Selasa, 15 November 2011

Perubahan dan Pembangunan Politik Indonesia Pasca Reformasi

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pola perubahan politik di Indonesia sering terjadi, ini disebabkan bergantinya kabinet presiden di Indonesia. Perubahan Umumnya membahas mengenai demokratisasi lebih banyak menekankan pada faktor-faktor domestik yang diduga akan menjadi faktor pendukung ataupun penghambat proses demokratisasi. Keumuman ini terjadi karena beberapa alasan. Diantaranya adalah bahwa aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk usaha-usaha mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Karena itu, proses-proses politik di masa transisi cenderung bersifat inward-looking. Selain itu, kuatnya kecenderungan untuk menganalisis proses demokratisasi melalui lensa dinamika politik domestik juga terjadi karena adanya anggapan bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestiklah yang akan menentukan tindakan politik apa yang akan diambi.
Akan tetapi, situasi ketidakpastian yang melingkupi setiap proses transisi politik sebetulnya membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pencitraan diri sebagai negara demokratis di luar negeri akan menjadi dorongan untuk pencitraan diri sebagai negara demokratis di dalam negeri. Pengalaman transisi demokrasi di negara-negara Eropa Timur seperti Hongaria dan Polandia memperlihatkan bahwa pencitraan diri sebagai negara demokratis melalui politik luar negeri dapat memberi dorongan substansial bagi proses konsolidasi di dalam negeri.

B. Rumusan Masalah.
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana perubahan politik yang terjadi di Indonesia pasca Reformasi 1998
2. Bagaiman pembangunan politik yang terjadi Di Indonesia pasca Reformasi 1998

C. Tujuan Makalah.
Tujuan dari pembuatan makalah ini adlah gunanya untuk :
1.      Mengetahui perubahan politik yang terjadi di Indonesia dalam 4 periode kepemimpinan semenjak reformasi 1998.
2.      Mencari dan memahami arah pembangunan politik di Indonesia semenjak reformasi.

PEMBAHASAN
A. Pola Perubahan Politik di Indonesia
1. Pemerintahan Habibie.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius. Untuk mengatasinya terjadilah perubahan politik oleh Habibie, di antaranya :
1.      Membuat UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965.
2.      Mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan, dan membangun legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestic dengan demikian dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai. Sehingga, Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi.
3.      Membentuk Kabinet ReformasiPembangunan. Dibentuk tanggal 22 Mei 1998, dengan jumlah menteri 16 orang yang merupakan perwakilan dari Golkar, PPP, dan PDI.
4.      Mengadakan reformasi dalam bidang politik Habibie berusaha menciptakan politik yang transparan, mengadakan pemilu yang bebas, rahasia, jujur, adil, membebaskantahananpolitik,dan mencabutl arangan berdirinya SerikatBuruh Independen.Kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan menyampaikan pendapat diberikan asal tetap berpedoman pada aturan yang ada yaitu UU No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.
5.      Refomasi Dalam bidang hokum Target reformasinya yaitu subtansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan instansi peradilan yang independen. Pada masa orde baru, hukum hanya berlaku pada rakyat kecil saja dan penguasa kebal hukum sehingga sulit bagi masyarakat kecil untuk mendapatkan keadilan bila berhubungan dengan penguasa.
6.      Mengatasi masalah dwifungsi ABRI Jendral TNI Wiranto mengatakan bahwa ABRI akan mengadakan reposisi secara bertahap sesuai dengan tuntutan masyarakat, secara bertahap akan mundur dari area politik dan akan memusatkan perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan birokrasi diperintahkan untuk memilih kembali kesatuan ABRI atau pensiun dari militer untuk berkarier di sipil.
Stagnasi indonesia dan stabilitas keamanan sangat cendrung berubah semenjak referendum tentang Timor-Timor. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal, diantaranya :
1.      Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu.
2.      Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.

2. Pemerintahan Abdurrahman Wahid
Pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya. Entry point yang digunakan oleh presiden Wahid adalah persoalan Timor Timur. Komisi khusus yang dibentuk oleh PBB menyimpulkan bahwa kerusuhan di Timor Timur setelah referendum 1999 direncanakan secara sistematis. Lebih jauh Komisi tersebut menyatakan dengan jelas bahwa TNI dan milisi pro integrasi merupakan dua pihak yang harus bertangung jawab. Pada akhirnya, keputusan untuk memberhentikan Wiranto mendapat dukungan penting dari ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Akbar Tanjunng Patut diingat bahwa presiden Wahid secara terus menerus menggunakan kredibilitasnya di dunia internasional sebagai tokoh pro-demokrasi untuk mendapatkan dukungan atas berbagai kebijakannya mengenai TNI ataupun penanganan kasus separatisme yang melibatkan TNI.
Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.
Indonesia masa pemerintahan Abdurrahman Wahid: Kebijakan-kebijakan pada masa GusDur dan perubahan politik:
a.       Meneruskan kehidupan yang demokratis seperti pemerintahan sebelumnya (memberikan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat minoritas, kebebasan beragama, memperbolehkan kembali penyelenggaraan budaya tiong hua).
b.      Merestrukturisasi lembaga pemerintahan seperti menghapus departemen yang dianggapnya tidak efesien (menghilangkan departemen penerangan dan sosial untuk mengurangi pengeluaran anggaran, membentuk Dewan Keamanan Ekonomi Nasional).
c.       Ingin memanfaatkan jabatannya sebagai Panglima Tertinggi dalam militer dengan mencopot Kapolri yang tidak sejalan dengan keinginan Gus Dur.
Masalah yang ada:
a.       Gus Dur tidak mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan TNI-Polri.
b.      Masalah dana non-budgeter Bulog dan Bruneigate yang dipermasalahkan oleh anggota DPR.
c.       Dekrit Gus Dur tanggal 22 Juli 2001 yang berisikan pembaharuan DPR dan MPR serta pembubaran Golkar. Hal tersebut tidak mendapat dukungan dari TNI, POLRI dan partai politik serta masyarakat, sehingga dekrit tersebut malah mempercepat jatuhnya Gusdur dari kepresidenan dan melalui siding istimewa 3 JUli 2001 beliau resmi berhenti sebagai persiden RI.

3. Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Megawati juga secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, perubahan politik yang dilakukan Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow.
Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Di masa pemerintahan Megawati, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Kebijakan-kebijakan pada masa Megawati:
a.       Memilih dan Menetapkan Ditempuh dengan meningkatkan kerukunan antar elemen bangsa dan menjaga persatuan dan kesatuan. Upaya ini terganggu karena peristiwa Bom Bali yang mengakibatkan kepercayaan dunia internasional berkurang.
b.      Membangun tatanan politik yang baru Diwujudkan dengan dikeluarkannya UU tentang pemilu, susunan dan kedudukan MPR/DPR, dan pemilihan presiden dan wapres.
c.       Menjaga keutuhan NKRI Setiap usaha yang mengancam keutuhan NKRI ditindak tegas seperti kasus Aceh, Ambon, Papua, Poso. Hal tersebut diberikan perhatian khusus karena peristiwa lepasnya Timor Timur dari RI.
d.      MelanjutkanamandemenUUD1945. Dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman.
e.       Meluruskan otonomi daerah Keluarnya UU tentang otonomi daerah menimbulkan penafsiran yang berbeda tentang pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, pelurusan dilakukan dengan pembinaan terhadap daerah-daerah.
Masalah yang terjadi pada masa pemerintahan megawati yaitu antara indonesia dengan malaysia peristiwa Bom Bali dan perebutan pulan Ligitan dan Sipadan. Dan ini yang terjadi terhadap struktur kepemilikan wilayah indonesia.

4. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kebijakan-kebijakan pada masa SBY:
a.       Anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
b.      Konversi minyak tanah kegas.
c.       Memberikan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
d.      Pembayaran utang secara bertahap kepada badan PBB.
e.       Buy back saham BUMN Pelayanan UKM (Usaha Kecil Menengah) bagi rakyat kecil. Subsidi BBM.
f.       Memudahkan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.
g.      Meningkatkan sektor pariswisata dengan mencanangkan "Visit Indonesia 2008".
h.      Pemberian bibit unggul pada petani.
i.        Pemberantasan korupsi melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Masalah yang ada:
a.       Masalah pembangunan ekonomi yang ala kadarnya sangat memperihatinkan karena tidak tampak strategi yang bisa membuat perekonomian Indonesia kembali bergairah. Angka pengangguran dan kemiskinan tetap tinggi.
b.      Penanganan bencana alam yang datang bertubi-tubi berjalan lambat dan sangat tidak profesional. Bisa dipahami bahwa bencana datang tidak diundang dan terjadi begitu cepat sehingga korban kematian dan materi tidak terhindarkan. Satu-satunya unit pemerintah yang tampak efisien adalah Badan Sar Nasional yang saat inipun terlihat kedodoran karena sumber daya yang terbatas. Sementara itu, pembentukan komisi dll hanya menjadi pemborosan yang luar biasa.
c.       Masalah kepemimpinan SBY dan JK yang sangat memperihatinkan. SBY yang ‘sok’ kalem dan berwibawa dikhawatirkan berhati pengecut dan selalu cari aman, sedangkan JK yang sok profesional dikhawatirkan penuh tipu muslihat dan agenda kepentingan kelompok. Rakyat Indonesia sudah melihat dan memahami hal tersebut. Selain itu, ketidakkompakan anggota kabinet menjadi nilai negatif yang besar.
d.      Masalah politik dan keamanan cukup stabil dan tampak konsolidasi demokrasi dan keberhasilan pilkada Aceh menjadi catatan prestasi. Namun, potensi demokrasi ini belum menghasilkan sistem yang pro-rakyat dan mampu memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tetapi malah mengubah arah demokrasi bukan untuk rakyat melainkan untuk kekuatan kelompok.
e.       Masalah korupsi. Mulai dari dasar hukumnya sampai proses peradilan, terjadi perdebatan yang semakin mempersulit pembersihan Republik Indonesia dari koruptor-koruptor perampok kekayaan bangsa Indonesia. Misalnya pernyataan JK yang menganggap upaya pemberantasan korupsi mulai terasa menghambat pembangunan.
f.       Masalah politik luar negeri. Indonesia terjebak dalam politk luar negeri ‘Pahlawan Kesiangan’. Dalam kasus Nuklir Korea Utara dan dalam kasus-kasus di Timur Tengah, utusan khusus tidak melakukan apa-apa. Indonesia juga sangat sulit bergerak diantara kepentingan Arab Saudi dan Iran. Selain itu, ikut serta dalam masalah Irak jelas merupakan dikte Amerika Serikat yang diamini oleh korps Deplu. Juga desakan peranan Indonesia dalam urusan dalam negeri Myanmar akan semakin menyulitkan Indonesia di masa mendatang. Singkatnya, Indonesia bukan lagi negara yang bebas dan aktif karena lebih condong ke Amerika Serikat.

B. Pembangunan Politik Indonesia.
Pembangunan politik sebagai bagian dari modernisasi senantiasa melibatkan ketegangan dan konflik secara terus menerus antara proses pembangunan dengan syarat-syarat agar system politik tetap pada keadaannya. Ketegangan maupun konflik tersebut merupakan sesuatu inheren dalam pembangunan, yang meliputi tuntutan akan persamaan, proses-proses diferensiasi serta kebutuhan akan kapasitas yang lebih besar. Merupakan suatu ha yang biasa bahwa setiap perubahan-perubahan pada dimensi persamaan, diferensiasi dan kapasitas/kemampuan dalam pembangunan akan mempengaruhi budaya politik elite dan massa, perubahan (smooth) dimana elite maupun massa terakomodasi dalam budaya-budayanya. Hal ini menunjukkan dinamika modernisasi masyarakat. Krisis mulai terjadi apabila budaya elite atau massa atau keduanya, menyebabkan ketegangan-ketegangan yang inheren, misalnya antara dimensi kapasitas dengan dimensi persamaan yang semakin membesar dan sangat terlihat sebagai suatu ancaman utama pemerintah atau rakyat maupun kedua-duanya.
Pakar politik Lucien W. Pye (Aspects of Political Development, pada Memajukan Demokrasi mencegah disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik oleh Nicolaus Budi Harjanto) memberikan dimensi/unsur dari pembangunan politik sebagai berikut : “Pembangunan politik sebagai : pertambahan persamaan (equality) antara individu dalam hubungannya dengan system politik, pertambahan kemampuan (capacity) system politik dalam hubungannya dengan lingkungan, dan pertambahan pembedaan (differentiation and specialization) lembaga dan struktur di dalam system politik itu. Ketiga dimensi tersebut senantiasa ada pada “Dasar dan jantung proses pembangunan”.
Menurut Pye, dimensi persamaan (equality) dalam pembangunan politik berkaitan dengan Masalah partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam Kegiatan-kegiatan politik, baik yang dimobilisir secara demokratis maupun totaliter. Dalam unsur/dimensi ini dituntut adanya pelaksanaan hukum secara universal, dimana semua orang harus taat kepada hokum yang sama, dan dituntut adanya kecakapan dan prestasi serta bukan pertimbangan-pertimbangan status berdasarkan suatu system sosial yang tradisional. Dalam proses pembangunan, dimensi ini berkaitan erat dengan budaya politik, legitimasi dan keterikatan pada system.
Sedangkan dimensi kapasitas (capacity) dimaksudkan sebagai kemampuan system politik yang dapat dilihat dari output yang dihasilkan dan besarnya pengaruh yang dapat diberikan kepada sistem-sistem lainnya seperti system sosial dan ekonomi. Dimensi ini berhubungan erat prestasi pemerintah yang memiliki wewenang resmi, yang mencerminkan besarnya ruang lingkup dan tingkat prestasi politik dan pemerintahan, efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan umum dan rasionalitas dalam administrasi serta orientasi kebijakan. Sedangkan dimensi diferensiasi dan spesialisasi (differentiation and specialization), menunjukkan adanya lembaga-lembaga pemerintahan dan struktur-strukturnya beserta fungsinya masing-masing, yang terdapat pada sistem politik. Dengan diferensiasi berarti bertambah pula pengkhususan atau spesialisasi fungsi dari beberapa peranan politik di dalam sistem. Di samping itu diferensiasi melibatkan pula Masalah integrasi proses-proses dan struktur-struktur yang rumit (Spesialisasi yang didasarkan pada perasaan integrasi keseluruhan).

PENUTUPAN
A. Kesimpulan.
1. Perubahan Politik
Dari setiap pertukaran periode kepemimpinan terjadi perubahan politik yang sesuai dengan kepemimpinan presiden saat itu. Namun perubahan yang terjadi merupakan pendewasaan politik di Indonesia dalam perjalanannya menuju demokrasi.

2. Pembangunan Politik.
Terjadinya upaya-upaya agar meningkatnya kedewasaan politik yang kemudian mampu menyokong kekuatan Negara.

B. Saran.
Mengamati perubahan politik serta pembangunan politik di Indonesia pasca Reformasi 1998 adalah salah satu upaya untuk menambah wawasan serta menjadikan kita kritis terhadap perubahan dari periode ke periode. Namun sebaiknya, setiap perubahan yang terjadi harus di cermati secara positif karena perubahan politik yang terjadi pasti sesuai denagan situasi dan kondisi yang terjadi pada masa itu dan menjadikannya nilai tambah dari keberanekaragamna kasanah pemikiran pemimpin kita yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Dewi Fortuna. 1999. “The Habibie presidency”, dalam Forrester, G (ed), Post-Suharto Indonesia: renewal or chaos:Crawford House Publishing: Bathurst.
http://wikipedia.com/pasca reformasi di Indonesia. senin, 28 juni 2010.
O’ Donnel, Guillermo.Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead,. 1986.Transition from authoritarian rule: prospect for democracy .Baltimore: Johns Hopkins University.

http://wordpress.com/pemimpin Indonesia Pasca REformasi/senin,28 Juni 2010

http://Kompas.com/ kebijakan pasca Reformasi 1998/senin,28 juni 2010

Tamrin, Drs Msi. 2010. Satuan Acara Pengajaran(SAP) dan Bahan Bacaan Pembangunan Politik. Jurusan Ilmu Politik. Universitas Andalas Padang.

Konsep Kampanye Politik



Kampanye politik penuh dengan retorika, seperti aktor politik tertentu menantang kualifikasi pesaing politiknya, bahkan dukungan editorial surat kabar, majalah, televisi dan radio juga mengikuti garis demonstratif, memperkuat sifatsifat positif kandidat yang didukung sekaligus memperteguh sifat-sifat negative lawan politiknya. Menurut Aristoteles yang dikutip Nimmo (1989) dalam Sirajuddin (2005 :14), bahwa dalam pengklasifikasian jenis-jenis kampanye politik, dapat diidentifikasi melalui tiga cara pokok, yaitu deliberatif, forensik, dan demonstratif. Kampanye politik deliberatif dirancang untuk mempengaruhi orang-orang dalam masalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan menggambarkan sejumlah keuntungan dan kerugian relatif dari cara-cara alternatif dalam melakukan segala sesuatu. Fokusnya adalah sesuatu yang akan terjadi di masa depan jika ditentukan kebijakan tertentu. Jadi, ia menciptakan dan memodifikasi pengharapan atas hal ihwal yang akan datang.
Sementara kampanye politik forensik adalah persoalan yuridis, kampanye ini berfokus pada apa yang terjadi di masa lalu untuk menunjukkan apakah bersalah atau tidak, pertanggungjawaban, atau hukuman dan ganjaran. Pada prinsipnya kampanye berusaha mengungkap berbagai pelanggaran yang sedang atau telah dilakukan para pesaing politiknya sehingga memungkinkan khalayak berubah sikap terhadap pilihan politiknya saat pesta pemilihan umum. Terakhir adalah kampanye demonstratif yang dilakukan melalui epideiktik, artinya wacana yang memuji dan menjatuhkan lawan yang menjadi pesaing politik. Tujuannya adalah untuk memperkuat sifat baik atau brand image partai politik beserta aktor-aktornya sekaligus mempengaruhi citra buruk partai politik pesaing beserta aktor-aktor politiknya.

1 Strategi Kampanye Politik
Ruslan (2005:37) menyatakan strategi pada hakikatnya adalah suatu perencanaan (planning) dan manajemen (management) untuk mencapai tujuan tertentu dalam praktik operasionalnya. Tujuan utamanya menurut R.Wayne Pace, Brent D. Peterson dan M. Dallas Burnett (dalam Ruslan 2005:38) adalah ;
1.      To secure understanding , untuk memastikan terjadi suatu pengertian dalam Berkomunikasi
2.      To establish acceptance, bagaimana cara penerimaan itu dibina dengan baik.
3.      To motive action, penggiatan motivasinya.
4.      The goals which the communicator sought to achieve, bagaimana mencapai tujuan yang hendak di capai boleh pihak komunikator dari proses komunikasi tersebut.
Sementara pengertian kampanye yang dikemukakan oleh Kotler dan Roberto (1989) dalam Cangara (2009 : 284) adalah “campaign is an organized effort conducted by one group (the change agent) which intends to persuade others (the target adopters), to accept, modify, or abandon certain ideas, attitudes, practices and behavior.” Kampanye ialah sebuah upaya yang dikelola oleh satu kelompok, (agen perubahan) yang ditujukan untuk memersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tersebut.

2 Kampanye pemilu terdiri dari tiga unsur yaitu:
2.1 Komunikator atau juru kampanye
Dalam kampanye yang berfungsi sebagai komunikator adalah juru kampanye/kandidat. Sebagai pelaku utama kampanye juru kampanye/ kandidat memegang peranan yang sangat penting karena dia yang mengirim pesan-pesan kampanye pada masyarakat, dan mangendalikan jalannya kampanye. Oleh karena itu seorang juru kampanye harus terampil berkomunikasi dan kaya ide serta penuh daya kreativitas.
Agar dapat menarik simpati masyarakat juru kampanye/ kandidat harus memiliki keterpercayaan (Credibilitas), daya tarik (Attractive) dan kekuatan (Power).
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki sumber sehingga diterima atau diikuti oleh khalayak (penerima). Juru kampanye harus mempunyai kredibilitas yang tinggi. Kredibilitas juru kampanye dapat dilihat dari Kompetensi (Competence) yaitu penguasaannya terhadap masalah yang dibahasnya, dari sikapnya yang jujur dan bersahabat, dari kemampuannya menyampaikan hal-hal yang menarik serta mampu beradaptasi dengan sistem sosial dan budaya (social and cultural system) dimana khalayaknya berada.
Juru kampanye juga harus memiliki Daya Tarik (attractive) yaitu daya tarik dalam hal kesamaan (similarity), dikenal baik (Familiarity), disukai (liking) dan fisiknya (Physic). Kesamaan maksudnya bahwa orang bisa tertarik pada juru kampanye karena adanya kesamaan demografi seperti bahasa, agama, suku, daerah asal, partai atau ideologi. Dikenal maksudnya juru kampanye yang dikenal baik lebih cepat diterima oleh khalayak dari pada mereka yang tidak dikenal. Disukai maksudnya juru kampanye disenangi, atau diidolakan oleh masyarakat, akan mudah mempengaruhi orang lain. Mengenai penampilan fisik, seorang juru kampanye sebaiknya memiliki fisik yang sempurna, sebab fisik yang cacat bisa menimbulkan ejekan sehingga menganggu jalannya kampanye. Mill dan Anderson (1965) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa komunikator yang memiliki fisik yang menarik, lebih mudah mengubah pendapat dan sikap seseorang.
Untuk efektifnya kampanye seorang juru kampanye juga sebaiknya memiliki kekuatan (power) atau kekuasaan. Khalayak dengan mudah menerima suatu pendapat kalau hal itu disampaikan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Misalnya pimpinan suatu organisasi akan lebih mudah mempengaruhi anggotanya.

2.2 Isu Kampanye
Isu kampanye menyangkut tema dan isi kampanye yang disampaikan oleh kontestan pemilu. Isu kampanye ini mestinya merupakan refleksi langsung maupun tidak langsung dari program-program perjuangan masing-masing kontestan. Dengan mencermati isu kampanye diharapkan dapat ditengarai persamaan maupun perbedaan bukan hanya program-program perjuangan masing-masing kontestan tetapi juga cara dan atau jalan yang hendak ditempuh oleh kontestan dalam merealisasikan programnya.
Isu adalah berbagai permasalahan yang ‘dijual’ pasangan kandidat dalam aktivitasnya kepada massa. Isu yang memenuhi kemungkinan menjadi pendorong suatu perilaku adalah pesan yang diperhatikan massa, pesan tersebut dibutuhkan, membangkitkan dan mengenai kebutuhan masa, menawarkan keuntungan dan menjelaskan kerugian dan selanjutnya mendorong massa melakukan tindakan.
Sebab suatu pesan dapat diterima oleh khalayak antara lain :
-        Adanya kepentingan ganda yang dapat diperoleh kedua belah pihak, yakni antara sumber dan penerima (overlapping of interest).
-        Pesan itu memberikan pemecahan pada masalah yang dihadapi oleh khalayak (problem solving).
-        Khalayak percaya komunikator yang menyampaikan pesan itu memiliki kompetensi dan kredibilitas yang tinggi.
-        Khalayak percaya bahwa pesan itu dapat membuat perubahan sebagaimana yang diinginkan oleh khalayak
Faktor yang berpengaruh pada keberhasilan atau efektifnya komunikasi adalah faktor keseringan atau frekuensi pesan-pesan tersebut disampaikan pada komunikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ithel De Solapool yang menyatakan bahwa “Informasi apabila diulang-ulang berkali-kali dalam waktu yang lama, dapat menciptakan suatu pengertian bagi khalayak, lebih-lebih bila informasi itu tidak bertentangan, dan apa saja yang disampaikankepada massa sebagai pengetahuan baru akan mendorong kearah kemajuan”. Dari pemikiran Ithel, dapat dipahami bahwa semakin tinggi intensitas penyampaian pesan lewat kampanye, maka tingkat pengertian atau pengetahuan komunikan/masyarakat akan bertambah

2.3 Media Kampanye
Menurut Santoso Sastropoetra Media/sarana adalah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan/ meneruskan/ menyebarkan pesannya agar dapat sampai kepada komunikan/ penerima pesan. Menurut A.W. Widjaya media komunikasi terdiri dari: 1) media audio (radio), 2) Media visual (buku, pamflet, surat kabar, majalah, dan lain-lain.), 3) Media audio visual (Televisi). Sementara Hafied Cangara membagi media menjadi 4 macam yaitu : 1) Media antar pribadi seperti surat dan telepon, 2) Media kelompok seperti seminar dan rapat, 3) Media publik seperti rapat akbar/umum dan 4) Media massa seperti Radio, surat kabar dan televisi. Media lainnya seperti poster, selebaran, pamflet, brosur, stiker dan lain-lain.

Proses Penelitian Studi Kasus


Seperti halnya pembahasan tentang pengertian dan jenis-jenis penelitian studi kasus yang berbeda-beda, pembahasan proses penelitian studi kasus juga berbeda-beda di antara para pakar. Pada umumnya perbedaan proses tersebut bersumber dari perbedaan cara pandang mereka terhadap kasus. Dengan kata lain, perbedaan proses dapat terjadi karena perbedaan paradigma yang digunakan di dalam penelitian studi kasus.
Dari kesimpulan pembahasan terhadap paradigma dan jenis-jenis penelitian studi kasus, dapat diketahui bahwa pada dasarnya penelitian studi kasus dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma postpositivistik. Jenis penelitian studi kasus ini lebih menekankan pada kasus sebagai obyek yang holistik sebagai fokus penelitian, seperti yang sring dijelaskan oleh Stake (2005) dan Creswell (2007). Sedangkan yang lain adalah penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma penelitian positivistik. Penelitian studi kasus ini secara umum ditandai dengan penggunaan kajian literatur atau teori pada penelitiannya. Jenis penelitian ini khususnya adalah penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang terikat pada penggunaan unit analisis, seperti yang ditunjukkan dan dijelaskan oleh Yin (2003a, 2009).
Sesuai dengan pendapatnya, yaitu bahwa proses penelitian studi kasus adalah penelitian yang terfokus pada kasus yang diteliti, Stake (2005) menekankan pada pentingnya kasus pada setiap tahapan proses penelitian studi kasus. Berdasarkan pendapatnya tersebut, Stake (2005, 2006) menjelaskan proses penelitian studi kasus adalah sebagai berikut:
1.      Menentukan dengan membatasi kasus. Tahapan ini adalah upaya untuk memahami kasus, atau dengan kata lain membangun konsep tentang obyek penelitian yang diposisika sebagai kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan diteliti, peneliti tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus penelitiannya. Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang penelitian.
2.      Memilih fenomena, tema atau isu penelitian. Pada tahapan ini, peneliti membangun pertanyaan penelitian berdasarkan konsep kasus yang diketahuinya dan latar belakang keinginannya untuk meneliti. Pertanyaan penelitian dibangun dengan sudah mengandung fenomena, tema atau isu penelitian yang dituju di dalam proses pelaksanaan penelitian.
3.      Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan dikumpulkan. Data dan bentuk data dibutuhkan untuk mengembangkan isu di dalam penelitian. Penentuan data yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik kasus yang diteliti. Pada umumnya bentuk pengumpulan datanya adalah wawancara baik individu maupun kelompok; pengamatan lapangan; peninggalan atau artefak; dan dokumen.
4.      Melakukan kajian triangulasi terhadap kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasar-dasar untuk melakukan interpretasi terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh adalah benar, tepat dan akurat.
5.      Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk diteliti. Alternatif interpretasi dibutuhkan untuk menentukan interpretasi yang sesuai dengan kondisi dan keadaan kasus dengan maksud dan tujuan penelitian. Setiap interpretasi dapat menggambarkan makna-makna yang terdapat di dalam kasus, yang jika diintegrasikan dapat menggambarkan keseluruhan kasus.
6.      Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasil-hasil penelitian terhadap kasus. Stake (2005, 2006) selalu menekankan tentang pentingnya untuk selalu mengeksploasi dan menjelaskan hal-hal penting yang khas yang terdapat di dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam peta pengetahuan yang sudah terbangun.
Berdasarkan pendapat Stake (1995, 2005, dan 2006), Creswell (2007) menjelaskan proses penelitian studi kasus secara lebih sederhana dan praktis, adalah sebagai berikut:
1.      Tahapan pertama yang harus dilakukan oleh peneliti adalah menentukan apakah pendekatan penelitian kasus yang akan dipergunakan telah sesuai dengan masalah penelitiannya. Suatu studi kasus menjadi pendekatan yang baik adalah ketika penelitinya mampu menentukan secara jelas batasan-batasan kasusnya, dan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kasus-kasusnya, atau mampu melakukan perbandingan beberapa kasus.
2.      Peneliti mengidentifikasikan kasus atau kasus-kasus yang akan ditelitinya. Kasus tersebut dapat berupa seorang individu, beberapa individu, sebuah program, sebuah kejadian, atau suatu kegiatan. Untuk melakukan penelitian studi kasus, Creswell (2007) menyarankan penelitinya untuk mempertimbangkan kasus-kasus yang berpotensi sangat baik dan bermanfaat. Kasus tersebut dapat berjenis tunggal atau kolektif; banyak lokasi atau lokasi tunggal; terfokus pada kasusnya itu sendiri atau pada isu yang ingin diteliti (intrinsic atau instrumental) (Stake, 2005; Yin, 2009). Creswell (2007) juga menyarankan bahwa untuk menentukan kasus dapat mempertimbangkan berbagai alasan atau tujuan, seperti kasus sebagai potret (gambaran contoh yang bermanfaat maksimal); kasus biasa; kasus yang terjangkau; kasus yang berbeda dan sebagainya.
3.      Melakukan analisis terhadap kasus. Analisis kasus dapat dilakukan dalam 2 (dua) jenis, yaitu analisis holistik (holistic) terhadap kasus, atau analisis terhadap aspek tertentu atau khusus dari kasus (embedded) (Yin, 2009). Melalui pengumpulan data, suatu penggambaran yang terperinci akan muncul dari kajian peneliti terhadap sejarah, kronologi terjadinya kasus, atau gambaran tentang kegiatan dari hari-ke hari dari kasus tersebut. Setelah menggambarkan secara holistik, kajian dilakukan lebih terperinci pada beberapa kunci atau tema yang terdapat di balik kasus, yang dilakukan dengan maksud tidak untuk melakukan generalisasi, tetapi lebih banyak untuk mengungkapkan kompleksitas kasus. Caranya dapat dilakukan dengan mengkaji isu-isu yang membentuk kasus, yang diikuti dengan menggali tema-tema yang berada di balik isu tersebut. Kajian ini bersifat sangat kaya terhadap penjelasan tentang konteks atau seting dari kasus tersebut (Yin, 2009). Ketika melakukan penelitian studi kasus jamak, format kajian pertama yang dilakukan adalah kajian terhadap setiap kasus terlebih dahulu untuk mengambarkan isu-isunya dan tema-temanya secara terperinci, yang disebut sebagai within-case analysis (Yin 2009). Selanjutnya, tema-tema hasil kajian per-kasus dikaji saling-silangkan dengan menggunakan analisis saling-silang kasus, atau yang disebut sebagai sebuah cross-case analysis, dan melakukan pemaknaan serta mengintegrasikan makna-makna yang berhasil digali dari kasus-kasus tersebut.
4.      Sebagai tahapan akhir analisis interpretif, peneliti melaporkan makna-makna yang dapat dipelajari, baik pembelajaran terhadap isu yang berada di balik kasus yang dilakukan melalui penelitian kasus instrumental (instrumental case research), maupun pembelajaran dari kondisi yang unik atau jarang yang dilakukan melalui penelitian studi kasus mendalam (intrinsic case study research). Menurut Lincoln dan Guba (1985), tahapan ini disebut sebagai tahapan untuk menggali pembelajaran terbaik yang dapat diambil dari kasus yang diteliti.
Berdasarkan penjelasan proses penelitian studi kasus yang dijelaskan oleh Creswell (1998), Hancock dan Algozzine (2006) memberikan pandangan mereka tentang proses penelitian studi kasus. Meskipun demikian, pada kenyataannya, penjelasannya mereka relatif jauh berbeda dengan konsep proses penelitian studi kasus Creswell (1998) yang cenderung berdasarkan paradigma postpostivistik. Sementara itu, mereka lebih cenderung memandang penelitian studi kasus sebagai penelitian yang berdasarkan kepada paradigma positivistik, karena menempatkan kajian teori pada bagian awal penelitian. Berikut ini adalah penjelasan Hancock dan Algozzine (2006) tentang proses penelitian studi kasus, sebagai berikut:
1.      Mempersiapkan panggung. Tahapan ini adalah tahapan pertama yang harus dilakukan oleh seorang peneliti studi kasus. Tahapan ini bertujuan untuk mempersiapkan berbagai hal yang perlu diketahui sebagai bekal peneliti untuk melakukan penelitian studi kasus. Persiapan tersebut meliputi pengetahuan dan ketrampilan peneliti di dalam menjalankan penelitian studi kasus. Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk memahami karakteristik penelitian studi kasus, sehingga peneliti dapat memastikan bahwa pendekatan dan metoda penelitian studi kasus adalah tepat untuk penelitiannya.
2.      Menentukan apa yang telah diketahui. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan kajian teori dari literatur. Tujuannya adalah untuk membangun konsep dasar penelitian, menentukan pentingnya penelitian; pertanyaan penelitian; mengkaji kelebihan dan kelemahan pendekatan dan metoda penelitian lain yang pernah dipergunakan untuk meneliti isu atau kasus yang sama; penentuan pendekatan dan metoda penelitian studi kasus; menentukan gaya atau bentuk yang akan dipergunakan oleh peneliti untuk mengembangkan pengetahuan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan teori sebagai pengetahuan yang terdapat di dalam litreratur sebagai acuannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut ini:
1.      Your purposes in reviewing the literature are to establish the conceptual foundation for the study, to define and establish the importance of your research question, to identify strengths and weaknesses of models and designs that others have used to study it, and to identify the style and form used by experts to extend the knowledge base surrounding your question (Hancock dan Algozzine, 2006, 26).
2.      Menentukan rancangan penelitian. Pada tahapan ini, peneliti menentukan rancangan penelitian yang tepat terhadap maksud dan tujuan penelitiannya, serta khususnya terhadap kasus yang ditelitinya. Di dalam menentukan rancangan penelitian, hal perlu dilakukan adalah menentukan jenis penelitian studinya. Jenis-jenis tersebut dapat berupa apakah penelitian studi kasus yang dipilih berupa penelitian studi kasus tunggal, majemuk, mendalam, holistik, dan sebagainya. Untuk menentukan hal tersebut, Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan untuk mempertimbangkan fungsi kasus di dalam penelitian, apakah sebagai lokus atau instrumen; karakteristik penelitiannya, seperti mengungkapkan, menggambarkan atau menjelaskan sesuatu; dan disiplin ilmu dari penelitiannya. Jenis penelitian studi kasus yang dipilih akan menentukan rancangan penelitiannya, termasuk jenis data yang dibutuhkan, metoda pengumpulan data, dan metoda analisisnya.
3.      Mengumpulkan informasi melalui wawancara. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengumpulan data, khususnya melalui metoda wawancara. Wawancara merupakan metoda utama di dalam penelitian studi kasus kualitatif pada khususnya, dan pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya. Bentuk-bentuk wawancara dapat berupa wawancara individu maupun kelompok. Untuk melakukan tahapan ini, peneliti harus mempersiapkan panduan wawancara, yang dikembangkan dai hasil kajian literatur. Disamping itu, peneliti juga harus menentukan sumber informasi dan teknik-teknik wawancara. Pelaksanaan wawancara dilakukan pada saat sumber informan di lokasi sebagaimana ia melakukan kegiatan sehari-harinya.
4.      Mengumpulkan informasi melalui pengamatan lapangan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengamatan terhadap berbagai obyek pada kondisi nyata di kejadian sehari-harinya. Obyek yang diamati bermacam-maca, dapat berupa kondisi lingkungan kasus, individu atau kelompok orang yang sedang melakukan kegiatan yang terkait dengan unit analisis, dan operasionalisasi suatu peralatan. Di dalam pengamatannya, peneliti mencatat dan memberikan tema atas obyek atau kejadian yang diamatinya.
5.      Merumuskan dan menginterpretasikan informasi. Pada tahapan ini, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi atas informasi yang dilakukannya. Seperti halnya pendekatan penelitian kualitatif pada umumnya, peneliti melakukan perumusan dan interpretasi tidak dilakukan pada akhir pengumpulan data, tetapi dilakukan selama melakukan pengumpulan data, baik wawancara maupun pengamatan lapangan. Sehingga pada tahapan akhir penelitian, peneliti dapat memperoleh hasil akhir dari kesinambungan proses interpretasi atas informasi yang didapatkannya selama melakukan penelitian. Hancock dan Algozzine (2006) menyarankan agar selama melakukan penelitian studi kasus, peneliti selalu memfokuskan kepada upaya untuk selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, agar tidak melenceng dari maksud dan tujuan penelitiannya. Hal ini diperlukan karena penelitian akan mendapatkan banyak sekali informasi selama melakukan penelitian, sehingga seringkali dapat membelokkan fokus penelitian dari maksud dan tujuannya.
6.      Menyusun laporan penelitian. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari penelitian studi kasus. Pada tahapan ini, penulis menuangkan hasil penelitiannya dalam laporan dengan urutan yang logis dan dapat dicerna oleh pembacanya. Hancock dan Algozzine (2006) menyatakan ada 3 (tiga) strategi yang dapat dipergunakan untuk menyusun laporan penelitian studi kasus, yaitu analisis tematik, analisis kategorial dan analisis naratif. Strategi analisis tematik adalah memberikan pelaporan dengan menekankan pada jawaban-jawaban atas pertanyaan penelitian, sehingga menghasilkan tema-tema pelaporan yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Karena kemudahannya, strategi ini sangat tepat digunakan oleh peneliti pemula. Sementara itu strategi analisis kategorial berupaya untuk mengembangkan pelaporan pada penelitian studi kasus jamak yang menghasilkan kategori-kategori atas unit-unit analisis atau kasus-kasus yang diteliti. Sementara itu, strategi analisis naratif adalah pelaporan yang menjelaskan dan menggambarkan kembali data-data yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian berdasarkan maksud dan tujuan penelitinya.
Sementara itu, Yin (2003a, 2009) membagi proses penelitian menjadi 2 (dua) jenis, yaitu proses penelitian studi kasus tunggal dan proses penelitian studi kasus jamak. Kedua proses tersebut pada dasarnya mengacu pada proses dasar yang sama. Perbedaannya adalah pada jumlah kasus pada penelitian studi kasus jamak yang lebih dari satu, sehingga membutuhkan replikatif proses yang lebih panjang untuk mengintegrasikan hasil-hasil kajian dari tiap-tiap kasus. Untuk lebih jelasnya, proses penelitian studi kasus menurut Yin (2009) adalah sebagai berikut:
1.      Mendefinsikan dan merancang penelitian. Pada tahap ini, peneliti melakukan kajian pengembangan teori atau konsep untuk menentukan kasus atau kasus-kasus dan merancang protokol pengumpulan data. Pada umumnya, pengembangan teori dan konsep digunakan untuk mengembangkan pertanyaan penelitian dan proposisi penelitian. Proposisi penelitian memiliki posisi yang mirip dengan hipotesis, yaitu merupakan jawaban teoritis atas pertanyaan penelitian. Merkipun demikian, proposisi lebih cenderung menggambarkan prediksi konsep akhir yang akan dituju di dalam penelitian. Proposisi merupakan landasan bagi peneliti untuk menetapkan kasus paa umumnya dan unit analisis pada khususnya. Tahapan ini sama untuk penelitian studi kasus tunggal maupun jamak.
2.      Menyiapkan, mengumpulkan dan menganalisis data. Pada tahap ini, peneliti melakukan persiapan, pengumpulan dan analisis data berdasarkan protokol penelitian yang telah dirancang sebelumnya. Pada penelitian studi kasus tunggal, penelitian dilakukan pada kasus terpilih hingga dilanjutkan pada tahapan berikutnya. Pada penelitian studi kasus jamak, penelitian pada setiap kasus dilakukan sendiri-sendiri hingga menghasilkan laporan sendiri-sendiri juga.
3.      Menganalisis dan Menyimpulkan. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dari proses penelitian studi kasus. Pada penelitian studi kasus tunggal, analisis dan penyimpulan dari hasil penelitian digunakan untuk mengecek kembali kepada konsep atau teori yang telah dibangun pada tahap pertama penelitian. Sementara itu, pada penelitian studi kasus jamak, analisis dan penyimpulan dilakukan dengan mengkaji saling-silangkan hasil-hasil penelitian dari setiap kasus. Seperti halnya pada penelitian studi kasus tunggal, hasil analisis dan penyimpulan di gunakan untuk menetapkan atau memperbaiki konsep atau teori yang telah dibangun pada awal tahapan penelitian.

Pendekatan Etnografi dalam Penelitian Kualitatif

Sebuah Pengantar

Dalam istilah Yunani, ethnos, berarti masyarakat, ras atau sebuah kelompok kebudayaan, dan etnografi berarti sebuah ilmu yang menjelaskan cara hidup manusia. Pada perkembangan selanjutnya dalam etnografi terjadi banyak perdebatan tentang cara bagaimana manusia (baca peneliti – ‘self’) menjelaskan cara hidup manusia lainnya (‘yang diteliti’ – ‘other’) – termasuk di dalamnya tentang cara-cara bagaimana peneliti melihat ‘yang lainnya’ untuk kemudian ‘menceritakannya’ kepada manusia lainnya (baca: orang-orang yang ‘berkepentingan’ terhadap manusia ‘yang diteliti’). Etnografi juga diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat, lembaga dan setting lain secara ilmiah, dengan menggunakan sejumlah metode penelitian dan teknik pengumpulan data untuk menghindari bias dan memperoleh akurasi data yang meyakinkan.
Bagaimana pun para ilmuwan dan peneliti sosial mengartikannya, tampak ada kesepakatan untuk mengatakan bahwa etnografi menempatkan perspektif masyarakat yang berada di dalam setting penelitian sebagai hal yang terpenting. Apa yang dilakukan orang-orang sebenarnya, dan alasan-alasan mereka melakukannya menjadi hal pertama yang harus ditemukan dalam penelitian etnografi – sebelum kita (kemudian) menentukan interpretasi atas tindakan mereka dari pengalaman atau profesionalitas atau disiplin akademis kita dalam analisa. Dalam Antropologi, interpretasi atas tindakan masyarakat tersebut kemudian ‘digunakan’ untuk menjelaskan dan terus memperdebatkan teori-teori budaya; bagi pembuat kebijakan interpretasi tersebut digunakan untuk menganalisa kebijakan.

Penelitian etnografi kadang membutuhkan waktu panjang, dan interaksi temu muka dengan masyarakat di suatu daerah dengan menggunakan sejumlah metode pengumpulan data. Pada awal abad 20 seorang peneliti etnografi bisa menghabiskan rata-rata 2-3 tahun untuk tinggal bersama dengan masyarakat di suatu daerah – karena dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang masyarakat dan kebudayaannya. Saat ini penelitian etnografi lebih difokuskan pada permasalahan lebih spesifik, tidak lagi memotret masyarakat dengan kebudayaannya yang begitu luas sehingga waktu yang diperlukan bisa menjadi lebih singkat. Permasalahan spesifik dilihat dari kacamata masyarakat yang ‘diteliti’ – misal: Penanganan penyakit menular pada masyarakat Sumba. Permasalahan yang lebih fokus akan membuat penelitian semakin mendalam, dengan tentu saja menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Namun lamanya waktu penelitian ditentukan terutama oleh metode pengumpulan data yang dipakai yang juga tergantung pada permasalahan validitas data – bukan hanya permasalahan penghematan biaya penelitian.

Etnografi, Kebudayaan dan Masyarakat

Secara umum etnografi disebut sebagai ‘menuliskan tentang kelompok masyarakat’. Secara khusus hal tersebut juga berarti menuliskan tentang kebudayaan sebuah kelompok masyarakat. Disebutkan bahwa seluruh manusia, dan juga beberapa binatang (seperti simpanse, orangutan, gorila) menciptakan, mentransmisikan, membagi, merubah, menolak, dan menciptakan kembali budaya di dalam sebuah kelompok. Semua peneliti etnografi memulai, dan mengakhiri penelitiannya dengan berfokus pada pola-pola ini, dan sifat-sifat yang ‘dipersamakan’ atau ‘disepakati’ bersama, membentuk sebuah kebudayaan masyarakat. Dokumen yang dihasilkan dari fokus tersebut disebut dengan etnografi. Kebudayaan bukan sebuah sifat individual. Meskipun demikian seorang individu bisa disebut sebagai menciptakan pola-pola budaya dengan menemukannya dan mengkomunikasikannya dengan yang lainnya. Bentuk atau unsur budaya ada hanya ketika hal tersebut dibagi (shared) – dengan orang lain di dalam kelompok. Kebudayaan terdiri dari pola-pola perilaku dan kepercayaan kelompok yang berlangsung secara terus menerus. Karenanya, sebuah kelompok (bahkan kelompok kecil sekali pun) harus mengadopsi perilaku atau kepercayaan dan mempraktekkannya secara terus menerus jika hal tersebut akan didefinisikan sebagai sifat budaya daripada sebagai pribadi atau individual.

Kebudayaan juga bisa diperlakukan sebagai sebuah fenomena mental, sebagai segala sesuatu yang ada dalam pengetahuan, kepercayaan, yang dipikirkan, dipahami, dirasakan, atau maksud mengapa orang melakukan sesuatu. Kebudayaan bisa diperlakukan secara perilaku dalam kerangka apa yang orang lakukan sebagaimana yang teramati, sebagaimana yang dikatakan (yang dilaporkan), atau sebagai ‘norma’ (yang diharapkan) melawan ‘praktis’ (yang aktual). Pola-pola tersebut dikenal sebagai: pola-pola dari perilaku (patterns of behaviour), dan pola-pola bagi perilaku (patterns for behaviour). Pola-pola dari perilaku merepresentasikan variasi-variasi perilaku atau pilihan-pilihan di dalam kelompok. Pola-pola bagi perilaku merepresentasikan ekspektasi budaya terhadap perilaku – apa yang diharapkan secara budaya dari perilaku seseorang.

Meskipun kebudayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang dibagi (di antara orang-orang dalam sebuah kelompok masyarakat), kita tidak bisa menyatakan bahwa setiap orang dalam di dalam kelompok sosial atau budaya mempercayai hal yang sama, atau berperilaku dengan cara yang sama. Di dalam setiap kelompok dan segala ranah kebudayaan yang bisa kita bayangkan, variasi substansial akan muncul. Sebagai contoh, sikap, kepercayaan dan perilaku masyarakat akan bervariasi tergagantung pada etnis, identitas rasial, gender, identitas gender, status dan kelas sosial, tingkat pendidikan, umur, tempat tinggal, dan faktor lain yang relevan di dalam permasalahan sosial dan politik kehidupan. Peristiwa-peristiwa bersejarah yang unik, lingkungan, ruang, dan tempat juga bisa mempengaruhi variasi perilaku atau kepercayaan individual sebagai bagian dari sebuah kelompok. Variasi tersebut menjadi pertimbangan kritis di dalam penelitian etnografi dalam kerangkan menghindari stereotip , dan jaminan untuk mendengarkan semua pendapat di dalam setting – tidak hanya mendengarkan suara dari satu orang saja.

Bicara etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan definisi kebudayaan, di mana dari proses berbagi (share) di dalamnya terbentuk suatu kelompok orang-orang, lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan kebudayaan masyarakat di dalam setting tertentu. Etnografi itu sendiri juga menjadi sebuah cara untuk memperbicangkan teori-teori kebudayaan melalui fenomena yang diteliti di lapangan. Etnografi membangun teori kebudayaan – atau penjelasan tentang bagaimana orang berpikir, percaya, dan berperilaku – yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat.

Penelitian di lingkungan alamiah (natural setting)

Penelitian etnografi dilakukan di lingkungan alamiah (natural setting) tempat di mana ‘yang diteliti’ (baca: masyarakat, lembaga atau kelompok manusia) hidup – bukan penelitian yang dilakukan di laboratorium atau lingkungan buatan lainnya. Dalam penelitian etnografi peneliti datang ke tempat di mana masyarakat atau kelompok tinggal untuk ‘mengalami bersama’ apa yang mereka lakukan sehari-hari. Dari pengalaman bersama dengan ‘yang diteliti’ ini diharapkan peneliti bisa memahami bagaimana kehidupan sosial dan budaya dari sudut pandang mereka. Rumah, sawah, rumah sakit, pasar, mal, ruang kelas, ruang tunggu, dan MCK umum hanyalah sebagian kecil setting alamiah, tempat di mana orang-orang bisa berinteraksi satu dengan yang lainnya – dan tentunya peneliti harus mengunjunginya untuk bisa melihat ‘yang diteliti’ dalam setting alamiahnya.

Peneliti tidak bisa mengubah setting alamiah dalam penelitian etnografi – misalnya dengan membuat sawah baru, model ruang tunggu dengan alasan ‘kemudahan’ penelitian. Namun dalam beberapa metode pengumpulan data di dalam etnografi peneliti bisa ‘mengontrol’ setting – misal: dengan mengundang beberapa anggota masyarakat ke balai desa setempat untuk melakukan focus group interview dan focus group discussion.

Interaksi manusia dengan lingkungan alam dan sosialnya menjadi hal yang penting karena di dalamnya juga bisa terlihat bagaimana manusia berbagi – pengetahuan, nilai-nilai, perilaku – yang kemudian disebut sebagai bentuk kebudayaan. Hal tersebut menjadi pertimbangan mengapa peneliti tidak bisa mengubah setting. Metode focus group interview juga tidak menjadi satu-satunya cara yang dipilih untuk mengumpulkan data dalam etnografi. Sebagai sebuah penelitian yang menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data, hasil yang didapat dari focus group interviews akan di cek ulang dengan informasi yang didapat dari teknik lainnya –melalui observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di dalam setting alamiah.

Peneliti sebagai alat pengumpul data

Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data – melalui indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. Melalui kegiatan wawancara dan observasi peneliti mengumpulkan data untuk kemudian merumuskan permasalahan, dan mencari pemecahannya. Keberadaan peneliti sebagai alat pengumpul data ini juga menimbulkan perdebatan panjang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas ketika etnografi dibandingkan dengan metode penelitian lainnya – terutama yang tidak menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data. “Ilmu pengetahuan yang obyektif” menjadi sesuatu yang memberatkan, ketika keberadaan peneliti, dan interaksinya dengan ‘yang diteliti’ di lapangan memungkinkan terjadinya ‘bias ’ dalam data yang dihasilkan.
Sebagian peneliti percaya bahwa metode yang digunakannya dalam penelitian etnografi bisa dan harus netral dan bebas nilai, meskipun mereka menyadari bahwa nilai-nilai peneliti (yang dibawa di dalam kepalanya) memainkan peranan penting dalam penyeleksian pertanyaan penelitian.

Para peneliti juga menyadari bahwa nilai dan kepentingan mempengaruhi bagaimana hasil penelitian akan digunakan. Mereka yang berpendapat demikian juga sepakat untuk menggunakan beberapa metode dan teknik pengumpulan data sekaligus untuk mengatasi permasalahan obyektivitas ini. Pada banyak kasus, peneliti diharuskan tinggal bersama dengan ‘yang diteliti’ di dalam setting alamiah mereka. Ketika itu pula dibangun suatu hubungan mutualisme di mana peneliti juga harus membantu ‘yang diteliti’ untuk menyelesaikan permasalahan mereka, yang mungkin menjadi permasalahan penelitiannya. Kedekatan yang dibangun selama berada di lapangan dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih mendalam, bisa jadi akan berpengaruh di dalamnya – terutama bila peneliti harus bekerja sama dengan orang-orang di dalam setting yang berbeda pendapat, atau saling berlawanan.
Kedekatan akan berpengaruh pada peneliti – dalam intepretasi data ketika menuliskan dan menggambarkan ‘yang lain’, juga ketika cara penyelesaian masalah ditentukan dalam kerangka membantu ‘yang lain’.

Serangkaian teknik pengumpulan data digunakan – seperti observasi, wawancara, survey dan sampel populasi, focus group interviews, metode audiovisual, pemetaan, penelitian jaringan. Dalam satu penelitian etnografi bisa digunakan beberapa metode pengumpulan data sekaligus dengan tujuan saling melengkapi – menghilangkan ‘bias’ menjadi salah satu alasan di dalamnya. Penggunaan data kuantitatif dan kualitatif sekaligus merupakan hal yang biasa dilakukan dalam etnografi. LeCompte & Schensul (1999) menyebut peneliti etnografi sebagai ‘pengumpul segala data’ – mereka menggunakan segala bentuk data yang mungkin saja bisa memperjelas jawaban yang menjadi pertanyaan penelitian. Secara umum peneliti menyelenggarakan penelitian awal secara kualitatif terlebih dulu untuk mengetahui apa yang terjadi di suatu tempat tertentu. Baru kemudian mereka menentukan variabel kunci dan ranah yang akan diteliti secara kuantitatif. Pengukuran kuantitatif digunakan untuk memverifikasi penemuan kualitatif.

Observasi dan wawancara dalam etnografi

Observasi dan wawancara adalah cara pengumpulan data yang umum dilakukan dalam penelitian etnografi. Keduanya dilakukan bersamaan di dalam setting alamiah ‘yang diteliti’, dan saling melengkapi untuk mendapatkan gambaran tentang ‘yang lain’. Observasi dan wawancara menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data – melalui indera (penglihatan, pendengaran, dan perasa), dan kemampuan untuk berkomunikasi.
Observasi dan wawancara dalam etnografi tidak bisa dilepaskan dari partisipasi, yang berarti peneliti hampir sepenuhnya ‘menenggelamkan diri’ di dalam kehidupan bersama masyarakat yang diteliti. Kegiatan ini kemudian dikenal sebagai pengamatan partisipatif (participant observation). Dalam pengertian tradisionalnya pengamatan partisipatif berarti juga pengamalan ‘menenggelamkan diri’ – di mana peneliti belajar hidup di dalam masyarakat sebagai anggota dan penduduk tetap. Disebut sebagai ‘pengalaman belajar (untuk) hidup’ karena biasanya peneliti tidak punya pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat di mana ia akan tinggal, dan kemudian mempelajarinya melalui keterlibatannya sebagai anggota di dalamnya.

Dalam pengertian modern, pengamatan partisipatif tidak mengharuskan peneliti untuk terlibat secara penuh, menjadi anggota masyarakat ‘yang diteliti’ atau penduduk tetap. Partisipasi di sini bisa diartikan sebagai sebuah rangkaian waktu – keberlanjutan. Observasi merujuk pada segala sesuatu yang dapat teramati melalui indera penglihatan peneliti etnografi. Observasi selalu mengalami ‘penyaringan’, melalui kerangka interpretasi peneliti. Observasi yang paling akurat adalah yang dibentuk melalui kerangka teoritis dan perhatian yang teliti terhadap detail. Pengaruh lain dalam observasi adalah bias personal dan nilai, dan teori yang tidak teratikulasikan, yang justru tidak membantu. Peneliti etnografi harus memahami dengan seksama permasalahan peneltian dan kerangka teoritis yang membentuknya, sama baiknya dengan bias-bias yang mungkin akan muncul di dalamnya – sebagai upaya untuk meminimalkan bias. Kualitas hasil pengamatan tergantung pada kemampuan peneliti untuk mengamati, mendokumentasikan dan menginterpretasikan apa yang bisa teramati.

Apa yang diamati oleh peneliti etnografi akan berbeda selama berada di lapangan. Peneliti menghabiskan hari (minggu atau bulan) pertamanya di lapangan untuk melakukan orientasi – melakukan pengenalan terhadap situasi dan kondisi setting. Keingingtahuan dan kebutuhan untuk mempelajari bagaimana harus berperan menghadapi situasi baru menjadi faktor pendorong observasi yang baik. Makin lama, pengamatan akan jadi semakin selektif.

Selain kondisi lingkungan, peristiwa juga merupakan hal yang menjadi sasaran pengamatan peneliti etnografi. Peristiwa didefinisikan sebagai kegiatan yang berurutan yang terbatas pada ruang dan waktu. Peristiwa adalah kegiatan yang lebih luas, lebih lama, dan melibatkan lebih banyak orang di dalamnya dibandingkan dengan kegiatan tunggal.

Peristiwa biasanya diselenggarakan di suatu tempat spesifik, dan mempunyai arti dan tujuan khusu yang disepakati bersama oleh kebanyakan orang, meskipun penafsiran individu atas arti peristiwa tersebut berbeda-beda – tergantung perbedaan di antara para informan. Peristiwa biasanya melibatkan lebih dari satu orang, punya kesejarahan dan kepentingan, dan berulang dalam periode waktu tertentu. Pertanyaan tentang siapa, apa yang terjadi, di mana, kapan, mengapa dan untuk siapa merupakan hal umum yang ditanyakan untuk memperoleh gambaran tentang peristiwa.
Penghitungan, pengambilan sensus, dan pemetaan merupakan hal lain yang penting dilakukan oleh peneliti etnografi dalam observasi – untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat tentang keberadaan orang-orang, tempat, dan hal-hal lain di dalam lingkungan sosial. Hal tersebut sangat membantu ketika kemampuan berbahasa lokal dan akses terhadap lingkungan sangat terbatas. Data tersebut bisa dikumpulkan dari berbagai tempat dan jangka waktu tertentu untuk memperlihatkan perbedaan dariwaktu ke waktu.

Merupakan tantangan bagi peneliti untuk mentransformasikan hasil observasi ke dalam bentuk tulisan catatan lapangan, yang nantinya menyatakan sebuah rekaman ilmiah dari pengalaman sebagai referensi di masa yang akan datang. Semakin lengkap dan akuratnya catatan lapangan, semakin mempermudah peneliti (lain) untuk menggunakannya sebagai data. Seorang peneliti harus menyadari bahwa catatan lapangannya dibuat bukanuntuk dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain – bahkan bila catatan tersebt dibuat dengan sangat detail akan terlihat pola-pola yang terjadi di dalamnya, yang tidak teramati dengan hanya menuliskan satu bagian cerita saja.



Saat ini detail penulisan telah banyak dibantu oleh teknologi film dan fotografi – yang dikenal dengan sebutan film etnografi, dan fotografi etnografi. Film dan fotografi etnografi harus bisa menggambarkan kebudayaan yang direkam – menjadi representasi kebudayaan orang-orang di dalam setting. Namun narasi tetap diperlukan di dalamnya untuk lebih memberikan gambaran yang jelas tentang peristiwa budaya yang direkam.

Wawancara dalam etnografi digunakan untuk menggali lebih dalam informasi dari topik yang telah ditentukan, mengetahui riwayat hidup, memahami pengetahuan dan kepercayaan, dan penjelasan tentang tindakan. Secara teknis terdapat dua macam wawancara yang umumnya digunakan dalam etnografi, yaitu: 1) wawancara mendalam (in-depth interview), dan 2) wawancara terbuka (open-ended interview). Wawancara mendalam merujuk pada eksplorasi segala dan semua aspek sebuah topik secara detail. Sementara wawancara terbuka membiarkan respon terbuka pada penilaian yang diwawancara dan tidak terikat pada pilihan yang disediakan oleh pewawancara atau membatasi pada sepotong jawaban. Tidak ada jawaban yang benar , dan yang diwawancara tidak dihadapkan pada serangkaian alternatif pilihan. Eksplorasi merujuk pada tujuan wawancara – untuk mengeksplorasi bidang-bidang yang diyakini penting untuk dipelajari dan baru sedikit diketahui. Bentuk pertanyaan terbuka dan eksploratif ini memungkinkan peneliti untuk menggunakan fleksibilitasnya secara maksimal di dalam mengeksplorasi topik secara mendalam, dan membuka topik baru yang muncul di dalamnya.

Tujuan utama wawancara terbuka adalah mengeksplorasi bidang yang belum dijelaskan dalam model jaringan konsep; mengidentifikasi bidang baru; merinci bidang-bidang ke dalam bagian faktor-faktor, dan sub-faktor; mendapatkan informasi terarah tentang konteks dan sejarah tentang permasalahan yang diteliti dan lokasi penelitian; membangun pemahaman dan hubungan positif antara pewawancara dan orang yang diwawancara. Sebuah wawancara eksploratif membutuhkan ingatan yang selalu waspada, pemikiran logis, dan kemampuan komunikasi yang bagus.
Wawancara eksploratif bertujuan untuk memperluas pengetahuan peneliti tentang permasalahan yang hanya sedikit diketahuinya. Orang-orang yang diidentifikasi oleh peneliti dan anggota masyarakat sebagai ‘mempunyai pengetahuan yang baik’ tentang topik yang akan dieksplorasi dipilih sebagai informan kunci atau ahli budaya, untuk kemudian diwawancara. Perlu dilakukan seleksi untuk memilih informan kunci yang terbaik – yang punya pengetahuan terbanyak tentang topik yang ditanyakan.

Representasi bukan menjadi tujuan utama wawancara mendalam – namun penguasaan atas topik yang ditanyakan menjadi lebih penting di dalamnya. Meskipun demikian beberapa faktor utama tetap harus dipertimbangkan dalam pemilihan informan kunci – seperti etnisitas, kelas sosial, dan umur – yang mungkin mempengaruhi batas pada perpsektif mereka. Sebagai contoh: pengaruh televisi pada budaya lokal akan dipersepsikan berbeda antara informan yang berusia di atas 50 tahun, dengan remaja berusia belasan tahun. Faktor etnisitas menjadi penting karena mereka yang disebut sebagai ‘penduduk asli’ akan mempunyai perspektif berbeda tentang kebudayaan lokal dibandingkan dengan ‘pendatang’.

Wawancara dan observasi yang eksploratif dituntun oleh rencana penelitian (research design), dan terutama oleh pertanyaan penelitian dan beberapa pertanyaan umum ang dimiliki oleh peneliti tentang topik spesifik yang akan dieksplorasi. Proses wawancara dan observasi lebih lanjut dituntun oleh hipotesis awal atau dugaan-dugaan tentang pola-pola budaya, hubungan-hubungan sosial, dan mengapa beberapa hal terjadi demikian. Dengan demikian, meskipun terbuat di dalam kedua bentuk kegiatan pengumpulan data, peneliti juga terlibat di dalam formulasi teoritis tingkat rendah yang akan diuji secara terus menerus terhadap model teoritis yang telah terbentuk dan data baru yang muncul dari lapangan. Observasi dan wawancara adalah dua aktivitas kritis yang memungkinkan peneliti untuk memperkaya bentuk teori etnografis dengan menanyakan pertanyaan interpretatif, dan mengamati perilaku yang menjadi kebiasaan dan tidak disadari, untuk kemudian dengan sukarela diterangkan oleh pelakunya ke dalam bentuk kata-kata.

Di dalam observasi, kita mencoba untuk menangkap aspek penting dari apa yang kita lihat dalam detai yang konkrit. Dalam wawancara, kita memakai tahap yang sama tetapi dengan tambahan keunggulan dengan bisa menangkapnya melalui kata-kata ‘yang diteliti’ tentang apa yang mereka lihat, percaya dan melaporkannya untuk sebuah topik yang spesifik. Dengan kata lain wawancara bisa menjelaskan hasil pengamatan melalui kata-kata pelakunya sendiri.
Wawancara dan observasi merupakan tantangan bagi peneliti karena sifatnya yang ‘tidak terduga’. Tetapi justru ‘ketakterdugaan’ ini yang membuat keduanya jadi alat yang menarik untuk eksplorasi pada awal hingga akhir penelitian – ketika hasil awal muncul dan dibutuhkan verifikasi di dalam masyarakat ‘yang diteliti’.

Etnografi terapan

Sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari kehidupan masyarakat, hasil penelitian etnografi seakan dihadapkan pada dua pilihan kegunaan yaitu: 1) untuk berteori tentang kebudayaan – berkenaan dengan fenomena masyarakat yang diteliti; dan 2) memecahkan permasalahan di dalam masyarakat yang diteliti. Untuk kegunaan yang ke-dua dikenal istilah etnografi terapan. Etnografi terapan adalah penelitian etnografi yang lebih bertujuan pada identifikasi dan pemecahan masalah (problem solving) yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok – dengan tetap memakai ‘lensa’ masyarakat yang ‘diteliti’.

LeCompte & Schensul (1999) mengatakan bahwa penelitian etnografi terapan selalu berpusat pada 2 tujuan, yaitu: 1) memahami permasalahan sosiokultural di dalam masyararakat atau lembaga; dan 2) menggunakan penelitian untuk memecahkan permasalahan atau membantu menemukan perubahan positif di dalam lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi terapan berkenaan dengan pemahaman permasalahan sosial dan menggunakan pemahaman tersebut kepada sebuah perubahan positif di dalam masyarakat, lembaga atau kelompok. Etnografi terapan seringkali digunakan dalam studi kebijakan – karena dianggap bisa menyediakan perspektif lain dari masyarakat ‘yang dikenai kebijakan’, dan bukan hanya sekedar evaluasi atas implementasi kebijakan.

Hampir sama dengan penelitian etnografi terapan, etnografi sebagai sebuah ilmu lebih berfokus pada penciptaan teori-teori budaya – bagaimana teori budaya diperdebatkan melalui studi etnografi. Etnografi sebagai sebuah ilmu menghasilkan atau membangun teori-teori tentang budaya – atau penjelasan-penjelasan bagaimana masyarakat berfikir, percaya dan berperilaku – yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat. Meskipun demikian teori-teori kebudayaan yang dihasilkan dalam satu penelitian etnografi bisa menjadi hipotesis, pola-pola yang teramati, atau interpretasi yang akan dibangun dan ditelusuri dalam setting yang serupa dalam penelitian etnografis lainnya – dan tidak tertutup kemungkinan untuk kemudian digunakan dalam penelitian etnogafi terapan.

Sebagai sebuah bentuk pemecahan masalah, tentu akan lebih baik bila hasil yang didapat dari studi etnografi ini berguna bagi masyarakat – di mana permasalahan tersebut berawal. Permasalahan bisa diidentifikasikan oleh peneliti, dan tokoh masyarakat di dalam sebuah setting di mana studi etnografi akan dilakukan. Penelitian etnografi terapan akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi anggota-anggota masyarakat atau lembaga di dalam setting di mana permasalahan dipecahkan.

Penelitian etnografi dilakukan untuk mengetahui cara pengobatan yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat setempat – dan tentu saja apa yang bisa dilakukan oleh pihak dinas kesehatan dan pemerintah daerah setempat dalam penanganan masalah kesehatan masyarakat. Dalam pekerjaan etnografi terapan, peneliti bukan hanya berperan sebagai penerjemah kata-kata dan perbuatan ‘yang diteliti’ tetapi juga menjadi salah satu pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penggunaan penelitian untuk memecahkan masalah. Parapihak yang berkepentingan (stakeholders) adalah orang-orang yang punya kepentingan dalam usaha untuk meyakinkan bahwa hasil-hasil yang didapat dari penelitian digunakan untuk memecahkan masalah – yang menjadi tujuan penelitian. Parapihak tersebut menjadi jurubicara dan penerjemah bersama dengan peneliti etnografi, dan bekerjasama dengan peneliti etnografi untuk mengkonstruksikan konteks sosial dan politik sebuah permasalahan, membaca dan menginterpretasikan data etnografi bersama, dan menentukan cara-cara terbaik dan efektif penggunaan hasil penelitian untuk kepentingan masyarakat.


Daftar Pustaka

Bernard, H. Russel 1994 “Methods Belong to All of Us”, dalam Robert Borofsky (peny.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill,Inc hlm.168-179.

Chambers, Robert 1997 Whose Reality Counts?: Putting the first last, London: Intermediate Technology Publications.

Clair, Robert Patric (ed.) 2003 Expressions of Ethnography: Novel approaches to qualitative methods, Albany: State University of New York Press.

Denzin, Norman dan Yvonna S. Lincoln (ed.) 2000 Handbook of Qualitative Research, Second Edition, California: Sage Publication.

Ervin, Alexander M. 2000 Applied Anthropology: Tools and Perspectives for Contemporary Practice, Boston: Allyn & Bacon.

Grimshaw, Anna 2001 The Ethnographer’s Eye: Ways to Seeing in Modern Anthropology, Cambridge: Cambridge University Press.

Kuper, Adam 1999 Culture: The Anthropologists’ Account, Cambridge: Harvard University Press.LeCompte, Margaret D. & Jean J. Schensul
1999 Designing and Conducting Ethnographic Research, Walnut Creek: Altamira Press.

Marcus, George E.1994 “After the Critique of Ethnography: Faith, Hope, and Charity, But the Greatest of These Is Charity”, dalam Robert Borofsky (ed.) Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill, Inc. , hlm.40-54.

Martin, Emily 1997 “Managing Americans: Policy and changes in the meaning of work and self”, dalam Chris Shore & Susan Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance and power, London & New York: Routledge.
Schensul, Stephen L, Jean J. Schensul & Margaret D. LeCompte
1999 Essential Ethnographic Methods: Observations, Interviews and Questionairs, Walnut Creek: Altamira Press.

Shore, Chris 1997 “Governing Europe: European Union audiovisual policy and the politics of identity”, dalam Chris Shore & Susan Wright (eds.) Anthropology of Policy: critical perspectives on governance and power, London & New York: Routledge.