Budaya Politik
Awal
mulanya terbentuknya konsep budaya politik berasal dari satu revolusi di
Amerika Serikat setelah PD II, Behavioural Revolution. Dalam ilmu politik,
Behavioural Revolution merupakan efek dari berkembangnya Madzhab Positivisme.
Paham ini menjelaskan tentang gejala-gejala sosial yang berkembang di
masyarakat. Selain perkembangan mazhab tersebut, adanya penelitian survei juga
mempengaruhi lahirnya revolusi tersebut. Penelitian survei merupakan penelitian
yang menggunakan questioner sebagai data utama. Penelitian survei menjangkau
responden dalam jumlah yang besar, untuk kemudian dianalisa sehingga dapat
memberikan penjelasan-penjelasan dalam memahami masalah sosial, ekonomi dan
politik. Misalkan pada pemilihan Gubernur Sumatera barat baru-baru ini, banyak
lembaga survei mengadakan suatu perhitungan cepat dengan menggunakan lembaran
survei yang sudah dibagi ke beberapa surveyor. Kegiatan ini berguna untuk
mengetahui dengan perhitungan Quick Count, siapa yang menjadi Gubernur periode
saat ini.
Tokoh
penting dalam teori Budaya Politik yaitu Gabriel Almond dan Sidney Veba.
Menurut mereka, Budaya Politik merupakan sikap individu terhadap sistem politik
dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang dapat
dimainkan dalam sebuah sistem politik . Dapat dikatakan pada sistem politik,
ada suatu proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat
kognitif, afektif dan evaluatif. Orientasi yang bersifat kognitif mengenai
pemahaman individu mengenai sistem politik dan atribut negaranya. Orientasi
yang bersifat afektif menyangkut tingkah laku/ ikatan emosional tiap individu
terhadap sistem politik. Yang terakhir orientasi yang bersifat evaluatif,
merupakan suatu pemberian evaluasi terhadap kinerja sistem politik tersebut dan
peranan individu di dalamnya. Budaya politik yang berkembang saat ini terdiri
dari tiga macam, yaitu Budaya Politik Parochial, lebih dominant orientasi yang
bersifat kognitif, Budaya Politik Subjektif, lebih dominant orientasi yang
bersifat afektif, dan Budaya Politik Partisipatif, dimana orientasi yang
bersifat evaluatif dapat memberikan evaluasi bagi masyarakat dalam sistem
politik. Menurut Almond dan Veba, budaya politik partisipatif menyangkut suatu
kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya yang menopang
terwujudnya partisipasi .
Sosialisasi Politik
Sosialisasi
politik adalah proses dimana pembentukan budaya politik berasal dari satu
generasi ke generasi berikut melalui berbagai media, misalkan dalam keluarga,
secara langsung atau tidak, orang tua telah menanamkan nilai-nilai atau
keyakinan politik kepada anak-anak nya. Dalam sebuah system dimana Negara
memiliki peranan yang sangat dominant, bahkan monopolistis dalam pembentukan
nilai dan norma politik, maka keyakinan dan nilai yang diyakini oleh penguasa
Negarara maupun sebaliknya. Jika Negara memberikan pilhan kepada masyarakat
untuk mandiri, akan terbentuk masyarakat yang memiliki tingkat kompetensi yang
tinggi.
Budaya Politik Indonesia
1. Hierarki yang Tegas
Dalam
melakukan identifikasi budaya politik, dapat dilihat dari kelompok etnis yang
dominan, misalkan etnik Jawa. Dari penelitian yang dilakukan oleh Claire Holt,
Benedict Anderson, dan James Siegel, bahwa etnis ini mempengaruhi segala sikap,
perilaku, dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia. Menurut
analisa dari Anderson, konsep tentang kekuasaan masyarakat Jawa pada dasarnya
bersifat konkret, konstan, homogen, tidak berkaitan dengan persoalan
legitimasi. Di kebanyakan masyarakat di Indonesia adanya hierarkis/
stratifikasi social dalam akses kekuasan. Misalkan adanya pemilihan yang tegas
antara mereka yang memegang kekuasaan dengan rakyat kebanyakan. Seperti
kebijakan public ……… yang diterapkan di masyarakat, segudang masalah yang
terjadi akibat kebijakan tersebut hanya diformulasikan oleh pemerintah tetapi
rakyat tidak diikut sertakan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
2. Kecenderungan Patronage
Patronage
merupakan interaksi yang timbal-balik dengan mempertukarkan sumber daya yang
dimilikki oleh masing-masing pihak. Bisa diartikan adanya hubungan mutualisme
antara kedua pihak dimana satu phak memiliki sumber daya melengkapi sumber daya
yang dimiliki oleh pihak lain. Menurut James Scott, pola hubungan ini juga
disebut pola hubungan Patron-Client . Akan tetapi hubungan seperti ini dalam faktanya
di lapangan, budaya politik yang cenderung patronage ini menjadi masalah di
kemudiaan hari di Indonesia. Dampaknya berupa kolusi yang sudah mewabah di
Indonesia dan mengakibatkan kesengsaraan masyarakat/ rakyat jelata.
3. Kecenderungan Neo-Patrimonialistik
Menurut
Afan Gaffar, kecenderungan perpolitikan Indonesia berupa lembaga politik yang
bersifat Neo-Patrimonialistik, dimana Negara memiliki atribut yang bersifat
moderndan rasionalistik serta memperlihatkan atribut yang bersifat
patrimonialistik . Negara Patrimonialistik, penyelenggaraan pemerintahan dan
kekeuatan militer berada dibawah kontrol langsung pimpinan Negara. Selain itu,
menurut Weber Negara Patrimonialistik memiliki karakteristik tertentu, antara
lain:
•
Kecenderungan untuk
mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada
teman-temannya.
•
Kebijaksanaan
seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik.
•
Rule of Law, merupakan
sesuatu yang bersifat sekunder dibandingkan dengan kekuasaandari seorang peuasa.
•
Kalangan penguasa
politik sering mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan public.
Negara
yang menggunakan budaya politik Neo-Patrimonialistik dapat dilihat di Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru.
Sosialisasi politik : Tidak Memunculkan Civil
Society
Budaya
politik merupakan hasil dari satu proses pendidkan atau sosialisasi politik
dalam sebuah masyarakat. Namun dalam fakta yang ada, proses tersebut tidak
berjalan semestinya sehingga pendidikan politik tidak memberikan ruang untuk
memunculkan civil society. Ada dua alasan utama Menurut Afan Gaffar yang
menjadikan pendidikan politik Indonesia seperti demikian, yaitu
1.
Di dalam masyarakat
Indonesia, anak-anak tidak dididik untuk menjadi insane yang mandiri.
2.
Tingkat politisasi
sebagian sebagian terbesar masyarakat masih sangat rendah
3.
Setiap individu yang
berhubungan secara langsung dengan Negara tidak mempunyai alternative lain
kecuali mengikuti kehendak Negara, termasuk dalam hal pendidikan politik.
Kelebihan
dari buku:
1.
Setelah membaca satu bab ini mengenai Budaya Politik, buku ini menampilkan/
menjelaskan dengan berbagai contoh yang berkembang di masyarakat. Sehingga
pembaca mengerti dan memahami maksud dari pokok bahasan tersebut.
2.
Dalam buku ini, penjabaran dari pokok Bahasan sudah sangat cukup, jadi pembaca
memahaminya.
3.
Selain itu, pada buku ini ada opini yang diberikan penulis sebagai penutup
dalam pokok bahasan tersebut.
4.
Penggunaan catatan kaki, memudahkan pembaca mencari bahan lain dengan topik
yang sama.
Kelemahan
dari buku:
1.
Ada beberapa kalimat yang masih tergantung, misalkan pada hal 98 Paragraf 3
“Salah satu dampak……. Munculnya sejumlah teori….., disini tidak dijelaskan
macam-macam teori-teori tersebut.
2.
Pada buku ini, yang dibahas mengenai budaya politik Indonesia, namun dalam
isinya hanya pada masa pemerintahan Orde Baru, apakah akan relevansi jika
budaya politik yg ada dalam buku tersebut di aplikasikan pada pemerintahan saat
ini.
3.
Seharus dalam pemakaian catatan kaki dipakai salah satunya saja.
Penutup
Dalam
budaya politik, masyarakat dan Negara memiliki peranan masing-masing dalam
system politik. Di Indonesia, budaya politik masih sangat kurang, banyak
alasan-alasan yang membuat Indonesia masih rendah budaya politiknya. Seharusnya
budaya politik sudah menjadi pendidikan politik mulai dini, akan tetapi
masyarakat belum dapat mandiri, dan hanya mengikuti penguasa saja.
sumber
:Judul Buku : Afan Gaffar. Politik Indonesia “Transisi Menuju
Demokrasi”.Pustaka Pelajar. 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar