PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pola
perubahan politik di Indonesia sering terjadi, ini disebabkan bergantinya
kabinet presiden di Indonesia. Perubahan Umumnya membahas mengenai
demokratisasi lebih banyak menekankan pada faktor-faktor domestik yang diduga
akan menjadi faktor pendukung ataupun penghambat proses demokratisasi. Keumuman
ini terjadi karena beberapa alasan. Diantaranya adalah bahwa aktor-aktor
politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk usaha-usaha
mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Karena itu, proses-proses politik
di masa transisi cenderung bersifat inward-looking. Selain itu, kuatnya
kecenderungan untuk menganalisis proses demokratisasi melalui lensa dinamika
politik domestik juga terjadi karena adanya anggapan bahwa pada akhirnya
aktor-aktor politik domestiklah yang akan menentukan tindakan politik apa yang
akan diambi.
Akan
tetapi, situasi ketidakpastian yang melingkupi setiap proses transisi politik
sebetulnya membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat
mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pencitraan diri sebagai negara
demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk pencitraan diri sebagai
negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di
negara-negara Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa
pencitraan diri sebagai negara demokratis melalui politik luar negeri dapat
memberi dorongan substansial bagi proses konsolidasi di dalam negeri.
B. Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dari makalah
ini adalah :
1. Bagaimana perubahan politik yang
terjadi di Indonesia pasca Reformasi 1998
2. Bagaiman pembangunan politik
yang terjadi Di Indonesia pasca Reformasi 1998
C. Tujuan Makalah.
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adlah gunanya untuk :
1.
Mengetahui perubahan
politik yang terjadi di Indonesia dalam 4 periode kepemimpinan semenjak
reformasi 1998.
2.
Mencari dan memahami
arah pembangunan politik di Indonesia semenjak reformasi.
PEMBAHASAN
A. Pola Perubahan Politik di Indonesia
1. Pemerintahan Habibie.
Di
awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup
serius. Untuk mengatasinya terjadilah perubahan politik oleh Habibie, di
antaranya :
1.
Membuat UU no.5/1998
mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965.
2.
Mendorong ratifikasi
empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas
Perempuan, dan membangun legitimasi yang lebih besar dari masyarakat
internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestic
dengan demikian dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian
kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi
kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode
transisi menuju demokrasi dimulai. Sehingga, Pemerintahan Habibie pula yang
memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat
memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
3.
Membentuk Kabinet
ReformasiPembangunan. Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16
orang yang merupakan perwakilan dari Golkar, PPP, dan PDI.
4.
Mengadakan reformasi
dalam bidang politik Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan,
mengadakan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, adil,
membebaskantahananpolitik,dan mencabutl arangan berdirinya SerikatBuruh
Independen.Kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan menyampaikan pendapat
diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu UU No.9 tahun 1998
tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
5.
Refomasi Dalam bidang
hokum Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang
bersih dan berwibawa, dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde
baru, hukum hanya berlaku pada rakyat kecil saja dan penguasa kebal hukum
sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan keadilan bila
berhubungan dengan penguasa.
6.
Mengatasi masalah
dwifungsi ABRI Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan
reposisi secara bertahap sesuai dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap
akan mundur dari area politik dan akan memusatkan perhatian pada pertahanan
negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi diperintahkan untuk
memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di
sipil.
Stagnasi
indonesia dan stabilitas keamanan sangat cendrung berubah semenjak referendum
tentang Timor-Timor. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa
hal, diantaranya :
1.
Habibie dianggap tidak
mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur
karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie
dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya
dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu.
2.
Habibie kehilangan
legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata
internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan
refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada
tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
2. Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Pada
masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden
Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil
atas militer yang subyektif sifatnya. Entry point yang digunakan oleh presiden
Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi khusus yang dibentuk oleh PBB
menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah referendum 1999
direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi tersebut menyatakan dengan
jelas bahwa TNI dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus
bertangung jawab. Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto
mendapat dukungan penting dari ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien
Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tanjunng Patut diingat bahwa
presiden Wahid secara terus menerus menggunakan kredibilitasnya di dunia
internasional sebagai tokoh pro-demokrasi untuk mendapatkan dukungan atas
berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang
melibatkan TNI.
Dalam
setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang
singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam
pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal
ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia
seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Indonesia masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid: Kebijakan-kebijakan pada masa GusDur dan perubahan politik:
a.
Meneruskan kehidupan
yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan kebebasan
berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama,
memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).
b.
Merestrukturisasi
lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya tidak
efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi
pengeluaran anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).
c.
Ingin memanfaatkan
jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot Kapolri
yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.
Masalah yang ada:
a.
Gus Dur tidak mampu
menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.
b.
Masalah dana non-budgeter
Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh anggota DPR.
c.
Dekrit Gus Dur tanggal
22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta pembubaran Golkar.
Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, POLRI dan partai politik serta
masyarakat, sehingga dekrit tersebut malah mempercepat jatuhnya Gusdur dari
kepresidenan dan melalui siding istimewa 3 JUli 2001 beliau resmi berhenti
sebagai persiden RI.
3. Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Megawati
juga secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden,
perubahan politik yang dilakukan Megawati antara lain mengunjungi Rusia,
Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania,
Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan
juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya
tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan
tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan
helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow.
Selain
berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa
pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun
internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat,
pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan
ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga operasi militer di
Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang mewarnai dinamika
internal dan eksternal Indonesia.
Variabel
tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan
terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam
kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar
mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi,
seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum
untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.
Tidak
berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif
pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi
di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan
substansi yang cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri
(Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia telah melakukan
restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan
faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa
diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan
nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan
perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Kebijakan-kebijakan pada masa
Megawati:
a.
Memilih dan Menetapkan
Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga
persatuan dan kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang
mengakibatkan kepercayaan dunia internasional berkurang.
b.
Membangun tatanan
politik yang baru Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan
dan kedudukan MPR/DPR, dan pemilihan presiden dan wapres.
c.
Menjaga keutuhan NKRI
Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh,
Ambon, Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa
lepasnya Timor Timur dari RI.
d.
MelanjutkanamandemenUUD1945.
Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
e.
Meluruskan otonomi
daerah Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang
pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan
terhadap daerah-daerah.
Masalah yang terjadi pada masa
pemerintahan megawati yaitu antara indonesia dengan malaysia peristiwa Bom Bali
dan perebutan pulan Ligitan dan Sipadan. Dan ini yang terjadi terhadap struktur
kepemilikan wilayah indonesia.
4. Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono.
Kebijakan-kebijakan pada masa SBY:
a.
Anggaran pendidikan
ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
b.
Konversi minyak tanah
kegas.
c.
Memberikan BLT
(Bantuan Langsung Tunai).
d.
Pembayaran utang
secara bertahap kepada badan PBB.
e.
Buy back saham BUMN
Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil. Subsidi BBM.
f.
Memudahkan investor
asing untuk berinvestasi di Indonesia.
g.
Meningkatkan sektor
pariswisata dengan mencanangkan "Visit Indonesia 2008".
h.
Pemberian bibit unggul
pada petani.
i.
Pemberantasan korupsi
melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Masalah yang ada:
a.
Masalah pembangunan
ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak tampak strategi
yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka pengangguran
dan kemiskinan tetap tinggi.
b.
Penanganan bencana
alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak profesional.
Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat
sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit
pemerintah yang tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun
terlihat kedodoran karena sumber daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan
komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa.
c.
Masalah kepemimpinan
SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang ‘sok’ kalem dan berwibawa
dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok
profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok.
Rakyat Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu,
ketidakkompakan anggota kabinet menjadi nilai negatif yang besar.
d.
Masalah politik dan
keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan keberhasilan pilkada
Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan
sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Tetapi malah mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk
kekuatan kelompok.
e.
Masalah korupsi. Mulai
dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang semakin
mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok
kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya
pemberantasan korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.
f.
Masalah politik luar
negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri ‘Pahlawan Kesiangan’. Dalam
kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus
tidak melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara
kepentingan Arab Saudi dan Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak
jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang diamini oleh korps Deplu. Juga desakan
peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar akan semakin menyulitkan
Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi negara yang bebas
dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat.
B. Pembangunan Politik Indonesia.
Pembangunan
politik sebagai bagian dari modernisasi senantiasa melibatkan ketegangan dan
konflik secara terus menerus antara proses pembangunan dengan syarat-syarat
agar system politik tetap pada keadaannya. Ketegangan maupun konflik tersebut
merupakan sesuatu inheren dalam pembangunan, yang meliputi tuntutan akan
persamaan, proses-proses diferensiasi serta kebutuhan akan kapasitas yang lebih
besar. Merupakan suatu ha yang biasa bahwa setiap perubahan-perubahan pada
dimensi persamaan, diferensiasi dan kapasitas/kemampuan dalam pembangunan akan
mempengaruhi budaya politik elite dan massa, perubahan (smooth) dimana elite
maupun massa terakomodasi dalam budaya-budayanya. Hal ini menunjukkan dinamika
modernisasi masyarakat. Krisis mulai terjadi apabila budaya elite atau massa
atau keduanya, menyebabkan ketegangan-ketegangan yang inheren, misalnya antara
dimensi kapasitas dengan dimensi persamaan yang semakin membesar dan sangat
terlihat sebagai suatu ancaman utama pemerintah atau rakyat maupun
kedua-duanya.
Pakar
politik Lucien W. Pye (Aspects of Political Development, pada Memajukan
Demokrasi mencegah disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik oleh
Nicolaus Budi Harjanto) memberikan dimensi/unsur dari pembangunan politik
sebagai berikut : “Pembangunan politik sebagai : pertambahan persamaan
(equality) antara individu dalam hubungannya dengan system politik, pertambahan
kemampuan (capacity) system politik dalam hubungannya dengan lingkungan, dan
pertambahan pembedaan (differentiation and specialization) lembaga dan struktur
di dalam system politik itu. Ketiga dimensi tersebut senantiasa ada pada “Dasar
dan jantung proses pembangunan”.
Menurut
Pye, dimensi persamaan (equality) dalam pembangunan politik berkaitan dengan
Masalah partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam Kegiatan-kegiatan politik,
baik yang dimobilisir secara demokratis maupun totaliter. Dalam unsur/dimensi
ini dituntut adanya pelaksanaan hukum secara universal, dimana semua orang
harus taat kepada hokum yang sama, dan dituntut adanya kecakapan dan prestasi serta
bukan pertimbangan-pertimbangan status berdasarkan suatu system sosial yang
tradisional. Dalam proses pembangunan, dimensi ini berkaitan erat dengan budaya
politik, legitimasi dan keterikatan pada system.
Sedangkan
dimensi kapasitas (capacity) dimaksudkan sebagai kemampuan system politik yang
dapat dilihat dari output yang dihasilkan dan besarnya pengaruh yang dapat
diberikan kepada sistem-sistem lainnya seperti system sosial dan ekonomi.
Dimensi ini berhubungan erat prestasi pemerintah yang memiliki wewenang resmi,
yang mencerminkan besarnya ruang lingkup dan tingkat prestasi politik dan
pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan umum dan
rasionalitas dalam administrasi serta orientasi kebijakan. Sedangkan dimensi
diferensiasi dan spesialisasi (differentiation and specialization), menunjukkan
adanya lembaga-lembaga pemerintahan dan struktur-strukturnya beserta fungsinya
masing-masing, yang terdapat pada sistem politik. Dengan diferensiasi berarti
bertambah pula pengkhususan atau spesialisasi fungsi dari beberapa peranan
politik di dalam sistem. Di samping itu diferensiasi melibatkan pula Masalah
integrasi proses-proses dan struktur-struktur yang rumit (Spesialisasi yang
didasarkan pada perasaan integrasi keseluruhan).
PENUTUPAN
A. Kesimpulan.
1. Perubahan
Politik
Dari
setiap pertukaran periode kepemimpinan terjadi perubahan politik yang sesuai
dengan kepemimpinan presiden saat itu. Namun perubahan yang terjadi merupakan
pendewasaan politik di Indonesia dalam perjalanannya menuju demokrasi.
2. Pembangunan
Politik.
Terjadinya upaya-upaya agar
meningkatnya kedewasaan politik yang kemudian mampu menyokong kekuatan Negara.
B. Saran.
Mengamati
perubahan politik serta pembangunan politik di Indonesia pasca Reformasi 1998
adalah salah satu upaya untuk menambah wawasan serta menjadikan kita kritis
terhadap perubahan dari periode ke periode. Namun sebaiknya, setiap perubahan
yang terjadi harus di cermati secara positif karena perubahan politik yang
terjadi pasti sesuai denagan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa itu dan
menjadikannya nilai tambah dari keberanekaragamna kasanah pemikiran pemimpin
kita yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Dewi Fortuna. 1999. “The Habibie presidency”, dalam
Forrester, G (ed), Post-Suharto Indonesia: renewal or chaos:Crawford House
Publishing: Bathurst.
http://wikipedia.com/pasca
reformasi di Indonesia. senin, 28 juni 2010.
O’ Donnel, Guillermo.Philippe
Schmitter dan Laurence Whitehead,. 1986.Transition from authoritarian rule:
prospect for democracy .Baltimore: Johns Hopkins University.
http://wordpress.com/pemimpin
Indonesia Pasca REformasi/senin,28 Juni 2010
http://Kompas.com/ kebijakan pasca
Reformasi 1998/senin,28 juni 2010
Tamrin, Drs Msi. 2010. Satuan Acara
Pengajaran(SAP) dan Bahan Bacaan Pembangunan Politik. Jurusan Ilmu Politik.
Universitas Andalas Padang.