Oleh
Febryna Mulya
1306427226
Abstrak
Tumpang tindihnya regulasi politik terkait persoalan
agraria telah menyebabkan tingginya konflik agraria dalam lima tahun belakangan,
sehingga tak pelik menyebabkan tingginya pelanggaran HAM dan pelaku utama
pelanggaran HAM ini tetap Negara sebagai
pengambil kebijakan. Negara dihadapkan pada membela hak agraria masyarakat atau menjadi pengawal pemilik modal,
perusahan skala besar. Negara menjadi penegak Keadilan dalam HAM. Sehingga
disinilah pertanyaan keseriusan negara dalam menegakan HAM khususnya dalam masa
transisi demokrasi ini.
kata kunci : konflik
agraria, Negara, Hak Asasi Manusia
A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Setelah rejim
otoritarian runtuh, demokrasi menjadi arena di mana segala norma, nilai
dan ideologi diinstalasikan di atasnya. Akibatnya, di
jaman demokrasi ini, hak asasi secara normatif
telah dipisahkan dengan demokrasi dan direlatifkan setidaknya dengan isu hak-hak yang lain kalau bukan oleh ideologi-ideologi
politik yang relatif “baru”. Berbeda dengan massa otoritarianisme, hak asasi
terutama hak kebebasan politik merupakan
isu paling subtansial.[1]
Perjuangan dan kelahiran HAM di Indonesia
memiliki sejarah yang cukup panjang. Perkembangan pemikiran HAM, khususnya di
bidang sipil
dan politik, dapat dikelompokkan ke dalam kurun waktu 1908 1945 dan
1945-sekarang.[2]
Kesadaran akan
pentingnya hak-hak semakin menguat seiring dengan kesadaran moral umat manusia
yang juga makin berkembang. Penghargaan dan pengakuan terhadap hak-hak,
berhubungan erat dengan penghayatan nilai-nilai, khususnya moral. Dalam
hubungannya dengan HAM, penghargaan tersebut merupakan suatu imperatif moral
dan bukan soal belas kasih dan keputusan pribadi (Ceunfin, 2004: xxi).
Imperatif tersebut hadir ke permukaan sebagai kebajikan manusia yang melahirkan
keyakinan tentang adanya hak-hak dasar yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran
atau pengurangan hak-hak tersebut akan
mengurangi martabat manusia, sehingga untuk alasan apa pun hak-hak tersebut
tidak boleh dikurangi, dilanggar maupun diabaikan. Meskipun seseorang melakukan
perjanjian untuk menyerahkan atau mengurangi kebebasannya, kontrak tersebut
tidak akan dianggap sah dan esensi HAMnya tidak akan dikurangi (Onaga &
Manuel, 2004: 8). [3]
Kebijakan dan
praktik pelanggaran Hak Asasi Manus ia yang terus-
menerus terjadi telah melahirkan banyak pencari
keadilan dan pembela Hak Asasi Manusia (human
rights deffenders) serta membangkitkan semangat dan bekerja konkrit untuk membela dan melindungi warga negara
dari kekuasaan
otoriter dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ditandai dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) pada tanggal 7 Juni 1993 merupakan tonggak sejarah yang
penting untuk dicatat dalam perjuangan Hak
Asasi di
Indonesia. Komnas HAM dibentuk berdasarkan
Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tanggal
7 Juni 1993. Pembentukan komisi itu
dalam rangka mempersiapkan diri dalam
pembicaraan program aksi hak asasi manusia dalam
Konvensi Wina.[4]
Selain
adanya Komnas HAM, dibentuk pula Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia. Dalam rangka menyusun suatu piagam hak asasi manusia yang khas Indonesia, Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional
(Wanhankamnas) telah menyusun sebuah rancangan
deklarasi hak asasi manusia. Pada tanggal 26-30
Agustus 1997, dalam Rapat Koordinasi Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, telah
berhasil disempurnakan
Deklarasi Hak Asasi Manusia dari sudut Bangsa Indonesia menjadi
Piagam Hak Asasi Manusia Bangsa
Indonesia”. Piagam tersebut berisi 45 pasal, yang terbagi menjadi dua bagian,
yaitu sebanyak 33 pasal mengatur hak-hak dasar, dan sisanya 12 pasal mengatur
kewajiban manusia dan warga negara.[5]
Untuk Menjamin
Ham, kehadiran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada waktu itu dianggap sebagai
momentum penting dalam pengaturan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Pada saat itu, kedudukan Tap
MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang undangan di bawah UUD
diharapkan dapat melengkapi materi muatan UUD 1945, khususnya berkaitan dengan
Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, materi muatan Tap MPR tersebut diperintahkan
untuk diatur lebih lanjut dalam sebuah undang-undang. Atas dasar perintah Tap
MPR tersebut, kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
Sekelumit rumusan
terkiat HAM di Indonesia belum menjawab persoalan-persoalan pelanggaran HAM
yang mencuat pasca Orde Baru. Pelanggaran HAM terhadap Timor-timor pada tahun
1999. Lalu sampai kepada pembunuhan aktivis HAM, Munir dalam perjalanan ke
Belanda. Hal ini tentu masih menjadi persoalan bagi Indonesia dimasa Transisi
Demokrasi ini. Persoalan Ham dari masa Soeharto tetap mengupayakan proses hukum
dan pencarian keadilan, bagaiamana genoside PKI, petrus, Malari, dan 1998-199.
Sejarah
menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan penguasaan dan
pemanfaatan sumber-sumber agraria. Baik sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan,
masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan yang terkait dengan
ketidakadilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber
agraria. Fakta ketidakadilan agraria seringkali dipicu oleh berbagai kebijakan politik
pada setiap fase pemerintahan. Kebijakan politik yang tidak memberikan kelayakan
akses bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria. Salah
satu kasus pelanggaran Ham yang mencuat adalah pelanggaran agraris seperti di
Mesuji dan Bima belakangan ini.[6]
dimana komunitas masyarakat baku hamtam dengan penegak hukum yaitu Polri,
apakah polri dipihak perusahan atau negara sebagai penegah ? Namun, persoalan
ham adalah persoalan negara. Konflik agrarian sering mengahadapkan aparat
keamanan yakni Polri bersentuhan langsung dengna masyarakat yang kemudian
menyebabkan kematian.
2.
Rumusan
Masalah
Menurut
catatan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 56 persen aset properti,
tanah, dan perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.
Berdasarkan data dari Jaringan Advokasi Tambang, 35 persen daratan Indonesia
dialokasikan untuk tambang. Sementara Sawit Watch mencatat hingga Juni 2010,
pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta
hektar pada tahun 2020 yang diberikan kepada 600 perusahaan. Padahal
kenyataannya, masih banyak petani Indonesia yang tidak memiliki tanah atau
menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.[7]
Hal ini memperlihatkan bagaimana ketidakadilan agraria terhadap petani dan
komunitas adat.
Persoalan ini
mengakibatkan terjadi ketimpangan di dalam penguasaan dan pemilikan tanah dan
sumber daya alam yang lain, merupakan akar dari konflik agraria. Untuk mengubah
ketimpangan ini agar menjadi lebih seimbang dan mencerminkan rasa keadilan di
dalam masyarakat, maka pada umumnya ditempuh sebuah jalan pembangunan yang
dikenal sebagai pembaruan agraria (reforma agraria). Atau dalam pengertian yang
lebih sempit disebut sebagai redistribusi tanah (land reform). Pada
gilirannya, program reforma agraria akan mengurangi konflik agraria. Meskipun
demikian, reforma agraria tidak akan bisa menghapuskan sama sekali konflik agraria.
Indonesia
sebagai negara agraris, yang telah melakukan land reform agraria. Namun dalam
enam tahun terakhir, HuMa tahun 2013 mencatat konflik agraria dan sumber daya alam
(SDA) di Indonesia, terjadi menyebar di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi.
Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer
persegi alias setara separuh Sumatera Barat. Penyumbang konflik terbesar sektor
perkebunan dan kehutanan, mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan
hutan dan non kebun. Sektor perkebunan 119 kasus, dengan luasan area
mencapai 413.972 hektar, sedang sektor kehutanan 72 kasus, dengan luas
area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.[8]
Tabel 1.1
Provinsi dengan konflik Agraria terbanyak
Provinsi
|
Jumlah
Kasus
|
Luas
Lahan (Hektar)
|
Kalimantan
Tengah
|
67
Kasus
|
254.671
|
Jawa
Tengah
|
36
Kasus
|
9.043
|
Sumatera
Utara
|
16
Kasus
|
114.
385
|
Banten
|
14
Kasus
|
8.207
|
Jawa Barat
|
12
Kasus
|
4.422
|
Kalimantan
Barat
|
11
Kasus
|
551.073
|
Aceh
|
10
Kasus
|
28.522
|
Sumber
: Diolah dari HuMa, http://www.huma.or.id
Dilihat dari jenis-jenis pelanggaran
HAM, pertama, pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan
kekayaan dan sumber-sumber alam paling sering terjadi (25%). Biasa terjadi pada
sengketa yang terkait dengan kepemilikan kolektif, misal sekelompok masyarakat
adat kehilangan akses terhadap hutan adat karena pemberian konsesi pada
perusahaan oleh pemerintah. Kedua, pelanggaran hak memiliki atau
menguasasi kekayaan sebanyak 19 persen. Ini terjadi pada perampasan tanah-tanah
masyarakat secara individu. Sebagian korban mempunyai surat kepemilikan tanah
dan sebagian lain tidak. Di Kabupaten Aceh Timur, ada 700 orang bersengketa
dengan PT Bumi Flora. Warga di tujuh desa ini menunggu verifikasi tim
pemerintah terhadap surat-surat bukti kepemilikan tanah mereka. Kasus serupa
terjadi pada sengketa antara PT Lestari Asri Jaya dengan warga pendatang di
Kabupaten Tebo. Mereka saling mengklaim sebagai pihak yang sah atas tanah
itu. Ketiga, pelanggaran hak atas kebebasan sebanyak 18 persen.
Kasus ini terjadi saat aparat pemerintah menangkap semena-mena masyarakat yang
melawan penyerobotan tanah. Peritiwa penangkapan besar-besaran terjadi dalam
kasus sengketa tanah PT Arara Abadi di Kabupaten Bengkalis. Sebanyak 200 orang
ditangkap dalam sweeping mencekam dan berdarah. Juga terjadi di
Kabupaten Labuhanbatu Utara, 60 warga menentang penyerobotan tanah PT Smart
ditangkap. Nasib serupa dialami 24 warga penentang tambang PT. Fathi Resources
di Kabupaten Sumba Timur. Keempat, pelanggaran terhadap integritas
pribadi, seperti pada kasus-kasus bentrokan. Bentrokan, katanya, bisa
terjadi antara masyarakat dengan petugas keamanan perusahaan maupun kepolisian.
Tidak jarang sweeping kepolisian dengan jumlah personel di desa-desa
untuk menangkap warga. Jika ada perlawanan berakhir penembakan dan
penganiayaan.
Konflik-konflik ini melibatkan kekerasan yang memakan korban. Berbagai konflik
di tahun 2010 telah memakan korban 3 orang
petani tewas, 4 orang tertembak, 8 orang luka-luka dan sekitar 80 petani
dipenjarakan. Sementara konflik-konflik yang terjadi pada 2011, telah memakan
korban 22 petani/warga tewas. Adapun konflik-konflik yang terjadi di tahun 2012
memakan korban 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25
petani tertembak, dan 3 orang tewas. Secara kumulatif, berbagai konflik agrarian yang terjadi
selama 2004-2012 telah memakan korban 941 orang ditahan, 396 luka-luka, 63 orang luka serius
akibat peluru aparat, dan 44 orang meninggal.
Tingginya angka
kekerasan akan konflik agraria tentunya menyebabkan pelanggaran HAM menjadi
persoalan kronis tak terselesaikan. Sehingga dengan demikian penulis menarik
pertanyaan sebagai rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah,
bagaimana penegakan HAM atas konflik agraria di Indonesia khususnya pada masa
reformasi ?
3.
Batasan
Masalah
Pembicaraan tentang atau
berhubungan dengan Hak Asasia Manusia dewasa ini sangat luas dan dikaitkan
dengan aspek sosial, ekonomi, politik, hukum hingga kebudayaan. Tanpa bermaksud mengurangi keluasan tersebut,
tulisan ini tidak memeriksa semua sudut dan
lorong HAM, juga tidak mendalami hingga menyelam dasar palung tetapi
menguraikan hal-hal mendasar dari isu-isu tersebut secara umum, kalau tidak di
permukaan saja. Dalam kaitan dengan itu, HAM disini, lebih banyak menguraikan
perspektif yang mengemuka dalam tradisi liberal. Dengan terjadinya konflik agraria yang
kemudian menjadi persoalan akan pelanggaran HAM tertinggi menjadi batasan
persoalan Ham yang penulis angkat. Pokok
persoalan Agraria bertumpu pada UUPA. Banyak titik tumpu konflik, apakah
perusahan atau negara yang bertangung jawab terhadap persoaalan ini. memang
penulis tidak menampik ahwa aturan dan keijakan politik Indonesia tidak
bertumpu pada sub produk politik seperti UUPA namun untuk mengupayakan adanya
fokus penulisan, sehingga dengan kajian agraria yang luas inipun, penulis
mematasi pada Penegakan HAM atas konflik agraria pasca orde baru.
B.
Kerangka
Konseptual
1.
Hak
Asasi Manusia
Gagasan mengenai hak asasi manusia ditandai dengan munculnya
konsep hak kodrati (natural rights theory) dimana pada zaman kuno yaitu
filsafat stoika hingga ke zaman modern dengan tulisan-tulisan hukum kodrati
Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan selanjutnya pada zaman pasca Reinaisans, John
Locke mengajukan pemikiran tentang hukum kodrati sehingga melandasi munculnya
revolusi yang terjadi di Inggris ,
Amerika Serikat dan Perancis pada abad 17 dan 18.[9]
Sebuah postulasi pemikiran yang diajukan oleh John Locke bahwa
semua individu dikaruniai oleh Tuhan hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan
kepemilikan yang tidak dapat dicabut oleh negara sekalipun. Melalui suatu
kontrak sosial perlindungan atas hak-hak
yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara dengan tujuan agar negara
dapat menjamin dan melindungi terlaksananya hak-hak tersebut. Jika sampai negara
mengabaikan hak-hak tersebut maka oleh Locke diperbolehkan untuk menurunkan
sang penguasa dan menggantinya dengan suatu pemerintahan yang bersedia untuk
menghormati dan menjamin hak-hak tersebut.
Ide dan konsep hak-hak manusia seperti ini lahir dan berkembang marak
tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang berpikiran cerah pada suatu zaman
khususnya sepanjang belahan akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 mulai
memainkan peranan dalam melawan absolutisme politik.[10]
Selain Locke, Jean J. Rousseau yang menulis Du Contract
Social pada tahun 1776. Rousseau inilah yang menteorikan suatu dasar
pembenar moral falsafati bahwa rakyat
yang bukan lagi kawula, melainkan warga itu, lewat proses-proses politik
yang volunteer dan sekaligus konstitusional, bersetuju untuk membatasi
kebebasannya pada suatu waktu tertentu berkenaan dengan kasus-kasus tertentu
demi dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan pemerintahan pada waktu tertentu
untuk urusan tertentu.[11]
Perkembangan pemikiran
Ham ini diterjemahkan secara universal dalam perjanjian pendirian perserikatan bangsa-bangsa(PBB) semua negara sepakat untuk melakukan
langkah-langkah baik secara bersama-sama maupun
terpisah untuk mencapai “universal respect for, and observance of human rights and fundamental freedom for
without distinction as to race, sex,
language, or religion”[12]
Pada universal declaration
of human rights (1948), perwakilan dari berbagai negara sepakat
untuk mendukung hak-hak yang terdapat
didalamnya “as a common standard of achievement for all people dan all nation”.
Dan pada tahun 1976, International Covenant on Economic , Social, and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights yang disetujui majelis umum PBB pada tahun 1976, dinyatakan berlaku.
Sehingga Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar dan kebebasan manusia yang
melekat dalam diri setiap manusia. Menurut Amnesty International, HAM adalah basic rights and freedoms that all people
are entitled to regardless of nationality, sex, national or ethnic origin,
race, religion, language, or other status. Human rights include civil and
political rights, such as the right to life, liberty and freedom of expression;
and social, cultural and economic rights including the right to participate in
culture, the right to food, and the right to work and receive an education.
Human rights are protected and upheld by international and national laws
and treaties.[13]
Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa HAM merupakan hak moral fundamental dari
manusia yang penting dan membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Sesuai
dengan definisi tersebut, dapat intepretasikan bahwa sebuah lingkungan yang
baik adalah lingkungan yang menghargai persamaan atau otonomi individu yang
terjamin melalui pengenalan dan aplikasi dari hak dasar setiap manusia.[14]
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) memuat
prinsip bahwa hak asasi manusia harus dilihat secara holistik bukan parsial
sebab HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. [15]
HAM yang melulu dipandang sebagai aturan hukum akan berisiko
terjebak dalam formalisme; bahwa sesuatu hanya bisa dianggap HAM jika tercantum
dalam aturan. Sehingga, kekerasan sistematis terhadap perempuan maupun
minoritas tertentu, tidak akan dihukum karena belum ada aturan yang mengatur.
Padahal, sekedar mengingatkan kembali prinsip dasar HAM, pengakuan,
perlindungan dan pemenuhan atas HAM tertentu, harus juga merupakan pengakuan
atas HAM yang lain. Pemikiran Rawls
penulis anggap mampu menjawab persoalan Ham di Indonesia atas kebijakan Agraria
yang masih saja menghasilkan pelanggaran Ham terbesar dan konflik yang tak
terselesaikan.
Penegakan
ham dari perspektif teori keadilan John Rawls. Hal ini dikarenakan adanya ketidak adilan bagi pihak
agraris seperti petani dan kaum adat terhadap kebijakan negara. Hal inilah yang
dikatakan Rawlsdengan prinsip Equal Right dikatakannya harus diatur
dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip
pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic
right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan
ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan
harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan
dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jik tidak merampas
hak dasar manusia.
Bagi Rawls rasionalitas ada 2 bentuk
yaitu Instrumental Rationality dimana akal budi yang menjadi instrument
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi dan kedua yaitu Reasonable,
yaitu bukan fungsi dari akal budi praktis dari orang per orang. Hal kedua ini
melekat pada prosedur yang mengawasi orang-orang yang menggunakan akal budi
untuk kepentingan pribadinya untuk mencapai suatu konsep keadilan atau kebaikan
yang universal. Disini terlihat ada suatu prosedur yang menjamin tercapainya
kebaikan yang universal, dengan prosedur yang mengawasi orang per orang ini
akan menghasilkan public conception of justice.
Untuk itu Rawls mengemukakan teori
bagaimana mencapai public conception, yaitu harus ada well ordered
society (roles by public conception of justice) dan person moral
yang kedunya dijembatani oleh the original position. Bagi Rawls setiap
orang itu moral subjek, bebas menggagas prinsip kebaikan, tetapi bisa bertolak
belakang kalau dibiarkan masyarakat tidak tertata dengan baik. Agar masyarakat
tertata dengan baik maka harus melihat the original position. Bagi Rawls
public conception of justice bisa diperoleh dengan original position.
Namun bagi Habermas prosedur yang diciptakan bukan untuk melahirkan prinsip
publik tentang keadilan tetapi tentang etika komunikasi, sehingga muncul
prinsip publik tentang keadilan dengan cara consensus melalui percakapan
diruang public atau diskursus.
Menurut Rawls, ketimbang merujuk ke dasar filosofis HAM yang
jamak, maka perlu diambil jalan lain untuk mengatakan bahwa HAM merupakan
ekspresi standar minimum institusi politik yang terorganisir dengan baik untuk
semua orang yang merupakan bagian dari masyarakat politik tersebut. Pelanggaran
sistemik atas hak-hak ini merupakan sesuatu yang serius dan mendatangkan
masalah bagi masyarakat manusia secara keseluruhan, baik dalam masyarakat
liberal maupun hirarkis. Ketika mereka mengekspresikan standar minimum,
prasyarat-prasyarat bagi hak-hak ini, seharusnya agak berkurang (Rawls dalam
Freeman, 2001: 588-589). Penulis
kemudian mempertimbangkan dalil bahwa sistem hukum masyarakat harus, antara
lain, memasukan kewajiban dan tuntutan moral dalam hukum, maka implikasinya
mencakup dua hal: (1) konsepsi kebaikan bersama tentang keadilan; (2) keyakinan
yang baik dalam diri pejabat resmi untuk menjelaskan dan menegaskan aturan
hukum terhadap siapa pun yang terikat oleh hukum (Rawls, ibid). Untuk
membuat kedua hal ini bekerja, tidak perlu membutuhkan gagasan liberal bahwa
seseorang pertama-pertama merupakan warga Negara dan karena itu merupakan
anggota masyarakat yang bebas dan sederajat yang memiliki hak-hak tersebut
sebagai hak warga Negara. Penulis, sebaliknya, hanya membutuhkan orang-orang
yang bertanggung jawab dan anggota masyarakat yang bekerja sama, dapat mengakui
dan bertindak sesuai dengan kewajiban dan tuntutan moral mereka. Akan sangat
sulit untuk menolak persyaratan ini (konsepsi keadilan bersama dan keyakinan
yang baik dari aparat untuk menegaskan hukum), karena tekanannya sangat kuat
sebagai standar minimal suatu regim. Rawls, kemudian menegaskan bahwa HAM yang
merupakan hasil dari persyaratan-persyaratan ini, tidak dapat ditolak, karena
alasan bahwa HAM merupakan bagian dari pemikiran liberal atau semata-mata
kekhususan tradisi Barat. Dalam konteks itu, HAM netral secara politis.[16]
Disini, Rawls menegaskan perlunya menciptakan kondisi-kondisi yang
memampukan pelaksanaan HAM (enabling condition). Kondisi-kondisi
tersebut tidak lagi merujuk pada tradisi pemikiran tertentu tapi pada komitmen
bersama masyarakat dan niat baik aparat pemerintah. Misalnya, hak atas
kesehatan. Masyarakat harus menjaga lingkungannya sendiri agar menjamin
terpenuhinya hak tersebut. Pemerintah juga membentuk kebijakan yang menyediakan
perawatan kesehatan murah, bila perlu bebas biaya, terjangkau dan memenuhi
standar pelayanan kesehatan layak. Kondisi-kondisi itulah yang disebut “kondisi
yang memampukan” pemenuhan hak atas kesehatan. Hal yang sama untuk persoalan agraria.
2.
Kebijakan
Agraria Indonesia
Agraria dalam arti luas, merupakan lapangan usaha yang menggunakan dan
memanfaatkan sumberdaya tersebut untuk usaha di bidang pertanian umum di daerah pedesaan
(seperti pertanian pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan dan kehutanan). Lapangan
usaha pertanahan/agraria dewasa ini bahkan juga diartikan mencakup lapangan usaha
pembangunan kawasan industri dan perkotaan (seperti industrial estate,
real-estate, urban
development estate dan
sebagainya). Profesi ini merupakan lapangan usaha umum yang memerlukan
keahlian khusus sesuai dengan karakteristik usahanya. Sedangkan dalam arti sempit
merupakan lapangan usaha yang berkaitan dengan produk barang atau jasa pejabat publik,
yaitu pegawai di instansi pertanahan/agraria, PPAT, Surveyor Berlisensi,
Penilai Aset
Tanah (land-valuer ) dan Pejabat Pemeta Tanah (land
mapper). Dewasa ini yang masih dalam
wacana adalah Pejabat Penunjuk Batas Tanah (land fix-border).
Sebagai politik kebijakan pemerintah, agraria merupakan kebijakan
dan hukum yang mengatur
hak-hak penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumberdaya tersebut melalui
proses perencanaan, pelaksanaan pelayanan serta pengawasan dan
pengendalian dalam suatu
sistem administrasi pemerintahan.
Kebijakan dan kebijaksanaan Agraria di Indonesia merujuk dua
istilah yang sering digunakan untuk maksud yang sama padahal keduanya
mengandung muatan yang berbeda. Kebijakan agraria mengacu pada istilah “land
policy” yaitu pengaturan aspek-aspek agraris yang substansinya telah
termuat dalam UUPA dan piranti strategis seperti Ketetapan MPR, GBHN dan
Undang-Undang terkait Agraria/Pertanahan. Sebagai contoh kebijakan tentang
agraria berfungsi sosial yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA, yaitu ”Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Kebijakaan agraria merupakan praktek pelaksanaan aturan oleh pejabat
atau instansi agraria disesuaikan dengan kondisi lingkungan tertentu tanpa
mengubah asas yang terkandung dalam kebijakan agraria. Misalnya berdasarkan
ketentuan-ketentuan tentang fungsi-fungsi sosial agraria/tanah selanjutnya
ditetapkan kebijakan operasional yang mengatur antara lain tentang: (1) tanah
harus digarap dan tidak boleh ditelantarkan, (2) pemerintah dapat melakukan
pencabutan hak atas tanah jika kepentingan umum menghendakinya dengan memberi
ganti rugi yang layak dan menurut prosedur yang diatur dengan hukum pertanahan.
Hubungan
kebijakan agraria/pertanahan dengan kebijaksanaan operasional juga tampak dalam
keberpihakan pada golongan ekonomi lemah.
Keberpihakan pada golongan ekonomi lemah adalah asas yang terkandung
dalam UUPA dan menjadi acuan dalam reformasi pertanahan (yang kemudian menjadi
produk TAP MPR No. XVI/Tahun 1998). Selanjutnya pelaksanaan kebijakan tersebut
dapat dilihat dari kebijaksanaan operasional yang membebaskan tariff
peningkatan hak atas tanah dari Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai menjadi Hak
Milik bagi masyarakat Indonesia yang menguasai tanah perumahan dengan luas 200
m atau
kurang. (Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 Tahun 1998 dan Nomor 6 Tahun 1998).[17]
C.
Pembahasan
dan Analisis.
1. Perkembangan Ham
di Indonesia
Perkembangan HAM di Indonesia, secara konseptual dipengaruhi oleh
perkembangan di level Internasional. Perkembangan politik Indonesia, terutama
ketika merancang UUD 1945, HAM tidak
banyak mengalami perhatian seperti sekarang. Bahkan beberapa pemikir awal
konstitusi menilai HAM sebagai budaya Barat yang tidak cocok dengan kultur
Indonesia maupun regional Asia. Indonesia menurut pendapat itu, lebih dekat
dengan nilai-nilai Jepang, yang kebetulan menjajah Indonesia, dimana nilai
kolektif kekeluargaan diutamakan dan kekuasaan kepala keluarga menjadi
keutamaan.[18]
Soepomo, proponen utama pendapat tersebut, melihat hak individu tidak lain dari
bagian organik Negara yang mempunyai kedudukan tersendiri untuk turut
menyelenggarakan kemuliaan Negara, sangat gigih menolak mencantumkan pasal
mengenai jaminan hak-hak dasar (Simandjuntak, 2003: 230). Karena itu,
berdasarkan kompromi pasal-pasal HAM dicantumkan secara terbatas.
Selama Orde Baru,
dalam berbagai fakta dan riset ditemukan, HAM dibungkam untuk memberi ruang
kontrol dan monopoli kekuasaan otoritarian atas individu. Sistem dan
teknik-teknik pendukungnya dirancang sedemikian rupa dan dengan berbagai cara
dipakai untuk mendukung dan menguatkan sistem kekuasaan yang dibangun. Dapat dikatakan disini, bahwa dengan mengacu
pada prinsip-prinsip HAM, Orde Baru telah menolak HAM seluruhnya dan
memanipulasi kontrol Negara untuk mengekang dan membungkam HAM. Pasca Orde Baru, HAM secara formal diakui.
Setidaknya, kemajuannya dapat dilihat lewat beberapa konvenan yang diratifikasi
antara lain:
a.
Undang-undang Nomor 5 Tahun
1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity
(Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Keanekaragaman Hayati)
b.
UU No 19 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi ILO No 105 Mengenai Penghapusan Kerja Paksa;
c.
UU No 21 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi ILO No 111 Mengenai Diskriminsi dalam Pekerjaan dan Jabatan
d.
UU No 29 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial 1965
e.
UU No 11 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya) atau ICESCR
f.
UU No 12 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) atau ICCPR
Namun, sejauh pengakuan formal yang cukup masif, terdapat sesat
pandang atas pemenuhan HAM, baik HAM Internasional yang diratifikasi
maupun HAM yang dibentuk lewat proses politik
dalam negeri, seperti UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Sesat pikir tersebut, dalam implementasi hak
EKOSOB, misalnya, paling tidak menyangkut tiga
hal[19]
:
a.
Kekurangan Budget,
Pemerintah kekurangan budget sehingga tidak semua HAM bisa dijalankan secara
serentak. Alasan ini, dalam hal tertentu masuk akal, misalnya, untuk menjamin
hak atas perumahan maka harus ada kebijakan perumahan murah yang bisa diakses. Artinya,
ada budget yang harus disediakan untuk itu. Kekeliruannya disini adalah
seolah-olah implementasi HAM semata-mata berjalan, jika ada dukungan uang.
Padahal, HAM juga berhubungan dengan penciptaan kondisi yang memadai agar
rakyat bisa mempunyai kemampuan untuk memenuhi haknya. Misalnya, hak atas
perumahan tidak akan pernah terwujud, jika prioritas tata ruang hanya untuk
bangunan investasi, mall, jalan tol, dan investasi lainnya. Hak atas
penghidupan yang layak juga sulit terpenuhi, jika tanah dan kekayaan alam
diprioritaskan bagi para pelaku ekonomi skala besar, sementara rakyat banyak
hanya diberikan alokasi sangat kecil.
Ketidakseimbangan, dengan sendirinya menciptakan ketimpangan hak.
b.
Menunggu Makmur, Argumentasi
yang berdekatan satu sama lain, bahwa situasi ekonomi Negara tidak cukup memadai untuk pemenuhan HAM secara
serentak dan merata. Argumen ini mirip dengan argumen kekurangan budget.
Persoalan pemenuhan tidak semata-mata pada tingkat kemakmuran ekonomi tapi pada
upaya untuk membuat masyarakat, individu dan kelompok memiliki kemampuan untuk
membuat hak mereka bisa terpenuhi. Misalnya, tidak mungkin hak atas perumahan
bisa terpenuhi jika penggusuran tidak disertai solusi pembukaan rumah
pengganti. Tapi juga di depan mata banyak real estate dibangun dengan segala
kemewahan mencolok meski secara jelas melanggar tata ruang. Kondisi-kondisi itu
tidak membutuhkan tingkat kemakmuran tertentu tapi komitmen pemerintah untuk
menegaskan kesepakatan tentang keseimbangan hak dan juga kontrol dari masyarakat
sendiri agar haknya tidak diekspresikan sedemikian rupa, hingga secara langsung
maupun tidak, justru melanggar hak orang lain. Pendekatan budget dan kemakmuran
dalam upaya mewujudkan HAM, justru menyerahkan HAM semata-mata tergantung pada
kondisi ekonomi. Padahal HAM tidak mensyaratkan apapun, karena sekecil apapun
maupun seberapa besar apapun kemampuan
ekonomi seseorang, tidak akan membuat martabatnya menjadi lebih rendah atau lebih tinggi di atas
yang lain.
c.
Dipenuhi secara bertahap,
Sudah diuraikan di muka bahwa HAM berhubungan satu sama lain. Dengan mengatakan HAM akan dipenuhi secara bertahap,
artinya Penulis setuju dengan pemikiran menghentikan HAM tertentu untuk memberi
tempat bagi HAM yang lain. Pendekatan ini sesungguhnya membuat pemenuhan sebagian
HAM menjadi tidak ada artinya, karena HAM tidak lagi hadir karena kemanusiaan
tapi karena syarat-syarat kondisional. Artinya, HAM dalam pendekatan seperti
ini, secara esensial telah lenyap sejak dini dan diganti hanya oleh persyaratan-persyaratan.
d.
. Konteks dalam negeri,
Alasan yang seringkali berulang-ulang hingga basi adalah pemerintah
menyesuaikan konteks HAM Internasional
dengan situasi dalam negeri. Alasan ini agak berbahaya karena seperti sebuah “excuse”
atau alasan pemaaf terhadap pelanggaran HAM, secara sengaja maupun tidak oleh
berbagai pihak, termasuk agensi pemerintah. Situasi dalam negeri yang beragam,
tanpa ukuran yang jelas dan bias ujaran pendukungnya, menjadi penjara pertama
bagi HAM sebelum menghadapi konteks politik dan sosial yang
sebenarnya.
Keempat
alasan di atas selain bertentangan dengan hukum Internasional, juga mengabaikan prinsip
“tidak dapat dibagi”, “tidak dapat diasingkan” maupun prinsip “saling berhubungan dan mempengaruhi” yang secara implisit
tertuang dalam UU No 39 Tahun 1999. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa “setiap
hak asasi tersebut menimbulkan kewajiban asasi untuk menghormati hak asasi
orang lain”. Disitu, negara atau organisasi apapun di luar negara tidak berhak
untuk menyatakan hak seseorang dilarang atau dibatasi. Secara tegas, prinsip
itu tertuang dalam pasal 74, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2. Hak Asasi Manusia dalam Politik Agraria di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang menghormati hak asasi manusia.
Prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia itu secara filosofi dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal-Pasal dalam Batang Tubuhnya.
Terkait hak asasi manusia dengan hak atas sumberdaya tanah, mengandung sejumlah
kewajiban dan sejumlah pembatasan yang menyangkut aspek penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya. Konsep dasar pengaturan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). yang mengatur prinsip dasar mengenai hak pemilikan tanah dan
pemanfaatan tanah yang berkeadilan. Terdapat 10 prinsip dasar yang terkandung
dalam UUPA sebagai dasar kewenangan Negara mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan
masyarakat di dalam negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur yang bersumber dari lapangan usaha agraria/pertanahan.[20]
Prinsip-prinsip
dasar itu, meliputi: (1) berwawasan NKRI, (2) hak menguasai tanah oleh Negara,
(3) pengakuan hak ulayat, (4) kesempatan dan aksesibilitas yang sama bagi
Warganegara (5) .fungsi sosial hak atas tanah, (6) pembatasan pemilikan dan
penguasaan tanah pertanian.hak warga Negara atas tanah, (7) usaha bidang agraria
yang anti monopoli swasta dan keberpihakan kepada golongan ekonomi lemah. (8)
intensifikasi tanah pertanian dengan mencegah cara-cara yang bersifat
pemerasan, (9) kaidah pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.dan
(10) .kaidah penatagunaan tanah. Prinsip dasar UUPA yang terkait dengan HAM,
antara lain :
Tabel 1.2
Pokok-Pokok Kebijakan Agraria dalam Perspektif
Ham
Kebijakan UUPA
|
Perspektif HAM
|
Kebijakan ke-4:
Kesempatan dan
Aksesibilitas
yang sama bagi Warganegara
|
kebijakan ini
adalah memberi kesempatan yang sama bagi warga negara Indonesia, untuk
memperoleh suatu hak dan manfaat atas tanah, serta derajat hidup yang sesuai
dengan martabat manusia bagi beserta keluarganya. Arah kebijakan ini
meliputi: (i) Negara menentukan berbagai jebis hak yang dapat diberikan dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan hukum, (ii) atas dasar hak menguasai dan memiliki dengan jenis
hak atas tanah tertentu itu, orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain serta badan hukum memunyai akses untuk memanfaatkan tanah
sesuai dengan tujuan pemberian haknya, (iii) kesempatan itu diberikan pada
setiap warganegara Indonesia, laki-laki maupun wanita
|
kebijakan ke-5:
Fungsi SosialHak Atas
Tanah.
|
Pasal 6 UUPA
dinyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang berarti
bahwa pemanfaatan tanah di samping memberikan wewenang kepada pemegang haknya
untuk menggunakan tanah, juga memberikan kewajiban tertentu terhadap pemanfaatannya.
Pemanfaatan itu harus disesuaikan dengan keadaan tanah dan sifat hak atas
tanah tersebut, sehingga memberikan kesejahteraan, dan keadilan bagi yang
mempunyai hak atas tanah tersebut, maupun bagi masyarakat dan negara. Tanah
tidak boleh diterlantarkan. Dengan demikian, pemegang hak atas tanah
diwajibkan untuk memelihara, termasuk menambah kesuburan dan mencegah
kerusakan sehingga memberi manfaat yang berkelanjutan.
|
Kebijakan ke-6:
Pembatasan
pemilikan dan penguasaan tanahpertanian.
|
Undang-Undang Nomor
56 Prp Tahun 1960 mengatur ketentuan mengenai pembatasan pemilikan dan
penguasaan tanah. Ketentuan itu, berlaku untuk tanah pertanaian yang
dimaksudkan agar pemilik tanah mengusahakan tanah secukupnya secara efisien
dan efektif serta sebagai upaya mengurangi ketimpangan penguasaan tanah.
Tanah kelebihan itu, merupakan objek landreform yang selanjutnya
diredistribusikan kepada para petani sehingga petani sebagai aset untuk
usahataninya.
|
Kebijakan ke-7:
Usaha bidang
agraria yang anti monopoli swasta dan keberpihakan kepada golongan ekonomi
lemah.
|
perintah mencegah
monopoli usaha dalam lapangan agraria
oleh perorangan dan organisasi. Kebijakan itu dimaksuf untuk menumbuhkan
iklim yang kondusif guna meningkatkan produktivitas usahatani. Lebih lanjut,
UUPA menyatakan bahwa dengan adanya perbedaan tingkat ekonomi masyarakat,
pemanfaatan tanah harus menciptakan rasa keadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku, dan memberikan perlindungan kepada
masyarakat golongan ekonomi lemah.
|
Kebijakan ke-8:
Intensifikasi tanah
pertanian dengan
mencegah cara-cara
yang bersifat
pemerasan
|
dasarnya setiap
orang yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian diwajibkan untuk
mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara
pemerasan. Ketentuan itu, juga berkaitan dengan pengaturan batas luas
maksimum dan luas minimum. Tujuannya adalah agar dapat dicegah pemusatan
penguasaan tanah pada suatu kelompok tertentu yang memanfaatkan tanah dengan
cara pemerasan tenaga orang lain.
|
Kebijakan ke-9:
Kaidah pelestarian
lingkungan
dan pembangunan
berkelanjutan.
|
merupakan aset
Bangsa yang berfungsi ekonomis dan ekologis. Maka keberadaan tanah yang
kualitasnya tidak sama di setiap wilayah memerlukan pertimngan yang seksama
dalam pemanfaatannya. Oleh karena itu, arah kebijakan pertanahan adalah: (i)
mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam tanah dengan
mempertimbangkan aspek lingkungannya, (ii) mewajibkan setiap pemegang hak
atas tanah untuk memelihara kesuburan tanah dan mencegah kerusakannya.
|
Dengan demikian
UUPA memperlihatkan bahwa memang pada tahap regulasi, UUPA telah menjamin
adanya penegakan HAM. Namun realitasnya sangat jauh dari harapan memang. selain
meninjau UUPA, penulis melihat secara makro negara dalam mengatasi konflik
agrarian telah mendirikan tim terpadu yang terdiri dari Badan Pertanahan
Nasional (BPN), kepolisian dan instasi terkait tahun 2012. Pada Juni 2012, Presiden SBY juga sempat mengganti Ketua BPN Joyo Winoto dengan Hendarman Supandj i . Sebagi an kal angan menghubungkan pergantian ini dengan
kinerja Joyo yang
buruk dalam melakukan reformasi agrarian.
Panjangnya
persoalan konflik agrarian tidak saja akan penerapan UUPA namun juga berdirinya
UU No 18 tahun 2004 terkait Perkebunan. Dimana pada pasal 21 dan 47 yang
bersifat represifsudah dibatalkan melalui judicial review, tetapi masih ada
pasal 20 yang membolehkan pelaku usaha perkebunan dengan meilatkan masyarakat
sekitar. ketentuan ini membuka ruang bagi digunakannya pasukan pengamanan
swasta untuk menghadapi masyarakat yang sedang ersengketa dengan perusahan
perkebunan. [21]
3. Regulasi Politik tidak Implementatif
Persoalan klasik dalam implementasi HAM
adalah masalah pelanggaran yang secara dominan dilakukan oleh negara,
yang mestinya justru
bertugas untuk melindunginya. Akhir – akhir
ini di dunia Internasional maupun di Indonesia, dihadapkan banyak pelanggaran
hak asasi manusia dalam wujud teror. Untuk pelaku utama konflik agraria, ditempati perusahaan,
dengan pola, komunitas lokal melawan perusahaan, petani versus
perusahaan, komunitas lokal dengan Perhutani dan masyarakat adat melawan perusahaan.
Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang dari konflik sektor
perkebunan dan pertambangan. Konflik-konflik ini menyebabkan sejumlah
pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejalan dengan perkembangan HAM, saat ini
perusahaan atau korporasi bisa dikategorikan sebagai pelaku, tak hanya negara.
Berangkat dari itu, dapat
diklasifikasi kejadian masuk kategori peristiwa yang melingkupi kasus. Bila
dalam kategori pelaku konflik, perusahaan atau korporasi menempati urutan
teratas, dalam kategori pelanggar HAM dalam konflik agraria, negara menempati
posisi pertama.Kasus ini berlangsung sistematis menyasar kelompok masyarakat
yang aksi demonstrasi menentang konsesi atau izin perusahaan. Aparat negara,
seperti personel Brimob, cenderung memposisikan diri sebagai pihak pengaman
aset perusahaan ketimbang melindungi masyarakat. mencatat, sebanyak 91.968 orang dari 315
komunitas menjadi korban konflik SDA dan agraria.
Jadi, penyebab lebih pokok dari konflik-konflik agraria ini
adalah karena negara Indonesia dikuasai kaum pemodal. Watak negara yang seperti
ini terlihat jelas dari kebijakan pembangunan ekonomi nya. Pada Mei 2011, Pemeri ntah mengel uarkan Masterpl an
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden No.
32 Tahun 2011. MP3EI dibuat untuk semakin memacu investasi. Dalam MP3EI, dunia
usaha dianggap "mempunyai peranutama dan penting dalam pembangunan
ekonomi” melalui investasinya, sementara Pemerintah bertugas menciptakan kondisi
yang kondusif bagi dunia usaha untuk berinvestasi serta ”membangun berbagai
macam industri dan infrastruktur yang di perl ukan. ” Jadi , menurut
MP3EI , tugas Pemerintah adalah
memberikan insentif kepada dunia usaha agar mereka mau berinvestasi.[22]
Kendati demikian, regulasi bukanlah faktor yang menentukan.
Dengan menggunakan lagi contoh UU Perkebunan, sekalipun mengandung unsur-unsur
negatif, UU itu sebenarnya juga sudah mengakui beberapa prinsip HAM. Di
antaranya pengakuan atas tanah hak ulayat masyarakat adat, dimana pelaku usaha
perkebunan "wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang
hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah" jika tanah yang diperlukan
"merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya
masih ada." (Pasal 9 ayat (2)); pengakuan terhadap hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat (Pasal 25 dan 26), serta pengakuan implisit terhadap
hak-hak yang bisa terkena dampak dari produk perkebunan yang membahayakan
kesehatan dan keselamatan manusia serta lingkungan hidup (Pasal 31 dan 32). Namun,
unsur-unsur positif ini tidak dipatuhi dan tidak mampu menahan terjadinya
konflik-konflik dan kekerasan agraria
.Regulasi adalah sebuah produk politik. Karenanya, regulasi yang
membuka ruang bagi konflik dan kekerasan; regulasi yang isinya ambigu; tidak
dipatuhinya ketentuan-ketentuan sebuah regulasi, semua itu merupakan ekspresi
dari situasi kekuasaan politik dan kontestasi politik yang ada. Dalam hal ini
, Kontestasi antara petani/warga/gerakan sosial dengan para
pemodal sector agraria yang kepentingannya direpresentasikan dan dikelola oleh
negara. Karena kekuatan petani/warga/gerakan sosial masih lemah, maka mereka
hanya bisa memenangkan konsesi-konsesi yang sangat terbatas. Sementara itu,
para pemodal yang jauh lebih kuat, karena mempunyai modal dan memegang
kekuasaan politik , memiliki ruang gerak yang lebih besar untuk
mengartikulasikan kepentingannya, bahkan jika
harus melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang
pro-petani/warga.
D.
Penutup
Meningkatkan perhatian terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan
penegakan hukumnya di Indonesia telah membuat tuntutan untuk menegakkan HAM
menjadi sedemikian kuat baik didalam negeri maupun melalui tekanan dunia
internasional. Oleh
karena itu diperlukan niat dan kemauan yang serius dari pemerintah
(negara) , aparat penegak
hukum, dan elit politik agar penegakan hak asasi manusia berjalan
sesuai dengan apa
yang dicita-citakan.
Politik agraria yang diterapkan selama ini di Indonesia, telah
menghasilkan sejumlah masalah agraria
yang mendesak untuk segera dipecahkan, yakni: ketimpangan
dalam penguasaan dan pemilikan tanah; kerusakan lingkungan; kemerosotan produksi pertanian dan pangan; dan konflik atau
sengketa agraria. Salah satu upaya atau jalan pembangunan yang tersedia untuk
memecahkan masalah-masalah agraria tersebut
adalah melalui pelaksanaan program pembaruan
agraria (reforma agraria). Melalui jalan ini, hak-hak petani, sebagai mayoritas penduduk Indonesia, akan lebih terlindungi dan
terjamin.
Untuk menanggulangi semakin meningkatnya serta mencegah agar
pelanggaran hak asasi manusia dimasa lalu tidak terulang kembali dimasa
sekarang dan masa yang akan datang merupakan sudah menjadi kewajiban bersama
segenap komponen bangsa sehingga diharapkan dengan berpartisipasinya masyarakat
Indonesia akan mendorong suasana yang kondusif dan akomodatif terhadap
penegakan HAM. Dan memang titik berat penegakan HAM kembali kepada Negara,
karena Negaralah sebagai pengamil kebijakan sekaligus eksekutor terhadap
kebijakan tersebut.
Negara sebagai pengambil kebijakan
tertinggi, dapat meminimalisri konflik agraria yang menjadi pelanggaran akan
HAM. pemerintah dapat mengambil beberpa langkahpemerintah mengambil
beberapa langkah. Pertama, moratorium semua perizinan untuk perusahaan-perusahaan
perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir. Kedua,
menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan. Ketiga,
membentuk sebuah lembaga Penyelesaian Konflik Agraria bertugas
mengidentifikasi, menyelidiki, konflik-konflik agraria, case by case,
dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Keempat, dari rekomendasi
lembaga itu, pemerintah menindak tegas berupa pencabutan maupun
pembatalan izin-izin perusahaan. Lalu, menindak pidana perusahaan maupun aparat
pemerintah yang merampas tanah rakyat. Kelima, review peraturan
perundang-undangan SDA yang tumpang tindih. Keenam, mengembalikan
tanah-tanah hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat
sebagai pemilik. Tindakan ini untuk menjalankan Tap MPR No. IX tahun 2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.
Dengan demikian ada besar harapan
akan penegakan HAM di Indonesia khususnya dalam persoalan agrarian tidak lagi
pelik. Namun penulis sangat memahami penulisan ini jauh dari kekurangan dan
perlu banyaknya perbaikan agar isa menjadi acuan ilmiah dalam meninjau
persoalan Politik agraria dan penegakan ham di Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku
Berting, Jan, et al.,
Human Rights in a Pluralist World: Individuals and Collectivities,
First. Edition, London: Meckler, 1990
Cassese, Antonio, Hak
Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah,
Yayasan Obor Indonesia, 1994
Cahyadi, Antonius dan
E Fernando M Manulang, Pengantar filsafat Hukum, cet. 2, Jakarta :
Kencana, 2008
Djaali dkk, Hak Asasi Manusia ( tinjauan teoritis dan aplikasi) Restu Agung,
2003
Forsythe, David, Human Rights in International Relations,
United Kingdom: Cambridge University Press, 2000
Freeman, M.D.A (ed),
2001, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence (seventh Edition), London Sweet &
Maxwell Ltd
Hartono, Sunaryati, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang
Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang HAM dan Urgensinya Bagi Indonesia,
Badan Pembinaan Humum Nasional Dept. Hukum dan Perundang-Undangan 1999/ 2000
Gautam, Sudarga, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,
PT.Citra Adiotya Bakti, bandung. 1990
Rousseau, Jean Jaques, Du Contrac
Social (Perjanjian Sosial), Cet. I, Visimedia, jakarta, Agustus
2007.
Manan, Bagir, dkk, Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni,
Bandung 2001
Robert,
Robertus, Politik Hak Azazi Manusia dan Transisi di Indonesia (sebuah tinjauan
kritis), Jakarta : Elsam 2008
Suny, Ismail, Hak Asasi Manusia, Yarsif Watampone,
Jakarta 2005
Simandjuntak,
Marsillam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur
dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945,
Pustaka Grafiti Utama, Jakarta2003
Arinanto, Satya. Hak Asasi
Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, FH
UI 2005
W, Freidmann, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Asas Teori
-teori Hukum(Susunan I), PT Raja Grafindo, Jakarta, 1993.
Hajiansyah, Oki Wahab, Terasing
Di Negeri Sendiri ( Kritik atas pengabaian Hak-hak Konstitusional Masyarakat
Hutan Register 45 Mesuji, Lampung) Indepth Publish, Bandar Lampung 2012
Makalah dan Jurnal
Bernadinus Steni, Membuat Ham Bermakna, Dalam HuMa 3
Desember 2008, Jakarta
Istiqomah, Penegakan Ham di Indonesia dalam Jurnal
Penegakan HAM Volume 11 Nomor 1 Mei 2011
Sri Soemantri
Martosoewignjo, ”Refleksi HAM di Indonesia”, makalah disampaikan dalam
PenataranHukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM, diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22 s.d. 25 Juni 1998 bekerjasama dengan
International Committee of Red Cross (ICRC)
“Reforma Agraria
Sejati: Jalan Utama Menuju Kedaulatan dan Kemakmuran Bangsa Sejati”, Pokok-pokok
Pandangan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), November 2006.
Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh PBB 10 desember 1948,
Risnanto Ms. 2006. Thesis : Analisis Manajemen Agraria Indonesia.
Pascasarjana IPB
A. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto, 2007, Bukan Sekedar
Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Konvenan EKOSOB, Jurnal
HAM, Volume. 4, hal. 22-37
Dr.Iza Fadri, Ham dan Polri
dalam Penegakan Hukum di Indonesia dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Volume
vii No 1 Tahun 2011
Kurniawan Kunto dkk, HAM di
Indonesia menuju Demokratic Govenances, dalam Jurnal Ilmu Soisla dan Ilmu
Politik Volume 8 Nomor 3 Maret 2005
Situs dan Web
Human Rights, diakses dari http://www.amnestyusa.org/human-rights/page.do?id=1031002,
Do k u me n
MP3 EI 2 0 11 - 2 0 2 5 b i s a
d i u n d u h di http://www.depkeu.go.id/ind/others/bakohumas/bakohumask emenko/MP3EI_revisi
complete_%2820mei11%29.pdf.
UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan bisa diunduh
di http://ditjenbun.deptan.go.id/images/stories/PDF/uu182004.pdf.
'Laporan Akhir Tahun 2010
Konsorsium Pembaruan Agraria: "Tidak Ada Komitmen Politik Pemerintah Untuk
Pel ak s anaan Ref or ma Agr ar i a" ' ,di unduh dar i http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2011/11/LaporanAkhi r-Tahun-2010_KPA. pdf
Laporan Akhi r TahunKonsorsium
Pembaruan Agraria Tahun 2011: "TahunPerampasan Tanah dan Kekerasan
Terhadap Rakyat"', d i u n d u h d
a r i h t t p : / / w w w . k p a . o r
. i d / w p
content/uploads/2011/12/Laporan-Akhir-Tahun-KPA-Tahun2011_Release-27-Desember
2011.pdf;
'Laporan Akhir Tahun 2012
Konsorsium Pembaruan Agraria: "Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat
Melalui Reforma Agraria"', diunduh dari
http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2012/12/LaporanAkhir-Tahun-KPA-2012_28-Desember-2012.pdf.
[1] Robertus Robert, 2008, Politik
Hak Azazi Manusia dan Transisi di Indonesia (sebuah tinjauan kritis), Jakarta :
Elsam hal. 13
[2] Bagir Manan,
dkk, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
PT. Alumni, Bandung 2001, hal. 4
[3] Bernadinus Steni, Paper : Membuat Ham
Bermakna, Dalam HuMa 3 Desember 2008, Jakarta
[4] ibid hal 52-53
[5] Sri Soemantri
Martosoewignjo, ”Refleksi HAM di Indonesia”, makalah disampaikan dalam
PenataranHukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM, diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22 s.d. 25 Juni 1998 bekerjasama dengan
International Committee of Red Cross (ICRC), h. 10.
[6]Oki Hajiansyah Wahab,
2012, Terasing Di Negeri Sendiri ( Kritik atas pengabaian Hak-hak
Konstitusional Masyarakat Hutan Register 45 Mesuji, Lampung) Indepth Publish,
Bandar Lampung hal 11
[7] Lihat
selanjutnya “Reforma Agraria Sejati: Jalan Utama Menuju Kedaulatan dan
Kemakmuran Bangsa Sejati”, Pokok-pokok Pandangan Aliansi Gerakan Reforma
Agraria (AGRA), November 2006.
[8] Lihat juga
'Laporan Akhir Tahun 2010 Konsorsium Pembaruan Agraria: "Tidak Ada
Komitmen Politik Pemerintah Untuk Pel ak s anaan Ref or ma Agr ar i a" '
,di unduh dar i http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2011/11/LaporanAkhi
r-Tahun-2010_KPA. pdf . Laporan Akhi r TahunKonsorsium Pembaruan Agraria Tahun
2011: "TahunPerampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Rakyat"', d i u n
d u h d a r i h t t p : / / w w w . k p a . o r . i d / w p
content/uploads/2011/12/Laporan-Akhir-Tahun-KPA-Tahun2011_Release-27-Desember
2011.pdf;. 'Laporan Akhir Tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria:
"Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria"',
diunduh dari http://www.kpa.or.id/wp-content/uploads/2012/12/LaporanAkhir-Tahun-KPA-2012_28-Desember-2012.pdf.
[9] Jan Berting, et
al., Human Rights in a Pluralist World: Individuals and Collectivities,
First. Edition, (London:
Meckler, 1990),
hal 33
[10] Antonius
Cahyadi dan E Fernando M Manulang, Pengantar filsafat Hukum, cet. 2,
(Jakarta : Kencana, 2008), hal. 42
[11] Rousseau, Jean Jaques, 2007, Du Contrac Social
(Perjanjian Sosial), Cet. I, Visimedia, jakarta, Agustus
[12] Materi ini
masuk sebagai perbincangan dalam membuat draft Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia yang disahkan oleh PBB 10 desember 1948,
[13]Human
Rights, diakses
dari http://www.amnestyusa.org/human-rights/page.do?id=1031002, pada 21desember 2013, pukul
08.00.
[14] David Forsythe, Human Rights in International Relations,
(United Kingdom: Cambridge University Press, 2000), hal 3.
[15] Djaali dkk, 2003, Hak Asasi Manusia ( tinjauan
teoritis dan aplikasi) Restu Agung, hal. 11
[16] Freeman, M.D.A (ed), 2001, Lloyd’s Introduction to
Jurisprudence (seventh Edition), London Sweet &
Maxwell Ltd hal 589
[17] Risnanto Ms. 2006. Thesis :
Analisis Manajemen Agraria Indonesia. Pascasarjana IPB hal 7-10
[18] Lihat pendapat Soepomo mengenai
Negara integralistik. Dikatakan bahwa “……prinsipprinsip yang dikandung dalam
staatsidee kekeluargaan adalah prinsip
persatuan antara pimpinan dan rakjat dan prinsip persatuan dalam Negara, dan
hal ini seluruhnja sesuai dengan aliran pemikiran ketimuran (termasuk
Indonesia), Marsillam Simandjuntak, 2003, Pandangan Negara
Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam
Persiapan UUD 1945, Pustaka Grafiti Utama, Jakarta, hal.
53
[19] Sesat pikir dalam melihat
pelaksanaan hak EKOSOB dapat dilihat dalam tulisan A. Patra M. Zen dan Andik
Hardiyanto, 2007, Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan
Konvenan EKOSOB, Jurnal HAM, Vol. 4, hal. 22-37
[20] Lihat, Sudarga
Gautam, 1990, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, PT.Citra Adiotya Bakti,
bandung. hal 45 60
[21] UU No. 18 Tahun
2004 Tentang Perkebunan bisa diunduh di
http://ditjenbun.deptan.go.id/images/stories/PDF/uu182004.pdf.
[22] Do k u me
n MP3 EI
2 0 11 - 2 0 2 5 b i s a d i u n d u h
di http://www.depkeu.go.id/ind/others/bakohumas/bakohumask
emenko/MP3EI_revisi complete_%2820mei11%29.pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar