A.
Latar
Belakang
Birokrasi dan politik bagai dua mata
uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua institusi yang
memiliki karakter yang erbeda, namun saling mengisi. Dua karakter yang berbeda
antara ini memerikan sisi positif terkait dengan sinergi, namun disisi lain
tidak dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.[1] Syafuan Rozi menyatakan bahwa birokrasi sebagai wewenang
atau kekuasaan yang beragai departemen pemerintahan dan cabang-cabangnya
memperebutkan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri mereka sendiri, atau
sesame warga negara.[2] Ciri khas birokrasi adalah bentuk institusi yang
berjanjang, rekuitmen berdasarkan keahlian, danb ersifat impersonal.Sedangkan politik adalah usaha untuk menentukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebahagian besar warga untuk
membawa masyarakat kearh kehidupan bersama yang harmonis.[3]
Berdasarkan
studi Guelermo O'Donnel bahwa negara telah muncul sebagai kekuatan politik yang tidak hanya relatif
mandiri berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya serta masyaraklu sipil,
tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang marnpu mengatasi keduanya.
Otoritarian Birokratik memang diciptakan untuk melakukan pengawasan yang kuat
terhadap masyarakat sipil, terutama dalam upaya mencegah massa rakyat di bawah
keterlibatan politik yang terlampau aktif agar proses akselerasi
industrialisasi tidak tergangggu (Guelermo O'Donnel dalam Muhammad AS Hikam,
Jurnal IImu Politik No.8, AIPI LIPI Jakarta 1991: 68).
Studi
Fred W Rigg tentang Bureaucratic Polity dan GuelermO'Donnel tentang Bureaucratic Authoritarian nampaknya
menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat tertentu posisi birokrasi sudah berada
di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legitimasi
politik melalui sarana birokrasi. Jika dalam studi Rigg birokrasi.
berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah, maka model O'Donnell birokrasi itu
tidak hanya berkolaborasi dengan kekuasan tetapi juga melibatkan diri hampir di
semua bidang kegiatan. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang poitik
formal, namun menjalar sampai kepada kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk
juga ideologi.
B. Rumusan Masalah
Politik, kekuasaan, dan
birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan kesatuan yang tidak
terpisahkan. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal pembentukan
negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat
terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi selama ini. Birokrasi yang
seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang menjadi
melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat
ini, pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin
birokrasi member pelayanan publik yang
profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi,
kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Di Indonesia hubungan birokrasi dan politik telah melahirkan banyak studi,
diantaranya, Karl D Jackson menilai
bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana
terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari
ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan
King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di
Indonesiaberkembang model birokrasi ala
Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi
proses pertumbuhan jumlah personil dan
pemekaran structural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi
ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan
Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan
peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan. Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak
berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi,
berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di
Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran
struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar.
Birokrasi juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang
politik, ekonomi dan sosial.[4]
Cap birokrasi Indonesia seperti itu
ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi
Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi
patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2)
jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat
mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap
tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia
merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di
masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya
kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi
tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia.
Bergulirnya roda reformasi sejak
1998 menuntut agar terjadi perubahan di segala bidang, tidak terkecuali masalah
birokrasi. Terjadinya perubahan sistem politik tentunya juga mempengaruhi
sistem birokrasi apalagi Indonesia yang menggunakan sistem Demokrasi, mau tak
mau Indonesia juga turut membuka arus globalisasi. Penulis berasumsi bahwa,
dengan arus demokrasi dan globalisasi tentu mempengaruhi birokrasi di nasional.
C.
Pertanyaan
Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah yang telah penulis uraikan sebelumnya maka penulisan makalah
ini menitik beratkan Bagaimana hubungan birokrasi dan politik di Indonesia
setelah adanya reformasi politik 1998? Terkait dengan adanya perubahan sistem
politik dan arus globalisasi yang masuk ke Indonesia secara terbuka.
D.
Landasan
Teori
Birokrasi
berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi suatu masyarakat.
Semakin modern suatu masyarakat, dalam arti semakin demokratis dan semakin
makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak tuntutan baru. Berkembangnya
jaringan birokrasi (bureaucratization) adalah upaya memenuhi tuntutan baru
tersebut (Riswanda Imawan, 1998: 85). Dalam terminologi ilmu politik,
setidaknya dikenal empat model birokrasi yang umumnya ditemui dalam praktik
pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model tersebut meliputi model
birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, dan Orwellian. Secara lebih rinci
keempat model birokrasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Model birokrasi Weberian digagas oleh Max
Weber, seprang tokoh penting yang menjelaskan konsep birokrasi modern. Weberian
menunjuk pada model birokrasi yang memfungsikan birokrasi sehingga memenuhi
kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber. Setidaknya ada 7 (tujuh)
kriteria-kriteria ideal birokrasi yang digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya
pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi
yang tinggi; 4) bersifat tidak pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan
mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi
para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari
kehidupan pribadi (Stephen P. Robbins, 1994: 338).
Birokrasi Parkinsonian merupakan
model birokrasi dengan memperbesar sosok kuantitatif birokrasi. Parkinsonian
dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkan
kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian dibutuhkan
untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain
Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang
makin bertumpuk (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 192). Birokrasi Jacksonian merupakan model
birokrasi yang menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan
menyingkirkan masyarakat di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan.
Jacksonian, sebenarnya diambil dari nama seorang jenderal militer yang tangguh
dan seorang negarawan yang terkenal sebagai mantan Presiden Amerika Serikat
yang ke-7 (1824-1932) – menjabat dua kali – yaitu Andrew Jackson (Eep Saefulloh
Fatah, 1998: 194).
Birokrasi model Orwellian ini
merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan
negara dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak masyarakat
menjadi terbatas, sepertinya ”bernafas” saja dikontrol oleh birokrasi. Hal itu
dikarenakan dalam berbagai hal terkait dengan kehidupan masyarakat harus
meminta ijin kepada birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu di
Amerika Serikat. Pada waktu Ronald Reagen menjabat presiden (1981), ia
mengadakan pemangkasan terhadap birokrasi. Pada waktu itu di Amerika Serikat
untuk mengurusi hamburger saja, ada ratusan peraturannya yang berimplikasi pada
semakin banyaknya jumlah pegawai. Untuk itu diadakan pemangkasan dan pegawainya
dikurangi (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 195).
E.
Pembahasan
dan Analisis
1.
Politisasi
Birokrasi di Indonesia.
Di
Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan
kelas menengah yang produktif, atau
preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah menjadi alat
pembangunan yang utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki
posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat
hidup masyarakat. Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan
kematian, masyarakat tidak bisa menghindar dari urusan birokrasi. Birokrasi menguasai akses ke sumber daya
alam, anggaran, pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan
informasi yang tidak dimiliki pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan
penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik,
termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada setiap perkembangan
politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan politik.
Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat
kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.
Ini terjadi pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an
di mana partai politik menjadi aktor sentral dalam sistem politik Indonesia.
Pemilihan umum pertama yang demokratis berlangsung dalam periode ini. Dan
birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena
perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan polarisasi dan
fragmentasi birokrasi. Sementara
peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tidak menghasilkan perubahan
mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran
politik ke arah otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai
termarjinalkan. Semua kehidupan politik yang sudah berkembang sebelumnya,
diberangus dengan menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan. Saat
itu, satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya
dengan Presiden Soekarno adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun Soekarno, PKI,
dan sayap militer angkatan darat yang dimobilisir Soeharto terlibat dalam
pergolakan politik yang mencapai puncaknya pada peristiwa Gerakan 30 September
(G30S). [5]
Ini tentu menimbulkan fragmentasi
dalam birokrasi. Peralihan ke Orde Baru (1966-1998) ini merupakan peristiwa
perubahan konfigurasi politik yang cukup drastis. Terjadi polarisasi politik
yang diperketat menuju ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar).
Hal ini menyebabkan kekuatan militer pada masa Orde Baru berhasil mendominasi
struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif. Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi
masa Orde Baru tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan
partai-partai, tetapi terjebak dalam hegemoni kekuasaan rezim otoritarian Orde
Baru yang didominasi militer. Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi
benar-benar sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan
militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru 1998,
berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralitas politik
birokrasi.
Tuntutan reformasi ini sebenarnya
telah direspon sebagian oleh rezim pemerintahan pascaSoeharto. Hubungan antara
birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan
birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya. Sementara Korps Pegawai
Republik Indonesia (Korpri), sebagai satu-satunya wadah pegawai negeri,
disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi. Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan
birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran
pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden
saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang
menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan
ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974. Intinya membolehkan PNS
berafiliasi dengan partai, namun bila menjadi anggota partai tertentu, maka ia
dilarang aktif dalam jabatannya di partai politik. Ketentuan yang sama juga
berlaku bagi unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri).
Meski demikian wajah birokrasi di
Indonesia sepertinya tidak pernah berubah dalam hal pelayanan terhadap publik. Dari dulu belum
ada perubahan yang berarti. Birokrasi tetap diliputi berbagai praktik
penyimpangan dan inefisiensi. Birokrasi dalam banyak hal masih menunjukkan
”watak buruknya” seperti enggan terhadap perubahan (status quo),
eksklusif, kaku, dan terlalu dominan.
Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah
tingginya biaya yang dibebankan untuk layanan publik baik yang berupa legal
cost maupun illegal cost, seperti waktu tunggu yang lama, banyaknya
pintu layanan yang harus dilewati, atau service style yang tidak
berperspektif pelanggan. Penyebab lainnya adalah rendahnya kompetensi birokrat
yang disinyalirdisebabkan oleh renggangnya kualitas rekrutmen dan rendahnya
kualitas pembinaan kepegawaian serta dominannya kepentingan politis dalam
kinerja birokrasi. Buruknya kinerja birorkasi ini pada akhirnya mempengaruhi
gerak pembangunan dan daya saing bisnis. Menurut Human Development Index
(HDI) yang dipaparkan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2004, Indonesia berada di
peringkat ke-111 dari 177 negara, setingkat di atas Vietnam dan jauh di bawah negara
tetangga lainnya macam Singapura atau Malaysia. Sementara merujuk laporan Global
Competitiveness Report 2003-2004 yang meliputi aspek pertumbuhan dan
bisnis, indeks daya saing pertumbuhan Indonesia turun ke peringkat 72 dari 102
negara pada tahun 2003, dibandingkan dengan peringkat ke-69 pada 2002.
2.
Menetralisasi
Birokrasi dan Politik
Wacana seputar netralitas birokrasi
sebenarnya bukan pemikiran yang baru. Tema ini sudah menjadi pembicaraan lama
di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhadap filsafat Hegel tentang
negara sedikitnya menggambarkan bahwa netralitas birokrasi itu penting,
sekalipun dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi" dari teori Hegel
tentang tiga kelompok dalam masyarakat; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular
interest) yang diwakili oleh para pengusaha dan profesi, kelompok
kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan
kelompok birokrasi.
Marx menyatakan bahwa birokrasi
sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok sosial tertentu yang dapat menjadi
instrumen kelompok dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya sebagai penengah
antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok
kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi
tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini, Marx menginginkan
birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa. Sedangkan Hegel
dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi
harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum
(negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan profesi). Birokrasi
dalam hal ini, menurut Hegel, harus netral (Anshori, 2004). Sedangkan
menurut Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan
politik, dalam kaitannya dengan netralitas birokrasi, berada di luar bagian
politik. Sehingga permasalahan birokrasi/administrasi hanya terkait dengan
persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry
and strife of politics).
Konsep dasar yang diletakkan Wilson
kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya seperti D. White, Willoughby
dan Frank Goodnow. Menurut Goodnow, ada dua fungsi pokok pemerintah yang
amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut
Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara
administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya,
birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar
muncul tanggung jawab serta bisa meneguhkan posisi birokrasi di hadapan . Untuk menghindari munculnya birokrasi yang
otoriter (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat harus
benar-benar dilakukan oleh kekuatan sosial dan politik yang ada melalui lembaga
legislatif agar birokrasi pemerintah tidak kebal kritik, dan merasa tidak
pernah salah, serta arogan. Sedangkan sebagai lembaga pelayanan publik, agar
pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada pemerintah lebih
fungsional, maka birokrasi perlu netral, dalam artian birokrasi tidak memihak
kepada atau berasal dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain
itu, birokrasi pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan
atau
pengambilan keputusan.
Di Indonesia, upaya melepas
birokrasi dari pengaruh politik bukan lagi sekedar wacana. Seperti sudah
disinggung di atas, pada masa kePresidenan Habibie, telah dikeluarkan PP No. 5
Tahun 1999 yang menekankan bahwa PNS harus netral dari partai politik. Meskipun
usaha itu merupakan langkah maju, namun belum mampu mewujudkan birokrasi yang
netral dan independen mengingat birokrasi di Indonesia belum lepas dari
pengaruh pemerintah (eksekutif) yang merupakan kekuasaan politik.
Dalam konteks Indonesia, aspek
kenegaraan dan pemerintah seringkali tidak jelas. Menurut Istkantrinah (2003), dalam sistem pemerintahan Indonesia,
Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak
untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara negara/adminsitrasi
negara. Pada prakteknya, seringkali terjadi pencampuradukan antara Presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Peran eksekutif yang dimainkan
Presiden seringkali dialamatkan kepada kepala negara, begitu sebaliknya.
Ketidakjelasan peran ini mengakibatkan birokrasi yang seharusnya menjadi institusi
negara, lalu menjadi institusi pemerintah.
Administrasi negara sebagai organ
birokrasi di Indonesia tampaknya akan sulit bersikap independen dan netral. Di
Indonesia, adminisrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah, dan
karenanya disebut administrasi pemerintahan. Posisi ini membuat birokrasi
senantiasa dalam bayang-bayang kuat pemerintahan, baik Presiden-Wakil Presiden,
Menteri, serta Kepala Daerah provinsi dan Kepala Daerah kabupaten/kota. Merujuk
pada Rancangan Undang Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan yang dikeluarkan
oleh kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan);
Administrasi
Pemerintahan adalah semua tindakan hukum dan tindakan materiil pemerintahan
yang dilakukan oleh instansi Permerintah dan Pejabat Administrasi Pemerintahan
serta badan hukum lain yang diberi wewenang untuk melaksanakan semua fungsi
atau tugas pemerintahan, termasuk memberikan pelayanan publik terhadap
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan
instansi Pemerintah adalah semua lembaga pemerintah adalah semua lembaga
pemerintah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan di lingkungan
ekskutif baik di pusat maupun daerah termasuk komisi-komisi, dewan, badan yang
mendapat dana dari APBN/APBN. (RUU Administrasi Pemerintahan, draft XI B,
januari 2006)
Rumusan di atas mempertegas posisi
administrasi pemerintahan yang berada di bawah
kekuasaan eksekutif (pemerintah). Pandangan itu dikukuhkan dengan sistem
Presidensiil yang dianut di Indonesia di mana Presiden dan Wakil Presiden
merupakan institusi penyelenggara kekuasaan ekskutif negara yang tertinggi di
bawah konstitusi. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan
adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan
Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan dan tanggung
jawab politik berada di tangan Presiden (concentration of power and
responsibility upon the President).[6]
Pemahaman seperti itu memunculkan
kekeliruan kerangka pemikiran yang sudah jamak
dibangun, yakni;
a. Kepala
pemerintah/daerah adalah penguasa dan penanggung jawab pemerintahan.
b. Birokrasi
(administrasi pemerintahan) berada di wilayah eksekutif dan merupakan
aparat pemerintah.
c. Pemerintah
(Presiden-Wakil, Menteri, Kepala Daerah) memiliki kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya untuk menjalankan
roda administrasi pemerintahan.
Pola hubungan atasan-bawahan antara
administrasi negara dengan pemerintah juga terlihat jelas dalam aturan
Kewajiban, Kesetiaan dan Ketaatan Pegawai Negeri. UU No.43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menyebutkan
bahwa setiap Pegawai Negeri setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, negara dan pemerintah serta wajib menjaga kesatuan bangsa dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata
Pemerintah dalam pasal tersebut menunjukkan adanya pola hubungan yang
jelas antara pegawai negeri selaku pejabat administrasi pemerintahan dengan
pemerintah. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah merupakan atasan
pegawai negeri sehingga pegawai negeri harus setia terhadap pemerintah. Pola
hubungan yang sama juga terlihat pada susunan kata sumpah pegawai negeri [7]yang
berbunyi:
”Demi Allah, saya
bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri
Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.”
Kata
Pemerintah di atas menunjukkan aspek keharusan taat dan patuh pegawai
negeri terhadap pemerintah. Berbeda dengan hubungan antara pemerintah
(eksekutif) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bukan atasan bawahan.[8]
Susunan sumpah kesetiaan TNI hampir sama dengan sumpah pegawai negeri tapi
tanpa kata Pemerintah, yaitu:
”Demi
Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat besarnya pengaruh pemerintah
terhadap birokrasi yang terus berlangsung hingga sekarang, maka penting untuk
mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi, bahwa birokrasi harus
lepas dari pengaruh pemerintah, birokrasi harus independen dan bekerja dalam
kaidah-kaidah profesional. Birokrasi harus lepas dari pengaruh kekuasaan dan
memposisikan dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dan bukan abdi
pemerintah. Sebagai abdi negara, birokrasi harus fokus pada tugas-tugas
kenegaraan yang dibebankan kepadanya sesuai dengan aturan-aturan yang
ditetapkan.
Sebagai alat negara, organ birokrasi
negara menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan hanya tunduk kepada negara. Meski
dalam praktek, administrasi negara menjalankan tugas pemerintah sebagai atasan
formal, namun tidak berarti pemerintah bisa semaunya menjalankan ’mesin’
birokrasi yang bernama administrasi negara. Administrasi negara menjalankan
tugas pemerintah sejauh tugas itu telah dimandatkan UU. Administrasi negara
berhak menolak perintah pemerintah jika aturan itu tidak tertera dalam UU,
apalagi melanggar ketentuan UUD. Pada posisi ini, idealnya aministrasi negara
memiliki rujukan pada konstitusi. Dengan adanya payung hukum tertinggi, maka
atasan administrasi negara yang sesungguhnya adalah UUD sehingga posisinya
sebagai alat negara sangat kuat.
3.
Birokrasi
dan Politik Di Indonesia Tidak Terpisahkan
Reformasi 1998, secara nyata membawa
iklim politik baru bagi Indonesia yaitu lahirnya sistem demokrsi liberal.
Sistem politik baru ini memawa dampak terhadap kehidupan berpolitik dan
sekaligus birokrasi di Indonesia. Jika diawal dikatakan bahwa, Birokrasi dan
politik adalah dua stuktur yang berbeda namun tidak terpisahkan. Birokrasi
memainkan peranan aktif di dalam proses
politik di kebanyakan negara dan
birokrasi menggunakan banyak aktifitas-aktifitas, diantaranya usahausaha paling
penting berupa implementasi Undang-Undang, persiapan proposal legislatif,
peraturan ekonomi, lisensi dalam perekonomian dan masalah-masalah profesional,
dan membagi pelayanan kesejahteraan (Herbert M.Levine, 1.982: 241). Masyarakat
didominasi oleh para birokrat, ditulis oleh James Burnham tahun 1941 yang menekankan pentingnya kelompok
manajerial di dalam perekonomian, dan tidak ada pemisahan yang tajam antara
kelompok manajerial clan pejabat politik (Martin Albrow, 1989 : 100)
Berdasarkan tulisan tersebut James member persamaan antara kekuasaan kelas para
manajer dengan kelas para birokrasi negara.
Masyarakat yang dibentuk dan
diperintah oleh para birokrat akan menjadi masyarakat -masyarakat birokratis
yang nantinya masyarakat tersebut akan menjadi\ birokrasi-birokrasi masyarakat
yang patuh dan tunduk pada pengaruh sikap-sikap dan nilai-nilai para birokrat, karena adanya
perubahan sikap dari masyarakat akan bergantung kepada pengaruh para birokrat.
Hal ini akan cepat menjerat masyarakat akan runtuhya nilai-nilai demokrasi sehingga ada suatu
pertentangan dengan nilainilai tersebut yang dianggap sebagai suatu problema
yang memerlukan pemecahan.
Kebanyakan orang menganggap bahwa
konsep birokrasi sebagai administrasi yang tidak efisien dan rasional, mencakup
aplikasi kriteria evaluatif dan spesifikasi sifat nilai-nilai tersebut (Martin
Albrow,1989 : 1 07). Konsep birokrasi cendrung dianggap sebagai suatu aspek
ancaman terhadap demokrasi, apalagi konsep birokrasi sebagai kekuasaan yang
dijalankan oleh pejabat, konsep ini diamati secara serius karena mendiskusikan
tentang pejabat-pejabat negara yang menjalankan tujuan-tujuan demokrasi. Perlu
dipertanyakan apakah tindakan tergantung pada bagaimana nilai-nilai demokrasl
Itu ditafsirkan dan mana diantara penafsiran itu yang dipandang salah. Friedrich dan Finer prihatin terhadap
masalah kesesuaian praktek-praktek administrasi negara modem dengan nilai-nilai
demokrasi, karena mereka percaya bahwa bukan kekuasaan yang dijalankan pejabat
yang menimbulkan masalah tetap cara
menggunakan kekuasaan itulah yang menjadi masalahnya, untuk itu perlu dilihat
bagaimana masing-masing karakteristik antara birokrasi dan demokrasi digunakan
dalam usaha mendiagnosis dan menyembuhkan masalah yang terjadi.
Martin Albrow membedakan
tiga posisi dasar tentang fungsi-fungsi pejabat
di negara demokrasi, yaitu
1. pejabat
menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu dikembalikan pada fungsinya semula.
2. pejabat
benar-benar merniliki kekuasaan dan tugas yang semakin besar sehingga jabatan tersebut harus dijalankan secara
bijaksana .
3. kekuaasaan
perlu bagi para pejabat sehingga harus dicari metode-metode pelayanan yang
dapat disalurkan bersama-sama.
Problema yang harus dipecahkan untuk
dapat menumbuh kembangkan demokrasi dengan menempatkan birokrasi secara
konsisten di dalam sistem politik. Dalam sistem politik demokrasi liberal yang
berawal dari Maklumat Wakil Presiden
No.X tertanggal 3 November 1945. terwujud konfirmasi, dimana politik yang
ikut menentukan sosok administrasi
pemerintah pada waktu itu. Posisi infrastruktur politlk vis-a-vis suprastruktur
politik secara relatif lebih kuat, menciptakan suatu sosok sistem politik
bureau-nomia (Moeljarto Tjokrowinoto,1996: 159).
Menurut teori, agar dapat memahami
birokratisasi dalam pembangunan
nasional, di Indonesia terlebih dahulu didekatkan melalui 2 konsep yaitu
:
1. konsep
masyarakat politik birokratik yang dikembangkan pertama sekali oleh Fred Riggs (1966) dan digunakan
oleh Karl D.Jackson (1978) dalam konteks Indonesia.
2. konsep
kapitalisme birokratik yang dirumuskan oleh Wittfogel (1957).
Berdasarkan konsep Jackson tersebut maka ciri-ciri pokok
masyarakat politik birokratik adalah :
1. lembaga
politik yang dominan adalah aparat birokrasi
2. lembaga–lembaga
politik lainnya, seperti parlamenter, partai politik, dan kelompok kepentingan
semuanya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi.
3. masa diluar birokrasi secara politis dan
ekonomis pasif, sehingga menyebabkan lemahnya peranan partai politik dan
dampaknya semakin memperkuat peranan birokrasi.
Bertitik tolak dari ciri-ciri tersebut maka
dapat kita simpulkan bahwa birokrasi di Indonesia cendrung mendekati ke tiga
ciri tersebut, sehingga perlu dipertanyakan kemampuan masyarakat politik
birokratik ini untuk melaksanakan pembangunan ,terutama pembangunan yang mampu
mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolak eksternal sehingga bisa mencapai
tingkat pertumbuhan yang memadai, yang dapat mendistribusikan secara merata
hasil dari perjuangan masyarakat tersebut. Ada tiga kecendrungan yang dialami
oleh setiap birokrasi di Indonesia, yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu
biroksasi semakin mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber.Kedua, proses parkinsonisasi yaitu
proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana
pernah diduga kuat oleh C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin
menguasai masyarakat, untuk birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah
parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi
Sehingga, dengan kondisi birokrasi
dan politik di Indonesia yang sulit dipisahkan atau di Netralisasi maka benar menurut
bahwa birokrasi di Indonesia sedang “sakit” dengan titik tekanannya berdasarkan
hukum Parkinson, sedangkan parameter birokrasi “ sehat “ yang dijadikan sandaran adalah konsep birokrasi weber tetapi pada kenyataanya selalu menimbulkan
masalah, karena ciri- ciri organisasi yang diharapkan terlalu ideal sehingga
kadang kala belum tentu cocok dengan kondisi atau situasi di suatu negara.
Padahal Demokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses
pembangunan suatu negara , akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam negara maka
akan semakin rendah demokrasi dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan
semakin tinggi demokrasi.
F. Penutup
1.
Kesimpulan
Kemajuan suatu bangsa
salah satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi dalam menjalankan
tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik kepada masyarakat secara
profesional dan akuntabel. Apabila publik dapat terlayani dengan baik oleh
aparatur birokrasi, maka dengan sendirinya aparatur birokrasi mampu menempatkan
posisi dan kedudukannya yaitu sebagai civil servant atau public
service. Kondisi ini akan berdampak pada kinerja dari aparatur birokrasi
yang sesuai dengan harapan dari masyarakat, pada akhirnya akan timbul trust
kepada aparatur birokrasi tersebut. Hal inilah yang akan menjadikan negara yang
maju dalam hal pelayanan kepada warganya dan melahirkan pada terwujudnya
birokrasi yang bersih, akuntabel dan transparan.
Birokrasi sebagai garda terdepan
dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dituntut untuk profesional dan tidak
terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga ia dapat menunjukkan postur ideal
yang di harapkan publik. Liberalisasi politik sebagai akibat reformasi politik,
di sisi lain memberikan godaan bagi birokrasi untuk bermain dalam ranah politik
atau menciptakan ruang bagi munculnya politisasi terhadap birokrasi. Beberapa
kasus di atas membuktikan bahwa birokrasi sulit sekali melepaskan dirinya dari
ranah politik. Untuk itu diperlukan implementasi aturan yang lebih tegas,
sanksi yang berat bagi pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Perubahan memang
tidak berlangsung cepat, namun bila dilakukan sungguh-sungguh kelak kita akan
menemukan potret birokrasi yang ideal di negara kita. Dalam artikelnya, Bowornwathana dan Wescott
(2008, p. 1) menyimpulkan bahwa pelaksanaan birokrasi di negara-negara
berkembang tidak berjalan mulus (uneven), dengan “stroke-of-the pen
reforms” yang berjalan sangat cepat, namun perubahan struktural yang seharusnya
mengikuti, berjalan sangat lambat bahkan tidak sama sekali.
Perubahan fundamental memerlukan “sustained
effort, commitment and leadership over many generations. Mistakes and setbacks
are a normal and inevitable part of the process. The big challenge is to seize
upon mistakes as learning opportunities, rather than use them as excuses for
squashing reform.”(Schacter 2002: 10). Begitu juga dengan Indonesia. Sehingga dengan demikian, reformasi
birokrasi perlu dilancarkan sebagai
bagian dari pembangunan politik. Bila
aparatur administrasi mampu mendukung pembangunan nasional, maka dapat tercipta
sistem tersebut sehingga mampu mendukung demokratisasi politik, liberalisasi
dan industrialisasi ekonomi Indonesia.
2.
Implikasi
Teori
Birokrasi
dan politik yang terjadi dimasa reformasi ini mengarah tiga
kecendrungan yaitu pertama
proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati
tipe ideal sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber. Kedua, proses parkinsonisasi yaitu proses dimana birokrasi
cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat oleh
C.Northcote Parkinson Ketiga, proses
orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin menguasai masyarakat, untuk
birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi dan orwelisasi
ketimbang ke arah weberisasi. Untuk
kondisi Indonesia sendiri kondisi patologis ini terlihat dengan susahnya
menetralisasikan birokrasi dan politik sehingga kita mengenal politik rente dan
politik transaksional serta politik oligarkis pada birokrasi-biroksi.
Dengan
demikian, kecendrungan ini mengharuskan Indonesia dapat mengantisipasi
perubahan dan keterbukaan adalah model birokrasi yang mentrasformasikan
nilai-nilai, prinsip, dan semangat kewirausahaan ke dalam institusi birokrasi.
Sumber Referensi
Hikam, Muhammad
AS. (1991), Negara Otoriter Birokratik dan Redemokratisasi: Sebuah Tinjauan
Kritis dan Beberapa Studi Kasus, dalam Jurnal IImu Politik No 8, Jakarta:
AIPI-LIPI, hlm.68.
Jackson, Karl D and Pye, Lucian W (1987), Political Power and
Comunications in Indonesia, California: University of California Press, hlm.4.
Effendy, Muhadjir
(1995), Birokrasi Pemerintahan Menyongsong Era Pasar Bebas: Dari Bossy Attitude
ke Servicer Minded (sebuah Review), dalam Jumal Bestari, lanuari-April,
Yogyakarta, hlm.27,28
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta :
Setjen dan Kepaniteraan MKRI.
Martin Albrow,
1996, “Birokrasi”, Tiara
Wacana,Yogyakarta,
Marx, Karl.
1999. Manifesto Komunis 1848. Jakarta: Yayasan Bintang Merah.
Robison, Richard
and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London:
Routledge.
Sutherland,
Heathert. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Rahmatunnisa,
Mudiyanti. Menyoal Kembali Reformasi Birokrasi Di Indonesia. Jurnal Governance,
Vol. 1 No. 1, November 2010
Gjafar,
Wahyudi.Artikel Ilmiah. Memotang Warisan Birokrasi Masa Lalu, Menciptaan
DemarkasiBeas Korupsi.Jakarta : Elsam
Marzuki, Dkk.
Artikel Ilmiah. Model Birokrasi Pemerintah Era Otonomi Daerah. Yogyakarta. UNY
Eep Saefulloh
Fatah. (1998). Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Miftah Thoha.
(1991). Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi
Negara Jilid II. Jakarta: Rajawali Press.
Miftah Thoha.
2008. Birokrasi di Era Reformasi. PT. Gramdedia Pustaka. Jakarta
Ryaas Rasyid.
(1998). Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta:
Yarsif Watampone.
M. Akhyar HSB. 2010.
skripsi. Relasi dan Politik (Analisa Pola Rekruitmen Kepala Biro dan Kepala
DinasPadaPemerintahan ProvinsiSumut Pasca Pil –Gub 2008). Ilmu Politik USU : Medan
Kamuli, Sukarman. Birokrasi
di Negara Sedang Berkembang(Telaah atas Kajian Fereel Heady).Jurnal Inovasi
Vol. 9, No. 2, Juni 2012
Syafuan Rozi. 2006. Zaman
Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta : PustakaPelajar . Hal 9-10.
Miriam Budiarjo. 2008.
Dasar-dasarIlmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia.
Lili Romli. 2004. Masalah ReformasiBirokrasi. Jurnal Kebijakan
dan Manajemen PNS. Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawain BKN.
Adi Suryadi Culla, Dosen Fisip Unhas,
Tantangan Reformasi Birokrasi, 15 Sep 2005.
Jimly
Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD
1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema: Penegakan Hukum
dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, 2003, hal. 8.
UU No 43 tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas UU no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pasal 26.1
Pasal 35 dan 36
Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
[1]
M. Akhyar HSB. 2010. skripsi. Relasi dan Politik (Analisa Pola Rekruitmen
Kepala Biro dan Kepala DinasPadaPemerintahan ProvinsiSumut Pasca Pil –Gub
2008). Ilmu Politik USU : Medan
[2]
Syafuan Rozi. 2006. Zaman Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta :
PustakaPelajar . Hal 9-10.
[3]
Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasarIlmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT
Gramedia.. Hal. 15.
[4]
Lili Romli. 2004. Masalah ReformasiBirokrasi.
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS. Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawain
BKN.
[6] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia
setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, Tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2003, hal. 8.
[7]
UU No 43 tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU no 8
tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pasal 26.1
[8]
Pasal 35 dan 36 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus