BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada lima aliran pemikiran politik yang mewarnai
perpolitikan di Indonesia, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa,
Islam, sosialisme demokrat, dan komunisme. Kelima aliran pemikiran inilah yang
membentuk budaya politik dan sistem politik di Indonesia dari masa lampau
sampai masa sekarang, dengan berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia.
Jika pemikiran politik lainnya merupakan sebuah pengaruh dari perkembangan
pemikiran barat, Tradisionalisme Jawa merupakan sebuah kultur pemikiran politik
yang berasal dari nusantara sendiri.
Tradisionalisme Jawa, sesuatu
yang khas yang nampak dalam pemikiran politik, bahwa realitas tidak dibagi
dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain,
melainkan realitas dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh. Dunia, masyarakat dan alam
adikodrati bagi dunia Jawa merupakan suatu kesatuan. Hal inilah
yang di jelaskan Ben Anderson dalam sebuah artikelnya, yaitu The Idea of
Power in Javanese Cultur, dimana Ben, mengidentifikasikan antara konsep
kekuasaan barat dan Jawa, dimana banyak yang bersebarangan antara model
kekuasaan Jawa dengan model kekuasaan di Barat yang menjadi dasar pengembangan
ilmu politik.
Tradisi
pemikiran politik Jawa secara khas memberikan tekanan kepada pratanda-pratanda
pemusatan kekuasaan dan bukan kepada perbuatan yang memperlihatkan pemakaian
atau pengunaanya. Pertanda ini di cari orang baik pada diri pemegang kekuasaan
maupun dalam masyarakat di mana ia memegang kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
Dalam
tradisionalisme Jawa, Kekuasaan merupakan aspek penting untuk diulas dalam
politik Indonesia. Tradisionalisme Jawa tidak saja aspek kekuasaan, ada juga
aspek kepemimpinan, civil society, dan kehidupan sosial masyarakat lainnya.
Tradisionalisme Jawa berangkat atas negara kerajaan Mataram.
Paham Barat menyatakan adanya
tendensi dalam memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang selalu instrumental,
sehingga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang netral dalam arti moral, namun
pemahaman itu berbeda dengan dunia Jawa yang menyatakan bahwa kekuasaan adalah
lebih dari kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain saja.
Kekuasaan dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang konkret, maka tidak lepas
dari ciri-ciri khasnya. Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang memandang
kekuasaan sebagai sesuatu yang netral, melainkan membawa akibat-akibat yang
baik bagi masyarakat. Kekuasaan dalam pandangan Jawa terlihat dari hasil-hasil
yang dicapainya. Apabila rakyat sejahtera, adil dan makmur, maka dapat dilihat
kekuasaan sang Raja itu.
Dengan
adanya perbedaan terhadap kekuasaan Jawa dan barat inilah menarik untuk diulas,
menurut kesimpulan Benedict Anderson (1972 : 48) kekuasaan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu konsep pemikiran barat dan konsep pemikiran Jawa. Menurutnya
kekuasaan dalam konsep pemikiran Barat adalah abstrak, bersifat homogen, tidak
ada batasnya, dan dapat dipersoalkan keabsahannya. Sedangkan kekuasaan menurut
konsep Jawa adalah konkrit, bersifat homogen, jumlahnya terbatas atau tetap dan
tidak mempersoalkan keabsahan.
Sebagai
bangsa yang memiliki etnis mayoritas Jawa tentu kekuasaan negara ikut
dipengaruhi dan apalagi presiden Indonesia bila ditelesik dari sejarah bangsa
juga dikuasai oleh etnis Jawa seperti Soekarno, Soeharto, dan terakhir ini
Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga perlu pemahaman tentang apa sebenarnya
kekuasaan Jawa itu sendiri, dan tentunya paham kekuasaan jawa ini dapat
menjelaskan kekuasaan presiden Indonesia dalam konteks kekinian, terutama
Susilo Bambang Yudhoyono. Kemenangan
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam pemilihan presiden memberikan beberapa
pelajaran penting dalam konteks politik, khususnya para kandidat dan pengamat.
Hal ini akan berhubungan dengan kultur politik yang masih mempunyai pengaruh
sangat besar di masyarakat Jawa khususnya.
C. Pertanyaan Makalah
Dengan
mengingat pentingnya kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa maka penulis
menulis makalah ini dengan pertanyaan bagaimana konsepsi kekuasaan Jawa itu
sendiri sebagai sebuah pemikiran politik tradisional khas Indonesia serta
melihat konteks kekinian kekuasaan Jawa tersebut, apakah masih ada dalam
kekuasaan Indonesia kontemporer?
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A.
Konsepsi
Kekuasaan Jawa
Dalam memahami kekuasaan Jawa,
terdapat dua konsep wilayah kehidupan manusia, yakni alam lahir dan alam batin.
Jadi
kekuasaan poltik yang bertujuan untuk mengatur masyarakat dalam Tradisi Jawa
harus sinergis dengan alam lahir dan alam batin yang berakar pada kekuatan gaib
atau adiduniawi alam semesta sendiri.
Kekuasaan dalam paham Jawa diartikan sebagai kenyataan nonduniawi yang
menentukan dirinya sendiri, dimana orang yang mendapat kekuasaan itu tidak
menentukannya, namun hanya sebagai tempat yang menampung kekuasaan tersebut.
Orang yang menampungnya tidak bertanggungJawab atas perebutan dan penggunaan,
karena kekuasaan berdaulat hanya pada dirinya sendiri.
Seorang penguasa akan betul-betul
berkuasa jika semua seakan-akan terjadi melalui dirinya sendiri. Namun
sebaliknya jika terjadi kesibukan, kegelisahan dan kekhawatiran tentang apakah
akan sukses bagi orang Jawa merupakan suatu kelemahan. Kekuasaan yang
sebenarnya nampak dalam ketenangan. Sikap tenang menunjuk pada
inti kemanusiaan yang beradab, sekaligus menunjukkan kekuatan batin, dimana
seorang penguasa harus bersikap alus.
Yang berarti bahwa ia dapat mengontrol dirinya sendiri secara sempurna hingga
memiliki kekuatan batin. Orang yang berwibawa tidak perlu menunjukkan
kewibawaannya dengan usaha-usaha yang terlihat. Bila memberikan perintah tidak
perlu dengan berkata keras dan memaksa, melainkan bisa secara tidak langsung,
baik berupa sindiran, usul, ataupun berupa anjuran.
Kekuasaan dalam pandangan Jawa
bersifat
metempiris, sehingga cara memperolehnya pun
tidak dengan cara-cara empiris. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan
pemusatan tenaga kosmis, bukan dengan melihat hasil kekayaan, keturunan,
relasi, dan lain sebagainya. Tenaga kosmis tersebut tidak dapat begitu saja
diperoleh, namun harus diberi. Sering terjadi melalui semacam pengalaman
panggilan. Bisa saja dipanggil saat sedang bersemedi lalu dijatuhi semacam
wahyu Ilahi, sehingga orang tersebut mendapat kekuatan adikodrati yang membuat
wajahnya bersinar, hingga rakyat tahu bahwa tanda itu menyimbolkan kemunculan
seorang pemimpin baru.
Itulah tata cara pergantian kepemimpinan terjadi.
Namun ada cara lain yang bisa
dilakukan agar bisa mendapata kekuasaan. Cara yang ditempuh yaitu dengan
memusatkan kasektѐn, kekuasaan kosmis, dalam dirinya sendiri. Berbagai
usaha pun dilakukan, anatara lain melakukan tåpå atau puasa,
mengurangi makan, tidur dan berpantang seksual, dan semedi. Kalau seseorang
telah menjdi pemimpin atau Raja, pastilah ia cenderung ingin memperluas
kekuasaannya. Ia berusaha pula dengan mewarisi kekuasaan yang tidak nampak
dengan mengunjungi makam-makam leluhur, mengumpulkan semua potensi dalam
benda-benda magis seperti keris, tombak dan gamelan. Apabila seorang Raja pada
masa jabatannya malah berusaha mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar
kepentingan-kepentingan pribadinya maka Raja tersebut dikatakan mulai
menunjukkan sikap pamrihnya. Hal itu mengakibatkan ia mulai disetir
oleh unsur-unsur dari luar, hal itu bisa berdampak pada hilangnya kekuatan
kosmik pada dirinya yang berakibat pada larutnya kekuasaan pada dirinya.
Dengan
demikian, Menurut Dr. Isbodroini Suyanto
dalam Disertasi Faham Kekuasaan Jawa : Pandangan Elit Keraton Surakarta dan
Yogyakarta mengkontruksi kekuasaan Jawa pada 3 komponen yakni :
1. Raja sebagai pusat kekuatan kosmis dan
mistis
2. Peranan ngelmu kasampurnaan
3. Sumber-sumber simbolik yang mendukung
kekuasaan raja
Adapun
sifat-sifat yang melekat dalam kekuasaan dipandang dari dunia Jawa antara lain
:
a. Kekuasaan
bersifat konkret, Kekuasaan dalam dunia Jawa dimaknai sebagai suatu kekuasaan
politik, dimana kekuasaan yang ada adalah suatu bentuk ungkapan kasekten
(kekuatan yang sakti).
b. Kekuasaan
itu homogeny, Kekuasaan dalam paham Jawa hanyalah merupakan ungkapan realitas
yang sama, karena kekuasaan itu berasal dari sumber yang sama, dan mempunyai
kualitas yang sama. Semua bentuk kekuasaan berdasarkan partisipasi pada kekuatan
yang satu yang meresapi seluruh dunia ini.
c. Kekuasaan bersifat konstan/tetap. Dalam
pandangan dunia Jawa, dalam kekuasaan yang dapat berubah hanyalah pembagian
kekuasaan dalam dunianya saja. Pemusatan kekuasaan di suatu tempat sama artinya
dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain.
d.
Kesaktian pemimpin diukur dari besarnya monopoli kekuasaan. Kekuasaan yang
besar diperlihatkan dari besarnya wilayah kekuasaan, dan semakin eksklusif
segala kekuatan dalam kerajaannya berasal dari padanya.
e. Kekuasaan nampak dalam ketenangan. Sikap
tenang menunjuk pada inti kemanusiaan yang beradab, sekaligus menunjukkan
kekuatan batin seorang pemimpin, dimana seorang penguasa harus bersikap alus,
yang berarti bahwa sebagai seorang pemimpin dapat mengontrol dirinya sendiri
secara sempurna hingga memiliki kekuatan batin.
f. Kekuasaan
dalam pandangan Jawa bersifat metempiris, Cara memperoleh kekuasaan tidak
dengan cara-cara empiris. Satu-satunya cara adalah dengan menggunakan pemusatan
tenaga kosmis, bukan dengan melihat hasil kekayaan, keturunan, relasi, dan lain
sebagainya. Tenaga kosmis tersebut tidak dapat begitu saja diperoleh, namun
harus diberi. Sering terjadi melalui semacam pengalaman panggilan.
g.
Kekuasaan hilang apabila pemimpin mulai menunjukkan pamrihnya, Apabila
seorang pemimpin berusaha mengikuti nafsu-nafsu dan mengejar
kepentingan-kepentingan pribadinya maka ia mulai menunjukkan sikap pamrihnya.
Hal itu mengakibatkan ia mulai disetir oleh unsur-unsur dari luar, hal itu bisa
berdampak pada hilangnya kekuatan kosmik pada dirinya yang berakibat pada
larutnya kekuasaan pada dirinya.
h. Dalam
kekuasaan tidak diperlukan suatu legitimasi. Raja sebagai sumber kedaulatan.
Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi Raja. Hal demikianlah yang
menyebabkan tidak perlunya hukum sebagai syarat legitimasi kekuasaan dan
pembatasan pemakaiannya.
i.
Kekuasaan dinilai dari hasil yang dicapai. Kekuasaan
dalam pandangan Jawa terlihat dari hasil-hasil yang dicapainya. Apabila rakyat
sejahtera, adil dan makmur, maka dapat dilihat kekuasaan sang Raja itu.
Dapat disimpulkan bahwa pemahaman
konsep kekuasaan Jawa sangat bertolak belakang dengan pemahaman kekuasaan dari
dunia Barat. Paham Barat menyatakan adanya tendensi dalam memandang kekuasaan
sebagai sesuatu yang selalu instrumental, sehingga dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang netral dalam arti moral, namun pemahaman itu berbeda dengan dunia Jawa
yang menyatakan bahwa kekuasaan lebih dari kemampuan untuk memaksakan
kehendaknya kepada orang lain saja.
B.
Kekuasaan
Jawa dalam Kekinian
Konsepsi kekuasaan Jawa dalam
perkembangan kekuasaan Indonesia kontemporer ternyata belum bisa dipisahkan.
munculnya streotip bahwa kekuasaan Indonesia adalah kekuasaan Jawa, melihat
dimana pemimpin Indonesia lebih didominasi oleh keturunan Jawa. Tentunya,
Pemimpin yang berdarah Jawa memiliki kultur kepemimpinan Jawa, sadar tidak
sadar dan mau tidak mau hal ini harus diakui oleh bangsa Indonesia sendirinya. Dalam
melihat konsepsi kekuasaan Jawa dalam konteks kekinian kita dapat mengamati dan
menganalisis Kemenangan SBY-Boediono yang memiliki falsafah politik berkultur Jawa
yang sangat diminati oleh sebagian pemilih masyarakat Indonesia, yakni etnis Jawa,
yang menekankan dimensi ngalah, linuwih,
lan tut wuri hanyani. Kultur politik Jawa bukanlah kultur politik
tergesa-gesa, berani menyatakan diri, dan cepat.
Sebenarnya, Pemikiran dan tingkah
laku politik masyarakat Indonesia bersifat multi etnis namun dipengaruhi oleh
campuran nilai beberapa suku bangsa tertentu dan dominasi Jawa, dari segi
jumlah masayarakat dan pemegang kekuasaan di Indonesia sendiri. Oleh karena
itu, selalu terdapat kecendrungan pada suku-suku Non Jawa untuk selalu
mengadaptasi diri dengan nilai-nilai ke-Jawaan atau menjadikan nilai Jawa
sebagai basis persepsi politik mereka (Muhaimin, Yahya; 53-54).
Dalam kepemimpinan SBY, sebagai orang Jawa, lebih
memperhatikan dan menggunakan tuntutan politik Jawa dalam pengambilan
keputusan. Kekuasaan Jawa juga selalu ditandai oleh upaya konsentrasi
kekuasaan. SBY telah sangat jitu
mengikuti pola ini dengan mengambil seluruh kuasa yang menyebar di berbagai
kekuatan politik. Pilihan SBY untuk mengambil Boediono menjadi Wapres dapat
dipahami sebagai usaha untuk menggenggam seluruh kekuatan politik. Berbagi
tugas, seperti periode SBY-JK dipastikan sulit muncul karena tak pernah ada
dalam konsep budaya kekuasaan Jawa.
Dalam penyusunan Kabinet SBY I dan II, nampak
jelas upaya akomodasi terhadap seluruh kekuasaan politik, yang tadinya saling
bertentangan. Jika oposisi mau sedikit mengalah, seluruh kekuatan politik akan
terkonsentrasi dalam diri SBY seorang. Belum lagi dengan konfrontasi SBY dengan
Ketua Umum Partai Demokrat, menunjukkan bahwa kekuasaan itu harus berpusat pada
satu orang yakni SBY sendiri. Begitu juga dengan konsep “Jumlah kekuasaan dalam
alam semesta selalu tetap” dimengerti SBY sebagai langkah bagaimana memperbesar
kekuasaan sembari memperkecil kekuasaan pihak lain. Hal ini dilakukan baik itu
dengan cara mengakomodasi kekuatan-kekuatan politik diseberang dirinya masuk
dalam lingkaran kekuasaanya dengan imbalan-imbalan yang bervariasi.
SBY merupakan sosok pemimpin yang kharismatik bagi kalangan
Jawa, artinya mempunyai kekuasaan dalam arti yang banyak persamaannya dengan
yang dipunyai oleh para penguasa tradisional Jawa, yang diangap sebagai pusat
pancaran kekuasaan, dan orang yang percaya akan menempelkan kekuasaanya, dari
pada tunduk sebagaimana halnya yang dilakukan kepada penguasa rasional legal,
kekuasaan lebih nampak dari pada apa yang telah dipertunjukkan, kelemahan
seorang pemimpin yang kharismatik
mengenai pusat yang telah dilemahkan seperti yang dipikirkan oleh orang Jawa.
Oleh karena itu, menjadi menarik dalam kontestasi pemilu
2014, setiap calon penguasa yang akan bertarung dalam kontestasi politik juga
tidak lupa akan konsep-konsep kekuasaan Jawa. Bagaimana konsep menghimpun
kekuasaan daripada menggunakan bisa diterapkan sebagai tindakan politik untuk
memenangkan pertarungan.
BAB III
PENUTUP
Konsep
kekuasaan Jawa ada juga implikasi-implikasinya bagi konsepsi-konsepsi tentang
kedaulatan, integritas teritorial dan hubungan-hubungan luar negeri, adanya
ketentuan yang tidak berubah dari lakon wayang dan dalam tradisi histories,
bahwa nama-nama kekaisaran atau kerajaan sama dengan nama ibu kotanya. Penguasa
atau sultan di Jawa harus mampu
mengkaloborasikan tiga hal, yaitu keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan,
ini adalah nilai-nilai yang luar biasa yang harus dimiliki oleh orang yang
sedang berkuasa di Jawa
Dengan
demikian, jelas bahwa konsep kekuasaan Jawa tidak hanya berbeda, tetapi banyak
yang berseberangan dengan model kekuasaan di barat yang menjadi dasar
pengembangan ilmu politik. Orang Jawa percaya bahwa kekuasaan itu bersifat
konkrit, homogen, berada pada jumlah yang sama di bumi dan tidak perlu
dipertanyakan legitimasinya.
Konsepsi
Kekuasaan Jawa ternyata sampai hari ini masih dapat digunakan dalam analisis
kekuasaan pemimpin Indonesia, mengingat presiden dan wakil presiden adalah
orang Indonesia dari etnis Jawa. Selain dapat menjelaskan kekuasan SBY sebagai
presiden, konsep kekuasaan Jawa ini dapat menjelaskan kekuasaan Keraton
Yogyakarta sebagai sebuah kekuasaan asli peninggalan Mataram yang samapi hari
ini masih bertahan dan Hamengkubuwono XI tetap menjadi pemegang kekuasaan Jawa
yang sangat ditaati oleh Masyarakat Jawa.
Mengulasi
Pemikiran Tradisionalisme Jawa melihat dari segi kekuasaan perlu ruang yang
lebih luas, mengingat adanya batasan lembaran makalah sehingga membuat penulis
dibatasi dalam mengungkap kekuasaan jawa ini sendiri. Terlepas dari pada itu
semua, kekuasaan jawa adalah sebuah kearifan bangsa dalam memiliki konsep yang
cendrung diabaikan oleh ilmuan politik modern di Indonesia. Penulis masih
sangat meyakini bahwa budaya sangat mempengaruhi kekuasaan seorang pemimpin
baik didaerah maupun di Nasional. Meski hal ini telah ditentang tegas oleh Tan
Malaka bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka 100% harus
terlepas dari logika mistika.
DAFTAR
PUSTAKA
Anderson, B.R.O’G, 1977, The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Holt, Culture and Politics In Indonesia.
Ithaca, London : Cornell University Press.
Budiarjo, M. 1984. Aneka Pemikiran Tentang Wibawa dan Kuasa, Jakarta : Sinar Harapan
Koentjaraningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta : Gramdia
Magnis, Suseno, F. 1984. Etika Jawa:
Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: IKAPI
Moedjanto,
M. A. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa; Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta:
Kanisius
Palmier,
Leslie H, 1969, Social Status and Power
In Java, New York : Humanities Press Inc
Raharjo,
Supratikno, 2002, Peradaban Jawa :
Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno, Jakarta : Komunitas
Bambu
Setiadi,
Bram, Dkk, 2001, Raja Di Alam Republik :
Keraton Kasunan Surakarta dan Paku Buwono XII, Jakarta : Bina Rena Pariwara.
disimpulkan dari
Miriam Budiarjo 1984. Aneka Pemikiran
Tentang Wibawa dan Kuasa, Jakarta : Sinar Harapan dan Koentjaraningrat,
1974, Kebudayaan, Mentalitet dan
Pembangunan, Jakarta : Gramdia