusril mengambil sikap menentang pemerintahan Jokowi-JK, karena dianggap melanggar aturan hukum dan konstitusi. Sikap oposisi ini kemudian diperlihatkan Yusril melalui perannya sebagai pengacara HTI (Hitzbut Tahrir Indonesia) yang saat itu dibubarkan tanpa melalui prosedur hukum oleh negara sebagi akibat lahirnya perpu ormas. Kedekatan Yusril dengan kelompok Islam Konservatif ini merenggang akibat keberpihakan PBB sebagai partai politik pendukung TKN Jokowi-Ma’ruf. Dengan menyuarakan kebebasan bersyarat Ba’asyir ini, Yusril memperlihatkan langkah politiknya dalam merangkul kembali kelompok Islam Konservatif untuk mendukung dan memilih PBB dalam pemilu 2019 nanti. Disamping itu, hal ini sekaligus menjadi bargaining position bagi PBB di TKN Jokowi-Ma’ruf dalam mendapatkan suara kelompok Islam Konservatif untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf. Oleh karenanya, Yusril dan PBB diuntungkan dari adanya polemik keputusan Jokowi untuk membebaskan Ba’asyir ini. 










Media Massa dan Profesionalitasnya



Berafiliasinya pemilik Media massa, terutama media televisi ke partai politik telah menimbulkan keresahan terhadap independensi dan etika jurnalistik. Keresahan publik tersebut cukup beralasan, terjadinya pemutaran lagu mars suatu partai politik tertentu secara berulang-ulang, orasi pimpinan partai pada media yang ia miliki, sampai polarisasi pemberitaan sesuai kepentingan politik sang pemilik dan masih banyak lagi bisa kita lihat pada beberapa televisi. Dan bahkan, sudah banyak anak-anak saat ini yang hafal dengan mars partai politik tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah pemberitaan yang tidak berimbang oleh media televisi, terutama jika media tersebut dimiliki oleh elite partai politik tertentu. Media televisi yang dimiliki oleh elite partai politik tertentu akan sangat sulit melepaskan kepentingan politik dari sang pemilik.

Dalam pesta demokrasi saat ini, lahir dan terpilihnya calon pemimpin yang didasari oleh tingkat populisme, menjadikan media televisi menjadi satu diantara media massa lainnya sebagai media utama untuk membranding calon pemimpin tersebut. Dengan afiliasi itu juga pola dan strategi branding partai politik dan calon pemimpin lebih mudah dan cepat.

Memasuki kalender politik nasional berikutnya, yaitu Pilkada serentak tahap ketiga tahun 2018 dan pemilu legislatif (Pileg), serta pemilu presiden (Pilpres) 2019, untuk membranding pihak-pihak yang terlibat ini, dari calon pemimpin (lokal-nasional) sampai dengan partai politik, akan menjadikan media televisi sebagai media utama. Sebelumnya, ketika pemilu 2009, iklan politik atau branding calon pemimpin dan partai politik telah massif dilakukan melalui media televisi. Pemberitaan yang tidak berimbang oleh televisi yang dimiliki oleh elite partai politik sudah lama di permasalahkan. Mengapa hal ini masih bisa terjadi?




Regulasi Penyiaran dan Pemberitaan
Televisi sebagai Primadonanya media untuk marketing politik oleh partai politik dan elite politik tentunya harus tetap menjaga keharmonisasian demokrasi di Indonesia. Afiliasi pemilik perusahaan media massa, khususnya televisi dengan partai politik, serta komersialisasi media massa saat ini harus di awasi dan di atur. Sehinggga, penting bagi stakeholder yang berkaitan dengan pemberitaan, penyiaran dan penyelenggara pemilihan umum untuk dapat bekerjasama mengeluarkan regulasi yang mengatur, mengikat dan menindak pemanfaatan media massa, terutama televisi untuk kepentingan politik. Terlebih pada pemanfaatan televisi sebagai media, alat, dan aktor politik.

Berkaitan dengan itu, salah satu upaya dalam menjaga proporsionalitas iklan politik dalam penyiaran televisi adalah melalui Revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Revisi UU Penyiaran yang sudah menjadi Program Legislatif 2017 tinggal menunggu waktu pengesahan saja. Revisi UU Penyiaran yang mengutamakan tentang peralihan media penyiaran analog ke media penyiaran digital ini, turut membahas tentang iklan politik sebagai bagian dari iklan layanan masyarakat. Sebagai Lembaga yang bertanggungjawab untuk penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan wewenang melalui UU Penyiaran 32 Tahun 2004 untuk mengatur pemberitaan dan penyiaran ini.

Mengacu pada UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, diatur melalui pasal 1 ayat (8) dan Pasal 6 ayat (1), dimana Spektrum frekuensi radio yang dipergunakan untuk penyiaran adalah sumber daya alam terbatas yang merupakan ranah publik. Sehingga pemanfaatannya harus sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 4 ayat (1) mengatakan sebagai kegiatan komunikasi massa, berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat serta control dan perekat sosial. Kemudian, berlandaskan UU Penyiaran, KPI mengeluarkan Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) pasal 22 dan Peraturan  Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) Pasal 40, telah diatur bahwa dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, lembaga penyiaran wajib tunduk pada prinsip-prinsip jurnalistik dan peraturan perundang – undangan berlaku. KPI juga mengeluarkan Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS), pasal 71 mengenai siaran pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah.

Sementara, terkait dengan Pilkada Serentak 2017, KPI mengeluarkan Surat Edaran nomor 61/K/KPI/31.2/02/2017 yang menghimbau Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan pemberitaan atau informasi terkait pilkada secara berimbang, proporsional, dan mengedepankan netralitas; Mengutamakan kemaslahatan masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak dari setiap pemberitaan, informasi, ataupun program siaran lain yang ditayangkan; Menghindari pemberitaan, informasi, atau program siaran yang menghasut, mengadu domba perseorangan maupun masyarakat, bersifat fitnah, menyesatkan, bohong dan mendiskreditkan pasangan calon atau tokoh politik tertentu; Mengenai hal – hal lain terkait penyelenggaraan pilkada, agar tetap tunduk pada peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dengan regulasi demikian, nyatanya tidak cukup mengharmonisasikan era telepolitik saat ini. Menghadapi Pilkada serentak 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019, maka penting bagi Komisi I DPR RI untuk mengamati persoalan telepolitik, khususnya iklan politik di televisi. Televisi sebagai lembaga penyiaran harus dapat menjaga independensi, netralitas dan keseimbangan siaran televisinya. Sekaligus penting bagi televisi di era telepolitik ini untuk tidak mengutamakan kepentingan perorangan, golongan, dan terutama partai politik agar dapat menciptakan keadilan siaran dan tidak menimbulkan dominasi siarannya. Dengan demikian, melalui revisi UU Penyiaran, KPI bersama dengan televisi dapat mengatur Iklan politik sekaligus pemberitaan politik yang tidak disiarkan secara berimbang.

Disamping pentingnya Komisi I DPR RI bersama dengan KPI untuk merevisi UU Penyiaran, tak kalah penting bagi Dewan Pers untuk menegakan UU Pers, terutama bersangkutan dengan penegakan etika jurnalistik dalam pemberitaan. Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 pasal 7 ayat (2) dikatakan, Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Sebagaimana yang terdapat pada UU Penyiaran sebelumnya, pasal 42 berbunyi, Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini menunjukan pentingnya bagi jurnalis sebagai profesi yang diatur dengan kode etiknya.

Dewan Pers bersama dengan KPI sudah seharusnya mengawasi proporsionalitas pemberitaan media, khususnya televisi dengan penegakan UU dan Regulasi lainnya. Tentunya, penegakan ini harus disertai dengan sanksi yang tegas bagi televisi dan jurnalis yang melanggar ketentuan ini.