A. Latar Belakang
Gelombang demonstrasi tenaga
kerja(buruh) beberapa tahun lalu yang menolak draf revisi UU No 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan merupakan titik balik gerakan tenaga kerja (buruh) di
Indonesia. Gerakan tenaga kerja(buruh) di Indonesia menemukan spirit
resistensi-sosialnya untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial ekonomi yang
selama ini masih dalam imajinasi karena kebijakan politik upah murah
pemerintah.
Namun
beberapa pegiat perburuhan dan pemerhati fenomena gerakan sosial memiliki
perspektif pemikiran yang berbeda dalam memandang semakin meluasnya protes dan
resistensi kolektif komunitas tenaga kerja(buruh) di Indonesia. Beberapa
anggapan tersebut antara lain:
Pertama,
gerakan tenaga kerja(buruh) di Indonesia masih memiliki kelemahan secara
"ideologis". Gerakan buruh di Indonesia bukan gerakan transformatif
yang berani membongkar struktur kekuasaan yang pro modal dan pasar. Gerakan
buruh di Indonesia masih berkutat pada watak "ekonomisme", yakni
berjuang untuk upah dan kesejahteraan ekonomi an sich.
Kedua,
gerakan tenaga kerja(buruh) di Indonesia belum memiliki kekuatan organisasi
persatuan yang mampu mewadahi aspirasi dan kepentingan kaum tenaga kerja(buruh)
secara makro. Semisal Front Persatuan Buruh atau bahkan partai politik kaum
tenaga kerja(buruh) yang memiliki keterwakilan politik di parlemen.
Ketiga,
gerakan tenaga kerja(buruh) di Indonesia belum menyatu dalam aktivisme politik
pergerakan tenaga kerja(buruh) . Belum bersama-sama berjuang dalam agenda
edukasi politik buruh dan advokasi sosial tenaga kerja(buruh) .
Gerakan
buruh di Indonesia mayoritas masih didominasi oleh kalangan pekerja (buruh)
kelas "kerah biru" yang bekerja di sektor industri manufaktur dan
industri hilir. Mereka kebanyakan sekarang ini berstatus buruh kontrak yang
tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pemilik modal dan kebijakan
ekonomi-politik negara.
Nasib
kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses pemiskinan
dan semakin "tercerabut" hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya.
Rencana Revisi UU No 13 tahun 2003 memiliki motivasi ekonomis-politik, untuk
meliberalisasikan sektor perburuhan dan melemahkan posisi tawar politik
komunitas buruh di Indonesia.
Standar
kesejahteraan hidup para buruh di Indonesia juga semakin melemah karena
himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak neo-liberalisme.
Kebijakan kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2005 sampai 180 % telah membuat
banyak buruh kehilangan pekerjaan. Para buruh yang masih bekerja terpaksa
semakin mengencangkan "ikat pinggang"-nya karena upah yang mereka
terima (UMR/UMK/UMP) jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL) dan tidak
bisa mengimbangi laju kenaikan harga berbagai produk dan barang kebutuhan
pokok.
Kemiskinan struktural yang dialami
kaum buruh di Indonesia -saat ini ada 120 juta orang buruh, 65 % adalah
perempuan, 70 % bekerja disektor industri dan berkategori "pekerja kerah
biru"- sebenarnya merupakan basis material bagi penguatan organisasi dan
gerakan buruh di Indonesia.
Namun
sayangnya berbagai pegiat gerakan buruh -serikat buruh, partai buruh
"gurem", LSM perburuhan- belum memiliki kesadaran unifikasi gerakan.
Yakni kerelaan membangun front persatuan kaum buruh untuk memperjuangkan
agenda, kepentingan, aspirasi kaum buruh.
Watak
sektarianisme gerakan buruh juga terasa dalam berbagai basis sektoral
organisasi perburuhan. Lapisan buruh "kerah putih" yang bekerja di
sektor jasa dan industri yang berpenghasilan tinggi biasanya tidak memiliki
solidaritas sosial untuk bersama komunitas buruh memperjuangkan kepentingan
autentik kaum buruh.
Ada
prasyarat politik bagi gerakan buruh di Indonesia, jika ingin berhasil
memperjuangkan kepentingan kolektif kaum buruh. Gerakan buruh di Indonesia
memerlukan reorientasi strategis dan "ideologis", yakni harus
menggali keyakinan teori dan basis pijakan ideologi yang tepat untuk bisa
membangkitkan kesadaran "kelas" dan politisi komunitas buruh.
Saat
ini ada beberapa serikat buruh yang kuat secara basis keanggotaan seperti
FSPSI, SPN, PGRI dan sebagainya. Serikat buruh tersebut tidak memiliki kekuatan
ideologis dan tidak memiliki program ekonomi-politik untuk menghadapi laju
kebijakan neo-liberalisme pemerintah.
Ironisnya,
konon peringatan Hari Buruh 1 Mei 2006 tidak diikuti SPN dan FSPSI bersama 8 organisasi
buruh yang tergabung dalam Kongres Pekerja Nasional. Jika benar demikian, maka
ini menggambarkan bahwa gerakan buruh di Indonesia mengalami pemiskinan
ideologi. Berbeda kasusnya dengan gerakan buruh di Korea Selatan, Perancis dan
beberapa negara Amerika Latin yang memiliki basis iIdeologi strukturalis yang
secara hakikat berjuang untuk merombak paradigma kekuasaan dari pro kepentingan
modal (pasar) menjadi memihak kepentingan buruh.
Langka h implementatif dari reorientasi
ideologis dan strategis gerakan buruh perlu dilakukan. Dengan demikian gerakan
buruh bisa menjadi inti dari kekuatan civil society dan proses perubahan
sosial. Beberapa langkah itu, pertama, gerakan buruh di Indonesia harus keluar
dari watak ekonomisme. Gerakan buruh adalah gerakan politik untuk mengubah
kebijakan negara. Untuk itu perlu membangun partai alternatif yang siap merebut
posisi keterwakilan di parlemen.
Dengan
memiliki keterwakilan di parlemen kaum buruh bisa mendorong terciptanya produk
hukum dan perundang-undangan yang memihak kepentingan kaum buruh. Kedua,
gerakan buruh di Indonesia harus mampu membangun Front Persatuan (United Front)
bersama komunitas terpinggirkan yang lain, seperti komunitas petani, nelayan,
mahasiswa, pers untuk membangun blok demokrasi dengan program-program
perjuangan ekonomi dan politik menolak arus neoliberalisme.
Ketiga,
gerakan buruh di Indonesia bukanlah gerakan mantelisme politik, yakni menjadi
sayap atau alat kepentingan elite politik atau partai politik. Namun menjadi
kekuatan yang mandiri sebagai pressure group untuk memperjuangkan demokrasi dan
kepentingan substansial kaum buruh.
Kita
tegaskan, gerakan buruh di Indonesia adalah gerakan yang memiliki basis
dukungan dari komunitas, bukan gerakan akar jenggot yang tidak memiliki
keanggotaaan komunitas pekerja.
B. Rumusan
Masalah
Kontroversi
UU No. 13/2003 yang sempat menjadi polemik beberapa waktu yang lalu memunculkan
sejumlah pertanyaan tentang relavan tidaknya UU tersebut diberlakukan di
Indonesia. Sementara kalangan berpendapat, ada indikasi yang cukup besar
mengenai kecenderungan pemerintah “membela” kelompok pengusaha –pengusaha kelas
atas— dalam rangka menciptakan iklim investasi asing yang kondusif di Indonesia
dengan serta-merta mereduksi peran buruh pada posisi yang semakin terpinggirkan.
Logika ini juga tidak lepas gejala kuat yang mendorong pasar Indonesia ke dalam
program neoliberalisme cs kebijakan pro-pasar (market-friendly policy) sebagai
wilayah kebijakan ekonomi-politik rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dewasa
ini.
Lantas,
permasalahan yang kemudian muncul apakah dengan Revisi UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan tersebut, mampu memberikan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat
atau justeru semakin menyebabkan bangsa kita semakin terpuruk dan bergantung
secara ekonomi terhadap bangsa lain –Amerika Serikat— yang sudah maju?TKI
sering disebut sebagai pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan
devisa 60 trilyun rupiah (2006) , tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang
pungli bagi para pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta,
mereka disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari
terminal penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi TKI tetapi
juga menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti punutan Rp.25.000,-
berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI yang pulang melalui
Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan Rp25.000. (saat ini pungutan
ini sudah dilarang).
Pada
9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan TKI di
luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI. Sebelumnya seluruh
kegiatan operasional di bidang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) Depnakertrans.
Penghitungan
jumlah tenaga kerja dapat dilakukan dengan menjumlahkan seluruh penduduk usia
kerja (15 tahun keatas) dalam suatu negara. Angka tersebut biasanya didapatkan
dari Sensus Penduduk. Sedangkan persentase tenaga kerja dalam satu negara dapat
dihitung dengan membandingkan antara jumlah penduduk usia kerja dengan total
jumlah penduduk.
C. Tujuan.
Adapun
tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui dampak tenaga kerja(buruh) dalam
sistem perekonomian dan pengaruhnya dalam perpolitikan bangsa. Tingginya peran
fungsi tenaga kerja(buruh) di Indonesia dalam sistem perekonomian dan
peningkatan devisa negara ini harus diperhatikan secara khusus dan diamati.
Pemerintah sebagai pengelola perekonomian tentunya diharapkan mampu membuat
kebijakan yang mendukung dan melindungi para tenaga kerja dalam menjalankan
roda perekonomian bangsa.
D. Analisa dan Pembahasan.
1. Definisi Tenaga Kerja.
Tenaga
kerja menurut Undang Undang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Apakah buruh termasuk tenaga kerja,
dalam konteks Undang Undang ketenagakerjaan buruh termasuk tenaga kerja, namun
istilah buruh sering dipakai untuk menggambarkan tenaga kerja yang bekerja di
dalam negeri sedangkan untuk istilah tenga kerja sering digunakan untuk
menggambarkan pekerja (buruh) devisa negara yang keluar negeri.
2. Tinjauan Pustaka
1. Teori Neoliberalisme
Menurut
pendukung pendekatan liberal neo-klasik (yang sejak 1980-an dikenal juga dengan
nama “neo-liberalisme”), isu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah bagaimana
menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil. Karena itu,
pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang keberhasilannya diukur
dengan produk nasional bruto tahunan. Dalam proses itu, semua yang membantu
akumulasi kapital harus digalakkan; yang tidak membantu dipersilahkan minggir.
Tujuan
ini dicapai melalui proses akumulasi kapital yang diorganisasikan melalui
mekanisme transaksi atau pertukaran dalam pasar. Dengan demikian, ilmu ekonomi
berkembang menjadi ilmu pertukaran. Yang menjadi pusat perhatian adalah
kegiatan produktif yang melalui transaksi pasar, sedangkan yang tidak melalui
transaksi pasar tidak dianggap penting. Akibatnya, hasil kerja petani yang
menanam padi untuk dikonsumsi sendiri tidak dicatat sebagai kegiatan ekonomi,
dan tidak termasuk dalam perhitungan produk domestik bruto, karena tidak
melibatkan transaksi pasar. Begitu juga, hasil kerja wanita yang produktif
dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga tidak dihargai dalam perhitungan haril
kerja nasional itu karena, sekali lagi, tidak melibatkan transaksi pasar.
karakter
metodologi yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi liberal yang menonjol adalah
positivisme dan saintisme. Metodologi ini mendukung cara pandang yang memusat
pada persoalan materiil, yang empirik dan kasat-indera; mengutamakan variable
yang bisa diukur (“Yang tidak terukur, tidak bisa dianalisis”). Akibatnya, banyak
persoalan penting yang bersifat normatif diabaikan. Bahkan pendukung metodologi
ini cenderung bersikap netral terhadap nilai-nilai etika dan moral, seperti
keadilan. Karena itu, tidak mengherankan kalau persoalan pokok yang dibahas
oleh para pembuat kebijakan yang berpikir atas dasar ilmu pengetahuan
positivistik itu adalah persoalan bagaimana “memperbesar kue nasional”.
Terutama bagaimana meningkatkan kekayaan dan kemakmuran materiil melalui
penggalakan transaksi di pasar. Yaitu, akumulasi kapital melalui pasar. Dan
ukuran keberhasilannya juga berujud prestasi dalam mendoronf pertumbuhan
kapital.
Ideologi
yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang
hakeket manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk ekonomi”
yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang berfungsi
memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Manusia
dianggap banya akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “iming-iming” yang
sifatnya materiil. Karena itu sering muncul anggapan bahwa asal perutnya
kenyang orang akan mudah diatur. Inilah yang mendasari munculnya kebijakan
publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil,
dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah
perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juga oleh
filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Terakhir, pendekatan liberal
neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khas mengenai organisasi dan lembaga
sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang paling diutamakan
adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain dianggap “given”.
Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karena itu, mereka yang memiliki
modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akan menentukan apa yang akan
terjadi dalam proses ekonomi.
Negara
berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan
yang mendukung bekerjanya pasar. Yang menarik adalah pandangan kaum ekonom
liberal mengenai keluarga. Dalam ideologi ini, keluarga (rumah tangga)
dipandang sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama, sebagai rumah
tangga yang berfungsi sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan kepuasan
dengan mengkonsumsi barang yang diproduksi secara massal oleh perusahaan (yang
juga berperan sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan keuntungan).
Karena itu tiap hari rumah tangga kita dibombardir dengan iklan yang menawarkan
berbagai jenis barang dan jasa yang seringkali tidak jelas manfaatnya. Semakin
getol rumah tangga mengkonsumsi barang dan jasa itu, semakin “maju” ekonomi
itu, demikian argumennya. Kedua, rumah tangga juga berfungsi sebagai produsen
input abstrak yang disebut “tenaga kerja”. Cara menyebut tenaga kerja dengan
sebutan “sumberdaya manusia” juga memuat unsur ideologi kapitalistik itu.
Istilah ini sebenarnya muncul dalam lingkungan pabrik. Di sana bisa ditemui
mesin (sumberdaya fisik) dan manusia yang menanganinya (sumberdaya manusia).
Status keduanya pada dasarnya disamakan, yaitu sebagai sumberdaya.
Karena
itu upaya memenuhi keperluan buruh seringkali berujud upaya memenuhi kebutuhan
manusia sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh. Sebagai sumberdaya,
manusia memerlukan ketrampilan, lapangan kerja, upah minimum yang memadai, dan
sebagainya. Karena semata-mata dipandang sebagai sumberdaya, bukan sebagai
manusia utuh, ia dianggap tidak memerlukan pemenuhan hak sebagai manusia utuh,
misalnya hak untuk berserikat dan hak-hak lain demi pengembangan identitas
dirinya.
2. Revisi UU No. 13/2003: Sebuah
Kebijakan Pro Pasar yang Menindas.
Fenomena
ini merupakan sebuah peristiwa yang berhubungan erat dengan rentetan kejadian
sebelumnya. Memang terjadi sebuah tarik ulur antara pemerintah dan para tenaga
kerja (buruh). Hal ini disebabkan oleh rencana pemerintah untuk melakukan
revisi terhadap UU Ketenagakerjaan. Akibatnya, ribuan tenaga kerja (buruh)
turun ke jalan hampir setiap hari untuk menyatakan penolakannya atas rencana
pemerintah itu.
Draft
revisi UU Ketenagakerjaan memang sarat dengan “penindasan”. Di dalamnya
pengusaha diberikan kelonggaran dalam menyediakan sarana dan prasarana
perlindungan bagi para buruh. Demikian juga dalam aturan pemberian pesangon dan
uang PHK, para pengusaha di dalam draft itu bak “tuan” tanah yang bisa berlaku
dan berbuat apa saja kepada para “hamba sahayanya” yaitu para buruh. Argumentasi
pemerintah kelihatannya masuk akal. Karena UU Ketenagakerjaan itu dianggap
lebih berpihak kepada buruh, maka pemerintah beranggapan bahwa para investor
akan enggan menanam modal di Indonesia. Lagipula, versi pemerintah menyatakan
dengan masuknya investor asing nantinya pasca revisi, diharapkan akan membuka
lapangan kerja lebih luas sehingga akan memberikan kesempatan kepada para
penganggur.
Logika
yang digunakan pemerintah sama saja dengan logika kebijakan yang pro-pasar
(market friendly oriented). Menurut tesis Bank Dunia yang terangkum dalam The
World Development Report 1991, kebijakan pro-pasar merupakan kebijakan yang
menunjukkan peran Negara dalam memfasilitasi beroperasinya pasar melalui
intervensi yang “non-selektif”, misalnya dengan malakukan investasi dalam
infrastruktur fisik dan sosial, fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan
dengan menyiapkan iklim yang sesuai bagi kegiatan bisnis swasta. Fungsi lain
dari pemerintah dalam konsep ini adalah mempromosikan kompetisi domestic dan
internasional dengan tujuan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi secara
efisien. Ini hanya mungkin apabila pemerintah menetapkan kebijakan yang netral
(Mas’oed, 1994).
Kelihatannya
maksud pemerintah amat manis. Namun para buruh melihat bahwa di baliknya, ada tangan
kekerasan dan maksud buruk kepada para buruh. Dengan UU Ketenagakerjaan yang
katanya “baru” itu, maka pengusaha akan lebih sewenang-wenang kepada para
buruh, atas nama keamanan dan stabilitas usaha. Kelak, setiap buruh akan mudah
di “buang” setelah “manisnya dipakai oleh pengusaha”, hanya atas alasan yang
mungkin sangat sederhana tanpa konsekuensi apapun.
Rencana
untuk melakukan revisi ini memang menjadi sebuah persoalan yang sarat dengan
perspektif. Katakanlah bahwa selama ini para pengusaha selalu menjadikan tenaga
kerja (buruh) sebagai alat produksi. Mereka biasanya mengharapkan bahwa dengan
memberikan kompensasi kepada para tenga kerja (buruh) berupa upah, mereka akan
mendapatkan konsesi berupa produksi dan laba besar. Hanya sayangnya, di sebagian
besar perusahaan yang terjadi adalah pengembalian prinsip ini ke dalam bentuk
yang paling sederhana namun amat buruk, yaitu “pengorbanan sekecil-kecilnya
untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”. Prakteknya, upah tenga kerja
(buruh) ditekan seminim mungkin, namun dengan memberikan kewajiban yang kalau
boleh dikatakan sungguh amat menyiksa. Banyak tenaga kerja (buruh) di tanah air
bekerja tanpa perlindungan apapun, termasuk dari bahaya fisik maupun jiwa. Para
tenaga kerja (buruh) juga kerap hanya hidup dari fasilitas yang pas-pasan,
dengan berbagai keterbatasan yang sangat jauh dari memadai. Para pengusaha
dengan kaca mata kuda hanya menjadikan tenaga kerja (buruh) sebagai sekedar
faktor produksi.
Keberadaan
mereka hanya dikuantifikasikan atas jam kerja yang dijalani dan produktifitas
yang dihasilkannya. Dengan mekanisme seperti ini maka tenaga kerja (buruh)
dipandang sebagai mesin yang menghasilkan output. Bongkar pasang terhadap mesin
ini tentu saja dapat dengan mudah dilakukan.
Padahal,
kalau kita perhatikan dengan baik dan seksama, sebenarnya UU Ketenagakerjaan
yang selama ini diterapkan belum sempurna diterapkan di seluruh Indonesia.
Hanya saja, secara politis, pemerintah kelihatannya terganggu dengan berbagai
perjuangan kaum tenaga kerja (buruh) yang cenderung membuat para pengusaha
enggan bertandang ke Indonesia. Para pengusaha yang berada di balik pemerintah
pasti sedang mencoba memaksa pemerintah kita mengikuti niat mereka untuk
mendapatkan tenaga tenaga kerja (buruh) yang tahunya hanya nurut.
Setiap
kali para pengusaha diminta untuk meningkatkan kesejahteraan, alasan modal dan
dana yang tidak memadai selalu menjadi alasan. Bahkan penetapan upah tenaga
kerja (buruh) yang penyusunannya melibatkan pengusaha tidak jarang menjadi
sumber konflik. Pemerintahan ini, yang notabene diisi oleh para pengusaha yang
menjadi pejabat negara, mereka adalah pemilik para tenaga kerja (buruh), yang
pastilah berada di belakang para pengusaha. Itu sebabnya, rencana merevisi
kelihatannya awalnya berjalan mulus karena “difasilitasi” oleh kalangan dalam
pemerintahan sendiri. Nyata benar, bahwa pemerintah seolah tidak punya niat
baik dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dan keuntungan modal baginya.
Pemerintah
memang terjebak di dalam berbagai asumsi makro ekonomi yang dibuatnya. Pada
akhir kuartal I tahun ini, kelihatan sekali bahwa berbagai rencana pemerintah
terancam bubar. Menteri keuangan sendiri sudah menyatakan hal itu di depan para
Gubernur se-Indonesia dalam Musrenbang 2006 lalu.
Akibatnya,
pemerintah keteter dan bisa kehilangan kepercayaan, termasuk dari masyarakat.
Tidak tercapainya berbagai indikator makro tersebut diperkirakan akan
memperburuk nama pemerintah, yang sesungguhnya sedang mencari “tabungan”
sosio-psiko-ekonomi menjelang pemerintahan baru yang masih lama menjelang.
C. Penutup
1. Kesimpulan.
Melihat
Tenaga Kerja (buruh) Sebagai ‘Manusia’ Postmodern. Dalam perspektif kemanusiaan
saja, para buruh kita selama ini telah menjadi korban yang luar biasa dalam
sistem ketenagakerjaan yang amat memihak kepada pengusaha.
Para tenaga kerja (buruh) kerap
harus “dipaksa” bekerja di luar batas normal demi sekedar mendapatkan uang
lembur menambahi penghasilan mereka yang tidak seberapa. Di dalam berbagai
kasus, para tenaga kerja (buruh) juga harus menerima bahwa jaminan dan
perlindungan terhadap mereka terlalu sering diabaikan. Masalah tidak
disediakannya alat pelindung diri yang memadai, fasilitas kesehatan yang minim,
cuti, dan prospek masa depan, adalah sedikit dari banyak masalah yang dengan
sengaja diabaikan oleh para pengusaha.
Jadi,
alangkah tidak bisa dimengertinya bahwa penerapan UU Ketenagakerjaan yang masih
memerlukan perbaikan justru dibalikkan menjadi sebuah aturan yang semakin lebih
longgar. Pemerintah memang harus didesak supaya tidak menghalalkan segala cara
lagi karena sebelumnya sudah sering melakukan cara yang sama untuk mencapai
tujuannya.
Bagaimanapun,
tenaga kerja (buruh) adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat sebagai
manusia, yang tidak kurang atau tidak lebih dari keberadaan manusia “pengusaha”
itu sendiri. Mereka harus ditempatkan sebagai seorang yang memiliki hak dan
kewajiban. Lagipula, kalau kita melihat catatan konstitusi kita, memiliki
pekerjaan yang layak dan hidup sejahtera, adalah hak setiap individu, yang
tidak dapat dikurangi dengan alasan apapun bahkan oleh penguasa sekalipun.
Buruh
adalah manusia, seperti halnya pemerintah ataupun pengusaha. Untuk itu, bias
kebijakan yang melulu ekonomis teknis dan yang memandang tenaga kerja (buruh)
hanya sebatas “utility-maximizing machine” dalam paradigma positivisme dan
saintisme dari rasionalitas pencerahan modernisme harus segera ditinggalkan.
Terkait ini, kritik posmodernisme terhadap modernisme pada proyek “kecongkakan”
rasionalismenya –khususnya teori pilihan rasional berbasis pasar (rational
choice theory) dan keahlian teknokratis menjadi alternative lain yang lebih
“manusiawi” bagi buruh ke depan.
Posmodernisme
bagi buruh berarti, melampui model “baik-buruk” dalam mekanisme kebijakan
pro-pasar, yang mana, komitmen utama posmodernisme terletak pad aide tentang
“wacana” ketimbang pada objektivitas pengukuran atau analisis rasional terhadap
resolusi (penyelesaian) persoalan-persoalan public. Bahwa wacana otentik yang
ideal melihat administrator pemerintah, kalangan pengusaha dan masyarakat
secara umum saling terlibat satu sama lain, tidak semata-mata mendasarkan pada
kepentingan pribadi tiap individu secara rasional, akan tetapi sebagai
partisipan yang saling terlibat satu sama lain. Hubungan individual dan sosial
tidak dilihat hanya pada ukuran-ukuran rasional (untung-rugi) akan tetapi
bersifat eksperensial, intuitif dan emosional.
2. Saran
Melalui
pembahasan ini dalam pembangunan ekonomi bangsa tentunya mereka kedepannya
dapat diperhatikan oleh bangsa melalui kebijakan politik yang diambil bangsa.
Semoga penulisan ini menjadi berguna untuk bahan introspeksi bangsa khususnya
pembuat kebijakn yang berperan dalam perpolitikan bangsa ini.
D. Referensi
http://astarhadi.blogspot.com/2007/12/buruh-dalam-arus-kebijakan-ekonomi.html
diakses pada desember 2010
http://deptransmig.go.id/2006/kemiskinan-buruh.html
diakses pada desember 2010.
http://kompas.com/2006/arsip/may-day:protes-buruh-tak-kunjung-selesai.html
Diakses pada desember 2010
Http://BPS.go.id/tenaga kerja
indonesia diakses pada desember 2010.
Yulianto, T. 2006. “Quo Vadis
Gerakan Buruh di Indonesia: Refleksi Hari Buruh 1 Mei 2006”. www.google.com.
Edisi 05 Mei 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar