Jelas ini menjadi
persoalan bagi kita semua, mengingat pemberitaan hoax ini sering kali dimanfaatkan
pada saat diselenggarakannya pemilihan-pemilihan umum. Pilkada DKI saja
misalnya, perang berita hoax yang berujung debat opini dan pertikaian secara
langsung tampak nyata. Melalui perang pemberitaan hoax di Pilkada DKI Jakarta ini kemudian memicu “nyinyir” nasional yang
berdampak pada divergensi politik dan sosial di masyarakat. Sebenarnya, apa
yang dimaksud dengan pemberitaan ataupun informasi hoax tersebut?
Mengenal
Hoax
Menurut Chen, Y.Y.,
Yong, S.-P., & Ishak, A. (2014), Hoax adalah informasi sesat dan berbahaya
karena menyesatkan persepsi manusia dengan menyampaikan informasi palsu sebagai
kebenaran. Hoax mampu mempengaruhi banyak orang dengan menodai suatu citra dan
kredibilitas. Hoax gencar sebagai salah satu akibat dari kemajuan teknologi, revolusi
media sosial dan kualitas internet yang semakin maju dan murah tetapi hal
tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan daya berpikir kritis. Kemudian, Hoax
dapat diterima publik dikarenakan karakter pembaca yang clicking monkey,
yakni mereka yang terpancing judul-judul provokatif akan membaginya tanpa tahu
betul isi tulisan. Selain itu, Hoax tersebar dan dikonsumsi oleh publik
dikarenakan kegagalan media arus utama dalam membangun kepercayaan publik.
Terlebih dikarenakan komersialiasi industry media yang kerap mengutamakan
kepentingan sekelompok orang atau pemiliknya, sehingga berita yang disajikan
dianggap tidak dapat dipercayai lagi. Inilah yang melatarbelakangi publik
kemudian mencari informasi melalui media sosial, dan mengakibatkan Hoax dapat
berkembang dan dipercaya publik.
Seyogyanya, pembaca
harus mengutamakan “uji kebenaran” berita dengan mengkomparasi berita yang
diterima dengan media arus utama. Pembaca yang cerdas tentunya tidak langsung
menerima berita ataupun informasi yang Ia terima, apalagi kemudian
menyebarkannya melalui media sosial seperti Group Whats App, BBM, LINE, dsb.
Kecendrungan Hoax cepat meluas ini dikarenakan berita yang diterima Si A tanpa
diuji kebenaranya kemudian di sebar melalui media sosial terutama group media
sosial seperti Facebook dan Whats App. Ketika informasi tersebut di terima si
B, kemudian si B yang tidak mengenal dan dari mana si A mendapatkan informasi,
menyebarkannya ke jejaring sosialnya. Penyebaran yang dilakukan terus menerus
seperti inilah yang menjadi pemicu berkembangnya hoax dan berdampak kepada
realitas sosial.
Menurut catatan dewan
pers, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 43.000 situs media online yang
mengklaim sebagai portal berita. Akan tetapi, kurang dari 300 situs portal
berita yang resmi dan telah terverivikasi. Setidaknya berdasarkan data dewan
pers pada peringatan hari pers nasional di Ambon kemarin,baru terdapat 74 perusahan pers yang terverifikasi
tahap awal. Ini artinya, terdapat puluhan ribu situs yang berpotensi sebagai
penyebar berita hoax di internet yang mesti diwaspadai masyrakat. Terbaru
adalah, adanya 300 akun twitter yang diblokir oleh kominfo yang diduga sebagai
penyebar hoax.
Penting bagi publik
adalah untuk dapat membedakan informasi dan berita hoax dengan informasi dan berita
jurnalistik. Pemberitaan yang bersal dari media arus utama seperti media
online, media cetak, televisi, radio yang merupakan produk jurnalisme memiliki
status yang jelas berupa terverivikasi oleh dewan pers. Kemudian adanya
penanggungjawba dan alamat redaksi, memnuhi UU jurnalisme dan peraturan Dewan
Pers dan dikelola oleh wartawan yang berkompeten dengan mentaati Kode etik
Jurnalistik serta membela kepentingan umum. Jelas ini berbeda dengan informasi
ataupun berita yang merupakan produk hoax. Karakteristik produk hoax dapat
dilihat dari judul yang provokatif, menyerang atau membela saja, tidak adanya
kejelasan status medianya, tidak diketahui penanggung jawab dan alamat media.
Pemberitaan dan informasi hoax juga mencatut nama tokoh, memanfaatkan fanatisme
dan nilai-nilai keyakinan beragama. Seringkali juga menyertakan perintah untuk
menyebarkan, manshare atau meviralkannya. Hoax ini kemudian harus diketahui
bahwa bertujuan untuk mencari keuntungan, dibuat oleh bukan pekerja jurnalistik
serta dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok atau bisnis politik sesaat.
Bagaimana agar hoax tidak makin berkembang?
Solusi
Konsktuktif
Penyebaran berita hoax
melalui media online dan media sosial adalah permasalahan bersama yang harus
segera dicarikan solusinya. Solusi yang konstruktif dengan tidak mengabaikan
perkembangan teknologi saat ini menjadi penting bagi para pengambil kebijakan.
Menjadi utama adalah adanya peran sinergistas Kementerian Informasi dan Komunikasi
(KOMINFO), Komisi I DPR RI, Dewan Pers
dan Komisi Penyiaran Indonesia dalam membendung penyebaran berita hoax. Jelas
ini berkaitan dengan regulasi yang dapat mengontrol dan mengawasi perkembangan
media online dan media sosial sebagai media utama dalam menyebarkan berita
hoax, bahkan media arus utama sekalipun. Kejelasan regulasi dan ketegasan
sanksi mesti dikedepannya agar perang berita hoax yang memicu konflik opini di
masyarakat tidak meluas dan mengakibatkan devergensi politik dan sosial yang
lebih meluas. Diantaranya adalah melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) dan Peraturan
Menkominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif
Pemikiran akan
pentingnya melembagakan media online menjadi pekerjaan rumah tangga yang amat
urgen bagi ke empat pemangku kebijakan tersebut. Bagaimanapun, sulit untuk
mengendalikan apalagi menghentikan perkembangan teknologi saat ini. Sehingga,
adalah solusi untuk melembagakan media online dalam bentuk kebijakan-kebijakan
yang mengikat media online atau situs portal yang belum terverivikasi ataupun
sudah untuk mengedepankan etika jurnalistik dan tidak menyebarkan berita hoax.
Disamping itu, media
arus utama harus memandang bahwa persoalan media online dan media sosial
sebagai media penyebar hoax adalah kritikan sekaligus masukan. Media arus utama
harus mampu mengedepankan etika jurnalistik dalam pemberitaan dan kemudahan
akses ke pembaca. Melepaskan kepentingan bisnis dan politik dari media arus
utama menjadi hal paling mendasar. Jelas ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya
peran sinergisitas ke empat lembaga pengambil kebijakan diatas. Upaya regulasi
yang mengatur, mengawasi dan penindakan tegas adalah kekuatan bagi media arus
utama untuk dapat tampil sebagai media yang dipercayai publik. Oleh karenanya,
memaksimalkan media arus utama dalam menghadapi pemberitaan hoax menjadi bagian
dari solusi yang konstruktif.
Menjadi penting juga
adalah bagi para pembaca berita untuk mengedepankan “uji kebenaran” atas
pemberitaan yang didapat. 5W1H haruslah menjadi pertanyaan utama ketika berita
diperoleh. Apa, siapa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana berita tersebut.
Tidak ada salahnya prinsip membuat berita justru menjadi prinsip menguji
kebenaran sebuah berita. Membandingkan berita yang diperoleh dengan sumber
berita laian seperti pemberitaan dari media arus utama ataupun mesin pencarian
data “google” akan lebih cerdas dibanding menerima berita begitu saja dan
apalagi sampai menyebarkannya. Perlu di ingat bahwa, lewat pemberitaan hoax,
tidak saja debat opini ataupun divergensi politik dan sosial dapat meluas.
Bahkan lewat pemberitaan hoax-pun, sebuah perang berdarahpun bisa terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar