abstrak
Pada abad ke 20,
berkembangnya globalisasi-kapitalism telah membuka batas teritori, ras, suku,
agama, atau kelompok dalam mencari jalan
baru secara sosial-politik atau jalan moral untuk menghadapi persoalan kemanusian akibat dari krisis, konflik,
perang, dan bencana alam maupun bencana kemanusian.“One cannot stop a genocide with doctors” Seperti itulah slogan
kampanye yang diteriakan oleh Médecins Sans Frontières (MSF) dalam upaya
jalan moral menghentikan kekerasan di Rwanda 1994. Sejak 1971 sudah lebih 26.000
individu MSF bergerak melewati batas demi mewujudkan human being to human
right. Kehadiran MSF seperti memperkuat gagasan cosmopolitan, hakikatnya dunia
ini dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di dalamnya, sehingga setiap orang
mempunyai hak dan kewajiaban universal
terhadap dunia ini sehingga terwujud keadilan dan kesejahteraan.
Kata Kunci:
Globalisasi-kapitalism, Médecins Sans Frontières (MSF), Cosmopolitan
A. Pendahuluan
Menurut Bryan S. Turner dalam Citizenship and
Social Theory (1993) mengkritik TH Marshall mengatakan bahwa dalam abad
ke 20, merupakan pasca dari nation state,
dimana berkembangnya global kapitalisme membuat kelonggaran dalam batas-batas
dan kedaulatan negara. Sehingga inividu-individu ( human being) berkembang untuk mewujudkan hak asasi manusia ( human right) yang tidak lagi melekat pada manusia sebagai
warganegara tetapi mengidentifikasi dirinya sebagai warganegara global atau
dunia.[1]
Berkembangnya
ide tentang warganegara global ini sangat dipengaruhi oleh gagasan cosmopolitanism, Cosmopolitanisme adalah pandangan bahwa kemanusiaan itu pada
dasarnya satu yang berada di wilayah yang satu pula, tidak dibatasi oleh batas
teritori, ras, suku, agama, atau kelompok. Manusia dari manapun datangnya dan
dimanapun berada memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi.[2]
Pemberian atas penghargaan dan toleransi terhadap beragam identitas yang
dimiliki manusia, namun meraka sesungguhnya bisa bersama dan berbagi karena
prinsip –prinsip kemanusiaan (human)
yang satu.
Gagasan
tentang kewarganegaraan kosmopolitan untuk mempertahankan rasa yang kuat
terhadap tanggung jawab pribadi dan kolektif bagi dunia secara keseluruhan dan
untuk mendukung pembentukan lembaga-lembaga global yang efektif untuk mengatasi
kemiskinan global, peningkatan degradasi lingkungan dan pelanggaran hak
manusia. Kepercayaan bahwa masalah global bisa diselesaikan dengan
memproklamirkan hak dan kewajiban tidak dipermasalahkan.
Kritikus
berpendapat bahwa proyek kosmopolitan cenderung menjadi sarana untuk
kepentingan politik partikular tertentu yang membungkus diri dalam bahasa yang
unversal. Banyak point yang menunjukkan bahaya bahwa bentuk-bentuk baru
imperialisme budaya akan menghasilkan upaya untuk meletakkan hak dan kewajiban
yang berlaku bagi manusia di mana-mana. Satu kekhawatiran adalah bahwa
pertahanan kewarganegaraan kosmopolitan tidak hanya retorika tetapi berbahaya
karena mengancam untuk mengalihkan perhatian dari usaha yang lebih mendesak
memperbaiki negara-bangsa yang layak.
B. Rumusan Masalah
Memasuki
abad ke 20, demokratisasi dan
globalisasi-kapitalism pada negara-negara dunia ketiga cendrung masih saja
melahirkan konflik dan krisis akibat
kesenjangan perekonomian, perang dan pertikaian serta makin tuanya bumi telah
melahirkan bencana-bencana alam yang kemudian membentuk kesadaran menembus
batas negara sebagai bentuk kepedulian terhadap kemanusian. Perang saudara,
perang antar negara dan perang dalam meruntuhkan rezim yang otoritarian ataupun
infansi dengan alasan memburu terorisme telah mengakibatkan kematian, rendahnya
sanitasi, dan korban luka dari kalangan sipil setiap harinya.
Situasi
dunia seperti ini mengembalikan ide tentang kosmopolitarian, seseorang tidak
perlu memiliki kewarganegaraan, namun lebih sebagai warga dunia internasional.
