Selasa, 16 April 2019

Politik Gentong Babi



Berkaca pada kondisi menjelang pilkada serentak tahun 2015, Mentri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melihat adanya gejala peningkatan anggaran untuk bantuan sosial (bansos) di sejumlah daerah yang akan menggelar Pilkada (Kompas 23/4/2015). Meskipun adanya gejala tersebut, secara tegas pasal 71 ayat 2, UU 8/2015 tentang Pilkada menjelaskan bahwa “Petahana dilarang menggunakan program dan kegiatan pemerintahan daerah untuk kegiatan pemilihan 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir”. Dengan adanya aturan yang demikian, gejala ataupun ketakutan terhadap potensi petahana dalam memanfaatkan program pemerintah daerah dan dana publik dapat diatasi. Sehingga, politik gentong babi yang dilakukan oleh petahana kepala daerah dalam pilkada serentak dapat dihindari. Lantas bagaimana dengan petahana capres yang ikut berlaga dalam pemilu serentak 2019?


Politik Gentong Babi.
Dalam masa kampanye politik saat ini, program-program pemerintah yang bersifat populis memiliki peluang untuk dimanfaatkan oleh petahana sebagai salah satu strategi untuk menaikkan tingkat keterpilihan atau mempertahankan suara dalam pemilihan-pemilihan umum. Tidak saja program-program pemerintah, akan tetapi juga fasilitas public yang mudah diakses oleh petahana. Hal ini di Indonesia dikenal dengan istilah Politik Gentong Babi. Hal ini berkonotasi negatif karena berkaitan dengan perilaku politisi yang menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Politik gentong babi ini, pertama kali diperkenalkan dalam apa yang disebut Bill Bonus. Pada 1817 Wakil Presiden Amerika Serikat John C. Calhoun mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika. Secara spesifik, Scaffer (2007) dalam studinya mendefinisikan pork barrel sebagai bentuk penyaluran bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, bansos, atau proyek pekerjaan umum ke Kabupataen/Kota bahkan desa dari kepala daerah. Karakter utama dari politik gentong babi ialah, adanya pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam konteks pemilu di Indonesia, politik gentong babi seringkali menyoroti pencalonan petahana kepala daerah dalam pilkada yang sering menafaatkan fasilitas dan APBD untuk mendukung kegiatan kampanye politiknya. Baik dengan memanfaatkan ASN, Kendaraan ataupun dana bantuan sosial( yang sering disorot). Beberapa diantaranya juga menyoroti tentang politik gentong babi yang dilakukan oleh DPR melalui dana aspirasi umum (DAU).

Bagaimana politik gentong babi dalam pemilu presiden, mengingat adanya petahana yang kembali maju tanpa berhenti dan cuti? Hal ini dapat merujuk pada pengalaman politik pencalonan kembali SBY sebagai presiden pada tahun 2009. Pada saat 2008, popularitas SBY turun menurut beberapa lembaga survei karena kebijakannya menaikkan harga BBM. Namun, pada 2009, SBY mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM. Anehnya kebijakan ini dilakukan jelang Pemilu 2009 di saat harga minyak dunia turun. Kebijakan BLT inilah disinyalir beberapa studi sebagai bentuk nyata politik gentong babi di Indonesia.

Lantas bagaimana dengan capres petahana Joko Widodo? Disini ada 2 hal kebijakan lewat APBN pemerintahan Joko Widodo yang perlu disoroti. Jelang tutup tahun 2018, Pemerintah bersama dengan DPR menyepakati kenaikan 5% terhadap gaji pokok PNS yang akan di cairkan pada april 2019. Terakhir kali kenaikan gaji pokok PNS adalah pada tahun 2015, artinya dalam masa pemerintahan Joko Widodo terjadi 2 kali kenaikan gaji pokok PNS. Sebelumnya, Joko Widodo pada tahun 2018 telah mengadakan kebijakan pro PNS dengan adanya THR. Kemudian, adanya dana kelurahan yang dikucurkan januari 2019 sebesar Rp 3 triliun untuk 8.212 kelurahan di 410 kabupaten/kota sesuai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Pagu dana kelurahan ini dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) tambahan. Dua kebijakan ini, tampak mencolok mengingat baru diluncurkan menjelang pemilu serentak aprli 2019. Meskipun demikian, menurut hasil survey Alvara, dari berbagai kebijakan Joko Widodo, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat merupakan program yang dirasakan dampaknya secara langsung oleh masyarakat. Ini memperlihatkan bahwa program-program pemerinthan yang bersifat populis dapat menjadi peluang dan strategi bagi petahana untuk mendapatkan suara pemilih.

Salahkan Politik Gentong babi?
Secara aturan hukum, politik gentong babi tentu tidak mengandung pelanggaran hukum apalagi sudah terprogramkan dalam kebijakan pemerintah. Namun, secara etika politik jelas ini menyalahi karena dalam proses pendistribusiannya, petahana dapat melakukan klaim politik dengan maksud kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya.

Selain itu, apabila terjadi politik gentong babi ini, tentu mengakibatkan persaingan antara kandidat menjadi tidak setara. Dengan adanya pemanfaatan sumber daya negara, seorang kandidat petahana akan lebih mendominasi persaingan dibandingkan dengan kandidat lainnya. Padahal adanya aturan kampanye difasilitasi oleh negara adalah sebagai upaya untuk menghadirkan kesetaraan persaingan antar calon kandidat. Di samping itu, adanya biaya kampanye yang diafisilitasi oleh negara memiliki tujuan untuk menekan tingginya biaya kampanye kandidat dan meminimalisir praktek politik uang.

Besarnya potensi praktik politik gentong babi oleh petahana ini, akibat tidak adanya aturan tegas terkait kewajiban cuti seorang capres petahana. Ini merujuk pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017 bahwa memang tidak ada ketentuan presiden dan wapres petanaha untuk berhenti ataupun wajib cuti apabila Ia mencalonkan dirinya kembali pada pemilu berikutnya. Sehingga, Joko Widodo sebagai kandidat petahana tidak ada kewajiban untuk berhenti ataupun cuti. Meskipun demikian, dalam UU No 7 Tahun 2017 pada pasal 281 ayat (1) ditegaskan larangan menggunakan fasilitas jabatannya untuk berkampanye, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan peraturan undang-undang, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Selain itu juga melarang tentang penggunaan anggran pemerintah untuk kampanye. Lantas, bagaimana menghindari potensi politik gentong babi ini?

Pemilu yang Berintegritas
Menyoal adanya gejala politik gentong babi ini, tentunya publik akan menyoroti kinerja dari penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu dalam menghasilkan pemilu yang beritegritas. Sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelenggarakan dan mengawasi pemilu, tuntutan akan kinerja yang berintegritas tentunya disertai dengan tuntutan netralitas dari kedua lembaga tersebut. Dikarenakan lembaga ini akan menentukan hasil pemilu yang sah dan terpilihnya pemimpin bangsa kedepannya. Sehingga, menentukan kepercayaan public terhadap hasil dan berjalannya berbagai lembaga politik kedepannya.

Untuk mencapai pemilu yang berintegritas, KPU dan Bawaslu dituntut untuk dapat bekerja dengan netralitas yang tinggi. Tentunya akan berkaitan dengan aspek politik massa dalam berpatisipasi dalam pemilu (voter turnout) dan partisiapsi dalam penyelenggaran pemerintahan kedepannya. Tuntutan pada KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas juga menyangkut pada proses demokratisasi, stabilitas politik nasional, dan penguatan kualitas representasi politik. Konsekuensi lainnya dari integritas pemilu adalah untuk mengatasi konflik dan keamanan. Terpenting adalah untuk menjaga transisi kepemimpinan negara dari kecurangan pemilu (flawed elctions) baik melalui berbagai pelanggaran pemilu (electoral fraud) ataupun manipulasi suara dalam berbagai bentuknya (ballot-rigging) yang dapat melemahkan kepercayaan terhadap politik bangsa. Sebagaimana ungkapan Frank Noris, ketidakpuasan masyarakat yang berlarut pada integritas pemilu dapat menjadi salah satu katalis menuju transisi rezim yang lebih revolusioner.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar