Tradisi Liberal : Kewarganegaraan Sebagai
Salah Satu Identitas di Antara Banyak Identitas ( Bebas dari)
Tradisi ini muncul pada abad 17 serta
berkembang kuat pada abad 19 dan 20 dari ideologi induvidualisme yang
menekankan pada kebebesan indivisu, terutama kebebasan dari campur tangan
negara dan masyarakat. Teori dalam tradisi liberal ini juga berpendapat bahwa
warganegara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak.
Perspektif ini bercirikan penekanan pada individu dan berbasis pada hak.
Pemikir kewarganegaraan liberal ini merujuk pada TH Marshall dalam
bukunya Citizenship and Sosial Class ( 1950 ) menyatakan citizenship sebagai “a
status bestowed on those who are full members of a community ( including
civil, political, social rights”.
Selain itu dalam Nuri Suseno, Charles Tilly
menyatakan bahwa identitas dapat merujuk pada sebuah kategori, ikatan, peran
atau sebuah identitas. Menurutnya, Sebagai identitas, kewarganegaraan merujuk
pada pengalaman dan representasi publik dari kategori, ikatan atau peranan.
Dengan demikian menurut Tilly, cara pandang klasik dari Marshall tentang
kewarganegaraan mengidentifikasikan kewarganegaraan sebagai sebuah seperangkat
hak-hak, semacam ikatan khusus dengan kewajiban untuk melaksanakannya, yang
mengkaitkan kata kewarganegaraan sebuah negara dengan keseluruhan kategori
orang-orang.[1] Inilah
kenapa bagi para tradisi liberal, kewarganegaraan Sebagai Salah Satu
Identitas di Antara Banyak Identitas
Tradisi Republikan : satu identitas yang
dominan yang menekankan semua identitas lainya ( Bebas untuk )
Tradisi republican atau republik sipil sama
tujuanya dengan sejarah perpolitikan itu sendiri. Secara umum, sumber-sumber
tradisi kewarganegaraan republik sipil, bisa dibagi kedalam tiga priode. Tadisi
kewarganegaraan yang bersumber dari (1) masa yunani dengan tokok pemikiranya –
dan sekaligus praktisi politik—seperti Aristoteles (yunani kuno) (2) Tokoh
romawi , dengan tokoh-tokohnya Cicero dan Marchiavelli (Romawi), (3) Teori awal
negara moderen dengan J.J Rousseau sebagai tokok pemikirnya. Beberapa teoritisi
kontemporer seperti David Miller, Derek Heater merupakan pendukung utama
tradisi republikan sipil ini. Meskipun para tokok tersebut hidup pada era yang
berbeda, sejumlah persamaan dapat ditafsirkan pada gagasan-gagasan atau dan
pemikiran-pemikiran mereka tentang kewarganegaraan. Persamaan
pemikiran atau gagasan di antara tokoh tersebut merupakan benang merah dalam
melihat apa dan bagaimna tradisi kewarganegaraan republik sipil.[2]
Teori ini berpendapat bahwa masyarakat
sebagai komunitas politik adalah pusat kehidupan politik. Kewargenegaraan
republican menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic
bonds) suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan
individual (tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian).
Sementara itu, kewarganegaraan liberal lebih menekankan pada hak (right),
sedangkan kewarganegaraan republican menekankan pada kewajiban (duty)
warganegara.
Pemikiran Chantal Mouffe
Pemikiran Chantal Mouffe berangkat
dari bahwa dimensi politikal di dalam demokrasi tidak bisa direduksi dalam
bentuk apa pun, termasuk rasionalitas. Seandainya tetap direduksi pun dimensi
politikal tersebut tidak serta merta hilang, tetapi bergeser ke dalam domain
lain seperti etika, ekonomi, dan agama. Oleh sebab itulah upaya untuk terus
merawat dimensi politikal dalam demokrasi menjadi penting. Demokrasi adalah
jalan satu-satunya supaya hasrat politikal, yakni pertarungan antara kawan dan
lawan, dapat disalurkan secara lebih civil dan beradab. Pada level konseptual
pluralisme harus dilihat sebagai fondasi konstitutif bagi demokrasi modern.
Oleh karena itu pluralisme penting untuk dikembangkan. Tetapi, penting untuk
ditegaskan bahwa model pluralisme ekstrim dan liberal pluralisme justru bisa
menjadi potensi yang melemahkan pluralisme itu sendiri. Pluralisme
ekstrim menitik beratkan pada kebebasan yang tanpa batas dan mengabaikan bentuk
subordinasi yang terjadi di dalamnya. Begitu pula liberal pluralisme,
menghilangkan dimensi konflik dalam pengelolaan pluralisme.
Ditarik dari garis penjelasan sebelumnya, kita
dapat mengatakan bahwa pluralisme seharusnya adalah pluralisme yang di dalamnya
mengandung berbagai kepentingan yang dapat didorong untuk membentuk suatu
perjuangan hegemoni relasi kekuasaan bersifat subordinasi atau represif.
Sebagaikonsekuensinya pluralisme harus memiliki dimensi antagonis sehingga
bersifat politik. Di sinilah ditemukan tapal batas antara pluralisme liberal,
pluralisme ekstrim dengan pluralisme agonistik. Tapal batas ini merupakan
cerminan ontologis dalam memandang politik khusunya demokrasi. Cerminan
ontologis yang dimaksud adalah proses mendasar terbentuknya masyrakat. Ontologi
agonistik menekankan padarelasi kepolitikan (political) dari berbagai identitas
dalam masyarakat. Political merujuk pada dimensi antagonisme yang mana bersifat
konstitutifterhadap relasi dalam masyarakat. Antagonisme menunjukkan betapa
beragamnya identitas dalam ruang politik. Sehingga menjadi kondisi yang niscaya
bagi kita untuk menjelaskan pluralisme dalam konteks ini. Dengan kata lain
pluralism harus dijelaskan dalam kaitannya dengan berbagai identitas.[3]
Kritik dari mouffe dalam buku demokrasi
radikal ( terj. Boni Hargens : 2006 ) terhadap kewarganegaran liberal maupun
kewarganegaraan republican adalah diawali dari konsepsi Carl
Schmitt dalam The Concept of the Political, bahwa demokrasi
memerlukan homogenitas dan bila perlu menolak heterogenitas. Homogenitas, bagi
Schmitt merupakan syarat terlaksananya demokrasi, karena tanpa homogenitas
demokrasi tidak mungkin ada. Pada konsep ini Mouffe bersepakat dengan Schmitt,
yang melihat demokrasi secara substansial, yang menempatkan setiap warganegara
pada posisi yang sama dan setara untuk mengambil peran yang substansi.
Schmitt memang meletakan persamaan dalam
demokrasi sebagai persamaan substansial (substantive equality) yang
berbeda dengan persamaan dalam politik dan persamaan universal dalam arti
kemanusiaan yang dianut paham liberalisme. Namun kritik Schmitt terhadap
demokrasi liberal adalah pada keinginannya mengupayakan terjadi persamaan
universal dalam politik “kewarganegaraan”. Menurutnya yang termasuk warganegara
adalah mereka yang dikategorikan sebagai “the demos”, di luar itu bukan
warganegara sehingga tidak diperlakukan setara dan ditolak kehadirannya di
dalam ruang politik demokrasi. [4]
Kritik kewarganegaraan liberal dan republic
berangkat dari pendapat mouffe bahwa demokrasi adalah bukan sebagai hubungan
permusuhan (enemy), bukan juga sebagai perlawanan (adversary) melainkan relasi
kesahajaan, sebagai relasi “kami” dan “kita”. yakni lawan bukan musuh yang
perlu dihancurkan melainkan sebagai “lawan bersahaja” (friendly enemy) yang
keberadaan atau eksistensinya harus diakui dan dijaga guna kelangsungan relasi
demokrasi. Mouffe memang lebih menekankan partisipasi politik dibanding “consensus”
demokrasi dalam liberalis atau “dominasi” dalam Civic Republican, alasan yang
dikedepankan bahwa aspek-aspek partikularistik dari realitas social niscaya
diabaikan.[5] Mouffe
dalam melihat negara multinasional menyatakan bahwa dalam konsekuensi kesetian
bernegara adalah titik kesadaran untuk menumbuhkan rasa keadilan dan persamaan,
bahkan kebersamaan bagi setiap warganegara baik secara individu maupun secara
bagian dari kelompok warganegara. Bagi negara yang pluralis, yang biasanya
tidak konsisten menegakan rasa kesetaraan dan keadilan, pemetaan aku dan bukan
aku atau “kami” dan “kamu” dalam konsep Mouffe akan menjadi daya lekat atas
dinamika dan intergratif keragaman sehingga bisa menumbuhkan rasa “menyatu”
dalam membangun negara-bangsa (nation state). [6]
Pernyataan Mouffe di atas adalah Warganegara
yang minoritas bukan sesuatu yang harus dinegasikan dan dihegemoni, tetapi
merupakan entitas kelompok bangsa dari bagian proses pembangunan politik
nasional. Sehingga tingkat partisipasi politik yang dikedepankan mempunyai
implikasi dari rasa kebersamaan dan kedirian atas segala interelasi politik
kekuasaan yang diberlakukan oleh negara. Kemudian berdasar rasa kesamaan dan
keadilan yang diperoleh oleh setiap individu dan kelompok warganegara negara
bangsa maka persoalan kesetiaan (allegiance) akan tumbuh sebagai kepemilikan
bersama atau negara menjadi ruang bersama (common space) dengan tujuan akhir
adalah membangun kebaikan umum, bonum commune. Dan kaitan dengan konsepsi
demokratisasi, tentang perbedaaan (multikulturalisme) yang ada dalam negara
bangsa atau pada multi nasional diletakan sebagai antagonistik sebagai
persaingan damai antara friend dan friend enemy. Segenap individu sebagai
warganegara terikat dari rasa untuk tetap “ada” bersama sebagai satu negara-bangsa.
Rasa “ada” bersama ini yang oleh Duverger diposisikan sebagai “ikatan
psikologis” yan membangun “citra” kolektif dari rasa persaudaraan.[7]
Menurut Mouffe, identitas tidaklah tetap ini
dilandasi oleh konsep demokrasi yang bukan harga mati. Demokrasi sebagaimana
identitas bagi laclau-mouffe dipandang sebagai floating signifier artinya
demokrasi dan identitas mengandung ambiguitas radikal didalamnya dan bersifat
terbuka, dimana ambiguitas radikal memandang bahwa demokrasi maupun identitas
bukan konsep pasti tetapi konsep yang dibentuk oleh konteks tertentu dan
bersifat terbuka dimaksudkan pada menerima segala pemaknaan dan reartikulasi.
Sederhannanya, dalam demokrasi dan identitas menerima nilai-nilai plural,
demokrasi bukan konsep universal, melainkan dibentuk oleh nilai-nilai lokal dan
particular.
Maka dari itu Mouffe menolak bila
kewarganegaraan cuma ‘satu identitas di antara banyak
identitas’ atau ‘satu identitas yang dominan yang
menekankan semua identitas lainya. Untuk mengetahui kenapa Mouffe menolak maka
berikut penjelasan kewarganegaraan liberal dan kewarganegaraan republican.
Sehingga, menurut Mouffe dengan demokrasi yang ada, maka tidak ada identitas
yang absolut dan final ( the unfixed of all identities).[8] Diskursivitas
berproses tanpa henti. karena negara yang berdemokrasi,
warganegara sebagai floating signifier tidak bersifat mutlak dan
final. Demokrasi selalu membuka untuk identifikasi baru.[9]
Mengacu pada pendapat Mouffe ini, saya
melihat bahwa bisa saja demokrasi kemudian melahirkan ketidak jelasn identitas
kewarganegaraan atau malah kemudian kewarganegaraan menjadi kabur. Karena setia
warganegaranya merasa bahwa dengan demokrasi, kewarganegaraanntya tidak
absolute dan ini dapat memicu warganegara bergerak tanpa batas.
Kewarganegaraan Mouffe dalam Konteks ke
kinian
Menurut saya, Kewarganegaraan yang tidak absolute
Mouffe karena demokrasi bukan sebagai hubungan permusuhan (enemy), bukan juga
sebagai perlawanan (adversary) melainkan relasi kesahajaan, sebagai relasi
“kami” dan “kita”. yakni lawan bukan musuh yang perlu dihancurkan melainkan
sebagai “lawan bersahaja” (friendly enemy) yang keberadaan atau eksistensinya
harus diakui dan dijaga guna kelangsungan relasi demokrasi. Mouffe memang lebih
menekankan partisipasi politik dalam warganegaranya. Dengan demikian demokrasi
yang dituju Mouffe adalah demokrasi deliberative.[10]
Pada konteks kekinian, persoalan
kewarganegaraan Mouffe dapat merujuk pada penguatan identitas siapa kita dan
siapa kami. Contoh persoalannya dapat merujuk pada national minority group
seperti Quebec, Catalan, Palestine, Kurds. Kehadiran mereka bukan sebagai
perlawaan atau hubungan permusuahan sejatinya tetapi melainkan hubungan
kesahajaan yang ada dalam negara. Sayangnnya, praktik dari demokrasi radikal
dari Mouffe belum dapat menjawab karena kecendrungan kami dan kita dianggap
menjadi jembatan pemisiah akiat dari kesenjangan sosial, kemiskinan dan ketidak
adilan. Saya pikir negara modern saat inipun sulit untuk menekankan
kewarganegraan pada partisipasi politik warganegaranya, karena akbat dari
globalisasi kehadiran kelompok-kelompok hedonitas dan apatisme tidak dapat
dihindarkan, dan kecendrungan partisipasi sosial lebih menjadi utama atau malah
indiviudalisme semakin marak dengan siapa kita dan siapa kami bisa menjadi
siapa loe siapa gue.
Bagi saya, sulit menangkap apa yang dimaksud
Mouffe sendiri, tetapi jika ini ditarik kepada negara mulitkultural, saya
sepakat bahwa toleransi atau dikatakan Mouffe sebagai friendly enemy bisa
menjadi acuan dalam perbedaan-perbedaan identitas untuk menjadi satu
kewarganegaraan.
Sumber Bacaan
Boni Hargens, 2006, Demokrasi Radikal :
Memahami Paradox Demokrasi Modern Dalam Perspektif Postmarxis-Ostmodernis
Ernesto Laclau Dan Chantal Moufee. Lkis : Yogyakarta
Chantal Mouffe, 2000, The Democratic Paradox,
Verso Landon : New York
Nuri Suseno, Kewarganegaraan :
Tafsir, Tradisi, Dan Isu-Isu Kontemporer. Depok : Departemen Ilmu Politik
Fisip Ui, 2010
[1] Dalam
Nuri Suseno, Kewarganegaraan : Tafsir, Tradisi, Dan Isu-Isu Kontemporer.
Depok : Departemen Ilmu Politik Fisip Ui, 2010 hal. 86
[2] ibid. hal.52
[3] Chantal
Mouffe, 2000, The Democratic Paradox, Verso Landon : New York hal 80
[4] Boni
hargens, 2006, demokrasi radikal : memahami paradox demokrasi modern dalam
perspektif postmarxis ostmodernis ernesto laclau dan chantal moufee. LKis :
Yogyakarta hal. 36-45
[5] ibid
[6] ibid
[7] ibid
hal 42
[8] Chantal
Mouffe, op.cit. hal 36
[9] Boni
Hargens op.cit hal. 68
[10] Chatal
Mouffe. op. cit. 129