Minggu, 17 Mei 2015

Meninjau Ulang aktivis 1966


Sebuah Jejak Pemikiran Burhan Magenda.

Dalam membahas gerakan mahasiswa dapat dilihat dari dua kondisi yakni kondisi objektif, dimana gerakan mahasiswa dalam kerangka persoalan yang lebih luas yakni meliputi struktur umur penduduk suatu negara dan sistem politik pada masa tersebut. Sedangkan kondisi subjektifnya, yakni menilai variable-variable yang melingkupi langsung yang berhubungan dengan kepentingan mahasiswa, termasuk latar belakang sosial para mahasiswa, keterbukaan pasaran tenaga kerja.

Didasari oleh dua pandangan inilah, Burhan Magenda mengulas gerakan mahasiswa yang terjadi pada periode Demokrasi Parlementer 1950-1959 dan Periode Demokrasi Terpimpinn 1959-1965 serta periode Orde Baru sejak 1966 sampai sekarang(1977, disaat tulisan diterbitkan).

Pemahasan mengenai gerakan mahasiswa-pun dimulai Burhan Magenda dengan perguruan tinggi sebagai fenomena baru di Indonesia. Menurut Burhan Magenda, perguruan tinggi di Indonesia yang pertama kali berdiri 1919 di Bandung, 1924 Kedokteran di Jakarta dan 1929 Fakultas Hukum di Jakarta bertujuan untuk menjadikannya sebagai bagian dari politik etis dan bertujuan untuk memperoleh tenaga kerja menengah lokal yang diperlukan untuk ekonomi kolonial. Sedangkan bagi kaum terjajah adanya perguruan tinggi adalah sebagai penghasil benih-benih kontradiksi dan menjadi sumber lahirnya tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan. Artinya, adanya perguruan tinggi bagi pribumi menghasilkan “noblesse oblige” untuk memperjuangkan nasib rakyat tertindas.

Dengan adanya etos noblesse oblige ini, inilah yang menjadi pembeda antara arti pentingnya perguruan tinggi bagi negara terjajah dengan negara penjajah. Selain itu, akumulasi ini ditambah dengan ketimpangan penerimaan mahasiswa dalam dunia kerja, dimana tenaga kerja eropa lebih mendapat tempat dibanding mahasiswa pribumi sehingga menghasilkan etos ketidakadilan yang digambarkan oleh Cristopher Jenks “equality of opportunity dan equality of results”. Sebagai catatan, yang dapat merasakan perguruan tinggi hanyalah kelompok priyayi dan aristocrat pribumi saja. Sehingga etos ketidakadilan ini menambah etos noblesse oblige pada kelompok terjajah.

Gambaran inilah yang terjadi pada kondisi sosial mahasiswa jelang kemerdekaan yang mengakumulasi gerakannya dalam bentuk perjuangan kemerdekaan. Menurut Burhan Magenda, kondisi jelang  kemerdekaan ini berlanjut pada masa demokrasi parlementer, dimana usaha untuk melahirkan generasi berpendidikan terhalang dengan kondisi struktural yakni minimnya sekolah ditingkat bawah. Apalagi jelang masa demokrasi parlementer terjadi disrupsi pendidikan tinggi akibat perang mempertahankan kemerdekaan. Sehingga menurut Burhan, latar belakang sosial mahasiswa tidak jauh berubah dibanding masa kolonial sekalipun.

Meskipun kesadaran sebagai the future elite sudah ada pada mahasiswa pada masa ini, namun pasca merdeka anggapan tugas belajar dianggap sebagai noblesse oblige, sehingga pada masa ini ditandai dengan ketiadaan gerakan mahasiswa yang berfungsi politik dan hampir 85 persen mahasiswa kemudian berafiliasi dalam lembaga pemerintahan. Kondisi ini bagi Fischer yang dikutip Burhan Magenda,  melahirkan ketiadaan partisipasi politik gerakan mahasiswa dari sudut padang pribadi yang dekat antara mahasiswa dengan lapisan elite politik nasional pada waktu itu.

Pada masa demokrasi parlementer ini, menurut Soejatmoko dikenalnya oligarki politik dimana, elite nasional saat itu adalah pemimpin politik pada masa penjajahan dan perjuangan kemerdekaan fisik. Sistem politik yang ada memberikan kesempatan pada elite tersebut untuk bergantian dalam menguasai negara. Kemudian partai-partai politik yang ada berkisaran disekitar pribadi-pribadi dan tidak merupakan organisasi sosial dengan formulasi program yang konsisten. Sehingga, menurut Harry Benda sebagaimana yang dikutip oleh Burham Magenda mengatakan bahwa partai politik beroperasi dalam sebuah kekosongan politik dan sosial tanpa kerangka permasalahan yang jelas yang menjalain kerjasama antara anggotanya di desa dengan pusatnya di Jakarta. Dengan demikian, partai politik dan pribadi pimpinnnya disebut Burhan ( acuan pemikiran Cliord Geertz) sebagai appcal yang primodial sifatnya basis untuk legitimasi semata yang diikat dengan bendera nationhood .

Kondisi oligarkis inilah yang sebenarnya menyebabkan ketiadaaan partisipasi politik baik dari kalangan mahasiswa dan kalangan angkatan bersenjata meskipun diposisikan sebagai penerang dalam ketiadaaan partisipasi politik. Pengembalian UUD 1945 sebagai dasar negarapun memperlihatkan bagaimana angkatan bersenjata bersama oligarki Soekarno memperlihatkan pertentangan yang tajam antara parta-partai dan konstituente mengenai dasar negara. Sehingga hal ini menjadi tonggak politik perubahan kedua aliran kebudayaan (Soekarno dan angkatan bersenjata, partai-partai dengan konstituennya).

Pada Demokrasi Terpimpin, angkatan bersenjata menjadi poin utama, dimana mereka (angkatan darat) berhasil melakukan kontrol besar dalam sistem politik melalui ide Jendral Nasution “the middle way” yang kemudian menciptakan dwifungsi ABRI. Disinilah titik mula ABRI berpolitik. Selain itu ada kontradiksi ideologis yang didasarkan pada aliran tertentu yang dimulai jelang pemilu 1955. Adanya politik mobilisasi massa yang intensif yang dilakukan oleh partai-partai dan sekaligus angkatan darat melalui “civic missions”, dimana ideologi yang berkembang pada tataran elite berkembang luas dimasyarakat pedesaan. Sehingga terjadi perbedaan kelas misal santri-abangan, petani-pemilik tanah yang dengan mudah dapat diidentifikasi dalam ideologi tertentu. Hal ini menjadi basis konflik sosial akibat dari politik mobilisasi massa dari dua arus kebudayaan yang berbeda tersebut.

Politik mobilisasi massa ini berpengaruh pada mahasiswa dimana menurut Burhan Magenda,  adanya upaya mengarahkan gerakan mahasiswa sebagai aktor dalam politik nasional sebagai kekuatan yang bebas dari partai, dijembatani oleh angkatan darat, gerakan mahasiswa sebagai partisipasi politik secara pribadi. Sebenarnya merupakan pelemahan terhadap peran partai oleh angkatan darat yang kemudian menjadi embrio dari golongan karya.

Pada masa demokrasi terpimpin ini dimulai eksploitasi dibidang pendidikan tinggi, dimana berkembangnya IAIN dalam menampung mahasiswa dengan seleksi ringan dan bebas uang kuliah. Sehingga eksploitasi ini meningkatkan jumlah mahasiswa dan pada masa ini latar belakang sosial mahasiswa tidak lagi pada kelas tertentu tetapi meliputi semua aspek sosial dimasyarakat, lebih banyak variabelnya dan tidak menggambarkan “kota besar, golongan menegah dan orientasi kebudayaan barat”. Sebelumnya mahasiswa identik dengan pekerjaan yang baik dan sukses sosial, sejak demokrasi terpimpin mahasiswa lebih dikenal egalitarian yang sifatnya tidak eklusivisme fisik maupun sosial budaya.

Berbanding terbalik dengan kondidi demokrasi parlementer, kondisi mahasiswa tidak lagi tertampung pada lembaga pemerintahan sehingga menyebabkan pengggangguran sarjana baru yang kemudian oleh pemimpin demokrasi terpimpin dilarikan pada bidang politik yang kemudian melahirkan pembengkakan anggota pada lembaga-lembaga organisasi kemahasiswaan (mahasiswa tidak berpartai politik). Dan kemudian sosialisasi politik atas ideologi bangsa yakni UUD 1945 dan Pancasila menguat bagi angkatan darat namun bagi mahasiswa sosialisasi politik  justru melahirkan kecendrungan ideologis, dimana indoktrinasi di organisasi pada semua tingkatan sosial menciptakan suatu generasi yang politis cara berpikirnya baik kalangan agamais, nasionalis, maupun komunis.

Memasuki babak tragis bangsa dengan adanya G 30 S PKI, ternyata manipulasi simbol-simbol akibat dari sosialisasi politik demokrasi terpimpin telah menjadi boomerang antar ideologi. Mobilisasi politik akibat sosialisasi politik yang melembaga dalam arus kebudayaan membuktikan dalam dissensus, ambivalensi dan disorentasi dalam masyrakat Indonesia. Sebagaimana yang diungkap Clifford Geertz. Sehingga terjadi penggagalan bentuk consensus kebudayaan yang sesuai dengan civil society akibat dari usaha untuk pematapan dan interpensi UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologisasi politik. Dengan demikian depolitisasi ini menciptakan ideologi baru yakni “pembangunan” yang menghapus semua slogan ideologi lainnya. Depolitisasi ini melahirkan parameter sosial yang baru yang mana, stabilitas politik untuk pembangunan.

Kondisi ini kemudian membuat jurang bagi TNI dengan mahasiswa tidak seperti sebelum runtuh demokrasi terpimpin, dimana angkatan 1966 melali KAMI dan KAPPI menjadi disilusi dengan ABRI setelah 2 tahun pasca gerakan. Akibatnya slogan angkatan 1966 yang “keadilan, hak asasi dan kebebasan” tenggelam dalam sentralisasi yang berkebudayaan jawa. Melahirkan kekecewaan dikalangan angkatan 1966, namun kekecewaan ini tidak berjalan lama karena Orde Baru merekrut mahasiswa kedalam barisan elite khususnya kelompok islam yang melahirkan fusi partai-partai islam pada tahun 1972.

Hal ini melahirkan ketidakseimbangan antara usaha membuat arus kebudayaan dalam sistem politik, sekaligus mengkerdilkan gerakan mahasiswa (kelompok islam) sejak demokrasi terpimpin. Persoalan ini kemudian diikuti oleh penuntutan perubahan struktur kependudukan atau adanya gejala displacement yang menciptakan beban bagi mahasiswa. Sehingga periode Orde Baru, sistem politik dan kebijakan ekonomi tidak mampu memberikan pemecahan yang memadai terhadap persoalan yang akut dimasyarakat dan di mahasiswa. Sehingga menurut Burhan Magenda, tahun 1970an disebut sebagai “revolusi runtuhnya harapan-harapan” sebagai kebalikan dari tahun 1960an yang merupakan “revolusi harapan-harapan yang meningkat”

Melalui penggambaran gerakan mahasiswa dan hubungannya dengan sistem politik sejak colonial sampai tahun 1977, Burhan Magenda beragumentasi bahwa gerakan mahasiswa dengan latar belakang sosial tersebut akan terus dirasakan di Indonesia. Apalagi dengan sentralisasi yang dilakukan Orde Baru, gerakan mahasiswa menjadi the only effective opposition dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi melahirkan perbedaan keuntungan bagi dua kelompok arus kebudayaan di masyarakat, keuntungan bagi kelompok dilingkaran elite dan ketidak-untungan dikelompok kebudayaan tertentu, sehingga menjamin suatu gerakan mahasiswa yang berkelangsungan, keterbatasan-keterbatasan yang inheren dengan gerakan mahasiswa dimanapun. Seperti gambaran ditahun 1970an dimana keterbatasan pokok antara gerakan mahasiswa dengan kekuatan politik luar kampus dan ormas ekstra kampus memperlihatkan adanya independensi gerakan mahasiswa yang diikuti oleh gerakan demokratisasi. Menurut Burhan Magenda inilah yang disebut sebagai kekuatan moral yang tidak terkontaminasi oleh politik praktis luar kampus sehingga menciptakan gerakan mahasiswa sebagai “pelopor tanpa pengikut” yang digalang dengan romantic dengan appeal populis.

Dilain hal, bagi Burhan Magenda, pemutusan hubungan dengan organisasi politik diluar kampus tidak memungkinkan gerakan mahasiswa untuk dapat mengorganisir diri disekitar keresahan khususnya secara politik. Sehingga Burhan Magenda mengatakan gerakan mahasiswa dalam upaya mengakhiri ambivalensi dimana jika kekuatan moral dipilih akan menghasilkan aktor politik biasa terutama jika terjadi perpecahan elite sehingga gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral akan membayar mahal. Namun Burhan Magenda mengingatkan bahwa pada kondisi objektif maupun subjektif memberikan peluang untuk melahirkan gerakan radikal. Meskipun pemilihan posisi gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral ataupun kekuatan politik akan dipertanyakan karena latarbelakang sosial historic dari gerakan mahasiswa itu sendiri.

Sumber Utama : Burhan D. Magenda, 1977, Gerakan Mahasiswa dan Hubungan Dengan Sistem Politik : Suatu Tinjauan, Dalam Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, 1991. Prisma, LP3ES Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar