“
Tradisi Kewarganegaraan”
Tradisi
kewarganegaraan berkembang sesuai dengan tradisi repulik yunani kuno. Pasca
perang dunia kedua, tradisi kewarganegaraan terdiri dari berbagai penekanan
namun, tradisi kewarganegaraan ini dalam prakteknya tidak berdemensi satu,
tidak homogenous, unitary ataupun universal. Artinya, kewarganegaraan
prakteknya cendrung bervariasi dan bisa saja berbeda antar organisasi
masyarakat. berbagai penekanan menjelaskan kewarganegaraan dilakukan, tapi
garis besarnya penekanan dalam kewarganegaraan bisa dikategorikan atas
kewarganegaraan liberal dan kewarganegaraan republic. Penekanan ini, berupaya
menjelaskan bagaimana perkembangan tradisi kewarganegaranaan dalam menjelaskan
posisi masyarakat dalam bernegara, bagaimana individu dalam dipenuhi dan
memenuhi haknya dalam bernegara.
Dalam
perkembangan tradisi kewarganegaraan, situasi politik dan sistem politik yang
digunakan di suatu negara merupakan salah satu faktor yang paling berperan
dalam mempengaruhi konsep kewarganegaraan seperti apa yang digunakan oleh
negara tersebut. Paradigma liberal dan paradigm republic dalam menjelaskan
kewarganegaraan tentunya berbeda. Namun, satu hal yang menjadi penting dari
kedua sudut pandang tersebut adalah perdebatan dalam tradisi kewarganegaraan yakni
keterkaitan antara hak kewarganegaraan sipil dan hak kewarganegaraan sosial
baik individu maupun kelompok, dimana hak untuk menghadapi negara dan dimana
hak untuk memperoleh pelayanan dari negara.
Dengan
demikian, perkembangan tradisi
kewarganegaraan ini, tentunya mengutamakan
bagaiamana negara dalam pemenuhan atas hak bernegara individu/kelompok tetapi juga mempertimbangkan sistem politik
dan sistem pemerintahan yang dibangun negara. artinya satu dengan lainnya
saling mempengaruhi meski kemudian akan melahirkan perdebatan atas kadar-kadar
pemenuhan dan dipenuhinya individu/kelompok oleh negaranya.
“
Negara Nasional : Identitas Nasional, Nasionalisme dan Kewarganegraan”
Negara
nasional : identitas nasional dan nasionalisme serta kewarganegraan merupakan isu-isu
yang didorong oleh pertama, posisi dan peran serta tantangan sentral negara
nasional dalam ilmu politik secara akademis maupun praksis. Kedua, perlunya
negara melihat dan mempertimbangkan peran-peran baru sebagai upaya respon
terhadap situasi perpolitikan dua pulu tahun terakhir. Ketiga, lahirnya
demokratisasi sebagai fenomena sosial-politik yang berakibat terhadap muncul
dan menguatnya gerakan sosial baru dan peran serta posisi masyarakat sipil. Dan
keempat, adanya justifikasi atau pembenaran yang dilakukan oleh negara-negara
yang belum kelar demokratisasi untuk melansir keijkan ekonomi, politik, sosial
dan keamanan.
Tiga
isu besar yang didorong oleh empat penyebab ini tidak lain karna proses-proses
globalisasi dalam 20 tahun terakhir mengerogoti kedaulatan negara nasional yang
kemudian memunculkan gerakan-gerakan kebangkitan nasionalisme dan
gerakan-gerakan sosial baru baik sub-negara maupun supra-negara. Dimana dunia
kemudian terpecah-pecah atas ribuan kelompok tribal/etnic dan ratusan
nasionalitas yang tersebar di 5 benua yang dihadapkan dengan persoalan yang
sama secara global.
Hal
inilah yang kemudian memuculkan bagaimana peran negara? dan efek apa yang
kemudian muncul pada rakyatnya? bagaimana kewarganegaraan mereka? Dan jika ditelisik, negara memang memiliki
peran sentral dalam menjaga nasionalisme dan menyaring globalisasi jika tidak,
peran negara akan menyusut dan digantikan dengan kekuatan masyarakat sipil
sebagai sentral. Dari hal inilah kemudian kenapa penting melihat hubungan negara
dan warganegara. Selain itu, teori dan konsep terkait kedua ini berjalan
dinamis artinya sesuai dengan isu yang berkembang dimasyarakat dan sistem
perpolitikan yang berlaku.
“
Gender dan Kewarganegaraan”
Berangkat
dari pertanyaan “ apakah ketika gagasan kewarganegaraan dilahirkan menghimpun
cara berpikir, perspektif dan kepentingan perempuan? apakah gagsan
kewarganegaraan ini ramah dengan perempuan? untuk menjawabnya maka Nuri Suseno
dalam bab Gender dan Kewarganegaraan dalam bukunya Kewarganegraan membedahnya
dari 3 asumsi dasar yang menjadi panduan yakni pertama : tradisi kewarganegaraan
tidak universal dan tidak netral jender, kedua : pengeklusikan perempuan dari
ruang publik dan arena perpolitikan sangat terkait dengan pemisahan pulik dan
privat, ketidakadilan structural di wilayah domestic ( keluarga) dan publik
(pasar kerja), dan ketiga : perlu dikembangkan kewarganegaraan politik dengan
persepsi jender untuk memperbaiki kondisi kehidupan perempuan dan
kelompok-kelompok masyarakat lemah serta meningkatkan kualitas kewarganegaraan
sebagai sebuah bentuk kewarganegaraan yang lebih adil jender dan nyaman bagi
perempuan.
Kita
tidak bisa menampikkan bahwasanya politik mainstream yang ada, dianggap oleh
akademisi dan aktivis feminis, cendrung mengabaikan cara berpikir, perspektif
dan kepentingan perempuan dalam gagasan-gagasannya, termasuk gagasan
kewarganegaraan sendiri. Sehingga, diskursus tentang kewarganegraan yang
berorientasi pada jender berkembang, dan cendrung menjadi dua konsepsi yakni,
pertama Kewarganegraan Gender-Netral dimana membuka kemungkian perempuan untuk
berpartisipasi sebagai rekan yang sederajad dengan laki-laki diwilayah publik.
Kedua, Kewarganegaraan differentiated, dimana adanya pemberian pengakuan dan
penghargaan pada peran dan tanggung jawa perempuan diwilayah privat.
Konsepsi
kewarganegraan ini memperlihatkan bahwasanya perempuan itu ingin adanya
persamaan/kesetaraan dalam perlakuaan dan kesempatan tetapi juga menuntut
adanya pengakuan atas perbedaan mereka. Selain itu, penerapan konsep
kewarganegraan gender ini harus didukung oleh sistem politik dan pemerintahan
yang demokratis. Tetapi memang konsepsi yang anti mainstream ini sulit
diwujudkan apalagi seperti Indonesia dengan kultur yang tidak demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar