Berafiliasinya pemilik
Media massa, terutama media televisi ke partai
politik telah menimbulkan keresahan terhadap independensi dan etika
jurnalistik. Keresahan
publik tersebut cukup
beralasan, terjadinya pemutaran lagu mars suatu partai politik tertentu secara berulang-ulang, orasi pimpinan partai pada media
yang ia miliki, sampai polarisasi pemberitaan sesuai kepentingan politik sang
pemilik dan masih banyak lagi bisa kita lihat pada beberapa
televisi. Dan bahkan, sudah banyak
anak-anak saat ini yang
hafal dengan mars partai politik tersebut. Yang tidak kalah pentingnya
adalah pemberitaan yang tidak berimbang oleh media televisi, terutama jika media tersebut
dimiliki oleh elite partai politik
tertentu.
Media televisi yang dimiliki oleh elite
partai politik tertentu akan sangat sulit melepaskan kepentingan politik dari
sang pemilik.
Dalam pesta demokrasi
saat ini, lahir dan terpilihnya calon pemimpin yang didasari oleh tingkat
populisme, menjadikan media televisi menjadi satu diantara media massa lainnya
sebagai media utama untuk membranding calon pemimpin tersebut. Dengan afiliasi itu juga pola dan strategi branding partai politik dan calon
pemimpin lebih mudah dan cepat.
Memasuki kalender politik
nasional berikutnya, yaitu Pilkada serentak tahap ketiga tahun 2018
dan pemilu legislatif (Pileg),
serta pemilu presiden (Pilpres)
2019, untuk
membranding pihak-pihak yang
terlibat ini, dari calon pemimpin (lokal-nasional) sampai dengan partai
politik, akan
menjadikan media televisi sebagai media utama. Sebelumnya, ketika pemilu 2009, iklan politik atau branding calon pemimpin dan partai politik
telah massif dilakukan melalui media televisi. Pemberitaan yang tidak berimbang oleh televisi yang dimiliki oleh
elite partai politik sudah lama di permasalahkan.
Mengapa hal ini
masih bisa terjadi?
Regulasi
Penyiaran dan Pemberitaan
Televisi
sebagai Primadonanya media untuk
marketing
politik oleh partai politik dan elite politik tentunya harus tetap menjaga keharmonisasian
demokrasi di Indonesia. Afiliasi pemilik perusahaan media massa, khususnya televisi dengan partai politik, serta komersialisasi media massa saat
ini harus di awasi dan di atur. Sehinggga,
penting
bagi stakeholder yang berkaitan dengan pemberitaan, penyiaran dan penyelenggara
pemilihan umum untuk dapat bekerjasama mengeluarkan regulasi yang mengatur,
mengikat dan menindak pemanfaatan media massa, terutama televisi untuk
kepentingan politik. Terlebih pada pemanfaatan televisi sebagai media, alat, dan aktor politik.
Berkaitan dengan itu,
salah satu upaya dalam menjaga
proporsionalitas iklan politik dalam penyiaran televisi adalah melalui Revisi
UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran. Revisi UU Penyiaran yang sudah menjadi
Program Legislatif 2017 tinggal menunggu waktu pengesahan saja. Revisi UU
Penyiaran yang mengutamakan tentang peralihan media penyiaran analog ke media
penyiaran digital ini, turut membahas tentang iklan politik sebagai bagian dari
iklan layanan masyarakat. Sebagai Lembaga yang bertanggungjawab untuk
penyiaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan wewenang
melalui UU Penyiaran 32 Tahun 2004 untuk mengatur pemberitaan dan penyiaran
ini.
Mengacu pada UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, diatur melalui pasal 1 ayat (8) dan Pasal 6 ayat (1), dimana
Spektrum frekuensi radio yang dipergunakan untuk penyiaran adalah sumber daya
alam terbatas yang merupakan ranah publik. Sehingga
pemanfaatannya harus sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 4
ayat (1) mengatakan sebagai kegiatan komunikasi
massa, berfungsi
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat serta control dan
perekat sosial.
Kemudian, berlandaskan UU Penyiaran, KPI mengeluarkan Peraturan KPI Nomor
01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) pasal 22 dan
Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia
Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) Pasal 40, telah
diatur bahwa dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik, lembaga penyiaran wajib
tunduk pada prinsip-prinsip
jurnalistik dan peraturan perundang – undangan berlaku. KPI juga mengeluarkan Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS), pasal 71 mengenai siaran pemilihan umum
dan pemilihan umum kepala daerah.
Sementara, terkait dengan Pilkada Serentak 2017,
KPI mengeluarkan Surat
Edaran
nomor 61/K/KPI/31.2/02/2017 yang menghimbau Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan pemberitaan atau informasi terkait pilkada secara
berimbang, proporsional,
dan mengedepankan netralitas; Mengutamakan
kemaslahatan masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak dari setiap
pemberitaan, informasi, ataupun program siaran lain yang ditayangkan;
Menghindari pemberitaan, informasi, atau program siaran yang menghasut, mengadu
domba perseorangan maupun masyarakat, bersifat fitnah, menyesatkan, bohong dan
mendiskreditkan pasangan calon atau tokoh politik tertentu; Mengenai hal – hal
lain terkait penyelenggaraan pilkada, agar tetap tunduk pada peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
Dengan regulasi
demikian, nyatanya tidak cukup mengharmonisasikan era telepolitik saat ini. Menghadapi Pilkada serentak
2018 dan Pileg serta
Pilpres 2019,
maka penting bagi Komisi I DPR RI untuk mengamati persoalan telepolitik, khususnya iklan politik di televisi. Televisi sebagai lembaga
penyiaran harus dapat menjaga independensi, netralitas dan keseimbangan siaran
televisinya. Sekaligus penting bagi televisi di era
telepolitik
ini untuk tidak mengutamakan kepentingan perorangan, golongan, dan terutama partai politik agar dapat
menciptakan keadilan siaran dan tidak menimbulkan dominasi siarannya. Dengan
demikian, melalui revisi UU Penyiaran, KPI bersama dengan televisi dapat mengatur Iklan
politik sekaligus pemberitaan politik yang tidak disiarkan secara berimbang.
Disamping pentingnya Komisi I DPR RI bersama dengan KPI untuk merevisi UU Penyiaran, tak kalah penting bagi Dewan Pers untuk menegakan UU Pers, terutama bersangkutan dengan penegakan etika jurnalistik dalam pemberitaan. Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 pasal 7 ayat (2) dikatakan, Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Sebagaimana yang terdapat pada UU Penyiaran sebelumnya, pasal 42 berbunyi, Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini menunjukan pentingnya bagi jurnalis sebagai profesi yang diatur dengan kode etiknya.
Dewan Pers bersama dengan KPI sudah seharusnya mengawasi proporsionalitas
pemberitaan media, khususnya televisi dengan penegakan UU dan Regulasi lainnya. Tentunya,
penegakan ini harus disertai dengan sanksi yang tegas bagi televisi dan jurnalis yang melanggar ketentuan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar