Selasa, 16 April 2019

Head To Head Kandidat Presiden 2019



Setelah 20 Tahun reformasi, Indonesia untuk pertama kalinya akan melakukan pemilu serentak, Pileg dan Pilpres pada tanggal 17 April 2019. Terobosan pesta demokrasi ini, diikuti oleh 16 partai politik sebagai peserta pemilu dengan dua pasang kandidat calon presiden dan wakil presiden. Hal yang paling menjadi sorotan adalah kembali bertarungnya Joko Widodo dan Prabowo dalam memperebutkan kursi Presiden Republik Indonesia. Sorotan ini datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, terbelahnya suara dukungan rakyat telah menyebabkan konflik sosial antar pendukung memalui perang statement di media sosial. Sementara itu, sorotan dari luar negeri terutama negara tetatangga adalah terkait dengan dampak pesta demokrasi ini terhadap keberlanjutan hubungan bilateral antar negara. 

Joko Widodo, sebagai Presiden Republik Indonesia sebagaimana pemerintahan presiden sebelumnya SBY mengutamakan political soft powerity dalam menjaga hubungan dengan negara-negara sahabat dan tetangga. Walaupun mengutamakan gaya politik yang demikian tentunya Presiden memiliki political will dalam menentukan kebijakan luar negerinya. Lantas, bagaimana analisis terhadapa kedua kandidat presiden Indonesia saat ini?


Head To Head, Jokowi vs Prabowo

Pemilu Serentak di Indonesia yang akan dilaksanakan pada 17 April 2019 ini kembali mempertemukan dua kandidat pesaing yaitu Joko Widodo dengan Prabowo Subianto. Sebagaimana hasil pemilu 2014, persaingan antara keduanya telah dimenangkan oleh Joko Widodo dengan perolehan suara 70.997.85 suara (53,15 persen) pada Pemilu Presiden 2014. Jumlah itu berselisih 8.421.389 suara dari perolehan suara Prabowo Subianto, yang meraih 62.576.444 suara (46,85 persen). 

Meskipun pilpres dimenangkan oleh Joko Widodo, namun menjadi berita buruk terhadap tingkat partisipasi pemilih di indonesia. Pada pilpres 2014 partisipasi hanya mencapai 68,58%, artinya terendah sejak pemilu secara langsung dilaksanakan pasca reformasi di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertarungan isu negative dan black campaign yang digunakan oleh kedua belah pihak. Serangan udara lewat media sosial dan media massa yang dihiasi gaya politik pencitraan yang massif mengakibatkan kejenuhan pada pemilih. Terlebih, tidak adanya payung hukum yang kuat mengikat media sosial dan media massa terutama televise dalam menyampaikan pemberitaan politik, kampanye politik antar pasangan. Sehingga, angka golput mencapai 30,42% dari jumlah pemilih, tertinggi sejak pemilu langsung 1999 dilaksanakan di Indonesia.

Menghadapi pemilu 2019 nanti, kedua kandidat pesaing memiliki startegi untuk menghadapi lawan masing-masing dan juga upaya untuk meningkatkan suara dari para swing voters ataupun pemilih golput dipemilu 2014 sebelumnya. Joko Widodo sebagai petahana dapat menjadikan program kerja pemerintah sebagai strategi dalam mendapatkan dan meningkatkan suara dukungannya pada Pilpres nanti. Salah satunya adalah dengan program pemerintah yang bersifat populis. Berdasarkan hasil survey Alvara, kebijakan kartu sakti Joko Widodo menjadi kebijakan yang paling disukai oleh masyarakat yaitu kebijkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program kerja ini lebih disukai bila dibandingkan dengan program pemerintah terkait dengan bagi-bagi Sertifikat Tanah dan Program Pembangunan Infrastruktur, terutama jalan toll.

Kebijakan populis diniscaya dapat meningkatkan electoral sang petahana sehingga melalui APBN 2019, Joko Widodo kembali mengeluarkan kebijakan populis yakni dengan menaikan 5% gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS). Artinya, pada masa pemerintahan Joko Widodo, PNS telah mengalami 2 kali kenaikan gaji pokok. Sebelumnya, pada tahun 2015 Joko Widodo juga menaikan gaji pokok PNS dan pada tahun 2018 Joko Widodo memberikan satu kali gaji pokok dalam bentuk THR kepada PNS. Sehingga, PNS di Indonesia menikmati 14 kali gaji pokok dalam 1 tahun kerja.

Selain itu, Joko Widodo dalam APBN 2019 juga mengucurkan kebijakan Dana Kelurahan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) tambahan yang telah diberikan per Januari 2019 kepada 8.212 Kelurahan di 410 Kabupaten/Kota Se Indonesia dengan besaran mencapai Rp. 3 Triliyun. Disamping itu, Joko Widodo juga menaikan anggaran untuk Dana Desa, Dana Pendidikan, dan Dana Kesehatan. Meningkatkanya program pemerintah yang bersifat populis ini dapat mengidentifikasi adanya politik gentong babi yang dilakukan oleh petahana. Selain itu memperlihatkan ketimpangan atau ketidaksetaraan bagi kandidat pesaing, Prabowo Subianto.

Meskipun demikian, kondisi Joko Widodo sebagai petahana pada pilpres 2019 ini tidak sama dengan kondisi SBY sebagai petahana pada pilpres 2009. Sebagai bahan perbandingan, SBY sebagai petahana pada Pilpres 2019 dalam hasil survey LSI 3 bulan sebelum Pilpres dilaksanakan memiliki tingkat elektabilitas 63%. Sementara itu, kandidat pesaingnya di Pilpres 2004 dan 2009, Megawati Soekarno Putri hanya memiliki 21 % tingkat elektabilitas. Dan kandidat pesaing lainnya, Jusuf Kalla dengan angka elektabilitas 11%. Dengan lembaga survey yang sama, LSI merilis pada desember 2018 tingkat elektabilitas Joko Widodo hanya menyentuh angka 54,2%. Sedangkan kandidat pesaing Prabowo Subianto dengan elektabilitas 30,6%. Sehingga belum bisa memperlihatkan bahwa dengan kemudahan Joko Widodo dalam mengakses program pemerintah dan APBN dalam posisi yang aman. Apalagi mengingat saingan Joko Widodo dalam pilpres nanti adalah pesaing lamanya di Pilpres 2014. Ditambah dengan sulitnya terjadi pemecahan suara secara besar-besaran pada pilpres 2019 nanti. Kondisi ini berbeda dengan kandidat pesaing SBY sebagai petahana pada pilpres 2009 yang ada dua pasang, Megawati dan Jusuf Kalla.

Terbukanya peluang besar bagi Prabowo Subianto sebagai pesaing untuk dapat membalikan keadaan harus didukung dengan adanya strategi yang lebih dirasakan oleh masyarakat. Tidak adanya akses Prabowo Subianto terhadap program kebijkan pemerintahan dan APBN menjadikan sikap politik opisisi menjadi karakteritik kampanyenya selama ini. Kritikan terhadap pemerintahan Joko Widodo kerap disampaikan Prabowo Subianto. Hal ini tentunya dapat menarik simpati dari pemilih golput yang tidak menyukai gaya kepemimpinan Joko Widodo.

Selain itu gaya kampanye politik delusional yang diadopsi oleh Prabowo juga memperlihatkan upayanya dalam meraih simpati dari pemilih. Gaya politik delusional Prabowo ini di adopsi dari gaya kampanye politik Trump pada Pilpres AS tahun 2016 yang lalu. Sehingga istilah “Make a Great Indonesia” menjadi salah satu jargon keniscayaan bagi Prabowo dalam menarik minat pemilih yang kecewa terhadap pemerintahan Joko Widodo, khususnya terkait dengan isu Tenaga Kerja Asing. Prabowo Subianto juga belajar dari pengalaman pilpres 2014 dalam memanfaatkan dan meningkatkan peran media sosial dalam membantu penyebaran isu, visi dan misi serta serangan kritikan terhadap petahana. Oleh karenanya, beberapa kali survey dan polling yang dilakukan melalui media sosial, Prabowo mengalami kemenangan yang signifikan. Hal ini-pun dibenarkan oleh lembaga survey Median yang dirilis November 2018 lalu yakni Prabowo unggul dengan angka 59,2% sedangkan Joko Widodo hanya diangka 29,5% untuk media sosial Twitter. Untuk Media sosial Facebook, Prabowo meraih kemenangan dengan angka 49,9%, Joko Widodo dengan angka 42,4%. Sedangkan untuk media sosial Intagram, Prabowo mendapatkan angka 48,9% dan Joko Widodo dengan angka 39,1%.

Selanjutnya, Prabowo Subinato juga belajar dari pengalaman Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang dimenangkan oleh Anies Baswedan. Pilkada DKI yang diwarnai dengan politik ras dan agama atau dikenal dengan istilah politik identitas memainkan peran besal dalam hasilnya. Meskipun Joko Widodo dan Prabowo Subianto adalah kandidat muslim dan jawa, ras dan agama menjadi faktor kritis dalam menghadapi Pilpres 2019 ini. Joko Widodo yang dikenal sebagai presiden moderat sekuler selama masa jabatannya memperlihatkan adanya ketakutan atas dukungan politik dari kelompok muslim pasca Pilkada DKI Jakarta. Sehingga, Joko Widodo memutuskan menarik KH. Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya, calon wakil presiden. Akan tetapi, berdasarkan hasil survey dari beberapa lembaga survey menyatakan bahwa dipilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai pasangan cawapres Joko Widodo ternyata tidak mampu menaikan elektabilitas Joko Widodo sebagai kandidat presiden.

Dengan kondisi yang demikian, Prabowo Subianto memiliki keuntungan dari segi dukungan kelompok-kelompok muslim konservatif garis keras. Terlebih lagi, kehadiran KH. Ma’ruf Amin dikubu Joko Widodo menjadikan kekecewan tersendiri bagi kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang terkeda dampak Fatwa KH. Ma’ruf Amin. Selain itu juga menjadi kekecewan bagi kelompok China-Non Muslim. Merujuk survey LSI, pasca Pilkada DKI Jakarta terjadi peningkatan partisipasi oleh kelompok muslim di Indonesia, dari angka 4,6 % pada tahun 2005 menjadi 13, 2 pada tahun 2018. Oleh karenanya, upaya Prabowo Subianto dalam mencari dukungan kepada kelompok Islam Konservatif ini dapat menjadi batu sandungan bagi Joko Widodo dalam Pilpres 2019 nanti.

Meskipun demikian, politik pemilu sama dengan pertandingan bola dimana hasil ditentukan last minute. Beragam indikator dapat membuat pertandingan bisa berubah dan ditentukan didetik-detik terakhir. Hanya saja, rasionalitas kita dalam menggunakan hak pilih tidak boleh menjadikan kandidat dewa atau syetan, paling salah atau paling benar.












--------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil political analisist penulis pada salah satu lembaga internasional, dan diulas (dipotong beberapa bagian) kembali untuk diterbitkan di blog ini. Analisisnya terhadap hubungan bilateral tidak disampaikan dalam tulisan ini. Terimakasih sudah membaca!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar