Sebuah Tinjauan Ulang
Dalam
Buku Muridan S. Widjojo bersama kawan-kawan ini terdapat setidaknya 9 artikel
ilmiah terkait dengan Sejarah sampai lahirnya Gerakan mahasiswa 1998 sebagai
penakluk rejim Orde Baru. Adapun buku ini mencakup tulisan dari Abdul Mun’im DZ
yang berjudul Gerakan mahasiswa 1966 Ditengah Pertarungan Politik Elite”, Tulisan
Arbi Sanit “ Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik”,
Tulisan Irine H. Gayatri “ Arah Baru Perlawanan : Gerakan Mahasiswa 1989-1993”,
Tulisan Soewarsono “ Dari OTB ke OTB : Catatan-catatan Resmi Menegenai Gerakan
Mahasiswa Indonesia 1993-1996”, Tulisan Muridan S. Widjojo “ Turunkan Harga,
Atau Kami Turunkan Kamu…: Gerakan Mahasiswa Menggulingkan Soeharto”, Tulisan
Irine H. Gayatri dan Moch. Nurhasim “ Reformasi atau Mati! : Gerakan Mahasiswa
Pasca Soeharto”, tulisan Muridan S. Widjojo “ Wacana Politik Aktivis Gerakan
Mahasiswa 1998”, Tulisan Moch. Nurhasim “ Organisasi Gerakan Mahasiswa 98 :
Upaya Rekonstruksi” dan Epilog Hemawan Sulistyo “ Gerakan Mahasiswa Di
Persimpangan Jalan”.
Menurut
pemaparan buku ini, pembicaraan sejarah gerakan termasuk gerakan mahasiswa 1998
tanpa memasukan angkatan 1966 seolah-olah menjadi tidak sah dan valid. Sehingga
penulisan buku ini kembali mengulas angkatan 1966 melalui tulisan Abdul Mun’im
DZ yang berjudul Gerakan mahasiswa 1966 Ditengah Pertarungan Politik Elite.
Dalam pembahasannya, Abdul Mun’in DZ berpatokan pada Bonar Tigor Naipospos
bahwa tahun 1966 adalah momentum kemunculan mahasiswa sebagai kekuatan politik,
tampil sebagai dirinya sendiri tanpa embel-embel dan dan bendera kekuatan
politik tertentu. Sehingga dalam tulisannya Abdul Mun’in mengulas secara
objektif kedudukan angkatan 1966 yang sulit disangkal keberadaanya oleh
masyrakat dan sejauh mana keterlibatan angkatan 1966 dalam peristiwa politik
yang berlangsung sejak 1964-1967 serta secara spesifik mengulas peran angkatan
1966 dalam pembubaran PKI dan proses penurunan Soekarno.
Secara
terus terang, menurut Abdul Mun’in, gerakan angaktan 1966 adalah gerakan moral
yang di politisir. Kaca mata Abdul Mun’in dalam melihat gerakan 1966 tidak dari
dalam negeri semata, bagaimana pengaruh dari gerakan-gerakan yang ada diluar
sejak tahun 1950an-1960an serta perkembangan ideologi dunia yang mau-tidak mau
memempengaruhi politik Indonesia. Secara gambalang Abdul Mun’in membuka
perspektif baru dari gerakan mahasiswa 1966 yang lahir sebagai rezim pendukung
Orde Baru. Klaim sebagai penyelamat bangsa dari komunisme dimentahkan dalam
tulisan ini dengan merujuk adanya intimidasi atas sejarah oleh rejim selama 32
tahun. Menurut Abdul Mun’in, angkatan 1966 adalah angkatan yang harus
bertangung jawab atas merosotnya kesadaran politik bangsa yang ditandai dengan
meningkatnya korupsi dan penyelewengan terhadap konstitusi. Sehingga titik
berat ditetapkan pada militer sebagai pencipta sebab, yang menguasai akibat, memperoleh
kekuasaan, dan mahasiswa untuk pembaharuan sistem kehidupan yang mengikuti
kehendak militer.
Sehingga
bagi Arbi Sanit dalam “ Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu
Politik”, pembentukan KAMI pada tahun 1966 adalah bentuk dari bulan madu antara
mahasiswa dan penguasa karena merupakan kesepakatan organisasi mahasiswa dengan
kementerian sebagai upaya mengawal pancasila, menggalang Nasakom, dan
penjajahan serta membantu ABRI memberantas G 30 S PKI. Namun menjadi boomerang
bagi Soekarno, kerjasama militer dan mahasiswa kemudian menjadi salah satu
dalang dari proses penurunan Soekarno (ORLA).
Kejatuhan
Soekarno dan pembubaran PKI yang melahirkan ORBA menurut Arbi Sanit adalah
hasil bulan madu antara militer dengan mahasiswa. Akan tetapi gerakan mahasiswa
dihadapkan polemic balik kekmapus atau berpolitik. Sehingga menghasilkan
structural kontroversi sikap pragmatism vs idealism dalam kekuasaan ORBA. Kekuasan Orba yang
dipegang oleh militer bersikap menjaga stabilitas nasional dengan mengkontrol politik
mahasiswa yag terikat kepentingan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan
demikian melahirkan pecahnya bulan madu tersebut yang memuncak pada januari
1974.
Arbi
Sanit berkesimpulan, peristiwa MALARI merupakan perwujudan perpecahan diantara
mahasiswa dengan penguasa ORBA yang menjadi titik balik melemahnya dan
lumpuhnya KAMI sebagai wadah aksi bersama mahasiswa Indonesia. Peristiwa ini
melahirkan gerakan anti Soeharto yang disambut dengan empat tindakan ORBA yakni
menghukum mahasiswa yang mendalangi peristiwa tersebut, melumpuhkan kebebeasan
mahasiswa yang dituding sebagai sumber kekuatan untuk menggalang aksi
mahasiswa, perubahan kekuasaan, penyesuain kebijakan pembangunan dengan jalan
menggeser urutan prioritas.
Keempat
tindakan penguasa melahirkan sikap mahaiswa yang semakin yakin bahwa rezim
arogan. Sehingga mahasiswa dibungkam melalui seperangkat kebijakan yakni SKM
028 tahun 1978 tentang kewenangan rector, dekan dalam membina kegiatan non
kurikuler, dan yang paling arogan adalah kebijakan SK No. 0156/U/1978 tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus dan SK No. 037/U/1979 yang mengatur bentuk susunan
lembaga/organisasi kemahasiswaan dibawah kementerian P dan K sehingga dibentuk
Badan Koordinasi Kemahasiswaan.
Hasil
bulan madu yang kemudian melahirkan mati surinya gerakan mahasiswa. Menurut
Irine H. Gayatri, Arah Baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa mulai lagi 1989-1993.
Hal ini ditandai dengan perubahan perspketif terhadap paradigm (mitos) gerakan
moral, yang mana mulai tampak kalangan aktivis yang berkiprah diluar kampus
dengan pilihan mengangkat tema populis (kerakyatan) sekaligus merupakan
kritikan dan penolakan terhadap kecendrngan elitis dan ekslusif yang dipandang
inheren dengan angkatan 1966. Diawal tahun 1990an gerakan mahasiswa diawali
dengan kesadaran baru bahwa mahasiswa ukan merupakan independent factor, bahwa
dalam pencaturan politik tidak bisa satu aktor mencapai mandiri sendiri
sehingga lahir kerjasama antar kelompok gerakan mahasiswa dan mulai
mensosialisasikan bahwa perlawanan merupakan milik semua elemen rakyat yang
tertindas dan perlu kesabaran bersama. dengan demikian gerakan mahasiswa adalah
gerakan bersama rakyat menjadi platform baru dari gerakan perubahan.
Pada
tahun 1993-1996 menurut Soewarsono, gerakan mahasiswa dari organisasi tanpa
bentuk mengalami fluktuasi menjadi organisasi tambah binggung, organisasi
tidakoleh bicara, sampai oposisi telah berdiri. Hal ini dikena dari OTB ke OTB.
Hal ini ditunjukan dengan kelahiran PRD dan kasus kudatuli 27 Juli 1996 serta
didukung oleh perubahan politik Soeharto jelang moneter 1997.
Menurut Muridan S.
Widjojo, aktivis 1998 tidak bisa semata dilihat pada tahun itu saja. Karena
bagi Muridan, aktivis 1998 merupakan akumulasi kekuatan politik aktivis
mahasiswa dan aktivis CSO ( Civil Society
Organisation) yang mulai bergejolak sejak tragedi kudatuli ( kerusuhan 27
Juli 1996) bahkan jauh sebelum tragedy tersebut terjadi, dimana menurut
Soewarsono hal ini terjadi karena perubahan
dari Organisasi Tanpa Bentuk sejak tahun 1990-an awal menjadi Oposisi Telah
Berdiri seperti misalnya PRD ( Partai Rakyat Demokratik) yang melakukan
deklarasi secara terbuka di YLBHI Jakarta pada 22 Juli 1996.
Pendeklarasian dalam
kongres I PRD inilah yang kemudian menuduhkan PRD sebagai dalang dibalik
tragedi kudatuli tersebut. Akibatnya bagi aktivis PRD yang terdiri dari SMID,
PPBI, STN, dan Jakker, diburu, dipenjarakan dan disangkakan pada pasal
subversive sedangkan bagi Organisasi Tanpa Bentuk yang baru-baru mencuat
seperti Oposisi Indonesia tidak bertahan dan bubar. Sedangkan MARI, asosiasi
yang terdiri dari 30 organisasi hanya mampu bertahan sebagai pemberian
simbolisasi prodemokrasi award kepada PRD.
Tragedi kudatuli ini
sempat mematikan gerakan mahasiswa pro-demokrasi yang mana terlihat dari
dukungan KNPI, MKGR, AMPI, FKPPI, PP, HMI, Pemuda Muhammadiyah, Gerakan Pemuda
Ansor, Pemuda Tarbiyah, AMMI, KISDI untuk membubarkan dan pernyataan bahwa PRD
dan Afiliasinya adalah komunis dalam mobilisasi berbagai organisasi oleh Tantyo
Sudharmono. Sehingga PRD dicap sebagai organisasi terlarang dan meskipun begitu
PRD tetap melakukan gerilya dibawah tanah.
Pada tahun 1997,
berbarengan dengan bencana ekonomi Indonesia,
demontrasi diberbagai kota mencuat dan meningkat tercatat ada 154
demontrasi mahasiswa saat itu. Hal ini meliputi isu-isu sensiti yang strategis
yang berskala nasional, karena masih ada trauma akibat tragedy kudatuli
sebelumnya. Namun mulai menguat ketika aksi penolakan hasil pemilu DPR/MPR 9
Oktober 1997 yang massif dibeberapa kota secara serentak. Kemudian tepat pada
hari HAM, 10 Desember para aktivis menyuarakan tema anti kekerasan militer
terhadap rakyat, Penghapusan dwifungsi ABRI dan penghapusan paket 5 UU politik.
Memasuki tahun 1998
demonstrasi makin meningkat ditandai dengan 31 aksi dalan bulan Januari yang
mana 16 aksi merupakan aksi penolakan terhadap pencalonan Soeharto kembali
sebagai presiden. Salah satunya adalah aksi yang dilakukan oleh kelompok
Cipayung ( minus HMI DIPO), HMI MPO, dan aliansi LSM, kalangan PNS dan 19
Peneliti LIPI yang tegas membuat
pernyataan politik menolak Soeharto. Termasuk Civitas Akademika UI, yang
terdiri dari mahasiswa dan ILUNI turut menolak kepemimpinan Soeharto.
Hasil dari akumulasi
tersebut terwujud dengan aksi secara besar-besaran dalam pendudukan gedung
MPR/DPR RI setelah terjadinya penembakan mahasiswa oleh pihak keamanan. Hal ini
memaksa Soeharto mundur melalui pidato singkatnya 21 Mei 1998 pukul 09.02.45
WIB. Namun gerakan aktivis 1998 tidak berhenti disana karena adanya indikasi abuse of power akan dilanjutkan oleh
Habibie.
Dari polemic Indonesia
di akhir kepemimpinan Soeharto, menghasilkan kelompok idealis dan bernurani
yang dinamakan kelompok aktivis 1998.
Merujuk pada Muridan dan Nurhasim maka kelompok aktivis 1998 yang
merupakan kelompok pro-demokrasi ini terdiri dari tiga tipologi yakni Gerakan
Anti Indonesia (GAI) Gerakan Anti Orde Baru (GAOB) dan Gerakan Koreksi Orde
Baru (GKOB).
Kelompok GAI merupakan
kelompok yang telah bertahun-tahun lahir akiat disparitas yang dilahirkan pusat
seperti di Papua dan Aceh serta Timor-timor. Sehingga, dalam penelitian ini,
yang dimaksudakan aktivis 1998 adalah kelompok GAOB dan GKOB. GAOB diurai dalam
dua kelompok yakni FPPI dan LMND, ini merupakan aktivis mahasiswa yang terlepas
dari praktik birokrasi kampus yang berjalan secara mandiri dan melakukan
gerilya serta gerakan yang lebih radikal. Sedangkan GKOB adalah
kelompok-kelompok gerakan yang pada umumnya merupakan lembaga intern mahasiswa
resmi ataupun setengah resmi didalam kampus.
Perdebatan apakah PRD
merupakan organisasi mahasiswa atau tidak, menurut Soewarsono PRD adalah bentuk
afiliasi politik organisasi mahasiswa SMID( Solidaritas Mahasiswa Indonesia
untu Demokrasi) dan bagi Muridan dan Nurhasim PRD adalah tipologi GAOB.
Sebagai penutup, dalam
epilog yang ditulis oleh Hermawan Sulistyo dalam judul gerakan mahasiswa
dipersimpangan jalan memperlihatkan kebingungan gerakan mahasiswa setelah
sukses menjatuhkan rezim ORBA yang ditandai dengan adanya pola kesinambungan
(continuity) dan pola keterputusan (discontinuity) yang akhirnya menciptakan
disorientasi gerakan mahasiswa. Sampai pada jelang pemilu 1999 dengan semakin
terbukanya politik Indonesia (demokratisasi) secara umum menurut Hermawan terdapat
3 kategori mahasiswa pasca ORBA yakni secara aktif mendukung pemilu tanpa
adanya reservasi dengan bergabung melalui partai politik lama seperi PDI-P
GOLKAR, PPP, sekelas PRD mendirikan secara resmi partai sendiri. Kelompok yang
menerima pemilu dengan syarat dimana mereka terlibat seagai pemantau pemiu,
mendirikan lembaga pemantau sendiri dan kelompok ketiga adalah kelompok
mahasiswa yang memilih untuk terus di gerakan mahasiswa dengan meneruskan
isu-isu sentral seperti adili Soeharto beserta kroni-kroninya, berantas KKN,
hapus dwifungsi ABRI, dan bentuk pemerintahan transisi serta menolak pemilu
yang tidak demokratis.
Sumber Rujukan : Muridan S. Widjojo (et.al). 1999. Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa 1998, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar