Minggu, 17 Mei 2015

Siapa Aktivis 1998?



Sebuah Tinjauan Ulang



Dalam Buku Muridan S. Widjojo bersama kawan-kawan ini terdapat setidaknya 9 artikel ilmiah terkait dengan Sejarah sampai lahirnya Gerakan mahasiswa 1998 sebagai penakluk rejim Orde Baru. Adapun buku ini mencakup tulisan dari Abdul Mun’im DZ yang berjudul Gerakan mahasiswa 1966 Ditengah Pertarungan Politik Elite”, Tulisan Arbi Sanit “ Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik”, Tulisan Irine H. Gayatri “ Arah Baru Perlawanan : Gerakan Mahasiswa 1989-1993”, Tulisan Soewarsono “ Dari OTB ke OTB : Catatan-catatan Resmi Menegenai Gerakan Mahasiswa Indonesia 1993-1996”, Tulisan Muridan S. Widjojo “ Turunkan Harga, Atau Kami Turunkan Kamu…: Gerakan Mahasiswa Menggulingkan Soeharto”, Tulisan Irine H. Gayatri dan Moch. Nurhasim “ Reformasi atau Mati! : Gerakan Mahasiswa Pasca Soeharto”, tulisan Muridan S. Widjojo “ Wacana Politik Aktivis Gerakan Mahasiswa 1998”, Tulisan Moch. Nurhasim “ Organisasi Gerakan Mahasiswa 98 : Upaya Rekonstruksi” dan Epilog Hemawan Sulistyo “ Gerakan Mahasiswa Di Persimpangan Jalan”.

Menurut pemaparan buku ini, pembicaraan sejarah gerakan termasuk gerakan mahasiswa 1998 tanpa memasukan angkatan 1966 seolah-olah menjadi tidak sah dan valid. Sehingga penulisan buku ini kembali mengulas angkatan 1966 melalui tulisan Abdul Mun’im DZ yang berjudul Gerakan mahasiswa 1966 Ditengah Pertarungan Politik Elite. Dalam pembahasannya, Abdul Mun’in DZ berpatokan pada Bonar Tigor Naipospos bahwa tahun 1966 adalah momentum kemunculan mahasiswa sebagai kekuatan politik, tampil sebagai dirinya sendiri tanpa embel-embel dan dan bendera kekuatan politik tertentu. Sehingga dalam tulisannya Abdul Mun’in mengulas secara objektif kedudukan angkatan 1966 yang sulit disangkal keberadaanya oleh masyrakat dan sejauh mana keterlibatan angkatan 1966 dalam peristiwa politik yang berlangsung sejak 1964-1967 serta secara spesifik mengulas peran angkatan 1966 dalam pembubaran PKI dan proses penurunan Soekarno.
Secara terus terang, menurut Abdul Mun’in, gerakan angaktan 1966 adalah gerakan moral yang di politisir. Kaca mata Abdul Mun’in dalam melihat gerakan 1966 tidak dari dalam negeri semata, bagaimana pengaruh dari gerakan-gerakan yang ada diluar sejak tahun 1950an-1960an serta perkembangan ideologi dunia yang mau-tidak mau memempengaruhi politik Indonesia. Secara gambalang Abdul Mun’in membuka perspektif baru dari gerakan mahasiswa 1966 yang lahir sebagai rezim pendukung Orde Baru. Klaim sebagai penyelamat bangsa dari komunisme dimentahkan dalam tulisan ini dengan merujuk adanya intimidasi atas sejarah oleh rejim selama 32 tahun. Menurut Abdul Mun’in, angkatan 1966 adalah angkatan yang harus bertangung jawab atas merosotnya kesadaran politik bangsa yang ditandai dengan meningkatnya korupsi dan penyelewengan terhadap konstitusi. Sehingga titik berat ditetapkan pada militer sebagai pencipta sebab, yang menguasai akibat, memperoleh kekuasaan, dan mahasiswa untuk pembaharuan sistem kehidupan yang mengikuti kehendak militer.

Sehingga bagi Arbi Sanit dalam “ Gerakan Mahasiswa 1970-1973 : Pecahnya Bulan Madu Politik”, pembentukan KAMI pada tahun 1966 adalah bentuk dari bulan madu antara mahasiswa dan penguasa karena merupakan kesepakatan organisasi mahasiswa dengan kementerian sebagai upaya mengawal pancasila, menggalang Nasakom, dan penjajahan serta membantu ABRI memberantas G 30 S PKI. Namun menjadi boomerang bagi Soekarno, kerjasama militer dan mahasiswa kemudian menjadi salah satu dalang dari proses penurunan Soekarno (ORLA).
Kejatuhan Soekarno dan pembubaran PKI yang melahirkan ORBA menurut Arbi Sanit adalah hasil bulan madu antara militer dengan mahasiswa. Akan tetapi gerakan mahasiswa dihadapkan polemic balik kekmapus atau berpolitik. Sehingga menghasilkan structural kontroversi sikap pragmatism vs idealism  dalam kekuasaan ORBA. Kekuasan Orba yang dipegang oleh militer bersikap menjaga stabilitas nasional dengan mengkontrol politik mahasiswa yag terikat kepentingan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan demikian melahirkan pecahnya bulan madu tersebut yang memuncak pada januari 1974.

Arbi Sanit berkesimpulan, peristiwa MALARI merupakan perwujudan perpecahan diantara mahasiswa dengan penguasa ORBA yang menjadi titik balik melemahnya dan lumpuhnya KAMI sebagai wadah aksi bersama mahasiswa Indonesia. Peristiwa ini melahirkan gerakan anti Soeharto yang disambut dengan empat tindakan ORBA yakni menghukum mahasiswa yang mendalangi peristiwa tersebut, melumpuhkan kebebeasan mahasiswa yang dituding sebagai sumber kekuatan untuk menggalang aksi mahasiswa, perubahan kekuasaan, penyesuain kebijakan pembangunan dengan jalan menggeser urutan prioritas.

Keempat tindakan penguasa melahirkan sikap mahaiswa yang semakin yakin bahwa rezim arogan. Sehingga mahasiswa dibungkam melalui seperangkat kebijakan yakni SKM 028 tahun 1978 tentang kewenangan rector, dekan dalam membina kegiatan non kurikuler, dan yang paling arogan adalah kebijakan SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan SK No. 037/U/1979 yang mengatur bentuk susunan lembaga/organisasi kemahasiswaan dibawah kementerian P dan K sehingga dibentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan.

Hasil bulan madu yang kemudian melahirkan mati surinya gerakan mahasiswa. Menurut Irine H. Gayatri, Arah Baru Perlawanan Gerakan Mahasiswa mulai lagi 1989-1993. Hal ini ditandai dengan perubahan perspketif terhadap paradigm (mitos) gerakan moral, yang mana mulai tampak kalangan aktivis yang berkiprah diluar kampus dengan pilihan mengangkat tema populis (kerakyatan) sekaligus merupakan kritikan dan penolakan terhadap kecendrngan elitis dan ekslusif yang dipandang inheren dengan angkatan 1966. Diawal tahun 1990an gerakan mahasiswa diawali dengan kesadaran baru bahwa mahasiswa ukan merupakan independent factor, bahwa dalam pencaturan politik tidak bisa satu aktor mencapai mandiri sendiri sehingga lahir kerjasama antar kelompok gerakan mahasiswa dan mulai mensosialisasikan bahwa perlawanan merupakan milik semua elemen rakyat yang tertindas dan perlu kesabaran bersama. dengan demikian gerakan mahasiswa adalah gerakan bersama rakyat menjadi platform baru dari gerakan perubahan.

Pada tahun 1993-1996 menurut Soewarsono, gerakan mahasiswa dari organisasi tanpa bentuk mengalami fluktuasi menjadi organisasi tambah binggung, organisasi tidakoleh bicara, sampai oposisi telah berdiri. Hal ini dikena dari OTB ke OTB. Hal ini ditunjukan dengan kelahiran PRD dan kasus kudatuli 27 Juli 1996 serta didukung oleh perubahan politik Soeharto jelang moneter 1997.

Menurut Muridan S. Widjojo, aktivis 1998 tidak bisa semata dilihat pada tahun itu saja. Karena bagi Muridan, aktivis 1998 merupakan akumulasi kekuatan politik aktivis mahasiswa dan aktivis CSO ( Civil Society Organisation) yang mulai bergejolak sejak tragedi kudatuli ( kerusuhan 27 Juli 1996) bahkan jauh sebelum tragedy tersebut terjadi, dimana menurut Soewarsono hal ini terjadi karena  perubahan dari Organisasi Tanpa Bentuk sejak tahun 1990-an awal menjadi Oposisi Telah Berdiri seperti misalnya PRD ( Partai Rakyat Demokratik) yang melakukan deklarasi secara terbuka di YLBHI Jakarta pada 22 Juli 1996.

Pendeklarasian dalam kongres I PRD inilah yang kemudian menuduhkan PRD sebagai dalang dibalik tragedi kudatuli tersebut. Akibatnya bagi aktivis PRD yang terdiri dari SMID, PPBI, STN, dan Jakker, diburu, dipenjarakan dan disangkakan pada pasal subversive sedangkan bagi Organisasi Tanpa Bentuk yang baru-baru mencuat seperti Oposisi Indonesia tidak bertahan dan bubar. Sedangkan MARI, asosiasi yang terdiri dari 30 organisasi hanya mampu bertahan sebagai pemberian simbolisasi prodemokrasi award kepada PRD.

Tragedi kudatuli ini sempat mematikan gerakan mahasiswa pro-demokrasi yang mana terlihat dari dukungan KNPI, MKGR, AMPI, FKPPI, PP, HMI, Pemuda Muhammadiyah, Gerakan Pemuda Ansor, Pemuda Tarbiyah, AMMI, KISDI untuk membubarkan dan pernyataan bahwa PRD dan Afiliasinya adalah komunis dalam mobilisasi berbagai organisasi oleh Tantyo Sudharmono. Sehingga PRD dicap sebagai organisasi terlarang dan meskipun begitu PRD tetap melakukan gerilya dibawah tanah.

Pada tahun 1997, berbarengan dengan bencana ekonomi Indonesia,  demontrasi diberbagai kota mencuat dan meningkat tercatat ada 154 demontrasi mahasiswa saat itu. Hal ini meliputi isu-isu sensiti yang strategis yang berskala nasional, karena masih ada trauma akibat tragedy kudatuli sebelumnya. Namun mulai menguat ketika aksi penolakan hasil pemilu DPR/MPR 9 Oktober 1997 yang massif dibeberapa kota secara serentak. Kemudian tepat pada hari HAM, 10 Desember para aktivis menyuarakan tema anti kekerasan militer terhadap rakyat, Penghapusan dwifungsi ABRI dan penghapusan paket 5 UU politik.

Memasuki tahun 1998 demonstrasi makin meningkat ditandai dengan 31 aksi dalan bulan Januari yang mana 16 aksi merupakan aksi penolakan terhadap pencalonan Soeharto kembali sebagai presiden. Salah satunya adalah aksi yang dilakukan oleh kelompok Cipayung ( minus HMI DIPO), HMI MPO, dan aliansi LSM, kalangan PNS dan 19 Peneliti LIPI  yang tegas membuat pernyataan politik menolak Soeharto. Termasuk Civitas Akademika UI, yang terdiri dari mahasiswa dan ILUNI turut menolak kepemimpinan Soeharto.

Hasil dari akumulasi tersebut terwujud dengan aksi secara besar-besaran dalam pendudukan gedung MPR/DPR RI setelah terjadinya penembakan mahasiswa oleh pihak keamanan. Hal ini memaksa Soeharto mundur melalui pidato singkatnya 21 Mei 1998 pukul 09.02.45 WIB. Namun gerakan aktivis 1998 tidak berhenti disana karena adanya indikasi abuse of power akan dilanjutkan oleh Habibie.

Dari polemic Indonesia di akhir kepemimpinan Soeharto, menghasilkan kelompok idealis dan bernurani yang dinamakan kelompok aktivis 1998.  Merujuk pada Muridan dan Nurhasim maka kelompok aktivis 1998 yang merupakan kelompok pro-demokrasi ini terdiri dari tiga tipologi yakni Gerakan Anti Indonesia (GAI) Gerakan Anti Orde Baru (GAOB) dan Gerakan Koreksi Orde Baru (GKOB).

Kelompok GAI merupakan kelompok yang telah bertahun-tahun lahir akiat disparitas yang dilahirkan pusat seperti di Papua dan Aceh serta Timor-timor. Sehingga, dalam penelitian ini, yang dimaksudakan aktivis 1998 adalah kelompok GAOB dan GKOB. GAOB diurai dalam dua kelompok yakni FPPI dan LMND, ini merupakan aktivis mahasiswa yang terlepas dari praktik birokrasi kampus yang berjalan secara mandiri dan melakukan gerilya serta gerakan yang lebih radikal. Sedangkan GKOB adalah kelompok-kelompok gerakan yang pada umumnya merupakan lembaga intern mahasiswa resmi ataupun setengah resmi didalam kampus.

Perdebatan apakah PRD merupakan organisasi mahasiswa atau tidak, menurut Soewarsono PRD adalah bentuk afiliasi politik organisasi mahasiswa SMID( Solidaritas Mahasiswa Indonesia untu Demokrasi) dan bagi Muridan dan Nurhasim PRD adalah tipologi GAOB.

Sebagai penutup, dalam epilog yang ditulis oleh Hermawan Sulistyo dalam judul gerakan mahasiswa dipersimpangan jalan memperlihatkan kebingungan gerakan mahasiswa setelah sukses menjatuhkan rezim ORBA yang ditandai dengan adanya pola kesinambungan (continuity) dan pola keterputusan (discontinuity) yang akhirnya menciptakan disorientasi gerakan mahasiswa. Sampai pada jelang pemilu 1999 dengan semakin terbukanya politik Indonesia (demokratisasi) secara umum menurut Hermawan terdapat 3 kategori mahasiswa pasca ORBA yakni secara aktif mendukung pemilu tanpa adanya reservasi dengan bergabung melalui partai politik lama seperi PDI-P GOLKAR, PPP, sekelas PRD mendirikan secara resmi partai sendiri. Kelompok yang menerima pemilu dengan syarat dimana mereka terlibat seagai pemantau pemiu, mendirikan lembaga pemantau sendiri dan kelompok ketiga adalah kelompok mahasiswa yang memilih untuk terus di gerakan mahasiswa dengan meneruskan isu-isu sentral seperti adili Soeharto beserta kroni-kroninya, berantas KKN, hapus dwifungsi ABRI, dan bentuk pemerintahan transisi serta menolak pemilu yang tidak demokratis.


Sumber Rujukan : Muridan S. Widjojo (et.al). 1999. Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa 1998, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar