Minggu, 17 Mei 2015

Menelisik Representasi Politik : Perspektif Teoritis



Dalam buku Nuri Suseno dapat diamati bagaimana perkembangan representasi politik, yang sangat dipengaruhi oleh perubahan fenomena politik. Viera dan Runciman mengatakan bahwa semua negara modern saat ini merupakan negara perwakilan. Representasi yang secara sederhana diartikan “menghadirkan yang tidak ada atau yang tidak hadir” berubah untuk memahami praktik politik demokrasi.


Pada awalnya, menurut Hanna Pitkin representasi sepanjang sejarah tidak ada hubungan dengan demokrasi, bahkan tidak identik dengan demokrasi itu sendiri. Demokrasi dipandang sebagai pemerintahan rakyat sedangkan representasi adalah menghadirkan yang tidak hadir. Tentunya ini sangat berlawanan. Demikian pula yang dikatakan Benard Manin dalam The Principles of Representative Government (1997), pemerintahan perwakilan tidak sama dengan demokrasi.


Dalam masa kejayaan gereja, terbentuk 3 macam konsep representasi, yang mana menurut Vieira dan Ruciman, konsep representasi dalam artian otorisasi atau delegasi dalam kehidupan pengaturan keagamaan yang paling dekat kaitannya dengan persoalan legal dan politik.


Representasi dihubungkan antara negara (state) dan masyarakat (civil) dikemukan oleh Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau. Menurut Thomas Hobbes, merepresentasikan kata maupun tindakan orang lain haruslah dengan kontrak yang representative. Sehingga menurut Urbinati, representasi yang dibangun Hobbes “…way of giving legitimacy to the absolute sovereign while disempowering the people…[1]


Menurut perspektif Manin dalam melihat state dan civil sebagai representasi politik dari perspektif demokrasi, lembaga yang dipandang sentral didalam pemerintahan perwakilan adalah “election” atau pemilihan dengan distinction. Sehingga dari election lahirlah wakil-wakil politik. Menurut Hanna Pitkin, dikatakan layak seseorang wakil dalam perspektif demokrasi adalah (1) authorization (otorisasi), (2) substantive acting for (tindakan mewakili dalam artian sesungguhnya), dan (3) accountability (pertanggungjawaban atau penanggunggugatan). Dari sini, paradigm yang semula menentang antara represtasi dengan demokrasi berbeda dapat menemukan benang merahnya.


Repsentasi politik dari perspektif demokrasi cendrung dinamis, sebagaimana yang diungkap oleh Laura Montanaro. Montanaro melihat representasi politik dari intuisi normative demokrasi, bahwa representasi tidak harus dari election (representasi electoral) tetapi adanya self appointed representation yang berasal dari individu, kelompok masyarakat non pemerintahan (lokal, nasional, atau global). Demokrasi yang inklusif memungkinkan representasi politik yang tereklusifkan untuk hadir dan terwakili diarena pengambilan keputusan.



Konsep, Defininsi, dan Teori Representasi.


Pada bagian ini akan membahas mengenai berbagai definisi, konsep dan teori  representasi politk dari para teoritisi. Mereka banyak yang menaruh perhatianya terhadap konsep representasi politik yang ditulis oleh Hanna Pitkin sebagai rujukan dan mengkritisi bahkan hingga  mempersoalkannya. Beberapa teoritisi politik yang mengajukan konsep-konsep alternative terhadap konsep representasi politik Hanna Pitkin antara lain adalah John Dyryzek dan Simon Niemayer, Mark Warren dan Dario Castiglione, Jane Mansbridge, Andrew Rehfeld, Michael Saward, Melissa Williams, Nadia Urbinati, Iris Young, dan Susan Dovi.[2]


Diantara berbagai definisi representasi politik yang tampaknya sederhana dan umum dipahami adalah konsep representasi yang terkait dengan pemilihan umum. Konsep demikian, misalnya, dituliskan oleh Enrique Perruzotti, seorang professor di Torcuato di Tella University, di dalam tulisanya Representation, Accountability, and  Civil Society. Dia mengatakan Representative (wakil) ‘is someone who has been authorized to act with relative independence of the electoral’. Seseorang yang memperoleh otoritas untuk bertindak dengan kebebasan yang relative dari para pemilihnya.[3] Dari konsep ini terlihat bahwa seorang wakil tidak semata-mata bertindak atas kehendak rakyat yang diwakilinya, namun wakil ini memiliki kebebasan meskipun relative untuk mempertimbangkan dan mengambil tindakan terbaik. Wakil tidak hanya mengikuti saja apa-apa yang menjadi tuntutan dan kehendak dari rakyat. Untuk itulah diperlukan adanya trusted dari masyarakat, agar ketika dalam menentukan kebijakan, pengambilan keputusan dan dalam bertindak, masyarakat mempercayai bahwa itu adalah upaya terbaik dari wakil untuk mereka.


Menurut Micheal Saward dalam Governance and transformation, secara umum seorang wakil dianggap sebagai seseorang yang berdiri mengatasnamakan atau bertindak atas nama orang lain (yang tidak hadir). Mereka melakukanya sebagai delegasi yang bertindak berdasarkan keinginan yang diekspresikan oleh (pihak) yang diwakili atau sebagai trusted (kepercayaan), yang bertindak berdasarkan apa yang dipandang sebagai kepentingan dari yang diwakilinya.


“Generally a representative is regarded as one who stands for or acts for an (absent) other. They may do so by being a delegate-acting on the express wishes of the representative-or a trusted, acting in the perceived best interests of the represented.”[4]

Peran seorang wakil dalam representasi politik menjadi sangat penting bagi masyarakat yang diwakilinya. Seperti yang tertulis dalam kutipan diatas bahwa seorang wakil merupakan delegasi dari pihak yang diwakili untuk bertindak berdasarkan kepentingan yang diwakilinya. Di samping itu pihak yang diwakili menaruh kepercayaan kepada wakilnya, dan inilah sebenarnya pondasi dari representasi politik. 


Bagaimana bisa ketika seorang wakil dikatakan merepresentasikan pihak yang diwakilinya namun pihak itu tidak mempercayainya? Bagaimana bisa seorang wakil dikatakan mewakili namun wakil tersebut tidak bertindak berdasarkan kepentingan pihak yang diwakilinya atau bahkan tidak tahu apa kepentingan dari yang diwakilinya? Untuk menjawab itu, mari kita lihat bagaimana seharusnya wakil itu bertindak dan bagaimana praktik dalam representasi politik.


Pertama, seorang wakil seharusnya mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat. Dimana adalah seorang wakil dapat menjadi pendengar yang baik dan menampung keluhan-keluhan dan usulan-usulan pihak yang diwakilinya. Dalam hal ini seorang wakil dituntut untuk dekat dengan pihak yang diwakilinya agar dapat menyalurkan aspirasi mereka. Namun dalam realitanya tidak berjalan sesuai dengan harapan. Aspirasi rakyat tidak tersalurkan karena seorang wakil kurang memperhatikan dan mendengarkan apa yang diinginkan pihak yang diwakilinya, yaitu rakyat.


Kedua, seorang wakil seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Ini dapat diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan yang diusulkan dan dibuat oleh wakil. Namun dalam praktiknya seringkali kebijakan yang dibuat untuk kepentingan lain, bukan untuk rakyat yang diwakilinya, yang itu justru merugikan rakyat yang diwakilinya. Lalu bagaimana nasib rakyat ketika seorang wakil tidak mewakilinya dan justru mewakili pihak lain yang merugikanya? Dengan demikian apakah fungsi dari representasi itu sendiri ? Siapakah yang sebenarnya diwakili oleh wakil itu?


Ketiga, seharusnya seorang wakil mendapatkan kepercayaan dari mereka pihak yang diwakili melalui proses pemilu. Namun yang terjadi wakil rakyat yang terpilih bukanlah pilihan dari sebagian besar rakyat yang diwakili, melainkan hanya sebagian kecil dari mereka. Hal ini dapat dilihat dari angka partisipasi masyarakat dalam pemilu yang rendah. Tingginya golput menjadi salah satu indikator. 


Di samping itu masyarakat yang memilih pun terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, masyarakat yeng memilih atas kesadaranya untuk mendapatkan wakil yang berkualitas. Kedua, masyarakat yang memilih karena suaranya dibeli. Representasi politik sering dipahami sebagai keterwakilan suatu pihak atas pihak lain. Namun konsep ini bukan berarti menjadi konsep mutlak dari representasi. Seperti yang tercantum dalam kutipan berikut:
the very notion of representation tells us that the represented is not present. Prevailing conceptual definitions in any period are shaped by its advocates who are themselves formed by their political representation is both contingent and contested, a complex combination of elements that is ill-suited to simple definition or application..[5]

…gagasan representasi menunjukkan bahwa pihak yang direpresentasikan tidak hadir. Definisi-definisi konseptual yang ada dalam suatu periode dibentuk oleh para penganjurnya, mereka sendiri dibentuk oleh konteks dan prioritas politik pada masanya. Makna representasi politik, dengan demikian, [bersifat] sementara dan dapat diperdebatkan, sebuah kombinasi yang kompleks dari unsur-unsur yang kurang cocok bagi definisi atau penerapan yang sederhana…

Kutipan diatas menunjukan bahwa konsep dari representasi politik tidak mudah dipahami dan didefinisikan secara universal. Hal ini dikarenakan ada banyak perdebatan mengenai makna dari representasi politik. Representasi politik terlalu kompleks dan terdiri dari unsur-unsur yang sukar untuk didefinisikan. Representasi politik tidak hanya seputar wakil dan pihak yang diwakilinya, namun lebih dari itu.

Menurut Hanna Pitkin, setidaknya ada 4 pandangan berbeda tentang representasi yakni formal, substantif, simbolis dan deskriptif. Pandangan formal dan deskriptif melihat representasi pada way of acting atau acting for. Sedangan pandangan simbolis dan substantive memandang dari way of being atau standing for. Gambaran representasi dari Pitkin sendiri dianggap representasi tradisonal karna fokus yang kuat pada pemilu baik pada gagasan maupun praktik serta fokus yang kuat pada karakter dan penampilan perwakilan dari wakil disatu sisi dan mengabaikan yang diwakili disisi lainnya.[6]


Perkembangan representasi dan election haruslah dikaitkan dengan state dan civil serta the people menurut Urbinati. Sehingga diperlukan pembenahan pada institusi-institusi representasi politik. Teori representasi politik ini tidak semata dikaitkan dengan agen-agen atau institusi-institusi pemerintahan tetapi memandang representasi politik sebagai bentuk proses politik yang terstruktur dalam hubungan diantara institusi-institusi dan masyarakat sehingga dengan demikian tidak terbatas hanya pada pemusyawarahan atau pengambilan keputusan didalam majelis.


Perkembangan abad ke 21 melahirkan representasi politik tidak pada lembaga formal, tetapi kahadiran lembaga non formal, sehingga mengakibatkan representasi politik tidak harus bergerak mengikuti model negara berdaulat. Hal ini akibat dari “making the social political” akibat perkembangan media dan teknologi. Menurut Suzanne Dovi menyimpulkan bahwa ada 4 komponen utama pembentuk representasi:
1. Yang merepresentasikan (wakil, organisasi, gerakan, agen negara dll) Yang direpresentasikan (konstituen, klien, pemilih dll)
2.    Sesuatu yang direpresentasikan (opini,perspektif, kepercayaan, diskusrsus dll)
3.    Sebuah latar belakang dimana kegiatan representasi terjadi (konteks politik)
4.    Sebuah latar belakang dimana kegiatan representasi terjadi (konteks politik, dl)

Penolakan atas demokrasi dan representasi pada akhirnya menjadikan representasi sebuah konsep yang penting dalam demokrasi baik secara teoritis maupun praktik empiris demokrasi representasi. Menurut Castiglione dan Warren ada 3 ciri penting perwakilan yang demokratis sebagai upaya mendemokratiskan representasi. Pertama, perwakilan berbentuk hubungan principal-agen ( hubungan di dalamnya wakil-wakil mengatasnamakan dan bertindak atas nama yang diwakili) berbasis territorial dan bersifat formal. Kedua, perwakilan merupakan sebuah wilayah kekuasaan politik yang bertanggunjawab dan akuntabel (responsible dan accountable) dengan memberikan kesempatan pada warga negara untuk dapat mempengaruhi dan melakukan kontrol. Ketiga, hak untuk memilih para wakil sebagai bentuk persamaaan politik yang diukur secara sederhana.

Sehingga, salah satu hasil penelitian para ilmuan politik di AS, Inggris, Jerman, dan Kenya dalam melihat representasi politik antara konstituen dengan legislatornya didapat 3 gambaran representasi politik yakni Pertama, fokus pada representasi, merujuk pada siapa-konstituen yang direpresentasikan oleh para legislator, yakni konstituensi geografis ( seperti di AS), konstituensi berdasarkan partai (Umum di Eropa) dan konstituensi lain, (negara berkembang) misal kelompok etnis, kelas sosial, gender, kelompok kepentingan. Kedua, gaya representasi yang merujuk pada soal “bagaimana” cara legislator menanggapi orang-orang atau kelompok yang diwakili. Hal ini meliputi : (a) delegasi, wakil mengekprsikan pilihan-pilihan dari yang diwakilinya. ( negara berkembang) dan dipraktikan oleh junior legislator. (b) trusted, wakil mengikuti penilaian sendiri. Biasa dipraktikan oleh senior legislator. (c) politico, wakil menyesuaikan representasi politik dengan situasi politik tempat dia berada. Hal ini merupakan gaya legislator mapan.


Ketiga adalah komponen responsive yang merujuk pada isu “apa” semacam harapan yang direspons oleh wakil politik. Hal ini seperti (a) responsivitas kebijakan, konstiten mengharapkan legislator melaksanakan kebijakan terkait isu tertentu. (b) responsivitas pelayanan, konstituen mengharapkan legislator mengintervansi birokrasi untuk kepentingan mereka. (c) responsivitas untuk kepentingan bersama untuk mengalokasikan sumber daya publik.

Sumber Utama : Nuri Suseno, 2013, Representasi Politik : Perkembangan dari Ajektia ke Teori. Puskapol UI : Depok

[1] Nuri Suseno, Representasi Politik, Jakarta: Puskapol UI, 2013 hlm. 16
[2] ibid. hlm. 26
[3] ibid. hlm. 30-31
[4] ibid, hlm. 33-34
[5] ibid. hlm. 25
[6] ibid. hlm. 39

1 komentar:

  1. Mohon maaf, tapi kenapa ketika saya baca bukunya Pitkin, Standing for itu justru adalah suatu pandangan deskriptif dari sebuah perwakilan ya?:/

    BalasHapus