Selasa, 16 April 2019

Media Massa dan Profesionalitasnya



Berafiliasinya pemilik Media massa, terutama media televisi ke partai politik telah menimbulkan keresahan terhadap independensi dan etika jurnalistik. Keresahan publik tersebut cukup beralasan, terjadinya pemutaran lagu mars suatu partai politik tertentu secara berulang-ulang, orasi pimpinan partai pada media yang ia miliki, sampai polarisasi pemberitaan sesuai kepentingan politik sang pemilik dan masih banyak lagi bisa kita lihat pada beberapa televisi. Dan bahkan, sudah banyak anak-anak saat ini yang hafal dengan mars partai politik tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah pemberitaan yang tidak berimbang oleh media televisi, terutama jika media tersebut dimiliki oleh elite partai politik tertentu. Media televisi yang dimiliki oleh elite partai politik tertentu akan sangat sulit melepaskan kepentingan politik dari sang pemilik.

Dalam pesta demokrasi saat ini, lahir dan terpilihnya calon pemimpin yang didasari oleh tingkat populisme, menjadikan media televisi menjadi satu diantara media massa lainnya sebagai media utama untuk membranding calon pemimpin tersebut. Dengan afiliasi itu juga pola dan strategi branding partai politik dan calon pemimpin lebih mudah dan cepat.

Memasuki kalender politik nasional berikutnya, yaitu Pilkada serentak tahap ketiga tahun 2018 dan pemilu legislatif (Pileg), serta pemilu presiden (Pilpres) 2019, untuk membranding pihak-pihak yang terlibat ini, dari calon pemimpin (lokal-nasional) sampai dengan partai politik, akan menjadikan media televisi sebagai media utama. Sebelumnya, ketika pemilu 2009, iklan politik atau branding calon pemimpin dan partai politik telah massif dilakukan melalui media televisi. Pemberitaan yang tidak berimbang oleh televisi yang dimiliki oleh elite partai politik sudah lama di permasalahkan. Mengapa hal ini masih bisa terjadi?




Regulasi Penyiaran dan Pemberitaan
Televisi sebagai Primadonanya media untuk marketing politik oleh partai politik dan elite politik tentunya harus tetap menjaga keharmonisasian demokrasi di Indonesia. Afiliasi pemilik perusahaan media massa, khususnya televisi dengan partai politik, serta komersialisasi media massa saat ini harus di awasi dan di atur. Sehinggga, penting bagi stakeholder yang berkaitan dengan pemberitaan, penyiaran dan penyelenggara pemilihan umum untuk dapat bekerjasama mengeluarkan regulasi yang mengatur, mengikat dan menindak pemanfaatan media massa, terutama televisi untuk kepentingan politik. Terlebih pada pemanfaatan televisi sebagai media, alat, dan aktor politik.

Berkaitan dengan itu, salah satu upaya dalam menjaga proporsionalitas iklan politik dalam penyiaran televisi adalah melalui Revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Revisi UU Penyiaran yang sudah menjadi Program Legislatif 2017 tinggal menunggu waktu pengesahan saja. Revisi UU Penyiaran yang mengutamakan tentang peralihan media penyiaran analog ke media penyiaran digital ini, turut membahas tentang iklan politik sebagai bagian dari iklan layanan masyarakat. Sebagai Lembaga yang bertanggungjawab untuk penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan wewenang melalui UU Penyiaran 32 Tahun 2004 untuk mengatur pemberitaan dan penyiaran ini.

Mengacu pada UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, diatur melalui pasal 1 ayat (8) dan Pasal 6 ayat (1), dimana Spektrum frekuensi radio yang dipergunakan untuk penyiaran adalah sumber daya alam terbatas yang merupakan ranah publik. Sehingga pemanfaatannya harus sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 4 ayat (1) mengatakan sebagai kegiatan komunikasi massa, berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat serta control dan perekat sosial. Kemudian, berlandaskan UU Penyiaran, KPI mengeluarkan Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) pasal 22 dan Peraturan  Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) Pasal 40, telah diatur bahwa dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, lembaga penyiaran wajib tunduk pada prinsip-prinsip jurnalistik dan peraturan perundang – undangan berlaku. KPI juga mengeluarkan Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS), pasal 71 mengenai siaran pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah.

Sementara, terkait dengan Pilkada Serentak 2017, KPI mengeluarkan Surat Edaran nomor 61/K/KPI/31.2/02/2017 yang menghimbau Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan pemberitaan atau informasi terkait pilkada secara berimbang, proporsional, dan mengedepankan netralitas; Mengutamakan kemaslahatan masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak dari setiap pemberitaan, informasi, ataupun program siaran lain yang ditayangkan; Menghindari pemberitaan, informasi, atau program siaran yang menghasut, mengadu domba perseorangan maupun masyarakat, bersifat fitnah, menyesatkan, bohong dan mendiskreditkan pasangan calon atau tokoh politik tertentu; Mengenai hal – hal lain terkait penyelenggaraan pilkada, agar tetap tunduk pada peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Dengan regulasi demikian, nyatanya tidak cukup mengharmonisasikan era telepolitik saat ini. Menghadapi Pilkada serentak 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019, maka penting bagi Komisi I DPR RI untuk mengamati persoalan telepolitik, khususnya iklan politik di televisi. Televisi sebagai lembaga penyiaran harus dapat menjaga independensi, netralitas dan keseimbangan siaran televisinya. Sekaligus penting bagi televisi di era telepolitik ini untuk tidak mengutamakan kepentingan perorangan, golongan, dan terutama partai politik agar dapat menciptakan keadilan siaran dan tidak menimbulkan dominasi siarannya. Dengan demikian, melalui revisi UU Penyiaran, KPI bersama dengan televisi dapat mengatur Iklan politik sekaligus pemberitaan politik yang tidak disiarkan secara berimbang.

Disamping pentingnya Komisi I DPR RI bersama dengan KPI untuk merevisi UU Penyiaran, tak kalah penting bagi Dewan Pers untuk menegakan UU Pers, terutama bersangkutan dengan penegakan etika jurnalistik dalam pemberitaan. Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 pasal 7 ayat (2) dikatakan, Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Sebagaimana yang terdapat pada UU Penyiaran sebelumnya, pasal 42 berbunyi, Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini menunjukan pentingnya bagi jurnalis sebagai profesi yang diatur dengan kode etiknya.

Dewan Pers bersama dengan KPI sudah seharusnya mengawasi proporsionalitas pemberitaan media, khususnya televisi dengan penegakan UU dan Regulasi lainnya. Tentunya, penegakan ini harus disertai dengan sanksi yang tegas bagi televisi dan jurnalis yang melanggar ketentuan ini. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar