ANTHONY Giddens (62) memang menjadi
sangat terkenal karena bukunya, The Third Way: The Renewal of Social
Democracy (Cambridge: Polity Press, 1998; edisi Indonesia berjudul: Jalan
Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999).
Berkat buku itu, selama tiga bulan, Giddens diwawancarai sebanyak 90 kali.
Presiden AS Bill Clinton dan istrinya, Hillary, bahkan mengundang Giddens untuk
menguraikan dan berdis-kusi mengenai The Third Way di New York, 23 September 1998. Dua perdana menteri, Tony Blair dari
Inggris dan Romano Prodi dari Italia, diundang pula untuk berpartisipasi.
third Way-pun
segera mendunia. Melalui lima kuliah publik tahun 1999 berjudul Runaway
World-yang diberi-kan dari London (7/4 dan 5/5), Hongkong (14/4), New Dehli
(21/4), dan Washington DC (28/4) lewat The 1999 Reith Lectures Radio BBC
Four yang disiarkan ke seluruh dunia-Giddens mempropagandakan gagasannya.
Kuliah tersebut memicu enam pemimpin pemerintahan, Bill Clinton (AS), Tony
Blair (Inggris), Gerhard Schroeder (Jerman), Lionel Jospin (Perancis), Massimo
D'Alema (Italia), dan Henrique Cardoso (Brasil), untuk mengkaji ulang kebijakan
'kiri-tengah' dalam konferensi bertajuk "Progressive Governance for the
XXI Century" di Florence, Italia, 21 November 1999.
Dan, seakan begitu mendadak, Giddens segera saja menjadi sebuah
fenomena tersendiri di pengujung abad ke XX. Di banyak negara, teori politik
dan sosial The Third Way didiskusikan dan diseminarkan. Di Indonesia
misalnya, 15 Februari 1999 lalu, harian Kompas sudah menyelenggarakan
"Diskusi Aktualisasi The Third Way" (laporannya ada pada Kompas
edisi 19 Maret 1999). Sementara majalah Basis asal Yogyakarta mengawali
terbitan awal tahun 2000-nya dengan sebuah edisi khusus mengenai Anthony
Giddens. Di negerinya, Inggris, Giddens memang kemudian terpilih sebagai tokoh
ke-12 paling berpengaruh untuk tahun 1999 dalam dunia pendidikan, di bawah PM
Tony Blair dan Menteri Pendidikan dan Pekerjaan David Blunkett (The Sunday
Times, 26/9/1999).
HAMPIR semua ilmuwan sosial dan politik sepakat, Anthony
Giddens-sejak 1997 menjadi Direktur London School of Economics and Political Science (LSE)-terkenal karena
karya tulisnya. Lebih dari 200 artikelnya tersebar di berbagai jurnal, majalah,
dan surat kabar. Sebagian kumpulan artikelnya bahkan sudah diterbitkan oleh
penerbit Routledge dari London tahun 1997 menjadi empat jilid besar. Sementara
jumlah buku yang ditulis oleh Giddens atau bersama orang lain-sampai 1999-sudah
mencapai 32 buah. Buku-buku itu pun sudah diterjemahkan dalam 29 bahasa.
Karya-karya ilmiah Giddens juga menjadi bahan penelitian. Tercatat
12 buku ditulis mengenai pandangan pencinta klub sepak bola Tottenham Hotspurs
ini (tesis S-2 Giddens di LSE adalah mengenai "olahraga dan
masyarakat"!). Sementara itu, pengaruh keilmuan Giddens di pemerintahan
Partai Buruh Inggris juga mencolok. Secara agak sinis, politisi dan media
setempat menyebut Direktur LSE ini sebagai "Gurunya (PM) Blair".
Bersama beberapa ilmuwan lainnya, Giddens memang menjadi tokoh paling penting
dalam "University of Downing Street", sebutan sindiran dari majalah The
Economist (edisi 4/9/1999) mengenai lingkaran para akademisi di sekeliling
Tony Blair. Downing Street adalah kantor PM Inggris.
NAMUN, keterkenalan Giddens di bidang ilmu sosial itu tidak
seimbang dengan kelengkapan informasi me-ngenai data pribadinya. Ri-wayat hidup
Anthony Giddens memang penuh dengan warna kontras. Ia lahir di Edmonton, London
Utara, pada 18 Januari 1938 dari sebuah keluarga karyawan bus umum, yang di
rumahnya sama sekali tidak memiliki buku. Anthony menjadi satu-satunya anak
dari keluarga itu yang bersekolah tinggi.
"Hanya karena keberun-tungan saya bisa masuk ke University of
Hull," kenangnya. Di universitas itu, ia belajar sosiologi dan psikologi
untuk kemudian melanjutkan master-nya di LSE. Menurutnya, kala itu LSE
sangat angker. Ini berbeda dengan LSE di bawah Giddens yang menjadi sangat pop.
Pada akhir dasawarsa 1960-an, Giddens sangat tertarik dengan
"mentalitas California" yang begitu menekankan kemampuan
"transformasi diri". Mental minder "anak London
Utara" dibuangnya. Giddens kemudian mematok ambisi menjadi seorang
teoretikus besar Inggris. Ia lalu masuk ke University of Cambridge pada tahun
1970 untuk mengambil PhD. Namun, di situ-sebagai mahasiswa pascasarjana maupun
sebagai asisten dosen-ia sering bentrok dengan koleganya. Akibatnya, sembilan
kali ia ditolak menjadi dosen tetap.
Baru setelah 14 tahun di Cambridge, Giddens, yang lulus PhD tahun
1976, diangkat menjadi dosen (1984) dan profesor (1986) sosiologi. Tampaknya,
keilmuan Giddens baru diakui setelah ia menerbitkan The Constitution of
Society: Outline of the Theory of Structuration (Cambridge: Polity Press,
1984), yang menurut majalah Cosmopolis dari Jerman edisi Juni/Juli 1999
merupakan karya paling utama Giddens.
Tahun 1992, Giddens kembali melakukan transformasi diri melalui
bukunya, The Transformation of Intimacy (Cambridge: Polity Press, 1992),
yang-aneh-terjual laku sebagai buku self-help. Buku itu adalah hasil
tiga tahun masa terapi kejiwaan Giddens menyusul perceraiannya dengan istrinya
yang kedua. Dalam buku itu, Giddens menganjurkan perlunya sebuah "hubungan
murni" (antar lelaki dan perempuan) yang didasarkan pada hakekat kepuasan
hubungan itu sendiri. Tentu saja, kaum feminis Inggris sangat marah. Sosiolog
Jean Seaton misalnya, mengatakan, buku itu merupakan "maklumat seorang
pencinta oportunis posmodernis", yang hanya "menuntut hak berhubungan
tanpa tanggungjawab" [bandingkan dengan semboyan politik baru The Third
Way (hlm 65): "Tak ada hak tanpa tanggung jawab"].
Giddens memang menjadi sangat kontroversial dan terkenal ketika
dua tahun lalu ia menerbitkan The Third Way. Soal keterkenalan, bisa
dimaklumi. Sejak tahun 1985, Giddens sudah memiliki dan menguasai Polity Press,
yang menerbitkan seluruh karya tulisnya. Kemampuan penerbit ini juga luar
biasa. Melalui Polity Press sudah sekitar 400.000 textbook sosiologi
karangan Giddens, Sociology (Cambridge: Polity Press, 1998), berhasil
dijual. The Third Way juga tersebar luas karena Polity Press dan koneksi
Giddens dalam lingkaran "para kroni Tony (Blair)"-meminjam istilah The
Economist-yang juga diisi oleh jutawan televisi Waheed Alli, penerbit besar
(Random House) Gail Rebuck, dan Gubernur BBC Heather Rabbatts.
Tentang sifat kontroversial dari Giddens dengan The Third Way-nya
sampai saat ini memang masih menjadi perdebatan. Pro dan kontranya begitu
beragam. Di satu pihak, teori olahan Giddens dinilai sebagai terobosan baru.
Akan tetapi, di pihak lain, Giddens bahkan dinilai tidak memiliki konsepsi
dasar mengenai kekuasaan maupun ketimpangan struktural.
Tulisan di bawah ini mencoba untuk secara terbatas mengurai
berbagai kontroversi seputar karya Giddens, yang tidak hanya terungkap melalui
buku-bukunya tetapi juga tercetus dalam beberapa wawancaranya.
* UNTUK mewancarai Anthony Giddens, Anda akan menemui banyak
masalah, begitu ungkap wartawan Laurie Taylor dari harian Inggris The
Guardian.
Pertama, sejak tahun 1971
Giddens sudah menulis 32 buku. Tidak semua buku itu ada di perpustakaan.
Kalaupun ada, paling-paling hanya dua atau tiga buku yang sudah dibaca secara
serius. (Maklum, khususnya di negara-negara berkembang, Anthony Giddens baru
"dikenal" sejak pekan pertama September 1998 saat bukunya The
Third Way: The Renewal of Social Democracy muncul di pasaran).
Kedua, kalau ingin menanyakan
sumbangan Giddens untuk teori ilmu-ilmu sosial, maka sebuah masalah baru
muncul. Apa yang mau ditekankan: tentang karya awal Giddens mengenai teoretikus
klasik macam Marx, Weber, dan Durkheim, atau tentang karya-karya terbarunya
mengenai konsep "strukturasi" (structuration)?
Ketiga, saat ini Giddens bukan
hanya seorang ilmuwan sosial, tetapi juga seorang pengusaha yang sukses dengan
penerbitan yang dimilikinya, Polity Press. Dimensi lainnya, Giddens-sebagai
Direktur London Schools of Economics and Political Science (LSE)-adalah orang yang selalu ingin menarik sebanyak mungkin
kaum cendekiawan ke LSE, yang disebutnya sebagai "pusat pembangkit aneka
ragam pandangan politik".
Apa kesimpulan dari nasihat Laurie Taylor, yang pada tahun 1965 di
University of Leicester pernah ditolak secara halus oleh (asisten dosen)
Giddens saat diminta menjadi pembimbing mata kuliah psikologi sosial itu?
Jangan mencoba mewancarai Anthony Giddens tanpa persiapan istimewa, hubungan
kesejarahan (Taylor satu almamater dengan Giddens!) dan kerelaan untuk
"memasarkan" LSE maupun The Third Way.
KESIBUKAN Anthony Giddens memang luar biasa. Namun, hampir setiap
hari Rabu siang pukul 13.00, ia selalu memberi kuliah umum (lunch talk)
untuk seluruh mahasiswa dan staf LSE serta berbagai kalangan dari pemerintahan,
bisnis, media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hari Rabu (26/1) lalu
kuliah publiknya yang diberi judul Dunia yang Tunggang-langgang (Runaway
World) sudah memasuki seri keenam.
Bagi Giddens, kuliah umum semacam itu menjadi ajang "uji
coba" bagi gagasan dan teori-teori barunya mengenai berbagai masalah.
Lalu, apa yang menjadi perhatian Giddens saat ini? Bukan strukturasi, tetapi
"politik Jalan Ketiga", "globalisasi", dan
"ketimpangan struktural". Sekurang-kurangnya dua hal yang pertama
tercantum dalam keahlian Giddens seperti ditulis dalam website lse.ac.uk.com.
Dan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan masalah-masalah
itu, telah disediakan panduan pertanyaan dan jawabannya. Berikut beberapa
kutipannya:
Apa yang membedakan antara "Jalan Ketiga" dengan alur
politik (atau kebijakan publik) lainnya?
Politik "Jalan Ketiga" mencoba mencari sebuah hubungan
yang baru antara individu dengan masyarakat. Ia merupakan definisi ulang dari
hak dan kewajiban. Perhatian utama "Jalan Ketiga" adalah keadilan
sosial. Ia mendorong adanya keterlibatan sosial yang inklusif dan membangun
sebuah masyarakat madani yang aktif di mana kelompok-kelompok masyarakat dan
negara saling bekerja sama sebagai mitra. "Jalan Ketiga" itu berupaya
untuk menghidupkan kembali budaya madani, mengusahakan sinergi antara sektor publik
dengan sektor swasta, memanfaatkan dinamika pasar sambil tetap selalu
memikirkan kepentingan umum. (Singkat kata) politik "Jalan Ketiga"
adalah representasi dari pembaharuan demokrasi sosial.
Mengapa diperlukan sebuah "Jalan Ketiga"? Apakah itu
tidak hanya sebuah nama lain dari politik kiri-tengah?
Politik "Jalan Ketiga" diperlukan karena masalah-masalah
yang berkaitan dengan perbedaan antara garis kiri dan garis kanan dalam politik
sudah begitu besar. Saat ini pandangan (mengenai dunia) dari aliran kiri yang
lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Sementara pandangan kanan yang baru juga
tidak memadai. Ia mengandung banyak kontradiksi. Pandangan politik aliran
tengah sendiri juga telah menjadi begitu radikal hingga tidak lagi mampu
menampung politik kiri maupun kanan. Diperlukan sebuah wahana baru untuk
menampung kiri moderat (hasil pembaruan kanan) dan kiri tengah (hasil
pem-baruan kiri) agar politik emansipatoris dan keadilan sosial tetap menjadi
pusat perhatian.
Lalu, apa tujuan yang sesungguhnya dari "Jalan Ketiga"?
Untuk membantu masyarakat berunding dengan revolusi-revolusi
zaman: globalisasi, perubahan mendasar dalam kehidupan pribadi dan lembaga,
serta dalam hubungan manusia dengan alam. Ciri dasar dari kontrak sosial baru
yang dipelopori oleh politik "Jalan Ketiga" adalah "tak ada hak
tanpa tanggung jawab".
Tampaknya globalisasi telah menjadi sesuatu yang sangat mewarnai
munculnya "Jalan Ketiga" ini. Sesungguhnya, apa yang dimaksudkan
dengan globalisasi?
Globalisasi merupakan intensifikasi hubungan sosial tingkat dunia,
yang menghubungkan berbagai tempat yang terpisah begitu rupa sehingga sebuah
kejadian lokal dibentuk oleh kejadian-kejadian yang jauh, dan juga sebaliknya.
...Karena globalisasi, persepsi mengenai dunia berubah. Masyarakat harus menyesuaikan
lagi pikiran sosialnya dan tindakan sehari-se-harinya... Ini berarti harus
mengubah kembali corak hubungan antarnegara, mengubah dinamika identitas, dan
meninjau kembali berbagai hubungan-hubungan internasional.
SAMPAI di sini, Giddens memang bicara dalam tataran politik besar.
Dari sisi ini, majalah The Economist edisi 12 Mei 1998 menyebut, tidak
ada yang baru pada teori politik Giddens. "Ini mirip back to basics-nya
kalangan konservatif," tulis majalah tersebut.
Kritik mengenai politik "Jalan Ketiga" maupun konsep
globalisasinya Giddens memang banyak. Salah satu yang pantas dicatat adalah
tulisan Profesor Chibli Mallat di harian The Daily Star, Beirut, 21
September 1998.
Pakar politik Lebanon itu menulis, dengan mengatakan konsepsi
"Jalan Ketiga" sebagai konsepsi politik yang baru, Giddens cs telah
mengabaikan negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara Muslim. Sejak
dasawarsa 1970-an dan 1980-an, slogan "Jalan Ketiga" sudah
berkumandang di negara-negara itu. Revolusi Iran-lah yang mencanangkannya.
"Jalan Ketiga" adalah Islam, yang sistem kemasyarakatan bukan model
Barat (kanan) atau model Soviet (kiri).
Selain itu, tulis Profesor Mallat, dalam sejarah abad ke-XX,
"jalan ketiga" (dengan huruf kecil) adalah nama lain dari Nazisme
Jerman dan Fascisme Italia, yang mencoba memberi alternatif baru terhadap
ideologi sosialisme (Uni Soviet) dan kapitalisme (AS). Mallat kemudian
mengusulkan agar para penganut "Jalan Ketiga" lebih menekankan
nilai-nilai peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan struktural
daripada nilai-nilai umum lainnya.
Hal semacam ini memang pernah ditanyakan oleh Armin Medosch dan
Niko Waesche pada edisi 22 Desember 1997 mingguan Telepolis, Hannover
(Jerman), kepada Anthony Giddens. Waktu itu, teori strukturasi Giddens memang
sedang banyak disorot. Secara sederhana, teori tersebut antara lain menyebutkan
bahwa hidup sehari-hari manusia itu diikat oleh reproduksi lembaga-lembaga
sosial, yang dalam perjalanannya-bila tidak pernah digugat-bisa cepat berubah
menjadi sebuah tingkah laku rutin. Tingkah laku itu bisa positif tetapi juga
bisa negatif. Terhadap tingkah laku itulah, individu harus selalu memperbaharui
kontrak sosialnya.
Anda pernah berkata bahwa tidak cukup memberi kesempatan yang
sama, jika masih ada ketimpangan struktural (hasil reproduksi tingkah laku
rutin yang negatif dari lembaga-lembaga sosial). Bagaimana keterangan yang
sesungguhnya?
Di mana saja, setiap kesamaan dalam kesempatan selalu bisa
menyesuaikan diri dengan situasi ketimpangan sosial. Kalau ini dibiarkan, maka
akan terjadi reproduksi situasi negatif yang pada gilirannya akan menjadi
sebuah rutinitas hidup. Ambil contoh saja, jika Anda berada di kalangan bawah
dan sadar bahwa banyak juga yang senasib dengan Anda, maka dengan sendirinya Anda
akan merasa sebagai pariah. Situasi semacam itu-kalau dibiarkan
terus-menerus-akan menggerogoti keutuhan masyarakat. Ketimpangan harus
dipecahkan melalui pemahaman yang lebih komprehensif.
Sementara itu, kesamaan dalam kesempatan memang hanya bisa terwujud
melalui pasar lapangan kerja. Ini masalah sulit, karena justru globalisasi
ternyata memiliki kaitan dengan masalah lapangan kerja. Di beberapa wilayah
dunia, globalisasi justru meningkatkan angka pengangguran. Ini repot. Banyak
negara belum mampu memecahkan masalah ini. Saya punya gagasan, mungkin kini
saatnya untuk memikirkan semacam sistem pemerintahan global (global
governance). Masalah yang masih mengganjal adalah bahwa untuk sampai ke
situ, dibutuhkan sebuah krisis. Sejarah memang mencatat, banyak perubahan besar
muncul karena perang.
PERANG dan krisis akhirnya menjadi juga topik dalam gagasan
Anthony Giddnes. Ia memang tidak percaya bahwa saat ini akan ada perang besar.
"Kini, demokrasi sudah makin menyebar. Gagasan bahwa demokrasi itu tidak
akan berperang satu sama lain, memang benar," tulis Giddens dalam The
Third Way. Akan tetapi, bagaimana bisa muncul sebuah perubahan besar tanpa
perang atau krisis?
Giddens mengatakan, "perang-perang" atau
"krisis-krisis" akan dimunculkan dari bawah dalam skala kecil,
melalui berbagai organisasi masyarakat atau LSM. Perang-perang semacam itu
tidak harus selalu dicegah, karena mungkin merupakan peringatan sebuah hati
nurani yang independen dan murni. Sisi ini bisa menjadi sangat berpengaruh
karena globalisasi. Sedikit demi sedikit ia bisa menjadi kekuatan untuk
perubahan. Yang penting, perang atau krisis semacam itu harus tetap diberi
sebuah kerangka "hak dan kewajiban". Ubi societas, ibi ius, di
mana ada masyarakat di situ ada pula hukum, begitu tulis Giddens.