Dalam buku Politics In The Vernacular : Nationalism,
Multiculturalism and Citizenship ( 2001), Kymlicka mengkritisi ilmuan
politik yang memandang eksistensi negara dan kebangsaan sebagai sifat ilmiah.[1] Bagi
Kymlicka, negara kebangsaan tidaklah bersifat ilmiah, menurutnya negara
kebangsaan lahir akibat dari gerakan-gerakan berbasis kelompok budaya. Seperti
gerakan subnasional yang dilandasi ikatan kebudayaan dalam membangun negara
kebangsaan. Menurutnya banyak contoh gerakan sosial dan politik yang merupakan
ekspresi dari keanekaragaman identitas dan budaya di dalam negara seperti
tuntutan pemisahan etnis, agama yang mendasari terbentuknya negara bangsa
modern.[2]
Sehingga Kymlicka didasari oleh pemikiran tersebut merujuk bahwa negara modern saat
ini bersifat multikultural, sehingga tidak cocok lagi menggunakan kerangka
ideal lama bahwa negara bangsa merupakan negara yang homogen yang bersifat
alamiah, melainkan negara yang heterogen, multikultural yang terbentuk dari
gerakan-gerakan subnasional, identitas dan budaya.
Seperti halnya Indonesia sebagai
negara bangsa, terbentuk dari gerakan-gerakan subnasional, identitas dan budaya
yang dilandasi oleh kolonialisme dan kekalahan Jepang pada perang dunia 2, ini
mempertegas pernyataan kymlicka bahwa terbentuknya negara bangsa tidaklah
ilmiah. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah pluralitas dan heterogenitas
serta nasionalisme ganda dimana ada identitas etnis dan sipil yang secara
bersamaan melekat pada warganegara Indonesia, contohnya, etnis batak, minang,
jawa, china, melayu, India, Arab dsb (etnis minoritas maupun mayoritas) yang tersebar dari sabang sampai merauke
yang merupakan sipil (warganegara) Indonesia ( misalnya : Saya Minang, dan Saya
Indonesia). Dengan demikian Indonesia menjadi negara bangsa modern dimana multi
nasional, multi etnis dan heterogen terhadap budaya dan juga agama.
Inilah kenapa Kymlicka tidak setuju
dengan pandangan yang mengatakan bahwa semua penduduk di dalam sebuah negara
harus memiliki identitas yang sama yang melekat pada setiap warganegara karna
setiap individu membawa identitas etnis, agama, ataupun kelompoknya( ini
merujuk pada kehadiran identitas baru dari kemajemukan yang disadari Kymlicka
seperti gay/lesbian, kelompok difabel dsb) melainkan sebagai sebuah identitas
yang otonom individu yang berbeda-beda sekaligus memiliki identitas sipil
sebagai nasionalisme terhadap negara bangsanya. Atau jika kita mengacu pada pernyataan Mouffe bahwa
tidak adanya identitas yang absolut dan final ( the unfixed of all identities).[3]
Diskursivitas tentang identitas selalu berproses tanpa henti makanya banyak
identitas baru yang akan muncul secara terbuka. Jika Mouffe menolak bila kewarganegaraan
cuma ‘satu identitas di antara banyak identitas’ atau ‘satu identitas yang dominan yang menekankan
semua identitas lainnya, maka Kymlicka menekankan pada multikultural
warganegara dalam negara bangsa yang ingin diakui atas perbedaan bukan
persamaan untuk perbedaan tersebut.
Kymlicka : Negara Bangsa Adalah Kewarganegaraan
Multikultural (Tantangan dan Peluang)
Kymclika menekankan bahwa dengan
heterogenitas agama dan budaya, multi nasional, multi etnis yang menjadi dasar
lahirnya negara bangsa haruslah tidak tinggi dari nasionalisme sipil, karena
kelompok etnis dari sub-nasional yang memiliki wilayah teritori dapat
melahirkan konflik untuk memperoleh kontrol atas satu wilayah tertentu atau
seluruh negara. Artinya nasionalisme sipil dan nasionalisme etnis dapat semakin
liberal atau berkurang liberal, sehingga perbedaan ini tidaklah sederhana.
Seperti lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua Merdeka, bagi Kymlicka,
identitas etnis yang lebih besar dari identitas sipil tidaklah boleh dalam
negara bangsa. Inilah kenapa Kymlicka mengatakan bahwa negara bangsa modern
yang multikultural dapat menjadi pisau bermata dua, artinya pluralitas,
heterogenitas negara bangsa dapat sebagai nation
building sekaligus nation destroying[4],
dimana disatu sisi terbentuknya negara bangsa Indonesia ini sebagai sebuah
gerakan subnasional untuk mewujudkan imagined
community tetapi juga dapat
menghapus rasa kebangsaan akibat dari tidak terpenuhinya hak dari minoritas
pada teritori tertentu akibat dari kesenjangan ekonomi dan ketimpangan
pembangunan.
Tetapi apabila kontradiksi atas
identitas etnis dan sipil menjadi konflik yang kemudian melahirkan pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia yang terus menerus mengupayakan keinginan untuk
adanya nasionalisme minoritas maka Kymlicka menawarkan agar negara multi
nasional dapat melepaskan sub nasional dengan pemisahan dan penarikan
batas-batas negara yang baru meski kemudian berdampak pada banyaknya bangsa
tidak negara. Dan cara keduanya adalah dengan memberikan kekuasaan pada
kelompok yang paling besar untuk menggunakan nasionalisme negara untuk
menhancurkan nasionalisme minoritas yang akan berdampat atas ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan yang memperpanjang pelanggaran HAM.
Bagi kymlicka, Ia tidak menghendaki
minoritas nasionalis untuk meninggalkan identitas nasional mereka dan
berintegrasi ke negara nasional, tetapi Ia juga tidak melihat kemungkinan untuk
memberikan semua minoritas nasional negara sendiri. Baginya, tidak realistis
untuk memenuhi tuntutan pemisahan yang diajukan oleh semua nasionalisme
minoritas.[5]
Identitas nasional tetap menjadi penting dan ada untungnya bagi negara untuk
menciptakan unit politik dalam negara nasional dimana kelompok minoritas bangsa
Indonesia seperi GAM, OPM dapat menjalankan pemerintahan sendiri dengan unit
politik yang tidak harus negara. Untuk itu kenapa kemudian Indonesia
memberlakukan daeah otonomi khusus pada Aceh maupun Papua. dengan demikian, kelompok
minoritas budaya pada teritori tertentu ini tetap menjadi nasionalisme
minoritas dalam nasionalisme negara yang lebih besar.
Tidak saja persoalan heterogenitas
budaya yang melahirkan identitas etnis
dan identitas sipil, Indonesia juga dihadapkan dengan heterogenitas ajaran agama.
Meskipun ajaran agama yang diakui meliputi Islam, Khatolik, Protestan, Budha,
Hindu dan Konghucu, ada kelompok minoritas yang memeluk ajaran agama yang
dianggap tidak sesuai dengan peraturan negara yang kemudian harus disingkirkan
oleh pemeluk ajaran agama tertentu. Seperti yang dialami oleh kelompok
minoritas pemeluk ajaran agama Syiah di Madura yang dilanggar hak universalnya
sebagai individu yang otonom yang memiliki identitas agama dan sekaligus
identitas sipil. Padahal jika merujuk pada pemikiran-pemikir aliran Marxisme,
bahwa perbedaan yang melahirkan konflik dapat dikelola bukan dimusnahkan.
Apalagi terkait ajaran agama yang merupakan cara individu untuk berhubungan
dengan tuhannya merupakan hak otonom dari individu tersebut.
Terkait dengan persoalan yang
dialami oleh kelompok-kelompok minoritas seperti di Indonesia ini, didasari
oleh pertanyaan moral Kymlicka “ apakah kebijakan pembangunan bangsa masih
diterima meskipun melibatkan penghacuran terhadap minoritas?” Maka dilandasi
atas perhatian khususnya terhadap kelompok minoritas mengatakan bahwa hak asasi
manusia tradisional yang ada, yang merupakan basis hak-hak kewarganegaraan
liberal, haruslah dilengkapi hak-hak kelompok minoritas. Artinya, seorang
warganegara selain merupakan individu yang otonom, juga merupakan bagian dari
kelompoknya.
Mengacu pada Kymlicka, maka solusinya
adalah negara berperan dalam memenuhi hak universal pada setiap individu baik
mayoritas maupun minoritas artinya negara bangsa seperti Indonesia yang bersifat
multikultural ada dua hak yang harus diperoleh penduduk negara bangsa tersebut,
yakni hak asasi universal pada setiap individu yang tidak membedakan kelompok
budaya manapun individu tersebut berasal, dan hak asasi universal yang harus
dilengkapi oleh hak-hak kelompok yang berbeda atau status khusus untuk
budaya-budaya minoritas. Artinya, kelompok-kelompok minoritas seperti syiah
ini, Ia hadir sebagai warganegara sipil yang diberikan hak universal seperti
warganegara Indonesia lainnya serta harusnya juga dengan pemberian hak
universal oleh kelompok ajaran agama lainnya yang menjadi pemeluk ajaran agama
mayoritas artinya pengakuan terhadap kehadirannya, hak otonomnya pada
kelompoknya. Dan jika mengacu pada kebijakan negara, maka pada konstitusipun, Indonesia sudah menjamin
kebebasan warganegaranya dalam memeluk kepercayaannya masing-masing. Artinya,
ketika persoalan ini muncul dan kemudian melahirkan pelanggaran HAM sekaligus
pelanggaran terhadap konstitusi maka negara tidak kuat dalam memenuhi hak universalitas
warganegaranya.
Selain itu jika mengacu pada
kebijakan pembangunan kebangsaan sebagai landasan maka Kymlicka menawarkan
kebijakan-kebijakan relokasi dan migrasi penduduk, manipulasi batas-batas
wilayah atau kekuasaan unit-unit subnasional, kebijakan resmi dan sebagainya.
Artinya Indonesia, jika memandang konflik identitas sebagai sebuah pembangunan
politik yang demokratis tidak harus dengan pelanggaran HAM dan penghancuran
minoritas harus membuat kebijakan relokasi terhadap kelompok minoritas dan
migrasi penduduk atau dengan manipulasi batas-batas wilayah dan kekuasaan
kelompok ajaran agama lainnnya. Namun ini tidaklah mudah, kita akan dihadapi
pada pertanyaan moral berikutnya “apakah karena mereka minoritas lalu mereka
harus di relokasi dari tanah kelahirannya?”. Bagi saya jelas ini jauh dari
keadilan sebagai bangsa yang multikultural. Semestinya, keberagaman yang di
atur dalam konstitusi dan semboyan kebangsaan “ Bhineka Tunggal Ika” adalah
dasar untuk berkewarganegaraan multikultural di Indonesia yang menjunjung
pengakuan atas perbedaan bukan persamaan dari perbedaan yang ada.
Keberagaman yang terjadi ini harus
dijadikan common space antar
warganegara, kelompok minoritas maupun mayoritas atas identitas etnis, ajaran
agama, budaya, politik dan status sosial lainnya untuk menjadikan satu
kepentingan yang lebih tinggi yakni identitas negara bangsa yang
terintegrasikan dalam diri untuk menjadi Indonesia. Artinya, sesuai dengan
moralitas Kymlicka maka kebijakan yang harus mengelola
perbedaan-perbedaan untuk menciptakan “setara” dan “adil” sosial antara
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam suatu masyarakat atau Negara.[6]
Negara Multikultural
: Pengakuan atas perbedaan
Dari
bahasan ini, maka dapat dipahami bahwa kewarganegaraan dalam negara bangsa
bukanlah satu identitas yang dominan seperti yang dikatakan oleh kelompok
teoritis kewarganegaraan republican sekaligus bukanlah satu-satunya identitas diantara
banyak identitas seperti yang dikemukakan liberian, melainkan identitas ganda
dimana setiap warganegara akibat dari pluralitas dan heterogenitasnya memiliki
identitas yang terdiri dari identitas etnis dan sekaligus identitas sipil yangmana
secara bersamaan melekat pada warganegara pada negara kebangsaan. Artinya, sebagai
sebuah identitas yang otonom individu yang berbeda-beda sekaligus memiliki
identitas sipil sebagai nasionalisme terhadap negara bangsanya.
Selain itu dalam negara bangsa yang
multikultural, identitaspun harus diberikan pada kelompok minoritas sebagai
suatu identitas pengakuan terhadap hak universal mereka sebagai warganegara
termasuk pada kehadiran identitas baru atas dasar gerakan sosial dan politik
maupun ideologi dan budaya serta globalisasi ataupun tradisional. Kehadiran
minoritas harus mendapat pengakuan atas perbedaannya terhadap mayoritas, bukan
persamaan atas perbedaan yang kemudian harus menjadi seperti mayoritas.
Menjadi perhatian khusus adalah,
dalam negara bangsa yang multikultural perlu ditekankan bahwa identitas sipil
yang diperoleh baik karena minoritas maupun mayoritas sebaiknya dalam menyokong
pembangunan sebuah negara bangsa harusnya tidak lebih dari identitas nasional.
Dengan demikian, negara bangsa tetap menjadi satu kesatuan atas
perbedaan-perbedaan bukan kesamaan kesatuan.
Sumber referensi
:
1.
Nuri Suseno, 2013. Kewarganegaraan, Tafsir Tradisi
dan Isu-isu Kontemporer. Departemen Ilmu Politik : FISIP UI
2.
Boni Hargens,
2006, Demokrasi Radikal : Memahami Paradox Demokrasi Modern Dalam Perspektif
Postmarxis-Ostmodernis Ernesto Laclau Dan Chantal Moufee. LKiS : Yogyakarta.
[1]
Soal ke dua dari Ujian Akhir Semester 2 Mata Kuliah Nasionalisme dan
Kewarganegaraan poin pertama.
[2]
Dalam Nuri Suseso, Kewarganegaraan : Tafsir, Tradisi dan Isu Kontemporer, Dep.
Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013 hal. 30
[3]
Boni hargens, 2006, demokrasi radikal : memahami paradox demokrasi modern dalam
perspektif postmarxis-ostmodernis ernesto laclau dan chantal moufee. LKis :
Yogyakarta hal 42
[4]
Nuri Suseno, Op.cit. hal.116
[5]
ibid 117
[6] Will
Kymlicka, Politics In The Vernacular :
Nationalism, Multiculturalism and Citizenship. 2001 hal. 232
Tidak ada komentar:
Posting Komentar