Karena pada hakikatnya dunia ini dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di
dalamnya, sehingga setiap orang mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
terhadap dunia ini.
Transisi
abab 19 ke abad 20, dari social citizen to social right menuju human being to human right, berdiri
sebuah organisasi kemanusian Médecins
Sans Frontières (MSF) atau dikenal dengan Dokter Without Border. Terdiri dari dokter wartawan di Perancis
awal berdirinya, MSF terjun kemasyarakat korban kekerasan, dan perang dengan
misi kemanusian khususnya pengobatan pada korban-korban tersebut. Meskipun
terbentuk di Perancis, anggota dari MSF telah mencakup dokter dan tenaga
kesehatan serta relawan dari keilmuan lainnya dari 60 negara. Pada tahun 1994
saat terjadi Genosida di Rwanda, MSF-France mengkampanyekan slogan “One
cannot stop a genocide with doctors”.[3]
MSF-pun makin dikenal sebagai
organisasi kemanusian yang tidak melihat kepentingan politik ataupun agama
tetapi berfokus pada misi kemanusian.
Tidak saja menguntungkan negara-negara yang dialnda
konflik, krisis dan bencana, MSF telah membantu organisasi PBB, organisasi
kemanusian-pemerintahan seperti WHO,FAO dalam mengatasi penyakit dan kelaparan.
Aktivitas MSF telah melewati batas-batas negara, mereka yang tergabung di MSF
bergerak berdasarkan misi kemanusian di daerah konflik, krisis, perang dan
bencana alam amupun bencana sosial dimana saja diatas bumu. Setidaknya sudah 70
negara yang dilalui MSF dalam melakukan misi kesehatan dan kemanusiannya.
Dengan demikian, apakah organisasi kemanusian MSF merupakan
perwujudan dari gagasan cosmopolitan? Bagaimana MSF dalam mewujudkan masyarakat
tanpa batas tersebut?
C. Kerangka Teoritis : Kewarganegaraan
Kosmopolitan
Linklater mengemukakan
kewarganegaraan kosmopolitan adalah salah satu kunci dalam mencari jalan baru
secara politik untuk menghadapi kewajiban individu secara politis pula yang
selama ini terpusat kepada negara bangsa dan jalan keluar dari keraguan atas
kemampuan negara untuk otonomi dan
legitimasi terhadap kewarganegaraan negara sehingga dapat mengatasi current isuue akibat semakin diterimanya
dan dianggap sahnya Hak Asasi Manusia, dan globalisasi perdagangan, komunikasi,
dan transaksi keuangan yang bergerak diwilayah yang tanpa batas.
Kewarganegaraan
kosmopolitan merupakan gagasan
mencari hak dan kewajiban universal yang mengikat semua orang-orang
secara bersama-sama di dalam dunia yang
adil dan sejahtera.[4]
Konsepsi pertama kewarganegaraan kosmopolitan menekankan akan
kebutuhann rasa saling memiliki
tidak hanya sebatas nasional saja,
tanggung jawab pribadi terhadap lingkungan
dan tindakan untuk menciptakan lebih
banyak wujud-wujud warganegara
dunia dari masyarakat politis. Sebagai Konsepsi
yang kedua berkaitan dengan pengembangan
suatu sistim hak azasi manusia
yang universal. Adanya kepercayaan bahwa
umat manusia secara berangsur-angsur akan semakin dekat
dengan kewarganegaraan dunia melalui suatu evolusi hukum kosmopolitan yang
melindungi hak-hak.
Gagasan kosmopolitan yang
dikemukakan Linklater (2002) memiliki dua sisi yang bertentangan. Di
satu sisi, kewarganegaraan cosmopolitan merupakan gagasan
yang baik sejauh
itu menyangkut hak dan kewajiban moral warga masyarakat dunia
terhadap pelestarian
lingkungan dan program-program bantuan kemanusiaan. Menyangkut
kedua hal ini memungkinkan setiap
warga negara beraktivitas melintasi
batas-batas negara bangsa, tanpa
perlu kuatir terhadap masalah identitas sebagai
warganegara suatu negara bangsa.
Namun di sisi lain ,kewarganegaraan
kosmopolitan merupakan
gagasan yang sulit
diwujudkan jika menyangkut hubungan
antar warga dunia dimana
ada dominasi satu
terhadap yang lainnya. Kewarganegaraan cosmopolitan menjadi semakin tidak
memungkinkan jika ada hegemoni suatu negara terhadap negara lainnya.
D. Pembahasan
1.
Mengenal
Médecins Sans Frontières (MSF)
Médecins Sans
Frontières (MSF) atau dikenal dengan Dokter Without Border merupakan organisasi
kemanusian independen-non pemerintahan yang didirikan pada tahun 1971 di
Perancis. Organisasi kemanusian ini berawal dari kepedulian sekelompok dokter
dan wartawan di Perancis yang percaya bahwa setiap manusia harus memperoleh hak
untuk medical care regardless of race, religion,
creed or political affiliation, and that the needs of these people outweigh
respect for national borders.[5]
MSF dikenal lewat operasi-operasi kemanusiaan yang menentang
bahaya. Mereka kerap masuk ke pusat-pusat konflik dan peperangan paling
berdarah di dunia. Sehingga misi
utama saat ini adalah war-torn regions
and developing countries facing endemic diseases.[6] Dalam misinya tersebut, MSF independent dari politik, agama
dan kekuaatan ekonomi tertentu. Adapun misi yang telah dilakukan MSF adalah menangani
pengobatan pada wilayah konflik di Kenya dan Kosovo, Genosida tahun 1994 di Rwanda,
menangani anak-anak busung lapar akibat perang saudara di Nigeria, Gempa bumi
di Managua tahun 1972, 1974 di Honduras, menangani imigran akibat Perang
Vietnam-Kamboja-Thailand 1975-1979, 1976-1984 mendirikan rumah sakit di Lebanon
akiat perang agama, perang saudara di Sudan 1979 dan wabah Kala-Azar yang
menyerang 27.000 masyarakat Sudan, Perang saudara di Liberia tahun 1990, Perang
saudara di Somalia 1991, Perang Bosnia 1993, di Sierra Leone dalam menghadapi
wabah tuerkolosis , anaemia, drug-resistant disease, famine, and
epidemics of cholera and AIDS pada Aral Sea Area. MSF juga melakukan
faksinasi pada 3 juta jiawa di negeria yang terserang wabah meningitis di tahun
1996, dan Taliban’s neglect of
health care for women
in 1997, Gempa Haiti 1991, Konflik Kasmir, Uganda, dan
banyak lagi.[7]
Saat
ini, MSF yang dipimpin oleh Dr. Joanne Liu ini memiliki 5 kantor pusat yakni Amsterdam,
Barcelona-Athens,
Brussels,
Geneva
and Paris
dan 19 kantor cabang serta lebih dari
26.000 penduduk lokal, dokter, perawat dan professional kesehatan, tenaga
logistic,air dan teknisi sanistasi dan pelayan administrasi kesehatan di 60
negara bergabung di MSF. Dan bentuk kepeduliannya, MSF telah melakukan kerjanya
di 70 negara di dunia untuk mencapai misi kesehatan bagi seluruh masyarakat
dunia, terutama bagi negara atau wilayah yang terkena dampak konflik, perang
dan kemiskinan-kelaparan. Dalam misinya, MSF juga bekerja sama dengan International Committee of the Red Cross
( ICRC), NATO, PBB dan organisasi
kemanusian lainnya.[8]
Dalam
menjalankan misinya, menurut Alice Yeung, Field
human Resources Manager MSF Hong Kong mengatakan bahwa, para relawan harus
memahami budaya setempat, tinggal di tempat amat sederhana, terbiasa pada
kondisi kerja apa adanya sekaligus keras, dan diliputi ketegangan. Mereka
juga harus bekerja dalam tim serta mesti fleksibel. [9] Setidaknya ada lima daerah struktur misi dari MSF, yakni : field mission team, medical component,
nutrition, water and sanitation, dan statistic.[10]Dan Kampanye adalah hal terpenting untuk mewujudkan dunia
sehat.
Sehingga melalui proses yang panjang dari uji coba dan diskusi pada tahun
2005–2006. MSF menyimpulkan bahwa banyak isu-isu yang menjadi perdebatan including the treatment
"nationals" as well as "fair employment" and self-criticism.[11]
Namun menurut Presiden MSF, Dr. James Orbinski, MSF memliki komitmet untuk“Silence has long been confused with
neutrality, and has been presented as a necessary condition for humanitarian
action. From its beginning, MSF was created in opposition to this assumption.
We are not sure that words can always save lives, but we know that silence can
certainly kill”.[12] Sebagai hasil
dari misi MSF, pada tahun 1999 MSF memperoleh Nobel Peace Prize
sebagai organisasi kemanusian yang berkonsentrasi pada kesehatan akibat krisis
dan memperoleh kepercayaan internasional sebagai potential
humanitarian disasters.[13]
2.
MSF,
Mewujudkan Masyarakat Tanpa Batas
MSF,
sebagai organisasi kemanusian mengupayakan kesadaran dan kepedulian akan misi
kemanusian yang tanpa batas dimana beraktivitas untuk program kemanusian
sebagai suatu hak dan kewajiban tanpa kuatir terhadap persoalan identitas
sebagai warganegara suatu negara bangsa lagi dalam memenuhi hak asasi manusia
universal dimana saja terutama pada masyarakat korban konflik, perang dan
bencana alam ataupun kelaparan. Ini memperlihatkan bahwasanya hak dan kewajian
moral manusia dalam tataran dunia tidak lagi memandang teritori, ras, suku,
agama, atau kelompok.
Merujuk
kembali pada Linklater, anggato MSF dalam misi kemanusiannya khususnya bantuan medis,
adalah jalan baru secara sosial-politik atau jalan moral dalam menghadapi
persoalan penting terutama pada konflik, perang dan bencana alam ataupun
bencana kemanusian ( penyakit menular, wabah, kelapan dan kemiskinan) dan ini
tidak lain karena dampak dari globalisasi yang bergerak pada wilayah tanpa
batas. Anggota MSF, menunjukan bahwa adanya hak dan kewajiban universal yang
mengikat setiap individu dalam persoalan kemanusian terutama kesehatan di dunia
ini.
Anggota
dari MSF memperlihatkan bahwa pada tataran dunia pada abad ke 20 dimana human being to human right telah memutus
ikatan kebangsaan atau kedaulatan negara bangsa demi mewujudkan ikatan dunia
adil dan sejahtera. Tanggung jawab individu tidak lagi sebatas warganegara
nasional tetapi warganegara dunia yang menekankan akan kebutuhan dan tanggung jawab
pribadi terhadap lingkungan dan
tindakan untuk menciptakan lebih
banyak wujud-wujud warganegara
dunia dari masyarakat politis.[14]
Anggota
MSF tidak dengan begitu saja menjalankan misi
kemanusiannya, tidak mudah menembus batas tataran masyarakat yang masih pada
tataran nation state . Namun, MSF
memperlihatkan bahwa semakin menembus batas negara, ras, etnic, teritori, agama
dalam misinya, individu yang tergabung dalam MSF menjadi manusia yang belajar
menghargai satu sama lain, termasuk menghargai budaya. MSF yang diisi oleh
manusia petualang menurut kami cendrung menjadi masyarakat yang berpengalaman
dan menghormati manusia sehingga dapat mewujudkan bahwa masyarakat tanpa batas
itu ada. Sehingga meskipun sejauh ini ada ilmuan yang mengatakan bahwa gagasan
kewarganegaraan cosmopolitan masih utopis, MSF telah memulai untuk
mewujudkannya.
Dianggotai oleh lebih dari 26.000 individu dari 40 lintas
negara, MSF seperti menjawab kritik Michael Walzer , terhadap kewargenegaraan kosmopolitan, yang
mengatakan bahwa tidak ada ruang publik global membawa
warga kosmopolitan bersama untuk undang-undang untuk kemanusiaan secara
keseluruhan.[15]
Walzer melihat kewargenegaraan cosmopolitan dari sisi politis dimana
terbentuknya masyarakat dunia tanpa batas hanya akan menghilangkan partisipasi
politiknya malah dengan adanya MSF dengan misi human being to human right pada abad ke 20 yang dikategorisasikan
oleh Turner, memperlihatkan bahwa sebagai organisasi kemanusian, MSF melahirkan
partisipasi politik ditataran global karena hasil dan rekomendasi dari MSF turut
mempengaruhi organisasi kemanusian pemerintahan dunia (PBB) dalam kebijakan
bantuan kemanusian pada wilayah konflik, perang dan bencana alam maupun bencana
kemanusian.
Sehingga,
dengan adanya 26.000 lebih individu yang bergaung di MSF pada saat ini, tidak
menampik bahwa gerakan sosial baru yang sesuai dengan gagasan cosmopolitan akan
terwujud meskipun sejauh ini MSF dalam misinya masih terkendala oleh
persoalan-persoalan negara yang mengalami krisis seperti diusirnya MSF oleh
Myammar dalam misi kemanusian Rohyang baru-baru ini. Artinya, tidak semua
negara didunia siap dalam menghadapi atau membantu terwujudnya tataran
kewarganegaraan cosmopolitan. Bagi sebagaian negara, kewarganegaraan
cosmopolitan ini dianggap sebagai ancaman untuk terbentuknya nation state.
E. Penutup
Secara
ekstrim memang gagasan cosmopolitan memerlukan world citizenship, dimana tidak perlu lagi nation state tetapi perlu sebuah international state untuk mengatur dunia sehingga individu dapat
mencapai tujuannya melewati batas tanpa perlu kuatir. Padahal sebagai subjek
hukum international, keberadaan negara sampai sekarang tetap kuat tidak
tergantikan. Sehingga inilah yang kemudian kenapa gagasan cosmopolitan
dikatakan utopis bagi beberapa kalangan.
Hadirnya
MSF sebagai organisasi kemanusian yang mampu melewati batas, mungkin tidak
mungkin ini menjadi pintu dalam mewujudkan masyarakat dunia tanpa batas
tersebut, karena mengacu pada Turner, abad 20 ini kita individu bergerak untuk
mewujudkan hak asasi manusia tanpa mengenal sekat-sekat lagi ( human being to human right) akibat dari
globalisasi-kapitalism tidak lagi seperti abad ke 19 dimana social citizen to social right untuk
mewujudkan welfare state.
Dengan
demikian, MSF membantah bahwa cosmopolitan akan menjadi sarana kepentingan
politik particular yang membungkus diri dalam bahasa yang unversal. Kehadiran
MSF, jauh dari nuansa politis melainkan kesadaran dan kepedulian tinggi terhadp
human right. Dan MSF yang melakukan misinya
di 70 negara tidak menjadi bentuk baru dari imprealis budaya melainkan membantu negara bangsa yang sedang
terkena wabah, konflik, krisis keluar dari prahara kesehatan dan turut
membangun usaha negara bangsa yang layak.
Sumber
Referensi
1.
Barbara Arneil, Citizenship Studies, ( Vol. 11, No.
3, 301–328, July 2007) PDF
2.
Dan Bortolotti,
2004. Hope in Hell: Inside the World of Doctors Without Borders, Firefly
Books. ISBN 1-55297-865-6.
PDF
3.
Urbinski, James.
2008. An Imperfect Offering: Humanitarian Action in the 21st Century,
Doubleday Canada. ISBN 978-0-385-66069-3.PDF
4.
Forsythe DP.
2005. International humanitarianism in
the contemporary world: forms and issues, Human Rights and Human Welfare
Working Papers Source PDF
5.
Forsythe DP.
1996. The International Committee of the
Red Cross and humanitarian assistance – A policy analysis, International Review of the Red Cross
PDF.
7.
Shevchenko,
Olga, Fox, Renée. “Nationals" and "expatriates":
Challenges of fulfilling "sans frontières" ("without
borders") ideals in international humanitarian action".
www.hhrjournal.org.
PDF
9.
Nuri Suseno, 2013. Kewarganegaraan,
Tafsir Tradisi dan Isu-isu Kontemporer. Departemen Ilmu Politik : FISIP UI
[1] Winarno Narmoatmojo, Global
Citizen education pdf
[2] Barbara Arneil,
Citizenship Studies, ( Vol. 11, No. 3, 301–328, July 2007)
[3] Dan Bortolotti,
2004. Hope in Hell: Inside the World of Doctors Without Borders, Firefly
Books. ISBN 1-55297-865-6
[4] Nuri Suseno,
2013. Kewarganegaraan, Tafsir Tradisi dan Isu-isu Kontemporer. Departemen Ilmu
Politik : FISIP UI
[5] ibid, Dan Bortolotti,
[6] Urbinski,
James. 2008. An Imperfect Offering: Humanitarian Action in the 21st Century,
Doubleday Canada. ISBN 978-0-385-66069-3.
[8] Forsythe
DP. 1996. The International Committee of
the Red Cross and humanitarian assistance – A policy analysis, International Review of the Red Cross
(314): 512–531.
[9] MSF International Activity Report .2010. www.msf.org.
[10] op.cit Dan Bortolotti
[11] Shevchenko,
Olga, Fox, Renée. “Nationals" and "expatriates":
Challenges of fulfilling "sans frontières" ("without
borders") ideals in international humanitarian action".
www.hhrjournal.org.
[14] merujuk pikiran Linklater
[15] Cosmopolitan support? Etica
& Politica / Ethics & Politics, XII, 2010, 1, pp. 362−376.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar