Selasa, 09 September 2014

Will Kymlicka : Negara Bangsa dan Identitas yang Multikultural



Dalam buku Politics In The Vernacular : Nationalism, Multiculturalism and Citizenship ( 2001), Kymlicka mengkritisi ilmuan politik yang memandang eksistensi negara dan kebangsaan sebagai sifat ilmiah.[1] Bagi Kymlicka, negara kebangsaan tidaklah bersifat ilmiah, menurutnya negara kebangsaan lahir akibat dari gerakan-gerakan berbasis kelompok budaya. Seperti gerakan subnasional yang dilandasi ikatan kebudayaan dalam membangun negara kebangsaan. Menurutnya banyak contoh gerakan sosial dan politik yang merupakan ekspresi dari keanekaragaman identitas dan budaya di dalam negara seperti tuntutan pemisahan etnis, agama yang mendasari terbentuknya negara bangsa modern.[2] Sehingga Kymlicka didasari oleh pemikiran tersebut merujuk bahwa negara modern saat ini bersifat multikultural, sehingga tidak cocok lagi menggunakan kerangka ideal lama bahwa negara bangsa merupakan negara yang homogen yang bersifat alamiah, melainkan negara yang heterogen, multikultural yang terbentuk dari gerakan-gerakan subnasional, identitas dan budaya.
            Seperti halnya Indonesia sebagai negara bangsa, terbentuk dari gerakan-gerakan subnasional, identitas dan budaya yang dilandasi oleh kolonialisme dan kekalahan Jepang pada perang dunia 2, ini mempertegas pernyataan kymlicka bahwa terbentuknya negara bangsa tidaklah ilmiah. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah pluralitas dan heterogenitas serta nasionalisme ganda dimana ada identitas etnis dan sipil yang secara bersamaan melekat pada warganegara Indonesia, contohnya, etnis batak, minang, jawa, china, melayu, India, Arab dsb (etnis minoritas maupun mayoritas)   yang tersebar dari sabang sampai merauke yang merupakan sipil (warganegara) Indonesia ( misalnya : Saya Minang, dan Saya Indonesia). Dengan demikian Indonesia menjadi negara bangsa modern dimana multi nasional, multi etnis dan heterogen terhadap budaya dan juga agama.
            Inilah kenapa Kymlicka tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa semua penduduk di dalam sebuah negara harus memiliki identitas yang sama yang melekat pada setiap warganegara karna setiap individu membawa identitas etnis, agama, ataupun kelompoknya( ini merujuk pada kehadiran identitas baru dari kemajemukan yang disadari Kymlicka seperti gay/lesbian, kelompok difabel dsb) melainkan sebagai sebuah identitas yang otonom individu yang berbeda-beda sekaligus memiliki identitas sipil sebagai nasionalisme terhadap negara bangsanya. Atau jika kita mengacu pada pernyataan Mouffe bahwa tidak adanya identitas yang absolut dan final ( the unfixed of all identities).[3] Diskursivitas tentang identitas selalu berproses tanpa henti makanya banyak identitas baru yang akan muncul secara terbuka. Jika Mouffe menolak bila kewarganegaraan cuma ‘satu identitas di antara banyak identitas’  atau  ‘satu identitas yang dominan yang menekankan semua identitas lainnya, maka Kymlicka menekankan pada multikultural warganegara dalam negara bangsa yang ingin diakui atas perbedaan bukan persamaan untuk perbedaan tersebut.

Kymlicka : Negara Bangsa Adalah Kewarganegaraan Multikultural (Tantangan dan Peluang)
            Kymclika menekankan bahwa dengan heterogenitas agama dan budaya, multi nasional, multi etnis yang menjadi dasar lahirnya negara bangsa haruslah tidak tinggi dari nasionalisme sipil, karena kelompok etnis dari sub-nasional yang memiliki wilayah teritori dapat melahirkan konflik untuk memperoleh kontrol atas satu wilayah tertentu atau seluruh negara. Artinya nasionalisme sipil dan nasionalisme etnis dapat semakin liberal atau berkurang liberal, sehingga perbedaan ini tidaklah sederhana. Seperti lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua Merdeka, bagi Kymlicka, identitas etnis yang lebih besar dari identitas sipil tidaklah boleh dalam negara bangsa. Inilah kenapa Kymlicka mengatakan bahwa negara bangsa modern yang multikultural dapat menjadi pisau bermata dua, artinya pluralitas, heterogenitas negara bangsa dapat sebagai nation building sekaligus nation destroying[4], dimana disatu sisi terbentuknya negara bangsa Indonesia ini sebagai sebuah gerakan subnasional untuk mewujudkan imagined community  tetapi juga dapat menghapus rasa kebangsaan akibat dari tidak terpenuhinya hak dari minoritas pada teritori tertentu akibat dari kesenjangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan.
            Tetapi apabila kontradiksi atas identitas etnis dan sipil menjadi konflik yang kemudian melahirkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang terus menerus mengupayakan keinginan untuk adanya nasionalisme minoritas maka Kymlicka menawarkan agar negara multi nasional dapat melepaskan sub nasional dengan pemisahan dan penarikan batas-batas negara yang baru meski kemudian berdampak pada banyaknya bangsa tidak negara. Dan cara keduanya adalah dengan memberikan kekuasaan pada kelompok yang paling besar untuk menggunakan nasionalisme negara untuk menhancurkan nasionalisme minoritas yang akan berdampat atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang memperpanjang pelanggaran HAM.
            Bagi kymlicka, Ia tidak menghendaki minoritas nasionalis untuk meninggalkan identitas nasional mereka dan berintegrasi ke negara nasional, tetapi Ia juga tidak melihat kemungkinan untuk memberikan semua minoritas nasional negara sendiri. Baginya, tidak realistis untuk memenuhi tuntutan pemisahan yang diajukan oleh semua nasionalisme minoritas.[5] Identitas nasional tetap menjadi penting dan ada untungnya bagi negara untuk menciptakan unit politik dalam negara nasional dimana kelompok minoritas bangsa Indonesia seperi GAM, OPM dapat menjalankan pemerintahan sendiri dengan unit politik yang tidak harus negara. Untuk itu kenapa kemudian Indonesia memberlakukan daeah otonomi khusus pada Aceh maupun Papua. dengan demikian, kelompok minoritas budaya pada teritori tertentu ini tetap menjadi nasionalisme minoritas dalam nasionalisme negara yang lebih besar.
            Tidak saja persoalan heterogenitas budaya yang melahirkan  identitas etnis dan identitas sipil, Indonesia juga dihadapkan dengan heterogenitas ajaran agama. Meskipun ajaran agama yang diakui meliputi Islam, Khatolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu, ada kelompok minoritas yang memeluk ajaran agama yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan negara yang kemudian harus disingkirkan oleh pemeluk ajaran agama tertentu. Seperti yang dialami oleh kelompok minoritas pemeluk ajaran agama Syiah di Madura yang dilanggar hak universalnya sebagai individu yang otonom yang memiliki identitas agama dan sekaligus identitas sipil. Padahal jika merujuk pada pemikiran-pemikir aliran Marxisme, bahwa perbedaan yang melahirkan konflik dapat dikelola bukan dimusnahkan. Apalagi terkait ajaran agama yang merupakan cara individu untuk berhubungan dengan tuhannya merupakan hak otonom dari individu tersebut.
            Terkait dengan persoalan yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas seperti di Indonesia ini, didasari oleh pertanyaan moral Kymlicka “ apakah kebijakan pembangunan bangsa masih diterima meskipun melibatkan penghacuran terhadap minoritas?” Maka dilandasi atas perhatian khususnya terhadap kelompok minoritas mengatakan bahwa hak asasi manusia tradisional yang ada, yang merupakan basis hak-hak kewarganegaraan liberal, haruslah dilengkapi hak-hak kelompok minoritas. Artinya, seorang warganegara selain merupakan individu yang otonom, juga merupakan bagian dari kelompoknya.
            Mengacu pada Kymlicka, maka solusinya adalah negara berperan dalam memenuhi hak universal pada setiap individu baik mayoritas maupun minoritas artinya negara bangsa seperti Indonesia yang bersifat multikultural ada dua hak yang harus diperoleh penduduk negara bangsa tersebut, yakni hak asasi universal pada setiap individu yang tidak membedakan kelompok budaya manapun individu tersebut berasal, dan hak asasi universal yang harus dilengkapi oleh hak-hak kelompok yang berbeda atau status khusus untuk budaya-budaya minoritas. Artinya, kelompok-kelompok minoritas seperti syiah ini, Ia hadir sebagai warganegara sipil yang diberikan hak universal seperti warganegara Indonesia lainnya serta harusnya juga dengan pemberian hak universal oleh kelompok ajaran agama lainnya yang menjadi pemeluk ajaran agama mayoritas artinya pengakuan terhadap kehadirannya, hak otonomnya pada kelompoknya. Dan jika mengacu pada kebijakan negara, maka pada  konstitusipun, Indonesia sudah menjamin kebebasan warganegaranya dalam memeluk kepercayaannya masing-masing. Artinya, ketika persoalan ini muncul dan kemudian melahirkan pelanggaran HAM sekaligus pelanggaran terhadap konstitusi maka negara tidak kuat dalam memenuhi hak universalitas warganegaranya.
            Selain itu jika mengacu pada kebijakan pembangunan kebangsaan sebagai landasan maka Kymlicka menawarkan kebijakan-kebijakan relokasi dan migrasi penduduk, manipulasi batas-batas wilayah atau kekuasaan unit-unit subnasional, kebijakan resmi dan sebagainya. Artinya Indonesia, jika memandang konflik identitas sebagai sebuah pembangunan politik yang demokratis tidak harus dengan pelanggaran HAM dan penghancuran minoritas harus membuat kebijakan relokasi terhadap kelompok minoritas dan migrasi penduduk atau dengan manipulasi batas-batas wilayah dan kekuasaan kelompok ajaran agama lainnnya. Namun ini tidaklah mudah, kita akan dihadapi pada pertanyaan moral berikutnya “apakah karena mereka minoritas lalu mereka harus di relokasi dari tanah kelahirannya?”. Bagi saya jelas ini jauh dari keadilan sebagai bangsa yang multikultural. Semestinya, keberagaman yang di atur dalam konstitusi dan semboyan kebangsaan “ Bhineka Tunggal Ika” adalah dasar untuk berkewarganegaraan multikultural di Indonesia yang menjunjung pengakuan atas perbedaan bukan persamaan dari perbedaan yang ada.
            Keberagaman yang terjadi ini harus dijadikan common space antar warganegara, kelompok minoritas maupun mayoritas atas identitas etnis, ajaran agama, budaya, politik dan status sosial lainnya untuk menjadikan satu kepentingan yang lebih tinggi yakni identitas negara bangsa yang terintegrasikan dalam diri untuk menjadi Indonesia. Artinya, sesuai dengan moralitas Kymlicka maka kebijakan yang harus mengelola perbedaan-perbedaan untuk menciptakan “setara” dan “adil” sosial antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam suatu masyarakat atau Negara.[6]

Negara Multikultural : Pengakuan atas perbedaan
            Dari bahasan ini, maka dapat dipahami bahwa kewarganegaraan dalam negara bangsa bukanlah satu identitas yang dominan seperti yang dikatakan oleh kelompok teoritis kewarganegaraan republican sekaligus bukanlah satu-satunya identitas diantara banyak identitas seperti yang dikemukakan liberian, melainkan identitas ganda dimana setiap warganegara akibat dari  pluralitas dan heterogenitasnya memiliki identitas yang terdiri dari identitas etnis dan sekaligus identitas sipil yangmana secara bersamaan melekat pada warganegara pada negara kebangsaan. Artinya, sebagai sebuah identitas yang otonom individu yang berbeda-beda sekaligus memiliki identitas sipil sebagai nasionalisme terhadap negara bangsanya.
            Selain itu dalam negara bangsa yang multikultural, identitaspun harus diberikan pada kelompok minoritas sebagai suatu identitas pengakuan terhadap hak universal mereka sebagai warganegara termasuk pada kehadiran identitas baru atas dasar gerakan sosial dan politik maupun ideologi dan budaya serta globalisasi ataupun tradisional. Kehadiran minoritas harus mendapat pengakuan atas perbedaannya terhadap mayoritas, bukan persamaan atas perbedaan yang kemudian harus menjadi seperti mayoritas.
            Menjadi perhatian khusus adalah, dalam negara bangsa yang multikultural perlu ditekankan bahwa identitas sipil yang diperoleh baik karena minoritas maupun mayoritas sebaiknya dalam menyokong pembangunan sebuah negara bangsa harusnya tidak lebih dari identitas nasional. Dengan demikian, negara bangsa tetap menjadi satu kesatuan atas perbedaan-perbedaan bukan kesamaan kesatuan.
           
Sumber referensi :
1.       Nuri Suseno, 2013. Kewarganegaraan, Tafsir Tradisi dan Isu-isu Kontemporer. Departemen Ilmu Politik : FISIP UI
2.      Boni Hargens, 2006, Demokrasi Radikal : Memahami Paradox Demokrasi Modern Dalam Perspektif Postmarxis-Ostmodernis Ernesto Laclau Dan Chantal Moufee. LKiS : Yogyakarta.



[1] Soal ke dua dari Ujian Akhir Semester 2 Mata Kuliah Nasionalisme dan Kewarganegaraan poin pertama.
[2] Dalam Nuri Suseso, Kewarganegaraan : Tafsir, Tradisi dan Isu Kontemporer, Dep. Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013 hal. 30
[3] Boni hargens, 2006, demokrasi radikal : memahami paradox demokrasi modern dalam perspektif postmarxis-ostmodernis ernesto laclau dan chantal moufee. LKis : Yogyakarta hal 42

[4] Nuri Suseno, Op.cit. hal.116
[5] ibid 117
[6] Will Kymlicka, Politics In The Vernacular : Nationalism, Multiculturalism and Citizenship. 2001 hal. 232

Tidak ada komentar:

Posting Komentar