Minggu, 17 Mei 2015

Political Parties and Party System

Sebuah Tinjauan Teoritis

            Dengan sistem kampanye yang lama, hanya pada masa kampanye pemilu saja partai dapat bertatap muka langsung dengan para pendukung dan simpatisannya, yaitu  menyampaikan informasi, menjelaskan program dan meminta dukungan suara kepada rakyat. Dengan kampanye "alegoris",pawai masal dan pertemuan yang melibatkan massa ribuan bahkan ratusan  ribu orang, termasuk di dalamnya pengibaran simbol-simbol partai dan slogan-slogan khas yang mempunyai kandungan makna primordialistik, jelas ikut menyentuh emosi massa, bahkan fanatisme golongan dapat ditimbulkan. Apalagi bagi pemilih yang baru pertama kali memperoleh hak memilih, pengalaman pertama bersentuhan (komunikasi/interaksi) dengan partai oleh para pemimpin dan aktivis partai sangat diharapkan dapat memberikan dorongan psikologis yang memungkinkan merekabersimpati kepada, dan selanjutnya mencoblos partai yang bersangkutan pada saat pemungutan suara berlangsung.

            Dengan sistem kampanye yang baru, kesempatan melakukan pawai alegoris kian terbatas. Tetapi ini tidak menegaskan sama sekali aktivitas pengumpulan massa. Setidak-tidaknya untuk sampai ke arena pertemuan secara tidak langsung, massa juga melakuan "pawai tidak resmi." Bagi partai tertentu, tentu kemampuan menyelenggarakan kampanye "dialogis" di ruang kecil dalam jumlah yang banyak adalah terbatas.

            Kampanye seperti ini membutuhkan begitu banyak pelaksanaan teknis di lapangan dan juru kampanye. Keberhasilannya sangat bergantung pada kegesitan dan keterampilan pelaksana teknis di tingkat RT/RW, kampung/ desa. Kedua partai ini tidak punya cukup kader yang siap menjadi "sukarelawan" (yang tidak dibayar) untuk menjadi motor penggerak kampanye, sejak dari persiapan fisik (tempat), termasuk pengurusan izin, sampai kepada pengerahan massa yang akan menghadiri kampanye. Di  samping itu, jumlah kader juru kampanye partai yang mempunyai daya tarik bagi massa juga sangat terbatas. Mereka tidak punya dana dan tidak pula memiliki media komunikasi. Sedangkan  secara teoritis, langkah yang perlu diambil partai dalam persaingan  menghadapi pemilu dapat mengacu kepada pandangan Alan Ware berikut  ini.

             Alan Ware (1996) mengemukakan tiga insentif, yang dapat diberikan oleh partai politik (terutama partai kader) untuk menarik massa ke dalam partai politik. Pertama , insentif materiel seperti memberikan uang untuk menyelenggarakan    kampanye, memberikan kesempatan kerja di dalam pemerintah, pemberian proyek-proyek pembangunan tertentu dan lain-lain. Insentif ini jelas bermakna keuntungan yang bersifat kebendaan bagi individu tertentu.  Kedua , insentif solider, adalah insentif yang tidak tampak dan lebih diperuntukkan buat kelompok. Di sini keterlibatan di dalam partai  antara lain terdorong karena ajakan teman dan ikut dalam kegiatan-kegiatannya. Mereka yang aktif dalam partai akan memperoleh keuntungan politis, tetapi bisa juga memberikan manfaat sosial. Ketiga , insentif tujuan. Yang terkait dengan tujuan terutama adalah ideologi atau program-program kebijakan umum partai. Kegiatan partai lebih   ditujukan pada sosialisasi. Namun di dalam aktivitas pencapaian tujuan  dapat pula menimbulkan ketegangan internal partai.

            Dalam chapter 3 ini disarankan pembaca untuk melihat yang pertama, pemilihan kandidat, kemudian ada kampanye pemilu, dan terakhir formulasi pemerintahan. Sebagaimana yang akan kita lihat pada chapter berikutnya, hubungan antara pemilu dan formulasi pemerintahan  yang lebih kompleks. Namun hubungan antara seleksi kandidiat dan berjalannya kampanye tidak sejalan dengan apa yang mungkin terjadi. Tentunya, empat puluh atau lebih tahun yang lalu kampanye pemilu berlangsung setelah seleksi kandidat dilaksanakan. Tetapi sekarang di banyak negara kampanye pemilu didalam suatu bentuk dimulai jauh sebelum pemilu dilaksanakan, dan pada suatu kasus jauh sebelum proses penyeleksian kandidat, kampanye telah dilakukan. kampanye tidak lagi terbatas pada periode  mungkin 6 minggu atau dua bulan dalam pemilu. perluasan dari periode kampanye di AS telah sangat bagus bahwa itu memimpin berapa komentator untuk berbicara “continuous campaign” sebuah pemilu yang akan membawa kandidat untuk memulai memobilisasi.

            Faktor utama ini telah membawa perubahan penemuan dari media elektronik, tertama TV. TV menfasilitasi politisi untuk berkomunikasi dengan konstituen mereka dengan berbagai cara. Awalnya, pada tahun 1950-an TV digunakan sebagai alat untuk jadwal kampanye, tetapi lama kelamaan politisi mulai menyadari pentingnya membangun kredibilitas dengan konstituen mereka sebelum kampanye formal dimulai. Itu menjadi bukti bagi mereka bahwa opini tentang kompetisi dari sebuah pemerintahan dan administrasi yang diformulasikan jauh-jauh hari, dan partai tidak membuat usaha yang berarti untuk menarik pemilih sampai pemilu dilaksanakan denagn demikian mereka akan menemukan ketidak beruntungan. Persaingan antara satu dengan yang lain dilihat dari pendekatan pemilu mungkin menemukan keuntungan besar.

            Ada dua alasan mengapa televisi memuat perbedaan. Pertama, TV mengizinkan politisi untuk membuat kontrak yang lebih langsung dengan pemilih daripada kemungkinan dengan media cetak. Mereka terlihat menjelaskan aksi mereka atau pandangan dari pemikiran yang lebih disukai untuk membawa opini pemilih tentang mereka daripada orang-orang yang hanya membaca media cetak. Kedua, TV meletakan politisi pada kompetisi dengan yang lain untuk menarik perhatian pemilih. Dikebanyakan negara, stasiun televisi tidak dimiliki oleh, maupun oleh particular parties, dimana situasi ini adalah yang dikonsentrasikan oleh media cetak. Dibeberapa demokrasi liberal yang paling banyak beredar media cetak telah dimiliki oleh partai, sementara banyak media cetak yang lain, juga telah dimilki oleh pihak tertentu. ini artinya komuniikasi dengan pemilih, partai-partai memiliki kekawatiran yang tinggi bahwa lawan mereka mengetahui point inti mereka. Selain itu, meskipun partai politik bisa mempengaruhi stasiun televise, tetapi mereka tidak dapat mengontrol kebiasaan dari pemilih yang mungkin “membalik” kepada channel lain. kebailikannya, kebanyakan orang tidak membeli kisaran surat kabar, dan juga kurang sadar dari pandangan lawan. untuk menetralkan kemungkinan pengaruh dari lawan mereka di televise, pemimimpin partai telah lebih jauh aktif sebagai komunikator  dan satu segi dari ini adalah untuk memperpanjang periode kampanye pemilu.

            Namun, itu akan menjadi sebuah kesalahan untuk mempercayai  bahwa kedatangan televisi telah memimpin untuk mempertemukan model kampanye di negara liberal demokrasi. Kebalikannya, masa pertelevise dalam kampanye  kemudian menghasilkan perhatian yang bereda. untuk memahaminya dan faktor lain sebagai perbedaan hasil diantara negara dalam hubungannya dengan kampanye dapat digunakan di uji dari 3 aspek dari subejek berikut : 

  1. keseimbangan antara menjalankan kampanye oleh individu calon dalam mendapatkan kepentingannya dan menjalankan kampanye untuk partainya.
  2. relative berat melampirkan bagi partai politik atau calon untuk dua keutamaan dari hasil itu didapat dalam kampanye, uang dan tenaga kerja ( timses)
  3. harapan berat untuk jenis perbedaan  dari jalan mengkomunikasikan dengan pemilih.

Selain itu, Menurut Alan Ware, hubungan antara pemilu dan kebijakan pemerintahan adalah sesuatu yang lebih kompleks. Namun hubungan antara seleksi kandidiat dan berjalannya kampanye tidak sejalan dengan apa yang mungkin terjadi. Dimana lebih dari 40 tahun silam, kampanye pemilu berlangsung setelah seleksi kandidat dilakukan oleh masing-masing internal partai politik. Tetapi sekarang di banyak negara, kampanye pemilu dimulai jauh sebelum pemilu dilaksanakan, dan pada suatu kasus jauh sebelum proses penyeleksian kandidat, kampanye telah dilakukan. kampanye tidak lagi terbatas pada periode  mungkin 6 minggu atau dua bulan dalam jelang pemilu.

Kampanye pemilu tidaklah berdiri sendiri, ada kaitan antara pemilihan kandidat, kampanye pemilu itu sendiri dan kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakannya.  Menurut Alan Ware, hubungan antara pemilu dan kebijakan pemerintahan adalah sesuatu yang lebih kompleks. Namun hubungan antara seleksi kandidiat dan berjalannya kampanye tidak sejalan dengan apa yang mungkin terjadi. Untuk menjelaskan kompleksitas tersebut Alam Ware menulis pada Chapter 10 pada buku Political parties and party systems kampanye dalam pemilu setidaknya Alan Ware mengatakan ada beberapa persoalan yang harus diperhatikan oleh partai politik yakni[1] :

  1. Partai dan Organisasi Kandidat
  2. Sumber Kekuatan Partai, Modal dan Timses
  3. Politik Uang dan Sumber Keuangan
  4. Relawan
  5. Model Komunikasi
Dengan demikian, merujuk pemikiran Alan Ware pada chapter sebelumnya, bahwa suatu organisasi partai politik akan melaksanakan tiga bentuk kegiatan yaitu; pertama, menyiapkan dan memantu bagi kampanye untuk pemilihan umum. Beberapa aktivitas dalam pemilihan umum diantaranya adalah pengumpulan dan atau kegiatan yang berkaitan dengan huungan masyarakat. Partai politik tidak hanya aktor yang berpartisiapasi dalam hal itu. Kedua,mempertahankan organiasi kepartai, keanggotaan dan sumer daya lainnya. Ketika partaisudah memangun basis sumer daya, mereka harus menjaganya misalnya Koran partai yang harus disusidi, konferensipartai untuk memerikan semangat bagi aktivis yang loyal, metode baru dalam pendanaan partai. Ketiga mengatur kebijakan publik dan strategi bagi anggota partai yang terpilih dalam lembaga negara.

Artinya, menunjukan pentingnya pemilihan umum dan kampanye politik sebagai upaya partai dalam mencapai kekuasaan formal negara. Tentunya dengan upaya adanya Partai danporganisasi kandidat, sumber kekuatan partai , modal dan timses, politik uang, relawan dan model Komunikasi.



Sumber :  Alan Ware .1996. Political parties and party systems, Oxford : Oxford University Press. Chapter 10 Campaigning for Election.

[1] Alan Ware chapter 10 hal 289-308

Tidak ada komentar:

Posting Komentar