Indonesia telah
memiliki pijakan welfare state sejak disusunnya UUD 1945 sebagai konstitusi
bangsa. UUD 1945 yang disusun atas dasar semangat dan kesadaran
membangun suatu model negara sosial-demokrasi, yakni menggabungkan
prinsip-prinsip di dalam sosialisme dan demokrasi sekaligus, bertujuan untuk
menciptakan suatu tatanan masyarakat berkeadilan sosial, berkemakmuran dan
sejahtera secara bersama-sama. Prinsip-prinsip sosialisme yang bertujuan untuk
semangat kesejahteraan nasional sangat
bertentangan jika disandingkan dengan kebijakan yang diterapkan di era
pasca-Soekarno, khususnya di era Pra Soehartno, khususnya di era reformasi.
Keputusan untuk menandatangani Lol dengan IMF secara principil bertentangan
dengan UUD 1945, karena artinya negara menyerahkan mandate dan tanggung jawabnya
sebagaimana termaktub dalam pasal 33 dan pasal 34 kepada pasar, apalgi pasca amandemen
UUD 1945. Paham Negara Kesejahteraan (welfare
sfafe) ternyata dipertegas dalam tambahan pasal-pasal sosial-ekonomi[1],
yaitu dalam pasal 34 ayat 2 dan ayat 3.
Sedangkan Pasal 34 ayat 1 merupakan pasal asli (sebelum diamandemen). Dalam Pasal 34ayat (2) ditambahkan gagasan tentang sistem jaminan sosial (social
security system) yang pada umumnya sudah melembaga dinegara-negara Eropa Barat
dan Amerika Utara, bahkan di banyak negara dunia ketiga. Dinegara-negara
tersebut iuran jaminan sosial ( social security contriution) merupakan bagian
yang cukup besar dalam penerimaan negara. Dana jaminan sosial yang merupkan
sumber dana bagi upaya-upaya memberdayakan masayarakat yang lemah dan tidak
mampu. Sistem ini juga merupakan faktor kunci terhadap terlaksananya ketentuan
pasal 34 ayat 1 yaitu fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara.[2]
Ditinjau dari
prinsip demokrasi ketika diproklamirkannya negara ini,
dinyatakan bahwa “Kemerdekaan atas Nama Bangsa Indonesia”, karenanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara Demokratis Konstitusional ,
sehingga setiap kebijakan tentang pemerintahan ini harus berdasarkan suara
rakyat yang dibingkai dalam sebuah peraturan. Hal ini bisa kita lihat dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Berdasarkan ketentuan ini, Negara
Republik Indonesia dituntut untuk menerapkan sistem Demokrasi dalam
penyelenggaraan Pemerintahan, dimana setiap kebijakan tentang pemerintahan
berdasarkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
Negara Republik Indonesia menganut asas demokrasi, karena
persyaratan-persyaratan mengenai negara demokrasi ini telah dipenuhi dan
dinyatakan dengan tegas di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD 1945) . Negara-negara demokrasi modern dilihat dari sudut analisis makro,
nilai-nilai dasar politik masyarakat adalah kemerdekaan (liberty), persamaan
(equality), dan kesejahteraan (welfare). sehingga seharusnya melalui prinsip
demokrasi nagara sejahtera dapat terwujud.
Namun
ternyata, amandemen UUD 1945 dalam mewujudkan welfare state sangat dipengaruhi
oleh doktrin neoliberal yang bersemayam dalam Letter of Intent mengharamkan
campur tangan negara yang signifikan dalam ekonomi. Hal inilah yang dikatakan
oleh Habermas dan Gidden bahwa peran negara
dalam wilayah tertentu dan dalam kapasitas tertentu diperlukan untuk menjamin
kedaulatan sekaligus kebebasan individu dan warga (kolektif). Demikian juga
dengan Pierre Bourdieu yang menekankan perlunya menumbuhkan modal sosial untuk
menghadapi gempuran neoliberalisme, terutama dampaknya yang merusak tenaga
kerja.
Melihat
perkembangan Welfare state di Indonesia atas konstitusi bangsa dan kebijakan
pemerintah dapat dilihat dari tiga model
1.
Reinert, Bourdieu, dan
Walzer : Peran negara sangat penting terutama dalam hal menyangkut keadilan
sosial dan distribusi public goods yang dikatakan oleh Bourdiue. Hal ini yang
dilakukan oleh bapak pendiri bangsa terdahulu, yaitu suatu pengalaman dimana
negara merupakan faktor penting dalam perekonomian nasional, dan memiliki sifat
particular yang berbeda dengan model ekonomi kolonial. sehingga dengan adanya
persoalan masa lalu menjadi pijakan pemerintah dalam mengambil kebijakan
2.
Hayek, Friedman dan
Stiglitz, peran negara dilucuti, dimana negara tidak perlu mencampuri kebebasan
individu, terutama disektor ekonomi. Hal inilah yang dilakukan rezim Soeharto, kebijakan
ekonomi negara mengadopsi sepenuhnya kebijkan ekonomi internasional yang
dipimpin Amerika Serikat dengan watak kepemimpinan otoriteriannisme, diman
negara seakan-akan negara ikut campur tangan mengelola ekonomi padahal
sepenuhnya untuk kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan keutuhan rezim.
3.
Habermas, Gidden, dan
Rawls : dalam menyikapi globalisasidan keadilan sosial dengan mengambil posisi
menerima keduanya dalam batas-batas tidak mengabaikan kebebsan individu sebagai
pokok. hal ini lah yang dilakukan oleh SBY, sebagai kebijakn alternative namun
hal ini kerap terjebak dalam ambiguitas demokrasi dan pasar bebas, dimana yang
terakhir bisa melahap yang pertama.
Kepemimpinan SBY
saat ini terjebak dalam ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial dalam mewujudkan
welfare state serta tuntutan letter of intent dengan Washington Consensus.
Tidak berjalannya welfare state sebagai amanat UUD 1945 juga dikarenakan
bercokolnya oligarki dalam kehidupan politik dan hukum di Indonesia sehingga
menghalangi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai sila ke lima
Pancasila. Hal inilah yang dikatakan Gidens dengan berubahnya welfare state menjadi
walfare society, dimana Indonesia kemudian bentuk negara kesejahteraannya lebih
mengarah ke kesejahteraan sosial dengan intervensi negara dalam mensejahterakan
masyarakat masih tetap dibutuhkan dengan menekan pemberdayaan masayarakat untuk
dapat menghindari munculnya moral hazard agi para penerima bantuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar