Selasa, 09 September 2014

Konsepsi Kewarganegaraan Chatal Mouffe



Chantal Mouffe, di dalam bukunya The Democratic Paradox menuliskan sebuah pernyataan, bahwa kewarganegaraan bukan Cuma ‘satu identitas di antara banyak identitas’ (tradisi liberal) dan bukan juga ‘satu identitas yang dominan yang menekankan semua identitas lainya’ ( tradisi civic republik). Untuk memahami Mouffe maka kita harus mengenal dulu apa yang dimaksud dengan kewarganegraan liberal dan kewarganegaraan republican.




Tradisi Liberal : Kewarganegaraan Sebagai Salah Satu Identitas di Antara Banyak Identitas ( Bebas dari)

Tradisi ini muncul pada abad 17 serta berkembang kuat pada abad 19 dan 20 dari ideologi induvidualisme yang menekankan pada kebebesan indivisu, terutama kebebasan dari campur tangan negara dan masyarakat. Teori dalam tradisi liberal ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Perspektif ini bercirikan penekanan pada individu dan berbasis pada hak. Pemikir kewarganegaraan liberal ini merujuk pada  TH Marshall dalam bukunya Citizenship and Sosial Class ( 1950 ) menyatakan citizenship sebagai “a status bestowed on those who are full members of a community ( including civil, political, social rights”.  

Selain itu dalam Nuri Suseno, Charles Tilly menyatakan bahwa identitas dapat merujuk pada sebuah kategori, ikatan, peran atau sebuah identitas. Menurutnya, Sebagai identitas, kewarganegaraan merujuk pada pengalaman dan representasi publik dari kategori, ikatan atau peranan. Dengan demikian menurut Tilly, cara pandang klasik dari Marshall tentang kewarganegaraan mengidentifikasikan kewarganegaraan sebagai sebuah seperangkat hak-hak, semacam ikatan khusus dengan kewajiban untuk melaksanakannya, yang mengkaitkan kata kewarganegaraan sebuah negara dengan keseluruhan kategori orang-orang.[1] Inilah kenapa bagi para tradisi liberal, kewarganegaraan Sebagai Salah Satu Identitas di Antara Banyak Identitas

Tradisi Republikan : satu identitas yang dominan yang menekankan semua identitas lainya ( Bebas untuk )

Tradisi republican atau republik sipil sama tujuanya dengan sejarah perpolitikan itu sendiri. Secara umum, sumber-sumber tradisi kewarganegaraan republik sipil, bisa dibagi kedalam tiga priode. Tadisi kewarganegaraan yang bersumber dari (1) masa yunani dengan tokok pemikiranya – dan sekaligus praktisi politik—seperti Aristoteles (yunani kuno) (2) Tokoh romawi , dengan tokoh-tokohnya Cicero dan Marchiavelli (Romawi), (3) Teori awal negara moderen dengan J.J Rousseau sebagai tokok pemikirnya. Beberapa teoritisi kontemporer seperti David Miller, Derek Heater merupakan pendukung utama tradisi republikan sipil ini. Meskipun para tokok tersebut hidup pada era yang berbeda, sejumlah persamaan dapat ditafsirkan pada gagasan-gagasan atau dan pemikiran-pemikiran mereka  tentang kewarganegaraan. Persamaan pemikiran atau gagasan di antara tokoh tersebut merupakan benang merah dalam melihat apa dan bagaimna tradisi kewarganegaraan republik sipil.[2]

Teori ini berpendapat bahwa masyarakat sebagai komunitas politik adalah pusat kehidupan politik. Kewargenegaraan republican menekankan pada ikatan-ikatan sipil  (civic  bonds) suatu  hal  yang  berbeda dengan ikatan-ikatan individual (tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian). Sementara itu, kewarganegaraan liberal lebih menekankan pada hak (right), sedangkan kewarganegaraan republican menekankan pada kewajiban (duty) warganegara.



Pemikiran Chantal Mouffe

Pemikiran  Chantal Mouffe berangkat dari bahwa dimensi politikal di dalam demokrasi tidak bisa direduksi dalam bentuk apa pun, termasuk rasionalitas. Seandainya tetap direduksi pun dimensi politikal tersebut tidak serta merta hilang, tetapi bergeser ke dalam domain lain seperti etika, ekonomi, dan agama. Oleh sebab itulah upaya untuk terus merawat dimensi politikal dalam demokrasi menjadi penting. Demokrasi adalah jalan satu-satunya supaya hasrat politikal, yakni pertarungan antara kawan dan lawan, dapat disalurkan secara lebih civil dan beradab. Pada level konseptual pluralisme harus dilihat sebagai fondasi konstitutif bagi demokrasi modern. Oleh karena itu pluralisme penting untuk dikembangkan. Tetapi, penting untuk ditegaskan bahwa model pluralisme ekstrim dan liberal pluralisme justru bisa menjadi potensi  yang melemahkan pluralisme itu sendiri. Pluralisme ekstrim menitik beratkan pada kebebasan yang tanpa batas dan mengabaikan bentuk subordinasi yang terjadi di dalamnya. Begitu pula liberal pluralisme, menghilangkan dimensi konflik dalam pengelolaan pluralisme.

Ditarik dari garis penjelasan sebelumnya, kita dapat mengatakan bahwa pluralisme seharusnya adalah pluralisme yang di dalamnya mengandung berbagai kepentingan yang dapat didorong untuk membentuk suatu perjuangan hegemoni relasi kekuasaan bersifat subordinasi atau represif. Sebagaikonsekuensinya pluralisme harus memiliki dimensi antagonis sehingga bersifat politik. Di sinilah ditemukan tapal batas antara pluralisme liberal, pluralisme ekstrim dengan pluralisme agonistik. Tapal batas ini merupakan cerminan ontologis dalam memandang politik khusunya demokrasi. Cerminan ontologis yang dimaksud adalah proses mendasar terbentuknya masyrakat. Ontologi agonistik menekankan padarelasi kepolitikan (political) dari berbagai identitas dalam masyarakat. Political merujuk pada dimensi antagonisme yang mana bersifat konstitutifterhadap relasi dalam masyarakat. Antagonisme menunjukkan betapa beragamnya identitas dalam ruang politik. Sehingga menjadi kondisi yang niscaya bagi kita untuk menjelaskan pluralisme dalam konteks ini. Dengan kata lain pluralism harus dijelaskan dalam kaitannya dengan berbagai identitas.[3]

 Kritik dari mouffe dalam buku demokrasi radikal ( terj. Boni Hargens : 2006 ) terhadap kewarganegaran liberal maupun kewarganegaraan republican adalah diawali dari konsepsi Carl Schmitt dalam The Concept of the Political, bahwa demokrasi memerlukan homogenitas dan bila perlu menolak heterogenitas. Homogenitas, bagi Schmitt merupakan syarat terlaksananya demokrasi, karena tanpa homogenitas demokrasi tidak mungkin ada. Pada konsep ini Mouffe bersepakat dengan Schmitt, yang melihat demokrasi secara substansial, yang menempatkan setiap warganegara pada posisi yang sama dan setara untuk mengambil peran yang substansi.

Schmitt memang meletakan persamaan dalam demokrasi sebagai persamaan substansial (substantive equality) yang berbeda dengan persamaan dalam politik dan persamaan universal dalam arti kemanusiaan yang dianut paham liberalisme. Namun kritik Schmitt terhadap demokrasi liberal adalah pada keinginannya mengupayakan terjadi persamaan universal dalam politik “kewarganegaraan”. Menurutnya yang termasuk warganegara adalah mereka yang dikategorikan sebagai “the demos”, di luar itu bukan warganegara sehingga tidak diperlakukan setara dan ditolak kehadirannya di dalam ruang politik demokrasi. [4]

Kritik kewarganegaraan liberal dan republic berangkat dari pendapat mouffe bahwa demokrasi adalah bukan sebagai hubungan permusuhan (enemy), bukan juga sebagai perlawanan (adversary) melainkan relasi kesahajaan, sebagai relasi “kami” dan “kita”. yakni lawan bukan musuh yang perlu dihancurkan melainkan sebagai “lawan bersahaja” (friendly enemy) yang keberadaan atau eksistensinya harus diakui dan dijaga guna kelangsungan relasi demokrasi. Mouffe memang lebih menekankan partisipasi politik dibanding “consensus” demokrasi dalam liberalis atau “dominasi” dalam Civic Republican, alasan yang dikedepankan bahwa aspek-aspek partikularistik dari realitas social niscaya diabaikan.[5] Mouffe dalam melihat negara multinasional menyatakan bahwa dalam konsekuensi kesetian bernegara adalah titik kesadaran untuk menumbuhkan rasa keadilan dan persamaan, bahkan kebersamaan bagi setiap warganegara baik secara individu maupun secara bagian dari kelompok warganegara. Bagi negara yang pluralis, yang biasanya tidak konsisten menegakan rasa kesetaraan dan keadilan, pemetaan aku dan bukan aku atau “kami” dan “kamu” dalam konsep Mouffe akan menjadi daya lekat atas dinamika dan intergratif keragaman sehingga bisa menumbuhkan rasa “menyatu” dalam membangun negara-bangsa (nation state). [6]

Pernyataan Mouffe di atas adalah Warganegara yang minoritas bukan sesuatu yang harus dinegasikan dan dihegemoni, tetapi merupakan entitas kelompok bangsa dari bagian proses pembangunan politik nasional. Sehingga tingkat partisipasi politik yang dikedepankan mempunyai implikasi dari rasa kebersamaan dan kedirian atas segala interelasi politik kekuasaan yang diberlakukan oleh negara. Kemudian berdasar rasa kesamaan dan keadilan yang diperoleh oleh setiap individu dan kelompok warganegara negara bangsa maka persoalan kesetiaan (allegiance) akan tumbuh sebagai kepemilikan bersama atau negara menjadi ruang bersama (common space) dengan tujuan akhir adalah membangun kebaikan umum, bonum commune. Dan kaitan dengan konsepsi demokratisasi, tentang perbedaaan (multikulturalisme) yang ada dalam negara bangsa atau pada multi nasional diletakan sebagai antagonistik sebagai persaingan damai antara friend dan friend enemy. Segenap individu sebagai warganegara terikat dari rasa untuk tetap “ada” bersama sebagai satu negara-bangsa. Rasa “ada” bersama ini yang oleh Duverger diposisikan sebagai “ikatan psikologis” yan membangun “citra” kolektif dari rasa persaudaraan.[7]

Menurut Mouffe, identitas tidaklah tetap ini dilandasi oleh konsep demokrasi yang bukan harga mati. Demokrasi sebagaimana identitas bagi laclau-mouffe dipandang sebagai floating signifier artinya demokrasi dan identitas mengandung ambiguitas radikal didalamnya dan bersifat terbuka, dimana ambiguitas radikal memandang bahwa demokrasi maupun identitas bukan konsep pasti tetapi konsep yang dibentuk oleh konteks tertentu dan bersifat terbuka dimaksudkan pada menerima segala pemaknaan dan reartikulasi. Sederhannanya, dalam demokrasi dan identitas menerima nilai-nilai plural, demokrasi bukan konsep universal, melainkan dibentuk oleh nilai-nilai lokal dan particular.

Maka dari itu Mouffe menolak bila kewarganegaraan cuma ‘satu identitas di antara banyak identitas’  atau  ‘satu identitas yang dominan yang menekankan semua identitas lainya. Untuk mengetahui kenapa Mouffe menolak maka berikut penjelasan kewarganegaraan liberal dan kewarganegaraan republican. Sehingga, menurut Mouffe dengan demokrasi yang ada, maka tidak ada identitas yang absolut dan final ( the unfixed of all identities).[8] Diskursivitas berproses tanpa henti. karena negara yang berdemokrasi, warganegara  sebagai floating signifier tidak bersifat mutlak dan final. Demokrasi selalu membuka untuk identifikasi baru.[9]

Mengacu pada pendapat Mouffe ini, saya melihat bahwa bisa saja demokrasi kemudian melahirkan ketidak jelasn identitas kewarganegaraan atau malah kemudian kewarganegaraan menjadi kabur. Karena setia warganegaranya merasa bahwa dengan demokrasi, kewarganegaraanntya tidak absolute dan ini dapat memicu warganegara bergerak tanpa batas.


Kewarganegaraan Mouffe dalam Konteks ke kinian

Menurut saya, Kewarganegaraan yang tidak absolute Mouffe karena demokrasi bukan sebagai hubungan permusuhan (enemy), bukan juga sebagai perlawanan (adversary) melainkan relasi kesahajaan, sebagai relasi “kami” dan “kita”. yakni lawan bukan musuh yang perlu dihancurkan melainkan sebagai “lawan bersahaja” (friendly enemy) yang keberadaan atau eksistensinya harus diakui dan dijaga guna kelangsungan relasi demokrasi. Mouffe memang lebih menekankan partisipasi politik dalam warganegaranya. Dengan demikian demokrasi yang dituju Mouffe adalah demokrasi deliberative.[10]

Pada konteks kekinian, persoalan kewarganegaraan Mouffe dapat merujuk pada penguatan identitas siapa kita dan siapa kami. Contoh persoalannya dapat merujuk pada national minority group seperti Quebec, Catalan, Palestine, Kurds. Kehadiran mereka bukan sebagai perlawaan atau hubungan permusuahan sejatinya tetapi melainkan hubungan kesahajaan yang ada dalam negara. Sayangnnya, praktik dari demokrasi radikal dari Mouffe belum dapat menjawab karena kecendrungan kami dan kita dianggap menjadi jembatan pemisiah akiat dari kesenjangan sosial, kemiskinan dan ketidak adilan. Saya pikir negara modern saat inipun sulit untuk menekankan kewarganegraan pada partisipasi politik warganegaranya, karena akbat dari globalisasi kehadiran kelompok-kelompok hedonitas dan apatisme tidak dapat dihindarkan, dan kecendrungan partisipasi sosial lebih menjadi utama atau malah indiviudalisme semakin marak dengan siapa kita dan siapa kami bisa menjadi siapa loe siapa gue.

Bagi saya, sulit menangkap apa yang dimaksud Mouffe sendiri, tetapi jika ini ditarik kepada negara mulitkultural, saya sepakat bahwa toleransi atau dikatakan Mouffe sebagai friendly enemy bisa menjadi acuan dalam perbedaan-perbedaan identitas untuk menjadi satu kewarganegaraan.

Sumber Bacaan

Boni Hargens, 2006, Demokrasi Radikal : Memahami Paradox Demokrasi Modern Dalam Perspektif Postmarxis-Ostmodernis Ernesto Laclau Dan Chantal Moufee. Lkis : Yogyakarta
Chantal Mouffe, 2000, The Democratic Paradox, Verso Landon : New York
Nuri Suseno, Kewarganegaraan : Tafsir, Tradisi, Dan Isu-Isu Kontemporer. Depok : Departemen Ilmu Politik Fisip Ui, 2010

[1] Dalam Nuri Suseno, Kewarganegaraan : Tafsir, Tradisi, Dan Isu-Isu Kontemporer. Depok : Departemen Ilmu Politik Fisip Ui, 2010 hal. 86
[2] ibid.  hal.52
[3] Chantal Mouffe, 2000, The Democratic Paradox, Verso Landon : New York  hal 80
[4] Boni hargens, 2006, demokrasi radikal : memahami paradox demokrasi modern dalam perspektif postmarxis ostmodernis ernesto laclau dan chantal moufee. LKis : Yogyakarta hal. 36-45
[5] ibid
[6] ibid
[7] ibid hal 42
[8] Chantal Mouffe, op.cit. hal 36
[9] Boni Hargens op.cit hal. 68
[10] Chatal Mouffe. op. cit. 129



Will Kymlicka : Negara Bangsa dan Identitas yang Multikultural



Dalam buku Politics In The Vernacular : Nationalism, Multiculturalism and Citizenship ( 2001), Kymlicka mengkritisi ilmuan politik yang memandang eksistensi negara dan kebangsaan sebagai sifat ilmiah.[1] Bagi Kymlicka, negara kebangsaan tidaklah bersifat ilmiah, menurutnya negara kebangsaan lahir akibat dari gerakan-gerakan berbasis kelompok budaya. Seperti gerakan subnasional yang dilandasi ikatan kebudayaan dalam membangun negara kebangsaan. Menurutnya banyak contoh gerakan sosial dan politik yang merupakan ekspresi dari keanekaragaman identitas dan budaya di dalam negara seperti tuntutan pemisahan etnis, agama yang mendasari terbentuknya negara bangsa modern.[2] Sehingga Kymlicka didasari oleh pemikiran tersebut merujuk bahwa negara modern saat ini bersifat multikultural, sehingga tidak cocok lagi menggunakan kerangka ideal lama bahwa negara bangsa merupakan negara yang homogen yang bersifat alamiah, melainkan negara yang heterogen, multikultural yang terbentuk dari gerakan-gerakan subnasional, identitas dan budaya.
            Seperti halnya Indonesia sebagai negara bangsa, terbentuk dari gerakan-gerakan subnasional, identitas dan budaya yang dilandasi oleh kolonialisme dan kekalahan Jepang pada perang dunia 2, ini mempertegas pernyataan kymlicka bahwa terbentuknya negara bangsa tidaklah ilmiah. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah pluralitas dan heterogenitas serta nasionalisme ganda dimana ada identitas etnis dan sipil yang secara bersamaan melekat pada warganegara Indonesia, contohnya, etnis batak, minang, jawa, china, melayu, India, Arab dsb (etnis minoritas maupun mayoritas)   yang tersebar dari sabang sampai merauke yang merupakan sipil (warganegara) Indonesia ( misalnya : Saya Minang, dan Saya Indonesia). Dengan demikian Indonesia menjadi negara bangsa modern dimana multi nasional, multi etnis dan heterogen terhadap budaya dan juga agama.
            Inilah kenapa Kymlicka tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa semua penduduk di dalam sebuah negara harus memiliki identitas yang sama yang melekat pada setiap warganegara karna setiap individu membawa identitas etnis, agama, ataupun kelompoknya( ini merujuk pada kehadiran identitas baru dari kemajemukan yang disadari Kymlicka seperti gay/lesbian, kelompok difabel dsb) melainkan sebagai sebuah identitas yang otonom individu yang berbeda-beda sekaligus memiliki identitas sipil sebagai nasionalisme terhadap negara bangsanya. Atau jika kita mengacu pada pernyataan Mouffe bahwa tidak adanya identitas yang absolut dan final ( the unfixed of all identities).[3] Diskursivitas tentang identitas selalu berproses tanpa henti makanya banyak identitas baru yang akan muncul secara terbuka. Jika Mouffe menolak bila kewarganegaraan cuma ‘satu identitas di antara banyak identitas’  atau  ‘satu identitas yang dominan yang menekankan semua identitas lainnya, maka Kymlicka menekankan pada multikultural warganegara dalam negara bangsa yang ingin diakui atas perbedaan bukan persamaan untuk perbedaan tersebut.

Kymlicka : Negara Bangsa Adalah Kewarganegaraan Multikultural (Tantangan dan Peluang)
            Kymclika menekankan bahwa dengan heterogenitas agama dan budaya, multi nasional, multi etnis yang menjadi dasar lahirnya negara bangsa haruslah tidak tinggi dari nasionalisme sipil, karena kelompok etnis dari sub-nasional yang memiliki wilayah teritori dapat melahirkan konflik untuk memperoleh kontrol atas satu wilayah tertentu atau seluruh negara. Artinya nasionalisme sipil dan nasionalisme etnis dapat semakin liberal atau berkurang liberal, sehingga perbedaan ini tidaklah sederhana. Seperti lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua Merdeka, bagi Kymlicka, identitas etnis yang lebih besar dari identitas sipil tidaklah boleh dalam negara bangsa. Inilah kenapa Kymlicka mengatakan bahwa negara bangsa modern yang multikultural dapat menjadi pisau bermata dua, artinya pluralitas, heterogenitas negara bangsa dapat sebagai nation building sekaligus nation destroying[4], dimana disatu sisi terbentuknya negara bangsa Indonesia ini sebagai sebuah gerakan subnasional untuk mewujudkan imagined community  tetapi juga dapat menghapus rasa kebangsaan akibat dari tidak terpenuhinya hak dari minoritas pada teritori tertentu akibat dari kesenjangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan.
            Tetapi apabila kontradiksi atas identitas etnis dan sipil menjadi konflik yang kemudian melahirkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang terus menerus mengupayakan keinginan untuk adanya nasionalisme minoritas maka Kymlicka menawarkan agar negara multi nasional dapat melepaskan sub nasional dengan pemisahan dan penarikan batas-batas negara yang baru meski kemudian berdampak pada banyaknya bangsa tidak negara. Dan cara keduanya adalah dengan memberikan kekuasaan pada kelompok yang paling besar untuk menggunakan nasionalisme negara untuk menhancurkan nasionalisme minoritas yang akan berdampat atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang memperpanjang pelanggaran HAM.
            Bagi kymlicka, Ia tidak menghendaki minoritas nasionalis untuk meninggalkan identitas nasional mereka dan berintegrasi ke negara nasional, tetapi Ia juga tidak melihat kemungkinan untuk memberikan semua minoritas nasional negara sendiri. Baginya, tidak realistis untuk memenuhi tuntutan pemisahan yang diajukan oleh semua nasionalisme minoritas.[5] Identitas nasional tetap menjadi penting dan ada untungnya bagi negara untuk menciptakan unit politik dalam negara nasional dimana kelompok minoritas bangsa Indonesia seperi GAM, OPM dapat menjalankan pemerintahan sendiri dengan unit politik yang tidak harus negara. Untuk itu kenapa kemudian Indonesia memberlakukan daeah otonomi khusus pada Aceh maupun Papua. dengan demikian, kelompok minoritas budaya pada teritori tertentu ini tetap menjadi nasionalisme minoritas dalam nasionalisme negara yang lebih besar.
            Tidak saja persoalan heterogenitas budaya yang melahirkan  identitas etnis dan identitas sipil, Indonesia juga dihadapkan dengan heterogenitas ajaran agama. Meskipun ajaran agama yang diakui meliputi Islam, Khatolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu, ada kelompok minoritas yang memeluk ajaran agama yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan negara yang kemudian harus disingkirkan oleh pemeluk ajaran agama tertentu. Seperti yang dialami oleh kelompok minoritas pemeluk ajaran agama Syiah di Madura yang dilanggar hak universalnya sebagai individu yang otonom yang memiliki identitas agama dan sekaligus identitas sipil. Padahal jika merujuk pada pemikiran-pemikir aliran Marxisme, bahwa perbedaan yang melahirkan konflik dapat dikelola bukan dimusnahkan. Apalagi terkait ajaran agama yang merupakan cara individu untuk berhubungan dengan tuhannya merupakan hak otonom dari individu tersebut.
            Terkait dengan persoalan yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas seperti di Indonesia ini, didasari oleh pertanyaan moral Kymlicka “ apakah kebijakan pembangunan bangsa masih diterima meskipun melibatkan penghacuran terhadap minoritas?” Maka dilandasi atas perhatian khususnya terhadap kelompok minoritas mengatakan bahwa hak asasi manusia tradisional yang ada, yang merupakan basis hak-hak kewarganegaraan liberal, haruslah dilengkapi hak-hak kelompok minoritas. Artinya, seorang warganegara selain merupakan individu yang otonom, juga merupakan bagian dari kelompoknya.
            Mengacu pada Kymlicka, maka solusinya adalah negara berperan dalam memenuhi hak universal pada setiap individu baik mayoritas maupun minoritas artinya negara bangsa seperti Indonesia yang bersifat multikultural ada dua hak yang harus diperoleh penduduk negara bangsa tersebut, yakni hak asasi universal pada setiap individu yang tidak membedakan kelompok budaya manapun individu tersebut berasal, dan hak asasi universal yang harus dilengkapi oleh hak-hak kelompok yang berbeda atau status khusus untuk budaya-budaya minoritas. Artinya, kelompok-kelompok minoritas seperti syiah ini, Ia hadir sebagai warganegara sipil yang diberikan hak universal seperti warganegara Indonesia lainnya serta harusnya juga dengan pemberian hak universal oleh kelompok ajaran agama lainnya yang menjadi pemeluk ajaran agama mayoritas artinya pengakuan terhadap kehadirannya, hak otonomnya pada kelompoknya. Dan jika mengacu pada kebijakan negara, maka pada  konstitusipun, Indonesia sudah menjamin kebebasan warganegaranya dalam memeluk kepercayaannya masing-masing. Artinya, ketika persoalan ini muncul dan kemudian melahirkan pelanggaran HAM sekaligus pelanggaran terhadap konstitusi maka negara tidak kuat dalam memenuhi hak universalitas warganegaranya.
            Selain itu jika mengacu pada kebijakan pembangunan kebangsaan sebagai landasan maka Kymlicka menawarkan kebijakan-kebijakan relokasi dan migrasi penduduk, manipulasi batas-batas wilayah atau kekuasaan unit-unit subnasional, kebijakan resmi dan sebagainya. Artinya Indonesia, jika memandang konflik identitas sebagai sebuah pembangunan politik yang demokratis tidak harus dengan pelanggaran HAM dan penghancuran minoritas harus membuat kebijakan relokasi terhadap kelompok minoritas dan migrasi penduduk atau dengan manipulasi batas-batas wilayah dan kekuasaan kelompok ajaran agama lainnnya. Namun ini tidaklah mudah, kita akan dihadapi pada pertanyaan moral berikutnya “apakah karena mereka minoritas lalu mereka harus di relokasi dari tanah kelahirannya?”. Bagi saya jelas ini jauh dari keadilan sebagai bangsa yang multikultural. Semestinya, keberagaman yang di atur dalam konstitusi dan semboyan kebangsaan “ Bhineka Tunggal Ika” adalah dasar untuk berkewarganegaraan multikultural di Indonesia yang menjunjung pengakuan atas perbedaan bukan persamaan dari perbedaan yang ada.
            Keberagaman yang terjadi ini harus dijadikan common space antar warganegara, kelompok minoritas maupun mayoritas atas identitas etnis, ajaran agama, budaya, politik dan status sosial lainnya untuk menjadikan satu kepentingan yang lebih tinggi yakni identitas negara bangsa yang terintegrasikan dalam diri untuk menjadi Indonesia. Artinya, sesuai dengan moralitas Kymlicka maka kebijakan yang harus mengelola perbedaan-perbedaan untuk menciptakan “setara” dan “adil” sosial antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam suatu masyarakat atau Negara.[6]

Negara Multikultural : Pengakuan atas perbedaan
            Dari bahasan ini, maka dapat dipahami bahwa kewarganegaraan dalam negara bangsa bukanlah satu identitas yang dominan seperti yang dikatakan oleh kelompok teoritis kewarganegaraan republican sekaligus bukanlah satu-satunya identitas diantara banyak identitas seperti yang dikemukakan liberian, melainkan identitas ganda dimana setiap warganegara akibat dari  pluralitas dan heterogenitasnya memiliki identitas yang terdiri dari identitas etnis dan sekaligus identitas sipil yangmana secara bersamaan melekat pada warganegara pada negara kebangsaan. Artinya, sebagai sebuah identitas yang otonom individu yang berbeda-beda sekaligus memiliki identitas sipil sebagai nasionalisme terhadap negara bangsanya.
            Selain itu dalam negara bangsa yang multikultural, identitaspun harus diberikan pada kelompok minoritas sebagai suatu identitas pengakuan terhadap hak universal mereka sebagai warganegara termasuk pada kehadiran identitas baru atas dasar gerakan sosial dan politik maupun ideologi dan budaya serta globalisasi ataupun tradisional. Kehadiran minoritas harus mendapat pengakuan atas perbedaannya terhadap mayoritas, bukan persamaan atas perbedaan yang kemudian harus menjadi seperti mayoritas.
            Menjadi perhatian khusus adalah, dalam negara bangsa yang multikultural perlu ditekankan bahwa identitas sipil yang diperoleh baik karena minoritas maupun mayoritas sebaiknya dalam menyokong pembangunan sebuah negara bangsa harusnya tidak lebih dari identitas nasional. Dengan demikian, negara bangsa tetap menjadi satu kesatuan atas perbedaan-perbedaan bukan kesamaan kesatuan.
           
Sumber referensi :
1.       Nuri Suseno, 2013. Kewarganegaraan, Tafsir Tradisi dan Isu-isu Kontemporer. Departemen Ilmu Politik : FISIP UI
2.      Boni Hargens, 2006, Demokrasi Radikal : Memahami Paradox Demokrasi Modern Dalam Perspektif Postmarxis-Ostmodernis Ernesto Laclau Dan Chantal Moufee. LKiS : Yogyakarta.



[1] Soal ke dua dari Ujian Akhir Semester 2 Mata Kuliah Nasionalisme dan Kewarganegaraan poin pertama.
[2] Dalam Nuri Suseso, Kewarganegaraan : Tafsir, Tradisi dan Isu Kontemporer, Dep. Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013 hal. 30
[3] Boni hargens, 2006, demokrasi radikal : memahami paradox demokrasi modern dalam perspektif postmarxis-ostmodernis ernesto laclau dan chantal moufee. LKis : Yogyakarta hal 42

[4] Nuri Suseno, Op.cit. hal.116
[5] ibid 117
[6] Will Kymlicka, Politics In The Vernacular : Nationalism, Multiculturalism and Citizenship. 2001 hal. 232

Menembus Wacana Baru abad 20 " Nasionalisme dan Kewarganegaraan"



“ Tradisi Kewarganegaraan”

            Tradisi kewarganegaraan berkembang sesuai dengan tradisi repulik yunani kuno. Pasca perang dunia kedua, tradisi kewarganegaraan terdiri dari berbagai penekanan namun, tradisi kewarganegaraan ini dalam prakteknya tidak berdemensi satu, tidak homogenous, unitary ataupun universal. Artinya, kewarganegaraan prakteknya cendrung bervariasi dan bisa saja berbeda antar organisasi masyarakat. berbagai penekanan menjelaskan kewarganegaraan dilakukan, tapi garis besarnya penekanan dalam kewarganegaraan bisa dikategorikan atas kewarganegaraan liberal dan kewarganegaraan republic. Penekanan ini, berupaya menjelaskan bagaimana perkembangan tradisi kewarganegaranaan dalam menjelaskan posisi masyarakat dalam bernegara, bagaimana individu dalam dipenuhi dan memenuhi haknya dalam bernegara.
            Dalam perkembangan tradisi kewarganegaraan, situasi politik dan sistem politik yang digunakan di suatu negara merupakan salah satu faktor yang paling berperan dalam mempengaruhi konsep kewarganegaraan seperti apa yang digunakan oleh negara tersebut. Paradigma liberal dan paradigm republic dalam menjelaskan kewarganegaraan tentunya berbeda. Namun, satu hal yang menjadi penting dari kedua sudut pandang tersebut adalah perdebatan dalam tradisi kewarganegaraan yakni keterkaitan antara hak kewarganegaraan sipil dan hak kewarganegaraan sosial baik individu maupun kelompok, dimana hak untuk menghadapi negara dan dimana hak untuk memperoleh pelayanan dari negara.
            Dengan demikian,  perkembangan tradisi kewarganegaraan ini, tentunya mengutamakan  bagaiamana negara dalam pemenuhan atas hak  bernegara individu/kelompok  tetapi juga mempertimbangkan sistem politik dan sistem pemerintahan yang dibangun negara. artinya satu dengan lainnya saling mempengaruhi meski kemudian akan melahirkan perdebatan atas kadar-kadar pemenuhan dan dipenuhinya individu/kelompok oleh negaranya.


“ Negara Nasional : Identitas Nasional, Nasionalisme dan Kewarganegraan”

            Negara nasional : identitas nasional dan nasionalisme serta kewarganegraan merupakan isu-isu yang didorong oleh pertama, posisi dan peran serta tantangan sentral negara nasional dalam ilmu politik secara akademis maupun praksis. Kedua, perlunya negara melihat dan mempertimbangkan peran-peran baru sebagai upaya respon terhadap situasi perpolitikan dua pulu tahun terakhir. Ketiga, lahirnya demokratisasi sebagai fenomena sosial-politik yang berakibat terhadap muncul dan menguatnya gerakan sosial baru dan peran serta posisi masyarakat sipil. Dan keempat, adanya justifikasi atau pembenaran yang dilakukan oleh negara-negara yang belum kelar demokratisasi untuk melansir keijkan ekonomi, politik, sosial dan keamanan.
            Tiga isu besar yang didorong oleh empat penyebab ini tidak lain karna proses-proses globalisasi dalam 20 tahun terakhir mengerogoti kedaulatan negara nasional yang kemudian memunculkan gerakan-gerakan kebangkitan nasionalisme dan gerakan-gerakan sosial baru baik sub-negara maupun supra-negara. Dimana dunia kemudian terpecah-pecah atas ribuan kelompok tribal/etnic dan ratusan nasionalitas yang tersebar di 5 benua yang dihadapkan dengan persoalan yang sama secara global.
            Hal inilah yang kemudian memuculkan bagaimana peran negara? dan efek apa yang kemudian muncul pada rakyatnya? bagaimana kewarganegaraan mereka?  Dan jika ditelisik, negara memang memiliki peran sentral dalam menjaga nasionalisme dan menyaring globalisasi jika tidak, peran negara akan menyusut dan digantikan dengan kekuatan masyarakat sipil sebagai sentral. Dari hal inilah kemudian kenapa penting melihat hubungan negara dan warganegara. Selain itu, teori dan konsep terkait kedua ini berjalan dinamis artinya sesuai dengan isu yang berkembang dimasyarakat dan sistem perpolitikan yang berlaku.

 

“ Gender dan Kewarganegaraan”

            Berangkat dari pertanyaan “ apakah ketika gagasan kewarganegaraan dilahirkan menghimpun cara berpikir, perspektif dan kepentingan perempuan? apakah gagsan kewarganegaraan ini ramah dengan perempuan? untuk menjawabnya maka Nuri Suseno dalam bab Gender dan Kewarganegaraan dalam bukunya Kewarganegraan membedahnya dari 3 asumsi dasar yang menjadi panduan yakni pertama : tradisi kewarganegaraan tidak universal dan tidak netral jender, kedua : pengeklusikan perempuan dari ruang publik dan arena perpolitikan sangat terkait dengan pemisahan pulik dan privat, ketidakadilan structural di wilayah domestic ( keluarga) dan publik (pasar kerja), dan ketiga : perlu dikembangkan kewarganegaraan politik dengan persepsi jender untuk memperbaiki kondisi kehidupan perempuan dan kelompok-kelompok masyarakat lemah serta meningkatkan kualitas kewarganegaraan sebagai sebuah bentuk kewarganegaraan yang lebih adil jender dan nyaman bagi perempuan.
            Kita tidak bisa menampikkan bahwasanya politik mainstream yang ada, dianggap oleh akademisi dan aktivis feminis, cendrung mengabaikan cara berpikir, perspektif dan kepentingan perempuan dalam gagasan-gagasannya, termasuk gagasan kewarganegaraan sendiri. Sehingga, diskursus tentang kewarganegraan yang berorientasi pada jender berkembang, dan cendrung menjadi dua konsepsi yakni, pertama Kewarganegraan Gender-Netral dimana membuka kemungkian perempuan untuk berpartisipasi sebagai rekan yang sederajad dengan laki-laki diwilayah publik. Kedua, Kewarganegaraan differentiated, dimana adanya pemberian pengakuan dan penghargaan pada peran dan tanggung jawa perempuan diwilayah privat.
    Konsepsi kewarganegraan ini memperlihatkan bahwasanya perempuan itu ingin adanya persamaan/kesetaraan dalam perlakuaan dan kesempatan tetapi juga menuntut adanya pengakuan atas perbedaan mereka. Selain itu, penerapan konsep kewarganegraan gender ini harus didukung oleh sistem politik dan pemerintahan yang demokratis. Tetapi memang konsepsi yang anti mainstream ini sulit diwujudkan apalagi seperti Indonesia dengan kultur yang tidak demokratis.