Jumat, 15 Oktober 2010

Antonio Gramsci - seorang Revolusioner Italia.

                Antonio Gramsci lahir pada tanggal 22 Januari 1891, di kota Ales, pulau Sardinia.
Enam tahun kemudian, ayahnya dicopot dari posisinya sebagai pegawai dan dijebloskan di penjara karena dituduh korupsi, sehingga Antonio bersama ibunya harus perpindah ke kota lain dan hidup mereka menjadi agak sulit. Selama masih anak, dia jatuh dan menjadi cacat, dan seumur hidup dia kurang sehat.
Sewaktu mahasiswa di Cagliari dia menemui golongan buruh dan kelompok sosialis untuk pertama kalinya. Tahun 1911 dia mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Turino. Kebetulan sekali Palmiro Togliatti, yang kelak menjadi Sekertaris Jendral Partai Komunis Italia (PCI), mendapatkan beasiswa yang sama. Di Universitas tersebut Gramsci juga berkenalan dengan Angelo Tasca dan sejumlah mahasiswa lainnya yang kemudian berperan besar dalam gerakan sosialis dan komunis di Italia.
        Pada tahun 1915 Gramsci mulai bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan. Komentar-komentarnya di koran "Avanti" dibaca oleh masyarakat luas dan sangat berpengaruh. Dia sering tampil berbicara di lingkar-lingkar studi para buruh dengan topik yang beraneka-ragam seperti sastra Perancis, sejarah revolusioner dan karya Karl Marx. Dalam Perang Dunia I, Gramsci tidak seteguh Lenin atau Trotsky dalam melawan perang tersebut, namun pada hakekatnya orientasinya adalah untuk mebelokkan sentimen rakyat ke arah revolusioner.
           Aktivis dan intelektual muda ini sangat terkesan oleh Revolusi Rusia tahun 1917. Seuasai Perang Dunia Gramsci ikut mendirikan koran mingguan "Ordine Nuovo" yang memainkan peranan luar biasa dalam perjuangan kelas buruh di kota Torino. Saat itu kaum buruh sedang berjuang secara sangat militan serta membangun dewan-dewan demokratis di pabrik-pabrik. Gramsci beranggapan bahwa dewan-dewan itu memiliki potensi untuk menjada lembaga revolusioner semacam "soviet-soviet" di Rusia.
Sehubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan buruh, Gramsci memihak minoritas komunis dalam PSI. Partai Komunis yang muncul waktu itu merupakan pecahan dari PSI, dan Gramsci menjadi anggota Komite Pusat partai tersebut. Selama 18 bulan (tahun 1922-23) dia merantau di Moskow. Tahun 1924 dia terpilih menjadi anggota parlemen.
            Pada tanggal 8 Nopember 1926 Gramsci tertangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah fasis Mussolini. Jaksa menegaskan bahwa: "Kita harus menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun." Sejak saat itu selama 10 tahun dia meringkuk di penjara, dengan sangat menderita karena keadaan fisiknya yang kurang sehat. Namun bertentangan dengan harapan si jaksa fasis itu, masa sulit ini akan menjadi kesempatan untuk Gramsci menulis karya Marxis tentang masalah-masalah politik, sejarah dan filsafat yang luar biasa berbobot, dan yang terbit setelah Perang Dunia II dengan judul "Buku-buku Catatan dari Penjara" (Prison Notebooks).
            Sayangnya, rumusan-rumusan dalam buku ini terkadang sulit ditafsirkan, karena Gramsci harus memakai bahasa yang tidak langsung, bahkan memakai kata-kata sandi yang dapat diartikan secara berbeda-beda. Oleh karena itu, buku tersebut pernah diinterpretasikan sebagai karya non-Leninis bahkan anti-Leninis. Pemikiran Gramsci didistorsikan oleh kepemimpinan stalinis dari Partai Komunis untuk membenarkan strategi parlementer mereka, dengan argumentasi bahwa Gramsci mempunyai sebuah strategi yang beranjak dari sudut pandangan kelas buruh dan diktatur proletariat menuju suatu orientasi lebih "kaya" dan lebih "luas". Kemudian argumentasi yang sama digunakan bermacam-macam partai dan kelompok reformis di seluruh dunia, yang suka mempertentangkan Gramsci dengan Lenin. Argumentasi ini adalah salah.
*****
               Sudah pada tahun 1918 Gramsci menggambarkan para politisi reformis sebagai "sekawan lalat yang mencari semangkok poding" dan setahun kemudian menegaskan: "kami tetap yakin, negara sosialis tidak bisa terwujud dalam lembaga-lembaga aparatur negara kapitalis … negara sosialis harus merupakan suatu penciptaan baru."
            Ini sebabnya dia berpisah dengan Partai Sosialis dan ikut mendirikan Partai Komunis. Meskipun dia masuk parlemen sebagai taktik, pendapat Gramsci ini sama sekali tidak berubah seumur hidupnya.
Tulisannya terakhir sebelum masuk penjara adalah Tesis-Tesis untuk Konferensi Partai Komunis di Lyons pada tahun 1926. Di sini cukup jelas bahwa Gramsci tetap menganut jalan revolusioner, melalui pemberontakan bersenjata kaum buruh. Dia menganalisis kekalahan kelas buruh dalam perjuangan historis tahun 1919-20, dengan menyatakan bahwa kekalahan tersebut terjadi karena "kaum proletariat tidak berhasil menempatkan diri di kepala insureksi mayoritas masyarakat dalam jumlah yang besar… malah sebaliknya kelas buruh terpengaruhi oleh kelas-kelas sosial lainnya, sehingga kegiatannya terlumpuhkan." Tugas Partai Komunis adalah mengajak kaum buruh untuk "insureksi melawan negara borjuis serta perjuangan untuk diktatur proletariat".
          Sudah sejak awal, Gramsci melihat proletariat sebagai faktor kunci dalam revolusi sosialis. Itu sebabnya dia terlibat dalam dewan-dewan pabrik di Torino pada tahun 1919-20. Fokus ini marak pula dalam Tesis-Tesis Lyons. Organisasi partai "harus dibangun berdasarkan proses produksi, maka harus berdasarkan tempat kerja", karena partai harus mampu memimpin gerakan massa kelas buruh, "yang disatukan secara alamiah oleh perkembangan sistem kapitalisme sesuai dengan proses produksi." Partai itu harus juga menyambut unsur-unsur dari golongan sosial lainnya, tetapi "kita harus menolak, sebagai kontra-revolusioner, setiap konsep yang membuat partai itu menjadi sebuah 'sintesis' dari pelbagai unsur yang beraneka-ragam".
Tetapi bukankah Gramsci telah mengembangkan sebuah analisis sosial tentang masyarakat kapitalis di barat yang lebih canggih dan halus dibandingkan teori-teori Lenin? Memang begitu. Seperti Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci lebih mengerti seluk-beluk dunia politik dan perjuangan sosial di Eropa Barat, sedangkan Lenin selalu berfokus pada perkembangan-perkembangan di Rusia, sehingga kita dapat banyak belajar dari tulisan-tulisan Gramsci.
*****
        Namun kaum Stalinisis dan reformis menjungkirbalikkan hal ini pula. Mereka memusatkan perhatian pada sebuah kiasan yang dilakukan Gramsci antara strategi revolusioner dan militer.
Dalam "Buku-buku Catatan dari Penjara" dia membedakan antara dua macam perang: "perang manuver" yang melibatkan pergerakan maju atau mundur yang cepat; dan "perang posisi", sebuah perjuangan panjang di mana kedua belah pihak bergerak secara pelan-pelan, seperti di dalam parit-parit perlindungan selama Perang Dunia I. Rumusan-rumusan ini diartikan para Stalinis dan reformis sebagai berikut: pemberontakan Oktober 1917 di Rusia adalah perang manuver, yang memang diperlukan dalam kondisi-kondisi primitif di sana; tetapi kondisi-kondisi di Eropa Barat sudah lebih matang dan kompleks, sehingga diperlukan sebuah strategi "perang posisi" -- baca strategi parlementer dan perubahan gradual.
            Semua ini omong kosong. Kedua strategi itu bukan bertentangan melainkan komplementer. Di Rusia antara tahun 1905 dan 1917, kaum Bolshevik juga melakukan "perang posisi", dan pendekatan yang sama dianjurkan mereka bagi partai-partai Komunis muda pada tahun 1921, dalam bentuk "front persatuan". Atau jika kita mau mengambil contoh Indonesia, para aktivis demokrasi telah menjalankan sebuah perang posisi selama bertahun-tahun, tetapi begitu krismon meletus dan rezim Suharto mulai bergoyang, mereka harus melakukan intervensi-intervensi radikal, sampai akhirnya kaum mahasiswa menduduki gedung DPR. Dan di barat sebuah "perang posisi" juga dibutuhkan sampai terjadinya krisis revolusioner; tapi begitu krisis itu meledak, kita harus beralih ke "perang manuver".
    Rumusan-rumusan Gramsci tentang "perang posisi" bersangkutan dengan teorinya tentang mekanisme-mekanisme kekuasaan ideologis dalam masyarakat kapitalis. Kaum penguasa tidak hanya berkuasa melalui alat-alat represif (polisi, tentara, pengadilan). Sebenarnya alat-alat itu hanya bergerak dalam keadaan luar biasa, seperti kriminalitas, kerusuhan, demonstrasi atau pemberontakan. Sedangkan seorang buruh biasanya masuk tempat kerja saban hari, menurut undang-undang yang ada, bahkan sering menghormati kaum penguasa … kurang-lebih tanpa paksaan langsung. Dia dipaksa oleh kebutuhan ekonomis, tetapi juga menerima ide-ide mendasar dari tatanan sosial yang ada, sehingga mematuhi undang-undangnya secara "sukarela".
            Gramsci mengembangkan sebuah analisis yang canggih tentang mekanisme-mekanisme "hegemonis" ini, yang memang lebih halus dan efektif di negeri-negeri maju. Sehingga "perang posisi" bisa saja berjalan selama bertahun-tahun. Tapi ada juga mekanisme-mekanisme hegemonis di Indonesia dan negeri dunia ketiga lainnya; bukankah para aktivis kiri sering mengeluh tentang "kesadaran palsu" massa rakyat Indonesia? Sehingga di sini pula, perbedaan antara negeri-negeri maju dan dunia ketiga bukan sesuatu yang mutlak melainkan relatif saja.
        Jaksa fasis yang ingin "menghentikan otak ini untuk bekerja selama 20 tahun" telah gagal. Pemikiran Gramsci masih hidup dan berkembang. Namun pemikiran itu tidak boleh disalahartikan: Antonio Gramsci bukanlah seorang reformis melainkan seorang revolusioner.

penulis : febryna mulya
sumber  :
diskursus kemasyarakatan dan kemanusian, capita selecta . tahun 1993. PT gramedia Pustaka           Utama.jakarta


Minggu, 03 Oktober 2010

Analisa Politik Indonesia dan Kekuatan Politik di Indonesia

Topik politik di Indonesia kurang diminati disebabkan oleh :
1. Penjelasan bersifat kultural, kurang representif . penjelasan berorientasi kepada perilaku kelompok politik yang dominan di Indonesia.
2. Dekade 80an, penjelasan bersifat alternatif dengan pendekatan ekonomi politik yang bersifat Struktualis, lebih representif dengan tingkat generalisasi yang tinggi. Kultural hanya etnosentris dan parokial.
3. Dekade 1990-an, Munculnya model analisa yang lebih memperhatikan peranan State kemudian dihadapkan dengan masyarakat atau civil society.
Memahami politik Indonesia kontemporer lebih cocok di bahas dengan pendekatan yang bersifat kultural sebab, ada gejala politik tertentu yang hanya dapat dijelaskan dengan pendekatan kultural. Contoh pada pola pembentukan dukungan dan mobilisasi politik pada masa pemilu.
Budaya Politik : Makna dan Perwujudannya
1. Budaya Politik
Muncul semenjak akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan Politik Amerika Serikat yang disebut juga sebagai revolusi dalam ilmu politik atau Behavioural Revolution / Behavioralism.
Latar belakang behavioralism :
• Sebagai dampak menguatnya mahzab atau tradisi positivisme, bahwa ilmu sosial mampu menjelaskan gejala sosial dan mahzab ini di anut banyak tokoh sosiologi.
• Muncul dan berkembangnya kecendrungan baru dalam dunia penelitian untuk mengadakan penelitian berupa survey ( survey research )
Dampak Behavioralism adalah muncul sejumlah teori, bersifat grand maupun middle level theory (menengah), dan kaya kan istilah.
• cognitive, pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batas negara, mata uang negara, dsb.
• Affective, ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik.
• Evaluantive, kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peran individu di dalamnya.
Dengan sikap orientasi terbentuk budaya politik yang berbeda. :
• Masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya di dominasi karakteristik cognitive akan terbentuk budaya politik parokial.
• Masyarakat yang sikap dan orientasi politik oleh karakteristik yang bersifat affective akan berbentuk budaya politik yang bersifat subjective.
• Masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, dimana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan akan berbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.
Untuk lebih jelasnya dapat di lihat dalam gambar brikut ini :
Budaya Politik
Parokial subjektif Partisipatif
Orientasi politik Kognitif XXX
Afektif XXX
Evaluatif XXX

Budaya politik yang demokratik adalah, “suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya, yang menopang terwujudnya partisipasi,” kata almond dan verba (h.178)
2. Sosialisasi Politik sebagai wahana pembentukan Budaya Politik.
Sosialisasi politik adalah upaya untuk membentuk budaya politik melalui proses penerusan dan pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya berupa sistem nilai, norma dan keyakinan.
Agent sosialisasi politik ;
1. Keluarga, menentukan pola pembentukan nilai politik bagi seorang individu.
2. Sekolah, terbentuknya proses kognisi politik
3. Masyarakat, tempat sosialisasi politik dan mencari peranan politik.
Dalam sebuh sistem dimana negara memainkan peranan yang dominan, bahkan monopolistis, dalam pembentukan nilai dan norma politik, maka keyakinan dan nilai yang di tanamkan adalah keyakinan dan nilai yang diyakini penguasa negara. Sagala sesuatau yang berbeda dengan kehendak negara haruslah di singkirkan. Sebaliknya, sebuah negara yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mandiri, akan terbentuk masyarakat yang memiliki kompetensi yang tinggi pula, yang sangat diperlukan bagi pembentukan budaya politik yang demokratik dan stabil.
Budaya Politik Indonesia.
1. Hierarki yang tegas
Sulit untuk mengidentifikasi budaya politik Indonesia karena atribut yang tidak jelas. Claire Holt, Benedict Anderson dan James Siegel “ Political Culture in Indonesia”, menganalisa konsep kekuasaan dari budaya dominan yang berasal dari etnis jawa. Menurut Anderson, konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat jawa berbeda sekali dengan apa yang dipahami masyarakat barat. Bagi masyarakat jawa, kekuasaan bersifata konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi.
Masyarakat jawa dan lainnya di Indponesia bersifar Hierarkis, stratifikasi sosial bukan didasarkan atas atribut sosial yang bersifat materialistik tetapi lebih kepada akses kekuasaan.
Implikasinya, kalangan birokrat menampakan diri dengan self-image atau citra diri yang bersifar benevolent yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi masyarakat. Negatifnya terhadap kebijakan publik, dimana kebijakan publik menjadi domain atau kompetisi sekelompok elite yang berada di Jakarta atau Ibukota Provinsi.
2. Kecendrungan Patronage.
Kecendrungan pembentukan pola hubungan Patronage, baik dikalangan penguasa maupun masyarakat yang didasarkan atas patronage menjadi budaya politik yang menonjol. Pola hubungan bersifar individual, si Patron dan si Client terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya (excange of resources) yang di miliki oleh masing” pihak. Si Patron memiliki sumber daya yang berupa kekuasaa, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan rasa sayang, dan tidak jarang pula sumber daya yang berupa materi (harta kekayaan, tanah garapan dan uang). Sementara, si client memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan dan loyalitas.
Konteks perpolitikan Indonesia dapat dilihat dalam diagram berikut ini :

P ---------------M/B ------------- Cl

P = patron
M/B = middlemen/ Brooker
Cl= Client
3. Kecendrungan Neo- Patrimonialistik
Perpolitikan Indonesia memiliki kecendrungan akan budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik, negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi tetapi juga memperlihatkan atribut yang bersifat Patrimonialistik.
Konsep patrimonialisme oleh Max Weber (1968), relevan dengan orde baru bahwa sebuah negara disebut sebagai negara yang patrimoni alistik, mana kala “ praticcaly everthing depends explicitllly upon persomnal considerations : upon the attitude toward the concrete applicant and his concrete request, and upon purely personal connections, favors, promises and privileges”. Dalam negara yang patrimonialistik, penyelenggaraan pemerintahan dan kekuatan militer berada dibawah control langsung pimpinan negara, yang mempersiapkan segala sesuatunya mempribadi. Pada massa lampau, di eropa, dukungan terhadap penguasa yang patrimonialistik diperoleh bukan dari kalangan aristokrasi, tetapi bersal dari kalangan budak dan tentara bayaran, yang secara langsung dikuasai sepenuhnya oleh penguasa. Hal itu dapat terjadi karena tidak adanya sistem ekonomi yang kapitalistik, kata Max Weber.
Karekteristik patrimonialistik menurut Max Weber :
1. Kecendrungan untuk mempertukarakan sumber daya yang dimiliki seseorang penguasa kepada teman”nya.
2. Kebijaksanaan sering kali lebih bersifat partikularistik dari pada bersifat universalistik.
3. Rule of law, merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bial dibandingkan dengan kekuasaan ydari seseorang penguasa( rule of man)
4. Kalangan penguasa politik seringkali mengaburkan antara mana yang menyangkut kepentingan umum dan mana yang menyangkut kepentingan publik
Weber mangatakan bahwa, dalam negara patrimonialistik sangat sulit diperkirakan rencana dan keijaksanna yang akan di pilih. Implikasinya, kekuasaan menjadi tidak terkontrol bahkan terakumulasi sehingga negara menjadi paling kuat dan peluang munculnya civil society menjadi
Sosialisasi Politik : Tidak memunculkan Civil Society
Proses sosialisasi atau pendidikan politik di Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan civil society, suatu masyarakat yang mandiri , yang mampu mengisi ruang publik, sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebih”an.
2 alasan utama Pendidikan pollitik tidak memberi peluang untuk memuvulkan civil society :
1. Anak” tidak di didik untuk menjadi insan yang mandiri.
2. Tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah, hanya pada tahap yang bersiufat kognitif, bukan menyangkut dimensi yang bersifat evaluatif.
3. Pentingnya setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternati lain kecuali mengikuti kehendak negara termasuk dalam pendidikan politik.
Proses pendidikan politik melalui media massa barangkali, sedikit lebih terbuka dan si individu dapat dengan leleuasa untuk menentuka pilihannya menyangkut informasi yang mana dapat dipertanggung jawabkan kebenaran dalam ketepatannya.
Penutup.
Pesimistis tentang budaya politik Indonesia, dengan diwarnai pola hubungan Hierarkis, Kecendrungan Patronage politik yang sangat kuat serta Gejala Neo-patrimonialisme, kita tidak dapat berharap banyak akan munculnya proses demokratisasi yang kuat dan meluas.
Analisa dan pemahaman penulis.
Penulis sedikit mengalami kesusahan dalam menganalisis buku I, Farchan Bulkin. Namun kendala tersabut tidak terlalu mengganggu. Afan Gaffar dengan politik Indonesia, transisi menuju Demokrasi dapat dengan mudah di pahami.
Menganalisa kekuatan politik indonesia tidak terlepas dari budaya politik yang dimiliki oleh indonesia yang berupa, ketidak jelasan hierarki atau adanya sumber homogen, kecendrungan patronage/ clientilistic masa orba, Neo-patrimonialistik sehingga minimnya civil society. Kekuatan politik indonesia sedikit banyak telah menampakan diri melalui angkatan bersenjata, partai politik, golongan intelektual dan mahasiswa, kelompok pedagang, pengusaha dan profesional, serta kelkompok penekan yang baru muncul semenjak dekade XX. Sistem perekonomian tidak bisa dilepaskan dengan kekuatan politik indonesia yang kemudian ikut mempengaruhi sistem politik sperti angkatan bersenjata, partai politk dan kalangan pengusaha padagang.
Untuk mengamati dan menganalisa kekuatan politik tampaknya sangat disarankan apabila si pengamat terjun langsung dan mengamati secara langsung permasalahan yang akan mempengaruhi kekuatan politik baik sistem, aktor dan peranan kultur terhadap politik.Kekuatan politik kontemporer menampilkan diri sebagai partai politik, angkatan bersenjata, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual, dan golongan pengusaha serta kelompok” penekan lainnya malah sebagi bentuk luar dan masalah” mendalam seperti perkembangan pikiran, ideologi, nilai” dan stuktur sosial dan ekonomi. Di Indonesia, Wawasan, teori dan pendekatan yang secara sengaja mementingkan struktur sosial, ekonomi dan unsur” kesejarahan memang belumlah berkembang disebabkan, dominasi yang kuat dari pendektan fungsionalisme-struktural dalam studi politik setelah perang dunia kedua dan kuatnya harapan, mimpi dan kemauan yang timbul segera setelah Indonesia memperoleh kedaulatan Politik.
Perubahan Besar dan Kekuatan Politik.
Dimensi pokok permunculan dan perkembangan kekuatan politik kontemporer :
1. Politik, ekonomi dan masalah sosial yang tidak lagi menjadi masalah kaum bangsawan tetapi menjadi masalah masyarakat umum.
2. Kuatnya peranan kelas menengah diseluruh bidang kehidupan.
3. Pemunculan, pertumbuhan dan perkembangan negara modern.
4. Muncul dan berkembangnya nilai”, filsafat dan ideologi yang memberikan dasar” pengukuhan, pengesahan, dan rasionalisasi untuk menjalankan tatasusunan politik dan konfigurasi kekuatan” politik baru.
Penyebab dimensi pokok tidak berkembang di luar eropa :
1. Proses defeodalisasi dwilayah diluar Eropa, terjadinya perubahan dan penyesuaian peranan kaum feodal dengan kepentingan politik dan ekonominya didaerah jajahan.
2. Integrasi perekonomian wilayah jajahan kedalam perekonomian dan pasar tidak muncul.
3. Perbedaan proses pembentukan negara dimana negara jajahan merupakan hasil dan proses yang ditentukan oleh luardan bukan sebagai pertumbuhan unsur” masyarakat.
4. Niali-nilai, filsafat dan ideologi yang salah digunakan karena asecara substansial bebeda dengan eropa sebagai sumbernya.
Pendakatan dan Cara Analisis Alternatif.
Ciri-ciri Pendekatan dan analisa alternatif yang merupakan upaya untuk menghindari tuduhan yang telah dilancarkan pada studi politik konvensional dan teori pembangunan politik bahwa mereka teologis, ahistoris dan astruktural serta etnosentris, adalah :
1. Tidak lagi percaya bahwa gejala politik merupakan gejala yang bisa dipisahkan dengan gejala sosialyang secara konvensional dimonopoli oleh disiplin ilmu sosiologi,sejarah dan ekonomi, Pendekatan Indisiplinair.
2. Secara tegas mencoba untuk memahami kembali Eropa secara lebih baik dan menyeluruh. Generalisasi pengalaman Eropa tidak gejala” politik saja tapi juga masalah lain yang berdampak pada gejala politik.
3. Berusaha untuk mentransendesi dikotomi antara Eropa dan non Eropa.
Pendekatan dan cara alternatif yang digunakan adalah ;
1. Teori Dependensia (ketergantungan), suatu kesadaran baru mengenai keterbelakangan(underdevelopment) dimana keterbelakangan tidak bisa dipisahkan dengan kemajuan malah sebagai fungsi dari kemajuan, keterbelakangan menampilkan ketergantungan dengan kemajuan. Implikasinya :
a. Kekuatan politik di pandang sebagai bentuk nyata yang mempertahankan dan melawan posisi ketergantungan baik, analisa maupun ideologi.
b. Kekuatan politik dunia ketiga dianggap sebagai kekuatan yang memiliki akar sejarah, yang berkaitan dengan masalah struktur sosial dan ekonomi serta berkaitan dengan perkembangan politik dan ekonomi diluar kawasan dimana kekuatan politik itu tumbuh dan berkembang.
2. Pendekatan Sistem Dunia, Wallerstein, sistem dunia sebagai unit(kesatuan) dengan suatu pembagian kerja tunggal dan berbagai sistem kebudayaan, perubahan = sistem dengan totalitas. Pentingnya, memahami kekuatan politik di Dunia Ketiga yang pokoknya adalah :
a. Usaha untuk meletakan perkembangan politik dan ekonomi dunia ketiga kedalam pergolakan ekonomi dan politik dunia yang memiliki logika internal, pembagian kerja ekonomi dan politik serta dinamika dan potensi untuk perubahan dan transformasinya.
b. Perwatakan dan ciri” yang ditunjukan oleh negara didunia ketiga juga bisa diuraikan logikanya dan diurut pertumbuhannya dalam kaitanya dengan interaksinya dgn perekonomian dunia.
c. Pendekatan ini menawarkan sesuatu logika pada perbedaan substansial antara kekuata politik yang tumbuh diwilayah kapitalisme pusat dan yang tumbuh diwilayah periferi sedemikian rupa, sehingga hubungan kekuatan politik dikedua wilyah itu menjadi jelas, sekalipun tidak langsung dan masing” memainkan peranannya dalam jaringan sistem ekonmi dunia.
Pendekatan ini maka dapatlah kiranya menempatkan kekuatan politik dunia ketiga dalam sesuatu dinamika perubahan yang menyeluruh dan global sifatnya.
3. Model negara birokratis-otoriter, kesadaran bahwa tekanan yang tak bisa dihindarkan untuk melaksanakan industrilisasi pada gilirannya juga akan mempengaruhi negara dan kekuatan politik. O’Donnel, peningkatan dan deepening (pendalaman) industrialisasi akan menimbulkan ketegangan yang tak bisa dihindarkan antara negara dan unsur masyarakat, yang mengandung potensi untuk terjadinya krisis legitimasi suatu negara.
4. Model Statisme Organis, kesadaran betapa hampir semua negara dunia ketiga dihadapkan pada pilihan yang rumit : jalan memenuhi tuntutan dunia kapitalis yang berarti pemaximalan liberalisasi dan persaingan serta pemaximalan kepentingan pribadi demi tercapainya efisiensi dan perekonomian yang kompetitif atau jalan yang mementingkan rakyat banyak yang mengandung tuntutan untuk memaksimalkan kontrol ekonomi dengan perencanaan negara untuk mencapai masyarakat politik monistik dan terintegrasi dengan menghilangkan otonomi kelompok” yang ada dan pembangunan struktur dan nilai kolektif. Pentingnya, bahwa pendekatan ini secara sadar berusaha untuk memberikan struktur dan logika terhadap kebingungan dan kekacauan pikiran yang ditunjukan oleh berbagai kekuatan politik yang ada di dunia ketiga.
5. Pendekatan atau model negara dalam masyarakat Periferi, brusaha untuk mempersoalkan kenyataan bahwa masyarakat dan ekonomi bekas jajahan, susunan masyarakat dan ekonomi yang telah sekian lama diinkorporasikan atau digabungkan kedalam ekonomi negara penjajah. Pentingnya, ekonomi negara penjajah itu merupakan suatu rangkain yang, ketika penjajahan terjadi, mewakili suatu sistem perekonomian yang dampak ekonomi, sosial, dan politiknya sangat mendalam dan bersifat global yang sampai kini masih tetap bertahan yaitu kapitalisne. Pendirian pendekatan ini adalah, jika memahami politik, kekuatan politik, dinamika politik, dan pertumbuhan serta perwatakan negara di dunia ketiga sebagai masyarakat dan ekonomi periferal maka pemahaman terhadap sistem kapitalisme yang mengalami kelainan dan distorsi.

Jumat, 01 Oktober 2010

Pembangunan Hukum

Sistem Hukum
Menurut Lawrence F. Friedman sistem hukum meliputi :
• Substansi Hukum (legal substance)
• Struktur Hukum (legal stucture)
• Budaya Hukum (legal culture)

Di dalam pembangunan hukum, ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainya

Beberapa Sistem Hukum
Kontinental, Anglo Saxon, Agama (Islam), dan Sistem Hukum Sosial, dan lain sebagainya
Perbedaan antara Sistem Hukum Kontnental dan Anglo Sakson ---- unsur-unsur pembeda : Asal dan Perkembangan, Sebutan, dan Kondisi Sekarang.

Menurut Sunaryati Hartono unsur sistem hukum terdiri dari :
1. Nilai-nilai Filosofi termasuk asas-asas hukum
2. Substansi atau materi hukum
3. Keseluruhan lembaga hukum
4. proses dan prosedur hukum
5. Sumber daya manusia
6. Sistem pendidikan hukum
7. Susunan dan sistem organisasi serta koordinasi antar lembaga hukum
8. Peralatan perkantoran lembaga hukum
9. Perangkat lunak seperti petunjuk teknis
10. Informasi hukum
11. Budaya hukum
12. Anggaran

Untuk mengisi sistem hukum nasional ada tiga sistem hukum yang dijadikan sumber :
• Hukum adat, sesuai dengan adat istiadat masyarakat Indonesia
• Hukum barat, berasal dari Belanda, Ingris, Amerika, dll
• Hukum Agama, Islam yang bersumber dari Alquran dan hadis, di beberapa daerah juga dipengaruhi oleh agama lain. Bali, Papua

Ciri hukum nasional secara umum
• Berlandaskan pancasila
• Berfungsi mengayomi
• menciptakan ketertiban sosial,
• mendukung pelaksanaan pembangunan dan mengamankan hasil pembangunan

Secara khusus hukum nasional harus mengandung ciri
• Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara
• Mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan
• Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi
• Bersifat rasional yang mencakup :
a. rasionaliatas efisiensi
b. rasinalitas kaidah
c. rasionalitas kewajaran
d. rasionalitas nilai
• Aturan prosedural yang menjamin transparansi
• Responsif

Reformasi konstitusi sebagai upaya pembaharuan sistem hukum
• Proses amandemen UUD 1945 dimulai pada tahun 1999 sampai dengan 2002 (empat kali perubahan)
• Kembali kepada konsep negara Hukum (rechtstaats) bukan machtstaats
• Transformasi dari hukum represif menuju hukum responsif

Ciri negara hukum
• Perlindungan hak konstitusional warga negara
• Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
• Pemilihan umum yang bebas
• Kebebasan yang menyatakan pendapat
• Kebebasan berserikat dan berkumpul
• Pendidikan kewarganegaraan

Empat kaidah penuntun dalam pembangunan hukum :
Pertama, hukum nasional harus dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun wilayah teritori sesuai dengan tujuan ’melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.’ Harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Kedua, hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan nomokratis dalam arti harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur-prosedur dan mekanisme yang fair, transparan, dan akuntabel. Harus dicegah munculnya produk hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan, dan transaksi di tempat gelap
Ketiga, hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi proteksi khusus terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Tanpa proteksi khusus dari hukum golongan yang lemah pasti akan selalu kalah jika dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan yang kuat.
Keempat, hukum harus menjamin toleransi beragama yang berkeadaban antar pemeluk-pemeluknya. Tidak boleh ada pengistimewaan perlakuan terhadap agama hanya karena didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah pemeluk.
Negara boleh mengatur kehidupan beragama sebatas pada menjaga ketertiban agar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar setiap orang dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan bebas tanpa mengganggu atau diganggu oleh orang lain.

Konfigurasi politik dan hukum
Menurut Prof.Dr.Moh.Mahfud MD, SH,

• Susunan atau konstelasi kekuatan politik dan hukum secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter
• Konfigurasi politik demokratis akan melahirkan hukum yang responsif
• Konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang represif/ortodoks
Bagaimana Dengan Indonesia....????