Sebuah Kajian Terhadap Teori Gender
Masalah dan Perdebatan Gender
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek
kehidupan, di seluruh dunia. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan
yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat
diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu
wilayah pun di negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan
dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan
dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi
politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban
paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada
dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang.[1]
Berdasarkan data dari UNDP terkait Gender Development Indeks yang dirilis 15 November 2013, Norwey merupakan negara dengan indeks pembangunan perempuan tertinggi disamping pembangunan manusianya yang merupakan peringkat 1.[2] Sedangkan data dari WEF terkait Laporan Kesenjangan Gender Global 2013, peringkat utama untuk kesetraan gender diperoleh oleh Islandia, perempuan di Islandia menikmati akses yang sama untuk pendidikan, kesehatan, dan juga paling mungkin terlibat penuh dalam kehidupan politik dan ekonomi di negara itu.[3] Hal ini juga terjadi di negara tetangganya, seperti Finlandia, Norwegia, dan Swedia.
Secara umum, kesenjangan kesetaraan gender di dunia mengecil pada tahun 2013, dengan 86 negara dari total 136 negara yang disurvei -dan mencerminkan 93% penduduk dunia- memperlihatkan peningkatan dalam kesetaraan gender. Demikian pula untuk Asean, menurut data Human Development Report (HDR) tahun 2013, selama tahun 1990 hingga 2012 dari UNDP, ketimpangan gender di Negara-negara ASEAN terjadi penurunan indeks. Hal ini berarti bahwa masing-masing Negara ASEAN berlomba untuk mencapai kesetaraan gender dan mengurangi adanya kehilangan dalam pembangunan manusia di Negaranya. Indeks ketimpangan gender yang rendah dimiliki oleh Singapura dengan nilai 0,1 pada tahun 2012. Sedangkan Indonesia, Laos, dan Kamboja termasuk tiga negara dengan indeks ketimpangan gender yang tinggi, meskipun ketiga Negara tersebut melakukan berbagai program kesetaraan gender.[4]
Sehingga, issue ketidak adilan gender dalam ruang pablik tampaknya akan tetap menjadi isu aktual, segar, kontroversial sekaligus menjadi agenda tematik dari tahun ke tahun. Isu ketidakadilan gender pertama kali diusung oleh gerakan feminisme di dunia barat, aliran ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa ketidak seimbangan kondisi antara laki-laki dan perempuan telah menyebabkan perempuan tertindas, terampas hak asasinya dan terpojokkan oleh tatanan masyarakat yang “male dominated”. Dalam perkembangannya, gerakan feminisme tidak berjalan homogen akan tetapi terpecah kedalam berbagai aliran seperti gerakan feminisme liberal, feminisme sosialis, feminisme radikal dan sebagainya. Namun, heterogenitas aliran tersebut memiliki satu kesamaan mendasar, yakni idiologi patriaki yang meletakkan laki-laki secara istimewa sangat merugikan posisi perempuan.
Persoalan kesetaraan gender terutama dalam politik telah menjadi isu global, baik di negara maju maupun di Negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Persoalan dimana bagi perempuan konsep “demokrasi” menjadi satu hal yang sangat diidam-idamkan namun sekaligus menjadi mimpi buruk. Demokrasi yang diwariskan oleh tradisi Yunani, jelas tidak mengikutkan perempuan dalam politik.[5] Persoalan ini disebabkan masyarakat yang telah dibentuk oleh budayanya masing-masing yang menekankan bahwa kedudukan perempuan berkisar dalam lingkungan domestik, sedangkan politik merupakan sesuatu yang berkenaan dengan kekuasaan dari sejak dahulu dalam bidang yang selalu dikaitkan dengan dunia laki-laki yang menimbulkan suatu persepsi atau anggapan bahwa dunia politik tidak mungkin tabu untuk dimasuki oleh perempuan.
Jika dicermati, keyakinan bahwa persoalan-persoalan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politik yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik. Sehingga mendominasi kultur masyarakat Indonesia dimana gerakan feminisme pada hakikatnya merupakan proses transformasi sosial yang identik dengan proses demokratisasi. menjadi tujuan gerakan feminisme adalah menciptakan hubungan antara sesama manusia secara fundamental baru yang lebih baik dan adil, hal tersebut hanya mungkin dapat dicapai melalui cara demokratisasi.[6] Hal ini disebabkan bahwa demokrasilah yang memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama, dengan prinsip kesamaan dan keadilan. Sehingga dapat dipahami mengapa para “pejuang perempuan” senantiasa intens terlibat dalam barisan pejuang demokrasi. Bahkan para pejuang perempuan Indonesia memasukkan agenda demokratisasi sebagai salah satu agenda pejuang mereka.
Selama ini politik dan perilaku politik dipandang sebagai aktivitas maskulin (laki-laki). Dimana pada ranah ini diperlukan suatu keberanian, kemandirian, kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif.[7] Budaya Patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi laki-laki berdampak negatif bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politik terutama untuk memegang jabatan politik. Perempuan tidak didukung, bahkan dalam banyak hal malah dihambat untuk mengambil peran aktif di ruang publik.
Oleh sebabnya diperlukan pembangunan politik yang mendukung perempuan di ruang publik, guna mencapai terwujudnya demokrasi dan sekaligus kesetaraan gender. Kesetaraan gender merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas sekaligus mencapai pembangunan politik yang demokratis.
Pembangunan Politik Perempuan berbasis Gender Justice
Tidak dapat dipungkiri bahwa PBB juga telah berperan dalam proses
perkembangan kedudukan perempuan yaitu dengan membentuk badan The
United Nations Committee on the status of Women, di
mana PBB menyarankan kepada anggotanya agar membentuk Undang-Undang
yang menjamin persamaan hak perempuan dan laki-laki. Dan pada
tanggal 18 Desember 1979, PBB mengeluarkan deklarasi yaitu ”Konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan”. Dalam Pasal 7, menyatakan:
”Negara-negara Peserta wajib melakukan langkah yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan
kemasyarakatan di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar
persamaan dengan laki-laki, hak: (a) untuk memilih dan dipilih; (b) untuk
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya
memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan
disemua tingkat; (c) untuk berprestasi dalam organisasiorganisasi dan
perkumpulan-perkumpulan non-pemerintahan yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara”.[8]
Menurut
Fatima Mernissi, dalam The Veil and the Male Elite: A Feminist
Interpretation of Women and Islam (1991).
Menurut Mernissi, gender justice diperlukan dalam
melihat ketersudutan perempuan itu disebabkan oleh banyaknya hadis palsu (tidak
sahih) yang bertentangan dengan semangat egalitarianisme yang dibawa Nabi
Muhammad Saw. Masalah hadis baru muncul setelah Nabi wafat, karena pada saat
beliau masih hidup segala persoalan yang dialami kaum Muslim bisa langsung
dikonsultasikan dengan beliau. Mernissi melacak persoalan itu jauh ke belakang,
yakni pada saat Nabi wafat. Pertikaian mulai muncul di kalangan kaum Muslim
dalam masalah kepemimpinan (khilafah). Hal ini menjadi pemicu utama ketegangan
yang berlarut-larut antara para pemegang otoritas di kalangan kaum Muslim.
Dalam analisisnya atas peristiwa yang terjadi pada masa itu, terutama yang
berkaitan dengan pemilihan khalifah, Mernissi berkesimpulan bahwa suara
kalangan elit, baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin lebih mendominasi
(Mernissi, 1991a: 39), sehingga perundingan-perundingan yang terjadi lebih
banyak terfokus pada hal-hal yang esensial menurut kalangan elit tersebut.
Upaya Pembangunan Politik berbasis Gender Justice di Indonesia Massa Reformasi
Upaya Pembangunan Politik berbasis Gender Justice di Indonesia Massa Reformasi
Pembangunan di Indonesia pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan rakyat Indonesia, baik perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Hak warga negara Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidupnya merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.[9]
Pemenuhan HAM termasuk hak asasi perempuan, tercantum di dalam Undang-undang (UU) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women), yang tertuang di dalam UU No. 7 Tahun 1984.
Kesetaraan gender bukan berarti memperlakukan laki-laki dan perempuan secara sama, melainkan mewujudkan perlakuan yang adil bagi laki-laki dan perempuan, dengan mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Secara kualitatif, arah, strategi, dan sasaran kebijakan kesetaraan gender ditujukan untuk secara sistematis menjawab berbagai isu ketidaksetaraan gender yang terdapat di berbagai bidang pembangunan dan lintasbidang pembangunan. Secara kuantitatif, kesetaraan gender mengacu pada: 1) pencapaian kemampuan dasar (pendidikan, kesehatan, dan ekonomi) yang merata bagi laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari prioritas pembangunan; dan 2) meningkatkan keseimbangan keterwakilan perempuan dalam ranah pengambilan keputusan. Pengukuran pencapaian kesetaraan gender secara umum dapat dilihat melalui indikator komposit yaitu Indikator Ketidaksetaraan Gender (Gender-inequality Index-GII).[10]
Hasil pembangunan sumber daya manusia Indonesia secara umum dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-HDI). HDI mengetengahkan indikator bidang pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan, sebab kemampuan dan potensi manusia untuk berpartisipasi dalam pembangunan sangat bergantung pada ketiga aspek tersebut. Menurut HDI Report tahun 2011, nilai HDI Indonesia adalah 0,617. Namun dalam hal Gender Inequality Index (GII), nilai GII Indonesia hanya 0,5046 atau terdapat kesenjangan gender hingga 50 persen. Bila melihat tren GII dari tahun 2005, telah peningkatan yaitu terjadi penurunan kesenjangan dari 0,5488 (2005) menjadi 0,5236 (2008), lalu menurun lagi menjadi 0,5046 (2011). Sebagai perbandingan, hasil studi Bappenas tahun 2012 dengan temuan awal Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) menunjukkan telah adanya peningkatan kesetaraan gender sebesar 0,3 persen dari 0,793 pada tahun 2007, menjadi 0,796 pada tahun 2010
Dengan kata lain, terjadi peningkatan kesetaraan gender rata-rata sebanyak 0,1 persen setiap tahunnya. Dengan demikian, untuk mempercepat pencapaian kesetaraan gender akan diperlukan upaya yang lebih besar, lebih komprehensif, lebih bersinergi, serta lebih kritis dalam menganalisis berbagai permasalahan gender.
Penutup
Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok
pembangunan-suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri. Kesetaraan
gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi
kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan
kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka
untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-perempuan dan laki-laki-untuk
mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup
mereka. Permasalahan besar yang dihadapi dalam pembangunan kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan yaitu masih terdapatnya kesenjangan
gender di pembangunan politik. Hal ini menyangkut rendahnya peran dan
partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik.
DAFTAR PUSTAKA
World Bank Publication. 2000. Engendering Development : Through Gender Equality in Rights, Resources and Voices. (Terj).
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2013. Jakarta : Lintas Khatulistiwa.
Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004.
Najwa Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, CV. Idea Pustaka Utama: Bogor, 2003.
Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta, 2005.
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan: Instrumen untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2004.
UUD RI Pasal 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, dan 28H
http://hdr.undp.org/en/content/gender-development-index-female-male-ratio-hdi
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/10/131025_perempuan_vj_peta
[1] World Bank
Publication. 2000. Engendering Development : Through Gender
Equality in Rights, Resources and Voices. (Terj). Hal. 11
[2] http://hdr.undp.org/en/content/gender-development-index-female-male-ratio-hdi
[3] http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/10/131025_perempuan_vj_peta
[4] Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013. Pembangunan Manusia
Berbasis Gender 2013. Jakarta : Lintas Khatulistiwa. Hal. 15
[5] Jurnal Perempuan
No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal
Perempuan, Jakarta, 2004, hal.4
[6] Najwa Sa’idah dan
Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, CV. Idea Pustaka Utama:
Bogor, 2003, hal. 25
[7] Siti Musdah Mulia
dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, PT. Gramedia Pustaka
Utama:Jakarta, 2005, hal. 10
[8] Pusat Kajian Wanita
dan Gender, Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan: Instrumen untuk
Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2004, hal. 15.
[9] UUD RI Pasal 28C,
28D, 28E, 28F, 28G, dan 28H.
[10] GII (UNDP) mengukur
ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki di dalam pembangunan, dengan
fokus
pada bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik dan
pengambilan keputusan (jabatan publik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar