Selasa, 15 November 2011

Gerakan Reformasi 1998 sebagai Gerakan Sosial Politik

Status dan Peran Sosial

Gerakan mahasiswa 1998 yang punya andil dalam menumbangkan rezim Soeharto adalah suatu gerakan sosial. Maka sebelum membahas peran dan pengaruh pers mahasiswa dalam gerakan mahasiswa 1998, akan coba diulas di sini beberapa konsep tentang status dan peran sosial.
Masyarakat dapat dipandang terdiri dari seperangkat posisi-posisi sosial. Posisi sosial ini dinamakan status. Farley [1992] mengungkapkan, ada berbagai macam status berdasarkan cara memperolehnya. Pertama, status yang diperoleh begitu saja tanpa suatu usaha tertentu dari orang bersangkutan (ascribed status). Misalnya, status yang diterima begitu saja ketika orang terlahir sebagai laki-laki atau perempuan (jenis kelamin), berkulit putih atau berkulit hitam (ras), dan karakteristik keluarga tempat orang itu dilahirkan. Kedua, status yang diperoleh setidaknya sebagian melalui upaya tertentu atau perjuangan dari orang bersangkutan (achieved status). Seperti: jabatan di kantor, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan. Status mahasiswa tentu termasuk kategori kedua ini.
Ada berbagai faktor yang menentukan suatu kedudukan sosial atau status. Antara lain: kelahiran, unsur biologis, harta kekayaan, pekerjaan, agama. Kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Bisa terjadi, beberapa faktor sekaligus menentukan kedudukan sosial seseorang atau suatu golongan, sehingga sulit menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kedudukan sosial.
Jelas bahwa ada beberapa status yang lebih bersifat sentral dan penting dalam kehidupan seseorang dibandingkan status-status lain. Bagi kebanyakan orang, ada satu status yang ditempatkan di atas status-status lain, dilihat dari segi pengaruhnya terhadap kehidupan orang tersebut. Status semacam itu dinamakan master status. Misalnya, untuk orang dewasa, kemungkinan master status-nya adalah pekerjaan (occupation), atau bisa jadi posisinya dalam keluarga sebagai ayah, suami, atau istri.
Karena pada saat yang sama seseorang memegang berbagai status yang berbeda, dan status-status ini boleh jadi tidak memiliki peringkat yang sama, dapat terjadi ketidakkonsistenan status. Kondisi ini disebut juga ketidaksesuaian status (status discrepancy) atau keganjilan status (status incongruity). Inkonsistensi status tampak, misalnya, bilamana seseorang secara umum tidak diakui menyandang suatu status padahal status itu dirasakannya pantas, seperti orang kaya baru yang dicemoohkan oleh orang yang berdarah ningrat. Contoh lain, seorang pria menjadi sekretaris dari eksekutif wanita, atau orang berpendidikan tinggi yang terpaksa harus menerima pekerjaan berkualifikasi rendah.
Setiap status sosial terkait dengan satu atau lebih peran sosial. Menurut Horton dan Hunt [1993], peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status. Sedangkan status/kedudukan itu sendiri adalah suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lainnya. Setiap orang mungkin memiliki sejumlah status dan diharapkan mengisi peran yang sesuai dengan status itu. Dalam arti tertentu, status dan peran adalah dua aspek dari gejala yang sama. Status adalah seperangkat hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak-hak tersebut.
Sedangkan Abu Ahmadi [1982] mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.
Posisi sosial yang ditempati seseorang dinamakan status, sedangkan perilaku yang diharapkan dari orang yang menempati posisi itu disebut peran. Peran sosial mirip dengan peran yang dimainkan seorang aktor. Bilton, et al. [1981] menyatakan, orang yang memiliki posisi-posisi atau status-status tertentu dalam masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam cara-cara tertentu yang bisa diprediksikan, seolah-olah sejumlah “naskah” (scripts) sudah disiapkan untuk mereka.
Namun harapan-harapan yang terkait dengan peran-peran ini tidak hanya bersifat satu-arah. Seseorang tidak hanya diharapkan memainkan suatu peran dengan cara-cara khas tertentu, namun orang itu sendiri juga mengharapkan orang lain untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap dirinya. Seorang dokter dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi kepada pasien dan mengharapkan pasiennya menjawab dengan jujur. Sebaliknya si pasien mengharapkan dokter untuk merahasiakan dan tidak menyebarkan informasi yang bersifat pribadi ini ke pihak lain. Jadi peran sosial itu melibatkan situasi saling-mengharapkan (mutual-expectations).
Peran sosial karena itu bukanlah semata-mata cara orang berperilaku yang bisa diawasi, tetapi juga menyangkut cara berperilaku yang dipikirkan seharusnya dilakukan orang bersangkutan. Gagasan-gagasan tentang apa yang seharusnya dilakukan orang, tentang perilaku apa yang “pantas” atau “layak”, ini dinamakan norma.
Harapan-harapan terpenting yang melingkupi peran sosial bukanlah sekadar pernyataan-pernyataan tentang apa yang sebenarnya terjadi tentang apa yang akan dilakukan seseorang, di luar kebiasaan, dan seterusnya tapi norma-norma yang menggarisbawahi segala sesuatu, di mana seseorang yang memiliki status diwajibkan untuk menjalankannya. Jadi, peran-peran itu secara normatif dirumuskan, sedangkan harapan-harapan itu adalah tentang pola perilaku ideal, terhadap mana perilaku yang sebenarnya hanya bisa mendekati.
Setiap orang memainkan sejumlah peran yang berbeda, dan kadang-kadang peran-peran tersebut membawa harapan-harapan yang bertentangan. Menurut Hendropuspito [1989], konflik peran (role conflict) sering terjadi pada orang yang memegang sejumlah peran yang berbeda macamnya, kalau peran-peran itu mempunyai pola kelakuan yang saling berlawanan meski subjek atau sasaran yang dituju sama. Dengan kata lain, bentrokan peranan terjadi kalau untuk menaati suatu pola, seseorang harus melanggar pola lain.
Setidaknya ada dua macam konflik peran. Yakni, konflik antara berbagai peran yang berbeda, dan konflik dalam satu peran tunggal. Pertama, satu atau lebih peran (apakah itu peran independen atau bagian-bagian dari seperangkat peran) mungkin menimbulkan kewajiban-kewajiban yang bertentangan bagi seseorang. Kedua, dalam peran tunggal mungkin ada konflik inheren. Adanya harapan-harapan yang bertentangan dalam satu peran yang sama ini dinamakan role strain.
Satu hal yang menyebabkan terjadinya role strain adalah karena peran apapun sering menuntut adanya interaksi dengan berbagai status lain yang berbeda. Sampai tingkatan tertentu, masing-masing interaksi ini merumuskan peran yang berbeda, karena membawa harapan-harapan yang berbeda pula. Maka, apa yang tampak sebagai satu peran tunggal mungkin dalam sejumlah aspek sebenarnya adalah beberapa peran.
Misalnya, status sebagai karyawan bagian pemasaran (sales) eceran di sebuah perusahaan, dalam arti tertentu sebenarnya membawa beberapa peran: sebagai bawahan (terhadap atasan di perusahaan itu), sebagai sesama pekerja (terhadap karyawan-karyawan lain di perusahaan itu), dan sebagai penjual (terhadap konsumen dan masyarakat yang ditawari produk perusahaan tersebut).
Berbagai peran yang tergabung dan terkait pada satu status ini oleh Merton [1968] dinamakan perangkat peran (role set). Dalam kerangka besar, organisasi masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur sosial, ditentukan oleh hakekat (nature) dari peran-peran ini, hubungan antara peran-peran tersebut, serta distribusi sumberdaya yang langka di antara orang-orang yang memainkannya. Masyarakat yang berbeda merumuskan, mengorganisasikan, dan memberi imbalan (reward) terhadap aktivitas-aktivitas mereka dengan cara yang berbeda, sehingga setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang berbeda pula.
Bila yang diartikan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam suatu status tertentu, maka perilaku peran adalah perilaku yang sesungguhnya dari orang yang melakukan peran tersebut. Perilaku peran mungkin berbeda dari perilaku yang diharapkan karena beberapa alasan.
Menurut Horton dan Hunt [1993], seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar-benar sama.
Ada beberapa proses yang umum untuk memperkecil ketegangan peran dan melindungi diri dari rasa bersalah. Pertama, rasionalisasi, yakni suatu proses defensif untuk mendefinisikan kembali suatu situasi yang menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara sosial dan pribadi dapat diterima. Rasionalisasi menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang percaya bahwa “semua manusia sederajat” tapi tetap merasa tidak berdosa memiliki budak, dengan dalih bahwa budak bukanlah “manusia” tetapi “benda milik.”
Kedua, pengkotakan (compartmentalization), yakni memperkecil ketegangan peran dengan memagari peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi seperangkat tuntutan peran pada satu waktu tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara seminar bicara berapi-api tentang pembelaan kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus melakukan korupsi dan merugikan kepentingan rakyat.
Ketiga, ajudikasi (adjudication), yakni prosedur yang resmi untuk mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa bebas dari tanggung jawab dan dosa.
Terakhir, kadang-kadang orang membuat pemisahan secara sadar antara peranan dan “kedirian” (self), sehingga konflik antara peran dan kedirian dapat muncul sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang menampilkan peran yang tidak disukai, mereka kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya menjalankan apa yang harus mereka perbuat. Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan, karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu.
Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang dikembangkan Erving Goffman. “Jarak peran” diartikan sebagai suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan dalam suatu situasi.
Penampilan “jarak peran” menunjukkan adanya perasaan kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain, “penyatuan diri” dengan peranan secara total merupakan kebalikan dari “jarak peran.” Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.

Teori Gerakan Sosial

Gerakan mahasiswa pada dasarnya merupakan suatu gerakan sosial (social movement), yang adalah salah satu bentuk utama dari perilaku kolektif (collective behavior). Menurut Turner dan Killan [1972], secara formal gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri.
Batasan yang kurang formal dari gerakan sosial adalah suatu usaha kolektif yang bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan. Gerakan mahasiswa 1998 yang memiliki kadar kesinambungan tertentu dan bertujuan melakukan perubahan social-ekonomi-politik, cocok dengan definisi ini.
Sedangkan Blumer [1974] menyatakan, sebuah gerakan sosial dapat dirumuskan sebagai sejumlah besar orang yang bertindak bersama atas nama sejumlah tujuan atau gagasan. Biasanya, gerakan ini melibatkan cara-cara yang tidak-terlembagakan, seperti pawai, demonstrasi, protes, untuk mendukung atau menentang suatu perubahan sosial. Gerakan-gerakan sosial melibatkan jumlah orang yang cukup banyak dan biasanya berlanjut untuk rentang waktu yang cukup panjang. Gerakan mahasiswa 1998 dengan aksi-aksi massanya juga cocok dengan rumusan ini.
Gerakan sosial bersifat lebih terorganisasi dan lebih memiliki tujuan dibandingkan perilaku kolektif. Perilaku kolektif dapat terjadi secara spontan, namun gerakan sosial membutuhkan organisasi. Gerakan-gerakan sosial lebih umum terdapat di negara-negara industri ketimbang di negara-negara pra-industri, dan lebih umum terdapat dalam masyarakat yang relatif demokratis ketimbang di masyarakat otoriter.
Dengan adanya industrialisasi, kelompok-kelompok kepentingan menjadi jauh lebih beragam, dan kontrol sosial melemah, yang memudahkan orang untuk berorganisasi melawan kondisi atau gagasan yang mereka tentang. Demokrasi memberi dampak serupa, sementara rezim-rezim otoriter memandang gerakan sosial sebagai ancaman, sehingga menggunakan berbagai cara untuk meredam gerakan sosial sebelum menjadi populer dan memperoleh banyak pengikut.
Ada sejumlah teori yang mencoba menunjukkan akar dari gerakan sosial. Pertama, Teori Deprivasi Relatif (Relative Deprivation Theory). Menurut konsep deprivasi relatif, seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Gerakan sosial muncul ketika orang merasa diabaikan atau tidak diperlakukan selayaknya, relatif dibandingkan dengan perlakuan terhadap orang lain atau bagaimana mereka merasa seharusnya diperlakukan [Geschwender, 1964; Gurney dan Tierney, 1982]. Walau teori ini juga mengacu ke keadaan psikologis atau perasaan, keadaan itu jelas merupakan produk dari kondisi-kondisi sosial tertentu.
Sebagai contoh, deprivasi relatif makin meningkat di kebanyakan negara terbelakang. Pemerintah negara-negara Dunia Ketiga, yang belum lama menyatakan kemerdekaannya, tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi harapan rakyatnya. Revolusi sangat mungkin terjadi bukan dalam masa di mana rakyat mengalami penderitaan terparah, tapi dalam masa ketika keadaan mulai menjadi baik, yang justru mengakibatkan timbulnya peningkatan harapan dan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ketika orang diarahkan untuk percaya bahwa kondisi mereka akan membaik dan ternyata itu tidak terbukti, mereka tampaknya akan merasa terabaikan. Ini kadang-kadang disebut revolusi akibat harapan yang meningkat atau revolution of rising expectations [Davies, 1962].
Hal penting yang harus dicatat di sini, deprivasi mutlak (absolute) justru tidak memunculkan gerakan sosial. Dalam kondisi negara di mana seluruh rakyat dalam keadaan miskin, terdapat deprivasi mutlak yang besar, namun tidak terdapat deprivasi relatif. Setiap orang tidak tahu hal lain kecuali kemiskinan, sehingga tidak ada yang merasa diperlakukan tidak adil. Sebaliknya, dalam negara di mana kesenjangan antara orang yang kaya dan miskin mencolok, orang miskin akan sadar akan perbedaan situasi itu dan mungkin akan merasa diabaikan.
Dalam kaitan gerakan mahasiswa 1998, teori ini cukup relevan. Krisis ekonomi yang parah sejak Juli 1997 menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Masyarakat kelas menengah Indonesia, yang selama ini terkesan tenang dan patuh pada rezim, mulai gelisah dan ikut mendukung dalam gerakan reformasi. Keikutsertaan tersebut tampaknya dipicu oleh kepentingan mereka yang mulai terganggu oleh pembusukan sistem Orde Baru di bawah Soeharto, yang prosesnya makin dipercepat dengan terjadinya krisis ekonomi. Berbagai pemberitaan pers nasional pada periode awal 1998 menjelang kejatuhan Soeharto menunjukkan, bagaimana lapisan kelas menengah perkotaan ini mendukung gerakan mahasiswa dengan pasokan dana dan logistik dalam aksi-aksinya.
Sedangkan mahasiswa turun ke jalan, selain karena kondisi obyektif yang telah disebutkan di atas, juga ada kondisi subyektif yang langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa. Kondisi subyektif akibat krisis ekonomi itu antara lain berupa meningkatnya biaya kebutuhan hidup, juga biaya untuk keperluan kuliah di perguruan tinggi. Dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok, uang dari orangtua yang bisa dialokasikan untuk keperluan akademis juga semakin minim. Bahkan banyak mahasiswa terancam drop out.
Kesulitan keuangan ini terutama dirasakan para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), yang biaya kuliahnya relatif jauh lebih mahal daripada di perguruan tinggi negeri (PTN). Maka bisa dipahami bahwa dalam aksi-aksi mahasiswa 1997-1998, terlihat sangat besar peranan mahasiswa dari PTS. Sikap mereka juga tampak lebih radikal.
Krisis ekonomi juga menghasilkan banyak perusahaan ditutup, pengangguran meningkat, dan makin sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Dalam konteks ini, mahasiswa juga merasa kepentingannya terancam. Mereka –terutama yang sudah kuliah di tingkat akhir-- tidak melihat urgensi untuk cepat menyelesaikan kuliah karena prospek lapangan kerja yang suram. Maka memprotes keadaan dengan turun ke jalan tampaknya menjadi pilihan yang wajar.
Kedua, Teori Mobilisasi Sumberdaya (Resource Mobilization Theory). Teori ini berargumen bahwa gerakan sosial muncul ketika orang memiliki akses pada sumberdaya, yang memungkinkan mereka mengorganisasikan suatu gerakan. Menurut asumsi teori ini, sejumlah ketidakpuasan selalu ada dalam masyarakat, namun sumberdaya yang dibutuhkan untuk membentuk gerakan-gerakan sosial tidak selalu tersedia [McCarthy dan Zald, 1973, 1977].
Jadi teori ini tampak lebih menekankan pada teknik, dan bukan pada penyebab gerakan sosial. Teori ini menggarisbawahi pentingnya pendayagunaan sumberdaya secara efektif dalam menunjang gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil memerlukan organisasi dan taktik yang baik. Penganut teori ini memandang kepemimpinan, organisasi, dan taktik sebagai faktor utama yang menentukan sukses-tidaknya suatu gerakan sosial.
Namun teori ini tidak berlaku pada gerakan ekspresif atau gerakan perpindahan (migratory movements), yang terbukti dapat berhasil tanpa adanya organisasi atau taktik. Mungkin saja mobilitas sumberdaya memegang peran dalam gerakan sosial, tetapi dalam kadar yang tidak dapat ditentukan.
Namun dalam konteks gerakan mahasiswa 1998, sumberdaya bagi gerakan mahasiswa tampaknya dimudahkan karena adanya dukungan yang kuat dari berbagai kalangan masyarakat, di dalam maupun luar kampus. Sumbangan dalam berbagai macam bentuk dari dosen, alumni, pengusaha, kalangan kelas menengah dan kaum profesional, organisasi nonpemerintah, pers dalam dan luar negeri, untuk gerakan mahasiswa punya andil besar dalam menggulirkan gerakan tersebut secara berkesinambungan.
Ketiga, Teori Proses-Politik. Teori ini erat kaitannya dengan Teori Mobilisasi Sumberdaya. Pendekatan teori proses-politik menekankan pada peluang-peluang bagi gerakan, yang diciptakan oleh proses politik dan sosial yang lebih besar [Tilly, 1978]. Tidak adanya represi yang diasosiasikan dengan masyarakat-masyarakat demokratis, industrialisasi, dan urbanisasi, dan adanya lingkungan politik yang memadai, misalnya, memudahkan bagi munculnya gerakan-gerakan sosial. Ketika orang menyadari bahwa sistem itu rawan terhadap protes, gerakan-gerakan sosial tampaknya lebih terdorong untuk muncul.
Dalam kaitan gerakan mahasiswa 1998, kondisi makro ekonomi-politik di Indonesia saat itu tampaknya menyediakan peluang-peluang bagi gerakan mahasiswa. Pemerintah Soeharto dalam keadaan lemah secara ekonomi, di bawah tekanan internasional yang memiliki sumberdaya ekonomi, sehingga harus melakukan kompromi-kompromi dan mau tak mau harus melonggarkan represinya.

Jenis-jenis Gerakan Sosial

Ada bermacam jenis gerakan sosial. Meskipun semua ini diklasifikasikan sebagai jenis gerakan yang berbeda, jenis-jenis gerakan ini bisa tumpang-tindih, dan sebuah gerakan tertentu mungkin mengandung elemen-elemen lebih dari satu jenis gerakan.
Pertama, Gerakan Protes. Gerakan protes adalah gerakan yang bertujuan mengubah atau menentang sejumlah kondisi sosial yang ada. Ini adalah jenis yang paling umum dari gerakan sosial di sebagian besar negara industri. Di Amerika Serikat, misalnya, gerakan ini diwakili oleh gerakan hak-hak sipil, gerakan feminis, gerakan hak kaum gay, gerakan antinuklir, dan gerakan perdamaian.
Gerakan protes sendiri masih bisa diklasifikasikan menjadi dua: gerakan reformasi atau gerakan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, karena tujuannya hanyalah untuk mencapai reformasi terbatas tertentu, tidak untuk merombak ulang seluruh masyarakat. Gerakan reformasi merupakan upaya untuk memajukan masyarakat tanpa banyak mengubah struktur dasarnya. Gerakan ini, misalnya, menuntut adanya kebijaksanaan baru di bidang lingkungan hidup, politik luar negeri, atau perlakuan terhadap kelompok etnis, ras, atau agama tertentu. Gerakan mahasiswa 1998 di Indonesia termasuk dalam kategori ini.
Sedangkan gerakan revolusioner adalah bertujuan merombak ulang seluruh masyarakat, dengan cara melenyapkan institusi-institusi lama dan mendirikan institusi yang baru. Gerakan revolusioner berkembang ketika sebuah pemerintah berulangkali mengabaikan atau menolak keinginan sebagian besar warganegaranya atau menggunakan apa yang oleh rakyat dipandang sebagai cara-cara ilegal untuk meredam perbedaan pendapat. Seringkali, gerakan revolusioner berkembang sesudah serangkaian gerakan reformasi yang terkait gagal mencapai tujuan yang diinginkan. Gerakan mahasiswa 1998 belum mencapai tahapan ini.
Kedua, Gerakan Regresif atau disebut juga Gerakan Resistensi. Gerakan Regresif ini adalah gerakan sosial yang bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang sebuah gerakan protes. Misalnya, adalah gerakan antifeminis yang menentang perubahan dalam peran dan status perempuan. Contoh lain adalah gerakan moral, yang menentang tren ke arah kebebasan seksual yang lebih besar. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrem adalah Ku Klux Klan dan berbagai kelompok neo-Nazi, yang percaya pada supremasi kulit putih dan mendukung dipulihkannya segregasi rasial yang lebih ketat.
Ketiga, Gerakan Religius. Gerakan religius dapat dirumuskan sebagai gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural yang dominan [lihat Lofland, 1985; Zald dan Ash, 1966; Zald dan McCarthy, 1979]. Kategori luas ini mencakup banyak sekte, bahkan mencakup sejumlah gereja yang relatif terlembagakan, yang juga menentang beberapa elemen dari agama atau kultur yang dominan.
Keempat, Gerakan Komunal, atau ada juga yang menyebut Gerakan Utopia. Gerakan komunal adalah gerakan sosial yang berusaha melakukan perubahan lewat contoh-contoh, dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan sebuah kelompok kecil. Mereka tidak menantang masyarakat kovensional secara langsung, namun lebih berusaha membangun alternatif-alternatif terhadapnya. Ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti: membangun rumah kolektif, yang secara populer dikenal sebagai komune (communes), di mana orang tinggal bersama, berbagi sumberdaya dan kerja secara merata, dan mendasarkan hidupnya pada prinsip kesamaan (equality).
Kelima, Gerakan Perpindahan. Orang yang kecewa mungkin saja melakukan perpindahan. Ketika banyak orang pindah ke suatu tempat pada waktu bersamaan, ini disebut gerakan perpindahan sosial (migratory social movement). Contohnya: migrasi orang Irlandia ke Amerika setelah terjadinya panen kentang, serta kembalinya orang Yahudi ke Israel, yang dikenal dengan istilah Gerakan Zionisme.



Referensi
a. Robert Mirsel. Teori Pergerakan Sosial. 2004. Penerbit Resist Book. Yogyakarta.
b. Damsar, Prof.Dr. Pengantar Sosiologi Politik.2010.Kencana. Jakarta.
c. http://syaldi.web.id/.../gerakan-mahasiswa-indonesia-tahun-1998-sebuah-proses-perubahan-sosial/ - diakses pada Desember 2010
d. http://wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998-sekarang) diakses pada januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar