Buku hasil penelitian LIPI ini berfokus pada transformasi politik Civil Society Organisation (CSO) pasca reformasi 1998. Adapun latar belakang penelitian ini adalah pasca perjuangan melawan rezim terjadi transformasi politk CSO ke berbagai sektor politik terutama adalah partai politik. CSO sebelumnya memainkan peran penguatan argaining position masyrakat dalam melawan politik rezim Orba. Setelah rezim hancur, CSO dihadapkan dengan persolan perubahan politik yang demokratis, yang mengakibatkan CSO mulai terbelah. Sebagai aktor yang ikut memperjuangkan demokrasi sebahagian aktivis CSO tetap mengambil jarak dengan negara serta institusi politik dan disebahagiannya ada yang meruah sikap politik dengan bertransformasi menjadi bagian dari politik formal seperti mendirikan partai dan mencalonkan diri untuk mengisi posisi jabatan publik (sebagaimana epilog yang ditulis oleh Hermawan Sulistyo dalam judul gerakan mahasiswa dipersimpangan jalan dalam buku Muridan S. Widjojo sebelumnya).
Dari banyaknya aktivis CSO yang masuk
ke partai politik dan ikut dalam pemilu untuk legislatif, hanya sedikit yang
kemudian mampu bertarung dan duduk di parlemen. Menurut kalangan transformasi
aktivis, hal ini disebabkan oleh lemahnya political society dalam
hal ini adalah partai politik yang hadir sejak tahun 1999 dalam melakukan
perubahan sistem ekonomi, politik, dan kesejahteraan masyrakat yang lebih baik.
Politisi dari kalangan sipil dianggap lambat dalam merespon tuntutan perubahan
atas demokratisasi, hal ini dikarenakan kapasitas dan persoalan integritas
sipil yang dipertanyakan oleh masyarakat.
Buku hasil penelitian ini berpatokan
pada data Lingkar Madani Indonesia (Lima) yang mempublis ada 200 orang caleg
tahun 2009 yang merupakan aktivis pergerakan 1998 dan jika digabung tingkat
nasional dan daerah maka ada sekitar 1000 orang aktivis pergerakan 1998 dan NGO
yang ikut mencalonkan diri dalam pemilu. Menariknya, dengan sistem pemilu
proposional tertutup kebanyakan aktivis CSO ini berada pada nomor urut atas.
Ikutnya aktivis CSO dalam politik
formal negara tentu disertai dengan pro dan kontra, sebahagian mendukungn dan
optimisme atas keikutsertaan mereka. Serta dipandang bahwa keterlibatan mereka
tidak akan menghasilkan mobocracy karena aktivis CSO dipandang memiliki
idealisme yang mampu membuat kebijakan publik yang berkualitas dibanding dengan
artis maupun pengusaha yang berpolitik nantinya. Namun, sebahagian lagi malah
kwatir terhadap keterlibatan aktivis ini di politik formal. Menurut tim
peneliti didasarkan atas pertama, kondisi politik yang belum stabil pasca ORBA
di kwatirkan akan membuat para aktivis tersebut tersandera oleh kondisi lembaga
perwakilan yang saat ini masih korup. Kedua, pengalaman masuknya aktivis ke
politik formal pada awal ORBA yang gagal memberikan konstribusi pada
demokratisasi yang positif dan berubahnya aktivis menjadi loyalitas
rezim. Hal ini dikarenakan motif mereka yang dianggap merupakan motif pribadi
bukan motif melanjutkan perjuangan. sehingga dikwatirkan bukan untuk
perubahan justru malah berujung pada delegitimasi aktivis dan eksistensi civil
society.
Ketiga yakni, masuknya aktivis dalam
praktik formal politik justru membuat pencerahan dan pemberdayaan masyarakat
akar rumput menjadi terbengkalai sehingga terkesan benar-benar meninggalkan
kerja-kerja sosial yang telah diemban sebelumnya. Selain itu, ketakutannya
adalah praktik politik pragmatis dianggap akan membawa buruk pada penguatan
civil society.
Dengan latar belakang penelitian yang
demikian, buku ini berupaya menyajikan motif, kemampuan dan konsistensi
idealisme kalangan aktivis CSO yang mencoba berpolitik ormal. Adapun penelitian
ini menggunakan pisau analisis yakni hasil penelitian dari Lech Walesa dan
Vaclav Havel yang melihat adanya perbedaan antara transformasi CSO di negara
otoriter dengan negara demokrasi. Di negara demokrasi transformasi dianggap
lumrah dan biasa saja sedangkan di negara otoriter terlihat adanya kesempatan
dan kepentingan yang dipengaruhi oleh rezim atau adanya inheren. Sedangkan
merujuk pada Indonesia dari otoriter ke liberalisasi politik dianggap fenomena
yang tidak dapat dihindarkan. Artinya dengan adanya liberalisasi politik,
transformasi terjadi karena adanya kebutuhan atas lingkungan baru yang memaksa
sekelompok orang untuk melakukan penyesuaian atas perubahan tersebut.
Adanya transformasi dianggap sebagai
artikulator atau sebagai penyampaian input ke dalam sistem politik, sebagai
penyeimbang atas keberadaan pemerintah dengan masyarakat serta sebagai
penggalang solidaritas dan menciptakan tanggung jawab terhadap seluruh elemen
bangsa. Selain itu, penelitian Wawan dkk ini merujuk pada teori dari James
Ryker dan Philip Eldrige dalam melihat pola hubungan antara negara dengan CSO.
Sebagai metode pengumpulan data
penelitian, buku ini menggunakan studi pustaka dan wawancara mendalam dengan 20
orang aktivis CSO yang tersebar di Sumatera Utara, DI Yogyakarta, Sulawesi
Selatan dan Jakarta. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini
diantaranya adalah Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari dan lainnya.
Menurut Firman Noor dalam melihat
pasang surut hubungan antara civil society dan negara di era orde baru
mengalami metamorfosis yang semakin menguat jelang tahun 1998. Menurut Firman
Noor dalam melihat relasi antara kuasa negara dan civil society harus dilihat
dari dua hal yakni korelari antara bangun rezim dalam dunia politik praktis,
terutama dalam hubungan dengan negara. Kedua adalah penggambaran prakondisi
atas munculnya kecendrungan berpolitik praktis di era reformasi yang semakin
meningkat sekaligus mendapatkan gamabaran yang lebih utuh tentang perkembangan
karakter berpolitik aktivis CSO dari masa ke masa. Dalam bab ini Firman Noor
mencermati kecendrungan politik yang dihasilkan oleh aktivis CSO sebagai akibat
relasi antara negara dengan civil society yakni sebagaiman disebeut dalam latar
belakang adanya yang memilih masuk sistem dan ada yang bertahan diluar sistem.
Sehingga Firman Noor melihat bahwa
adanya peran yang fluktuatif dalam civil society dalam menghadapi rezim yakni
periode keras dan periode lunak. Dengan demikian dapat dilihat 3 hal yakni
karakteristik perjuangan CSO memang tidak terlepas dari tabiat rezim yang ada,
Sehingga berimbas pada fokus dan ideologi yang dikembangkan, apalagi dengan
adanya keterjarakan waktu dan menguatnya rezim yang melahirkan radikalisasi.
Pasca melunaknya rezim dan masuknya
liberalisasi politik jelas menjadi nuansa baru untuk melahirkan metamorfosis
politik berbeda dengan angkatan 1966. Seperti halnya masuknya aktivis dalam
jumlah besar, banyaknya partai politik jadi kendaraan dan masuknya mereka pada
ranah politik yangsangat kompetitif. Namun, faktor ajakan sangat mempengaruhi
aktivis CSO ternyata untuk bergaung ke partai politik. Menurut Wawan
Ichwanudin, aktivis CSO seksi karena kebutuhan SDM bagi partai politik, adanya
perluasan dukungan oleh partai politik, kehadiran CSO dapat mengangkat citra
partai.
Penelitian yang menitik beratkan
keikutsertaan para aktivis CSO pada pemilu 2009 ini merefleksikan bahwa
motivasi aktivis CSOpun beragam dalam ikut bergabung kepartai seperti dasar
ideologis cendrung melihat adanya kesamaan ideologinya dengan platfom partai,
Sedangkan yang bergabung pada partai baru cendrung berargumen bahwa partai baru
dapat dibentuk dibandingkan dengan partai yang telah mapan. Dilain hal, motivasi
aktivis CSO adalah faktor kejenuhan terlalu lama beraktivitas di dalam dunia
NGO dan sebahagian didorong oleh faktor ekonomi.
Berdasarkan hasil penelitian
berikutnya dalam melihat pro dan kontra masuknya aktivis CSO dalam panggung
politik formal sebenarnya bagi kalangan aktivis CSO sendiri ini merupakan masih
menjadi perdebatan. Bagi golongan yang menerima adanya transformasi politik
aktivis CSO memandang bahwa pilihan ergabung merupakan pilihan yang masuk akal
karena menggap bahwa inilah konvergensi antara peluang pada pemilu 2009 yang
diberikan oleh partai-partai dalam proses rekuitmen calaeg dan keinginan
perubahan politik. Sebagai salah satu implikasi dengan bergabungnya
aktivis CSO dalam panggung politik adalah melemahnya konsistensi dan komitemen
idealisme para aktivis tersebut. Hal ini mengakibatkan lahirnya kelompok yang
menolak transformasi aktivis CSO karena memandang situasi tidak kondusif untuk
terjadinya perubahan melalui dalam kekuasaan.
Masuknya aktivis ke dalam politik
electoral dipadang dapat menghabiskan kekuatan independen yang mendudukan
dirinya di posisi tengah-tengah rakyat dan negara. Apalagi tidak adanya jaminan
caleg aktivif tidak terseret kedalam pertarungan politik partai dan kekuasaan.
Sehingga skeptism terhadap transformasi politik aktivis CSO dalam pencalegan
tidak dapat dihindari apalagi merujuk pada motif aktivis dalam terjun kepolitik
formal.
Selanjutnya, refleksi dari aktivis
dalam pencalegan 2009 menjadi titik balik apakah ini merupakan pergerakan
individu semata atau secara ketetepan kelompok. Menurut hasil penelitian ini,
terdapat pola bereda antara di Sumatera Utara, Yogyakarta dan Sulawesi Selatan
dalam melihat persoalan ini. Dimana, di Sumatera Utara transformasi politik
aktivis CSO merupakan pikiran kolektif aktivis CSO Sumatera Utara. Hal ini
terlihat dari adanya kelompok CSO, pertemuan yang membahas intensif pencalonan
para aktivis CSO secara bersama. Di yogyakarta dan di Sulawesi Selatan hal ini
tidak ditemukan, transformasi merupakan bentuk dari gerakan individu semata.
Dalam pencalegkan aktivis CSO ternyata
tidak semua aktivis diterima oleh masyrakat, artinya yang mampu meraih suara
terbanyak. Berdasarkan hasil penelitian, ini dikarenakan kesalahan pemilihan
partai politik. Aktivis CSO yang bergabung dengan partai kecil yang gagal
mendapatkan ambang batas suara 2,5 persen ( parliamentary threshold). Faktor
penempatan dapil juga sangat mempengaruhi terjadinya caleg aktivis CSO gagal.
Misalnya aktiovis CSO se dapil dengan caleg yang berlatar belakang artis
ataupun pejabat publik. Popularitas aktivis CSO tentunya kalah dengan artis
atau pejabat publik lama. Selain itu faktor ketidaksiapan aktivis CSO menjadi
caleg dalam mengahadapi realitas politik pemilu 2009. Hal ini meliputi
permainan politik uang, ongkos politik yang besar, serta lemahnya mekanisme
pengawasan pemilu pada tahun 2009. Gagalnya memahami realitas politik pemilu
2009 membuat sebahagian caleg dari aktivis CSO harus gigit jari, berpikir
kembali atau melanjutkan perjuangan dengan cara yang lain.
Adapun kesimpulan dari penelitian ini
bahwa banyaknya jumlah aktivis CSO yang menjadi caleg bukan
indikator semakain mantapnya proses transformasi aktivis dari ranah civil
society ke political society. Selanjutnya adalah terkait prospek konsilidasi
demokrasi dengan adanya transformasi politik. Dan terakhir bahwa dengan adanya
transformasi politik aktivis CSO ini dapat memberikan pelajaran kepada kalangan
prodemokrasi dalam menyiapkan agenda perubahan dimasa mendatang.
Sumber Rujukan : Wawan Ichwanudin (edt). 2010. Transformasi Politik Aktivis CSO : Refleksi Pengalaman Caleg Aktivis dalam Pemilu 2009. LIPI: Yayasan Tifa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar