Selasa, 12 November 2019

Kedangkalan Politik dan Lahirnya Angkatan 2019






Memuncaknya aksi massa serentak pada seluruh daerah pada tanggal 24 September 2019 oleh mahasiswa, masyarakat sipil, dan pelajar menjadi penanda bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sejak awal tahun 2019, kita dihadapkan berbagai polemik konstalasi sosial-politik nasional. Pembelahan pemilih akibat pemilu serentak 2019, huru hara pasca pemilu, kebakaran hutan di sumatera dan Kalimantan serta disusul dengan rasisme yang membuat papua kembali bergejolak. Akumulasi dari polemik konstalasi sosial-politik tersebut kemudian dihadapkan dengan upaya revisi UU KPK dan sejumlah RUU kontroversial yang dianggap tidak transparan dan buru-buru untuk disahkan. Mau tidak mau kita saksikan hari demi hari belakangan ini aliansi-aliansi besar turun kejalanan dan kemudian dikenal dengan gerakan angkatan 2019. Angkatan 2019 -pun kemudian dituding ditunggangi oleh kepentingan politik kelompok tertentu. 


Benarkah angkatan 2019 yang massif ini di tunggangi?


Perlu rasanya kita membaca kembali tentang politik kehidupan yang dangkal karya sosiolog Antony Giddens (1998), masalah pokok masyarakat saat ini bukan lagi menyangkut soal pertarungan politik kiri dan kanan, akan tetapi lebih terkait pada pertarungan politik kehidupan yaitu menyangkut soal politik pilihan, politik identitas dan politik emansipasi. Orientasi dari kehidupan sosial-politik bergeser dari tema yang menekan problema manusia dalam ketidakadilan menjadi persoalan makna hidup, identitas dan kultur. Penting kemudian memperbaiki segi-segi hubungan simbolik antar-masyarakat dari pada status masyarakat itu sendirinya. 


Kemudian, Zygmunt Bauman dalam liquid life (2005) mengartikan politik kehidupan sebagai politik yang encer dalam masyarakat yang encer. Masyarakat apalagi generasi milenials saat ini dihadapkan pada tuntutan perubahan maha-cepat akibat perkembangan teknologi dan media yang bebas akses dan menjangkau secara luas tanpa batas. Imbasnya adalah ruang publik lama bergeser ke ruang publik cyber yang dianggap menghasilkan kehidupan sosial serba individual, semata-mata berorientasi diri dan dangkal. Kedangkalan ini kemudian merembet pada persoalan politik kehidupan. 


Imbasnya, politik kehidupan kehilangan kepemimpinan karena pelakunya berubah menjadi “idola-idola” yang bekerja demi kepentingan personal mereka ketimbang kepentingan publik. Praktik dari kedangkalan politik kehidupan ini dapat kita saksikan sejak pemilu 2014, dimana pembelahan politik identitas dan politik pilihan menghasilkan fans kandidat politik. Kemudian menjadi makin jelas ketika pemilu 2019, lahirnya Fans Fanatic atau pengemar garis keras terhadap idola-idola barunya di konstalasi politik pemilu. Hubungan antara kandidat sebagai idola dengan pemilih sebagai fans sangat eksploitatif yang meluas kesegala arah. Hal ini bisa terjadi akibat politik keagenan yang dilakukan oleh tim sukses atau konsultan politiknya atau justru akibat spontanitas yang dangkal.


Inilah yang menurut Nancy Fraser (2002) disebut sebagai gejala dan persoalan dari adanya pembelahan menajam dalam dua kritik atas masyarakat kontemporer yakni antara politik redistribusi berhadapan dengan politik pengakuan diri (recognition). Fraser telah mengingatkan bahaya dari pergeseran asimetris dari politik redistribusi ke politik pengakuan diri (recognition) politik kehidupan tidak saja dangkal akan tetapi juga kehilangan kedalaman tujuannya.


Implikasi Kedangkalan tujuan yang menyebabkan kehilangan kedalaman tujuan politik dapat kita lihat dalam praktek politik di Indonesia belakangan ini. Aspek kebebasan sipil kita menurun sehingga menyebabkan flutktuasi indeks demokrasi terpengaruhi. Selain itu, kedangkalan dapat kita lihat pada narasi subjektif para politisi dan pejabat negara dalam menjawab persoalan bangsa yang tidak mencapai substansi. Belum lagi pada rendahnya kualitas legislasi perundang-undangan yang saat ini tengah dipertontonkan oleg DPR dan Pemerintah sebagai pembuat regulasi. Dan diperburuk dengan kuantitas legislasi yang juga tidak terpenuhi, dilihat dari RUU yang masuk ke prolegnas dari tahun ke tahunnya.


Fenomena kedangkalan politik ini-pun dapat kita lihat dalam pemilu ke pemilu belakangan ini. Angkatan 2019 adalah angkatan yang menonton dan mengamati persoalan fenomena tersebut. Terbelahnya pemilih dalam dua kubu berlangsung cukup lama, sejak pemilu 2014. Narasi pembelahan ini-pun mau tidak mau di rasakan oleh angkatan 2019 sebagai catatan dan sekaligus yang menyimak, kontestasi apa yang tengah berlangsung. Angkatan 2019, merupakan angkatan yang secara garis besar menjadi pemilih pemula dalam pemilu 2019. Bagi mereka, narasi-narasi pembelahan ini menjadi bahan diskusi dari bilik organisasi sampai bilik perkuliahan. Yang terjebak dalam narasi pembelahan ini adalah angkatan 98 sampai angkatan 2012, dimana jarak antara kekuasaan dengan keberadaannya tidak terlalu jauh.




Angkatan 2019 ini adalah angkatan milenials dengan kedekatan pada musik senja, secangkir kopi, seruang diskusi santuy dan menikmati media sosial untuk personal-eksistensi lewat life style-traveling dan skincare, serta lainnya. Mereka tengah menyimak kegaduhan politik yang terjadi, dan melihat bahwa kedangkalan politik lewat narasi menggelitik yang tengah dipertontonkan oleh para politisi. Angkatan 2019 adalah angkatan tanpa beban "penuhan perut", tapi pada angkatan ini adanya beban sebagai guardian of value terhadap keberlangsungan kehidupan politik. Ditengah-tengah ke-enceran angkatan 2019 dalam mengakses informasi, kedangkalan-kedangkalan politik ini terus berlangsung.

Haruskah angkatan 2019 diam?


Dengan kondisi yang sedemikian rupanya, mereka dengan mudah mengakumulasi kedangkalan-kedangkalan yang sedang terjadi menjadi sebuah gerakan moral bersama untuk mengkritisi kehidupan politik bernegara. Lewat media sosial mereka berhimpun untuk memanggil segala lapisan untuk turun kejalan dan menyuarakan narasi demokrasi dikorupsi dan tuntaskan reformasi. Mereka bertransformasi dari problematika status masyarakat menjadi upaya memperbaiki segi-segi hubungan simbolik antar masyarakat yang berkeadilan, lewat tujuh tuntutannya. Jelas ini semakin massif ketika dipicu oleh revisi UU KPK yang tidak transparandan tergesa-gesa. Mosi tidak percaya itu lantas dikumandangkan angkatan 2019 lewat aksi massa nya. 


Dengan demikian kita tidak melihat mereka sebagai gerakan fans dari siapa-siapa. Turunnya kejalan angkatan 2019 pada akhirnya dapat dimaknai sebagai kejenuhan terhadap kedangkalan politik yang tengah berlangsung saat ini. Pada titik inilah negara harus mengevaluasi arah dan tujuannya, sampai kapan kedangkalan politik saat ini akan kehilangan kedalaman tujuannya? Apa dan bagaimana konsep politik bernegara yang ditawarkan negara sebagai solusi dari kedangkalan politik ini?


Saat ini, tengah berlangsung masa pergantian pemerintahan yang baru dan rekonsiliasi politik pasca pemilu, sehingga menjadi waktu yang tepat pula untuk terjadinya musyawarah dan mufakat untuk mempertegas aras demokratisasi bangsa. Tentunya dengan political will yang berkeadilan dan narasi yang substansial. Diantaranya dapat dilakukan dengan penguatan legitimasi demokrasi dan identitas politik bangsa melalui keterbukaan dialog yang demokratis, sehingga dapat mengiklusi aspirasi dan mendeliberasikan kepentingan dari masyarakat kita yang majemuk ke dalam narasi politik yang berkeadilan lewat kebijakan. Selain itu, upaya-upaya menghentikan kedangkalan politik yang tengah berlangsung ini dapat direalisasikan dengan duduk bersamanya para petinggi partai politik, tentunya dengan niat dan tujuan yang baik-lagi berkeadilan untuk kepentingan negara dan bangsa kedepannya. Seburuk-buruknya partai politik, kita meyakini bahwa tidak ada satupun partai politik saat ini, apalagi pemimpinnya mau meninggalkan catatan sejarah kelam disebut sebagai perusak demokrasi bangsa. Sesat di ujung, kembali kepangkal, yaitu dengan kembali merujuk pada visi-misi dan nilai dasar perjuangan ideologi yang terdapat di AD/ART partai politiknya. 


Kemudian, negara sepatutnya tidak perlu takut untuk kehilangan kewibaannya dalam menghadapi persoalan ini, ketimbang menghadapinya dengan pendekatan klasik kekuasaan dan kekuatan represif yang mengancam para pengkritiknya, angkatan 2019. Tentunya, jika pendekatan klasik ini terus dilakukan akan berpotensi untuk melahirkan negara leviathan atau membuat kita dalam arus balik demokrasi yang traumatis. 


Saat ini, angkatan 2019 membutuhkan ketegasan sikap dari negara, terutama Presiden Jokowi dalam komitmennya mempertahankan demokrasi. Hal ini tentu harus dibuktikan lewat pengambilan keputusan dan sikap yang demokratis dan berani melawan oligarki politik disekitarnya. Dengan demikian, kedangkalan politik yang tengah kehilangan tujuan ini tidak berlarut-larut dan dapat segera mengatasi persoalan yang tengah menumpuk. Dengan begitu, tentunya tidak memperpanjang arus perlawanan dari angkatan 2019 ini kedepannya, karena mereka sadar bahwa estafet negara akan terus beregenerasi. Dan masa tanpa oposisi yang tengah berlangsung saat ini, adalah masanya angkatan 2019 memilih mengambil peran tersebut.