Selasa, 16 April 2019

Restruktur TNI



Rencana restrukturisasi di tubuh TNI untuk perwira tinggi baru pada 60 ruang jabatan. Dengan begitu, sejumlah perwira menengah (pamen) dan perwira tinggi (pati) di TNI yang sebelumnya belum memiliki tugas khusus akan menempati sejumlah jabatan baru. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, para perwira ini akan ditempatkan di sejumlah satuan baru di TNI seperti Kogawilhan (Komando Gabungan Wilayah Pertahanan), Koopsusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan). Sisanya akan menempati beberapa kekosongan jabatan yang ditinggalkan oleh pendahulunya karena adanya peningkatan pangkat khusus untuk jabatan tertentu. Hal ini juga disertai dengan adanya rencana Panglima TNI untuk merevisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 Pasal 47 agar lembaga/kementerian dapat diduduki oleh TNI aktif setara dengan eselon 1 dan eselon 2. Sehingga, dengan adanya rencana restrukturisasi ini, TNI akan menduduki jabatan-jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.

Oleh karenanya, melalui rencana restrukturisasi TNI tersebut terdapat tiga agenda utama yakni (1) penempatan militer TNI kejabatan-jabatan sipil, (2) penambahan unit dan stuktur baru TNI, dan (3) peningkatan status jabatan dan pangkat dibeberapa unit dan perpanjangan masa usia pensiun Bintara dan Tamtama. Adanya rencana restukturisasi TNI dengan 3 agenda perubahan tersebut mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Terutama menyangkut adanya upaya restrukturisasi TNI untuk mengisi jabatan lembaga/kementerian. Pertanyaan besar kemudian muncul, apakah Presiden RI Jokowi sedang restukturisasi TNI atau sedang mengembalikan Dwi Fungsi ABRI?



Kontra Reformasi TNI
Upaya adanyanya resturkturisasi TNI yang disuarakan oleh Presiden RI Jokowi dan Panglima TNI merupakan imbas dari surplusnya perwira TNI saat ini. Jauh hari sebelumnya, Jendral TNI Doni Mardono dipilih dan dilantik oleh Presiden sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPP) yang seyogyanya tidak boleh diisi oleh Perwira TNI aktif sebagaimana amandat Undang-Undang TNI No 34 Tahun 2004. Kondisi surplusnya perwira TNI dianggap menjadi persoalan yang berbeda dengan yang dialami oleh Kepolisian Republik Indonesia. Surplusnya perwira di Kepolisian RI dapat disalurkan keberbagai lembaga/badan sipil seperti KPK, BPK, Bulog, BNP2TKI, BNN dan lainnya. Melihat kondisi demikian, Presiden dan Panglima TNI berinisiatif untuk melakukan restrukturisasi TNI agar tidak adanya perwira TNI yang “menganggur”.

Upaya tersebut dilakukan oleh Presiden RI Jokowi dengan mengubah Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2010 yang dikeluarkan Presiden SBY tentang Susunan Organisasi TNI menjadi Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2016. Kemudian, disusul dengan inisiatif Panglima TNI untuk menyuarakan agar adanya revisi terhadap Undang-Undang TNI NO 34 Tahun 2004. Padahal sesuai dengan Pasal 47 ayat 2 UU TNI, militer aktif hanya menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopulhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung.

Merujuk pada Undang-Undang TNI No 34 Tahun 2004, restrukturisasi TNI sebenarnya dapat dilakukan sesuai aturan perundang-undangan tersebut. Akan tetapi, keterbatasan badan/lembaga yang dapat diisi oleh perwira TNI aktif yang terbatas. Akibatnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sering melakukan mutasi jabatan perwira ditubuh TNI yang berujung pada kebijakan instan yaitu “promosi dan keluar barisan”. Aris Santoso pengamat militer mengatakan bahwa, promosi bagi kolonel ke pos bintang satu diusahakan bisa mencapai kuota maksimum. Setelah menduduki posisi bintang satu berkisaran 6 bulan, Ia digeser pada posisi lainnya yang kurang strategis. Posisi terakhir ini masuk rumpun (cluster) perwira tinggi Mabes TNI atau markas besar masing-masing matra. Kebijakan ini secara psikologis boleh dibilang aman, mengingat semua lulusan Akmil ingin jadi jenderal. Ketika pangkat bintang satu (Brigjen) sudah diraih, hidup akan terasa lebih indah—terlepas posisi apa yang sedang mereka pegang. Salah satu kasus yang bisa disebut ketika Mayjen Imam Edy Mulyono (Akmil 1984) hanya sebulan menjabat Kepala Staf Kostrad (Oktober-November 2017).

Dengan adanya kebijakan tersebut telah menyebabkan ketidaksehatan organisasi TNI dan akibatnya Panglima TNI mendorong restrukturisasi TNI melalui revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2004 dengan memberikan ruang baru bagi TNI aktif diberbagai badan/lembaga di pemerintahan sipil. Akan tetapi, upaya Presiden dan Panglima TNI untuk restrukturisasi TNI dengan memberikan jabatan pada berbagai badan/lembaga sipil adalah kekeliruan. Hal ini mengingat cita-cita besar TNI pasca reformasi 1998 yang disampaikan pada Rapim TNI pada bulan April tahun 2000 untuk melakukan reformasi TNI dengan menjadikan TNI sebagai lembaga pertahanan yang profesional dan penghapusan dwifungsi.

Oleh karenanya, berbagai lembaga masyarakat sipil, berbagai kalangan senior TNI serta pengamat militer menganggap langkah Presiden Jokowi dan Panglima TNI tidak sedang dalam mengupayakan restukturisasi TNI guna reorganisasi TNI yang reformis dan profesional. Beberapa diantaranya juga melihat bahwa langkah Presiden RI Jokowi dan Panglima TNI yang bertepatan dengan masa kampanye pemilihan presiden ini merupakan upaya Presiden RI Jokowi untuk menguatkan posisinya dikalangan perwira TNI aktif.

Setara Institute menyarankan restrukturisasi TNI tidak perlu dilakukan dengan melakukan revisi UU TNI. Menurutnya, peningkatan status jabatan dan pangkat bintang satu di beberapa daerah teritorial yakni beberapa Korem selama ini kurang tepat. Hal itu tidak sejalan dengan semangat reformasi TNI yang tertuang dalam UU No. 34/2004 tentang TNI yang mengisyaratkan perlunya melakukan restrukturisasi komando territorial. Justru, dalam konteks restrukturisasi dan reorganisasi TNI tersebut sepatutnya pemerintah mendorong agenda Restrukturisasi Koter yang menjadi mandat reformasi dan UU TNI sendiri. Gelar kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepenting.

Ketidaksetujuan terhadap langkah Presiden RI Jokowi dan Panglima TNI juga disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia berpendapat bahwa para perwira menengah dan tinggi harus menanggalkan jabatannya di TNI apabila ingin menduduki posisi di kementerian dan institusi sipil. Hal ini didukung oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Hanafi Rais yang mengatakan bahwa perwira aktif yang menjabat pada jabatan sipil akan mengalami dualisme kepemimpinan dan bekerja tidak sesuai dengan keahlian. Terutama menyangkut perbedaan paradigma militer dengan paradigma birokrasi sehingga berdampak pada kebijakan publik yang tidak kondusif.

Menurut Prof Salim Said, Guru Besar Ilmu Politik Indonesia bahwa restrukturisasi TNI perlu dan dapat dilakukan selama masih menjaga profesionalitas TNI dan reformasi TNI. Adapun upayanya, Indonesia dapat meniru kebijakan militeristik Amerika Serikat ataupun negara lainnya tentang kesejahteraan TNI lewat dana pensiun yang memadai. Mengingat dana pensiun TNI yang sekarang kecil dan tidak semua pensiunan TNI dapat mengakses jabatan komisaris perusahaan ataupun mau ikut terlibat di partai politik pasca pensiun. Serta perlunya pengurangan penerimaan angkatan prajurit baru dan penambhaan pos-pos didaerah yang memang masih banyak belum diisi. Dengan demikian, tidak perlu adanya revisi UU TNI dalam rangka restrukturisasi tersebut.




Restrukturisasi Profesionalisme TNI
Penataan organisasi militer, terutama TNI harus didasari pada pertimbangan dinamika lingkungan strategis guna meningkatkan efektivitas organisasi dalam menghadapi ancaman dengan tetap berpijakan pada fungsinya sebagai alat pertahanan dan mempertimbangkan aspek ekonomi(anggaran). Restrukturisasi TNI dalam upaya mengreorganisasi tubuh TNI harus memperhatikan aspek reformasi TNI dan profesionalitas TNI sebagai pertahanan dan keamanan bangsa. Dengan menepatkan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwi fungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapuskan sejak reformasi. Hal ini tentu tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan dapat mengganggu tata sistem pemerintahan yang demokratis. Padahal, upaya reformasi TNI ini, telah lahir dari komitmen internal TNI sendirinya sejak tahun 1998 sampai 2000. Meskipun sebagai negara demokrasi, upaya reformasi TNI seharusnya datang dari keputusan politik pemerintahan sipil yang ditelah dimandatkan oleh rakyat melalui pemilihan umum, baik Presiden maupun DPR RI. Panglima TNI tidak memiliki kewenangan untuk memindahkan perwira TNI aktif keberbagai badan/lembaga sipil.


Dipilihnya jalan demokrasi di Indonesia kemudian membuat pemerintahan sipil sebagai mandatory rakyat melalui kebijakan dapat membuat langkah-langkah politik untuk menentukan arah pembaharuan TNI ini. Sayangnya, langkah dan upaya Presiden RI Jokowi bersama dengan Panglima TNI ini tidak mempertimbangkan pengalaman masa lalu TNI. Sehingga kebijakan politik tersebut tidak mendukung reformasi TNI dan Profesionalitas lembaga TNI. Sebagaimana diketahui, sejarah mencatat bahwa sejak 1958, lewat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia embrio dwi fungsi ABRI lahir dan dibesarkan 32 Tahun oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah reformasi 1998, dan melalui UU No 34 Tahun 2004 TNI telah berkomitmen untuk menghapuskan dwi fungsi ABRI. Tentunya, pengalaman masa lalu dan harapan besar kedepannya, restrukturisasi TNI harusnya meningkatkan profesionalisme TNI, bukan kembali pada jalan dwi fungsi. Sebagaimana kata Samuel P. Hutington, semakin tinggi tingkat keahlian seorang militer, semakin tinggi tingkat profesionalismenya, dan semakin kecil keterlibatan mereka dalam politik. Begitulah kebijakan yang mestinya ditempuh oleh negara demokrasi.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar